Anda di halaman 1dari 5

Kisah dan Secangkir Kopi

Oleh : Q

Hari ini menjalani aktivitas biasa, hampir sama setiap harinya. Mencari lowongan
pekerjaan, menjalani rangkaian tes pekerjaan sudah menjadi rutinitas.
Menunggu dan terus menunggu, berharap dan hanya bisa berharap akan
datangnya kertas berisi kontrak kerja dari perusahaan manapun. Di sini, hanya
ditemani secangkir kopi aku menorehkan kisah. Hanya untuk melepas penat,
hanya untuk berdamai dengan waktu yang terus bergulir. Waktu tetap berlalu
tanpa peduli aku yang tanpa hasil, menggerus setiap asa yang aku miliki. Lelah?!
Tentu saja aku sangat lelah dengan semua ini !. Asaku semakin habis dimakan
waktu, penantian akan datangnya pekerjaan belum terlihat jua, penantian akan
cintaku pun sama !. Aku bagaikan seorang yang terbuang, tak nampak dari
belahan dunia manapun.
Aku lelah, aku bosan, setiap detik yang aku lalui tak menghasilkan apapun.
Setiap nafas yang terhembus merobohkan asa. Tak ada orang yang mengerti
bagaimana rasanya, bahkan orang tua dan saudara-saudaraku. 7 kali beruntun
dalam 2 minggu gagal dalam psikotes kepribadian, sudah hampir 200
perusahaan dengan berbagai posisi yang ditawarkan, entah sudah berapa kali
interview, diberi pengharapan, namun belum nampak satu pun pekerjaan
untukku.
ahh, memang belum ada yang terbaik untukku, caraku menghibur diri. Letih,
penat semakin merasuki hati, hingga saat aku berselisih dengan orang tuaku.
Hampir setiap hari orang tuaku menanyakan udah dapet kerja belum? Cepet
dapet kerja, kenapa sih ko gagal terus? belum lagi aku teringat dengan katakata ibu dulu, cepet kerja, bayarin utang di sini, di sini, di sini. Kata-kata
saudaraku kalau kerja nyarinya yang bonafide sekalian, jangan asal, dia juga
sering membahas tentang kedai kopi yang rencananya dibuka dalam waktu
dekat ini, memperlakukan aku seolah aku tak punya kesibukan apapun. Dan lagi,
hampir setiap pandangan yang aku ungkapkan, dia selalu menyangkal seolah dia
yang lebih tahu segalanya. Kalau begitu untuk apa dia konsultasi denganku?.
Semua itu membuatku makin kesal saja. Susah payah aku membangun mental
untuk tetap menatap ke depan, tetap optimis tak peduli sebanyak apapun
kegagalan yang aku alami.
Tapi, semuanya seakan runtuh oleh kata-kata ibu ngeyel terus ! kamu tuh
memang susah kalau dikasih tahu ! Bener kata mas !. Aku merasa bodoh
karena masih kesulitan mendapat pekerjaan, tak cukup sampai di situ, aku
digampar dengan rangkaian kata yang meruntuhkan harapan. Aku tak berguna,
tak mampu menjadi kebanggaan keluarga. Aku teringat dengan harapan besar
dari seluruh anggota keluarga kepadaku. Gaji 2 digit, membelikan rumah, mobil,
membiayai haji, menyekolahkan adik, membayarkan hutang, dan setumpuk
harapan lainnya. Semenjak saudaraku menikah, aku merasa semua beban itu
dicurahkan kepadaku.
Aku tak kuasa menahan luapan emosi. Saat aku butuh pegangan untuk tetap
berdiri menatap ke depan, keluargaku sendiri malah menjatuhkanku seketika itu.
Imanku hampir hancur, aku tak percaya dengan karunia Allah yang tak terbatas.

kalau dari keluarga ngga ada yang bisa ngasih aku motivasi, tolong lebih baik
diam, ngga usah banyak tanya, karena aku di sini ngga diam, aku terus berusaha
memaksimalkan peluang yang ada, aku terus berusaha memperbaiki ibadahku,
tak mampu rasanya menahan tangis saat mengatakannya.
Aku tertekan dari segala arah, rasanya aku ingin lari menjauh. Tapi, tak ada jalan
untuk lari, tak ada tempat untuk sembunyi. Aku tak sendiri, aku dikelilingi temanteman yang dapat berbagi suka maupun duka. Tapi entah apa yang terjadi
dengan hati ini, aku sering merasa kesepian meskipun aku ada di tengah
mereka. Apa karena aku merasa tak berarti untuk mereka? Hmm, mungkin saja
iya. Karena aku punya teman baru yang sering bercerita tentang masalah dan
kehidupan pribadinya, sering kali aku merasa nyaman dengannya, sering kali aku
merasa lebih hidup.
Berusaha lepas dari tekanan, aku membuka kontak di HPku dan mencoba
menghubungi seseorang. Tak ada jawaban darinya. Ya, aku tahu tak akan ada
jawaban darinya. kemudian aku mengirimkan pesan untuknya, aku lagi butuh
temen buat ngobrol, aku butuh motivasi, dan kayanya cuma kamu yang bisa.
Tak ada respon yang berarti darinya, tapi rasanya cukup memberi semangat
baru untukku. Ya, karena dia adalah cahaya harapanku, dia adalah impianku, dia
adalah Ida Mardiana.
Ida Mardiana, dia adalah wanita yang istimewa bagiku, dia adalah mantan
kekasih yang kini menjadi impianku. Hanya 17 bulan kami menuliskan kisah
asmara bersama, tapi itu cukup membuatku jatuh hati. Entah kapan awalnya
terjadi, tapi komunikasi kami tak begitu baik. Hampir setiap pesan yang aku
kirimkan padanya, aku harus menunggu berjam-jam respon darinya. komunikasi
kami layaknya interview tes pekerjaan. Aku bertanya, dia menjawab, lalu end.
Beberapa kali aku menanyakan padanya tentang ini, dia selalu menjawab aku
emang gini. Tidak ! dia telah berubah dari awal aku mengenalnya, dia telah
berubah dari awal aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengannya. Aku
selalu bertanya pada diriku, apa salahku hingga dia berubah? Kenapa dia begitu
dingin? Aku selalu mencoba bersikap hangat padanya, tapi kenapa?. Semua
pertanyaan itu aku simpan, aku tak mau mengganggu pikirannya, aku tak mau
mengganggu konsentrasi di pekerjaannya. Aku belum bisa memberi kepastian
padanya, membuat aku berpikir untuk ikhlas melepasnya. Keinginannya untuk
menikah di usia 24 saat itu rasanya berat untuk bisa aku penuhi. Aku belum
mendapatkan pekerjaan, tuntutan keluargaku terlalu menggunung. Aku harus
ikhlas melepasnya, biarkan dia bebas memilih imamnya kelak.
Ida Mardiana, ternyata tak mudah melepasnya, dia telah menjadi sesuatu yang
berharga untukku. Rasanya aku telah buta! Tak pernah mampu melihat hatinya
yang mungkin telah berpaling. Rasanya aku telah mati rasa ! tak pernah mampu
merasakan sakit yang dia tanam bersama tingkahnya. Rasanya kepalaku telah
membatu ! tak pernah peduli apapun, bagaimanapun, yang aku pikirkan hanya
untuk dapat bersama dengannya. Sampai berkunjung pemikiran untuk
memantaskan diri menjadi imamnya kelak. Hari ke hari aku selalu berusaha
memperbaiki diri, memperbaiki keimananku, ketaqwaanku, ketaatanku,
mempelajari lebih dalam tentang islam. Sejak saat itu, dia, Ida Mardiana menjadi
impian pertama yang ingin aku raih. Seperti seseorang yang berjalan jauh
melewati gurun pasir, di tengah panas terik matahari demi mencapai sebuah
tujuan, aku berjuang. Sampai aku rasakan angin kutub berhembus menyegarkan,
berayun lembut membelai kulitku. Begitulah yang aku rasakan ketika membaca

surat An-nur:32. Dan nikahilah orang-orang yang masih membujang di antara


kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas
(pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS.An-Nur:32).
Kemarin aku merasa tak mungkin bagiku menikah dalam waktu dekat. Aku
merasa tak mungkin bisa memenuhi target nikah Ida. Tapi, setelah membaca isi
ayat itu aku merasa yakin kalau aku bisa menikah secepatnya. Malah justru
dengan menikah akan ditambah rezekinya, akan bertambah luas karunia yang
diberikan dari-Nya. Dengan menikah justru akan semakin cepat memenuhi
tuntutan keluargaku yang menggunung. Aku percaya, karena itu adalah isi AlQuran, dan sebagai seorang muslim wajib hukumnya untuk mengimani isi AlQuran. Aku banyak menyebarkan apa yang aku temukan. Aku banyak
berdiskusi dengan teman tentang pernikahan, tentang apa yang aku pikirkan
setelah membaca ayat itu. Termasuk juga aku membicarakannya pada Ida. Entah
apa yang salah, aku tak banyak mendapat dukungan dari apa yang aku pikirkan.
Kebanyakan berpikir kalau menikah bisa mempersempit langkah, menikah itu
setelah mapan, mau dikasih makan apa nanti istri dan anak kalau belum mapan
sudah memutuskan menikah?, dan masih banyak lagi segudang pemikiran yang
bertentangan dengan apa yang aku yakini. Mereka benar, tak akan pernah
masuk akal setelah menikah rezeki bertambah. Bagaimana bisa menafkahi kalau
belum bekerja? Bagaimana bisa rezeki bertambah banyak kalau penghasilan
tetap, tapi jumlah tanggungan bertambah? Mau dipikir sampai otak meleleh pun
tak akan pernah bisa!. Kalau itu bukan kalimat Al-Quran, aku pun akan
mengabaikannya. Tapi ini dari Al-Quran ! Firman Allah ! bagaimana mungkin aku
mengingkarinya?! Sementara aku sudah bersaksi di hadapan Allah dari sebelum
meninggalkan surga, bahwa Allah adalah Tuhanku, Muhammad adalah rasulku,
dan islam adalah agamaku. Bagi Allah tak pernah ada kata tak masuk akal.
Kalau Allah menghendaki, maka kun fayakun, jadi maka jadilah. Tak pernah
aku mendengar kisah seseorang miskin karena sedekah. Muslim ataupun non
muslin mereka tak akan miskin dengan bersedekah, menyumbang, mengasihi
yang kekurangan. Itu semua karena karunia Allah yang tak terbatas.
Aku tetap melangkah meski banyak yang meragukannya. Aku tetap menata jalan
menuju impian pertamaku. Niat baik untuk segera mengutarakan kesungguhan
hati tak selamanya berjalan lancar. Begitu banyak halangan, sindiran, bahkan
hinaan aku alami. Namun, aku tetap percaya bahwa karunia Allah tanpa batas.
innallaha ma anna, innallaha maashabirin, sesungguhnya Allah bersama
dengan kita, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar. Ida
Mardiana, aku belajar banyak darinya. Tentang kesabaran, ikhlas, tawakal,
ketulusan, dan masih banyak lagi yang lain. Dia telah berubah dari pertama aku
mengenalnya, dia telah menjadi pribadi yang lebih baik, dan aku banyak belajar
darinya. Apapun yang dia lakukan, tak akan pernah mengubah niatanku untuk
menjadikannya pendamping hidupku. Sampai aku melihatnya berada di
pelaminan bersama orang lain, aku tak akan berhenti mengejar dia, mengejar
impianku.
Berita baik yang bisa aku kabarkan saat ini adalah meyakinkan orang tuaku. Aku
berbicara banyak kepada mereka tentang apa yang aku dapati sejauh ini. Aku
meyakinkan mereka bahwa karunia Allah tanpa batas, terlebih setelah menikah.
Aku menyampaikan keinginanku untuk menikah dengan Ida yang mungkin akan

terjadi dalam waktu dekat. Berbagai dalil dan hadis aku utarakan, sampai
akhirnya mereka setuju dengan apa yang aku sampaikan. Rasanya mereka
menyukai Ida, terlebih lagi ibu. Beberapa anggota keluarga yang lain pun sama,
mereka menyukai Ida. Sepertinya kedatangan Ida di acara pernikahan mas
waktu itu membawa pengaruh besar. Seolah memperkenalkan pada keluargaku
bahwa dia adalah calon istriku. Entah apa tanggapan Ida tentang itu, aku belum
menceritakannya. Aku masih menunggu jawaban cinta darinya. Cintaku padanya
masih belum berbalas, begitu pula halnya dengan pekerjaan. man jadda wa
jada, akan selalu ada jalan bagi yang bersungguh-sungguh. Masih banyak yang
harus aku pelajari, masih menumpuk deskripsi pekerjaan yang harus aku
lakukan. Semua itu demi membangun kerajaan yang memakmurkan rakyatnya
dan mengibarkan bendera kejayaan setelah raga kembali ke tanah.
Kisah ini hanya sekedar rekan bicara sampai aku mengosongkan isi cangkir
kopiku. Aku bukan penulis naskah atau seseorang yang mahir menulis naskah.
Bahkan ini bukan kisah yang bagus untuk dijadikan novel, naskah, ataupun buku
cerita lainnya. Bagiku, menulis hanya cara untuk berbagi dan menuangkan
segenap perasaan hati. Begitu halnya dengan tulisan ini, hanya untuk berbagi
rasa, mengusir sepi. Karena lewat tulisan, kita bisa berbagi apapun tanpa ada
keluhan, perdebatan, atau apapun yang menambah keresahan hati. Meski
begitu, aku mendedikasikan tulisan ini untuk tiga kelompok orang.
Kelompok pertama adalah keluargaku. Maaf karena aku masih belum mampu
menjadi apa yang kalian mau. Maaf aku masih belum bisa memenuhi harapan
kalian. Maaf aku belum mampu menjadi orang yang bisa kalian banggakan. Aku
belum mampu menjadi anak yang soleh yang siap menghantarkan kalian ke
surga. Tapi, dengan nafas yang tersisa, aku akan terus berusaha menjadi anak
yang soleh dan siap menghantarkan kalian ke surga. Aku yakin semua orang tua
pasti akan sangat bangga saat anaknya mapan, memiliki harta melimpah yang
bisa membeli segalanya. Tapi, aku yakin orang tua akan lebih bangga saat
anaknya menjadi anak yang soleh, yang berbakti kepada mereka. Harta,
jabatan tidak dibawa mati yah, yang dibawa mati adalah amal perbuatan kita
begitulah kata pengamen jalanan. Tak perlu kerepotan menabung sebanyakbanyaknya untuk membahagiakan mereka, tak perlu sampai menunda menikah
hanya karena ingin memberikan harta yang melimpah kepada mereka, karena
yang mereka perlukan di hari tua mereka bukan harta, yang mereka perlukan
adalah doa, doa dari kita sebagai anak mereka.
Kelompok kedua adalah teman-temanku. Maaf karena selama ini aku tak banyak
memberikan manfaat untuk kalian. Maaf karena aku belum mampu menjadi
rekan yang baik dalam suka maupun duka. Maaf atas segudang kekuranganku
saat aku bersama kalian. Teman yang baik seharusnya mampu mengingatkan
kita saat kita berada di jalan yang salah. Teman yang baik seharusnya bisa
berbagi dalam suka maupun duka. Teman yang baik mampu membawa kita
masuk surga dengan izin Allah. Maaf aku belum mampu menjadi teman yang
baik untuk kalian. Mungkin aku bukan orang yang mengasyikkan untuk kalian,
mungkin ada banyak hal yang tidak kalian mengerti tentang aku. Tapi teman,
terima kasih telah ada untukku selama ini, telah berbagi suka dan duka bersama.
Terima kasih telah menjadi bagian dari kisah hidupku.
And The last but not least, Ida Mardiana. Maaf karena telah banyak kata-kataku
yang menyinggung perasaanmu. Maaf atas segala tingkahku yang tak berkenan
di hati. Maaf aku belum mampu menjadi apa yang kamu mau. Aku sering

bertingkah kekanak-kanakan terlebih saat aku merasa butuh perhatian,


Membicarakan soal pernikahan meski kamu belum mau membicarakannya, dan
masih banyak lagi perkataan dan perbuatanku yang membutamu muak. Kamu
benar, aku masih belum siap menikah, aku masih belum layak bersanding
denganmu. Semua itu aku lakukan karena aku ingin punya target yang menjadi
motivasi untukku berubah lebih baik, dan kamu adalah impian yang bisa
memotivasiku menjadi lebih baik,aku banyak belajar dari kamu. Aku ingin
mencintaimu karena Allah, aku ingin melandasi cinta kita dengan kecintaan kita
kepada Allah. Aku akan terus berusaha menggapainya, menggapai cintamu
melalui cinta-Nya. Terima kasih telah mengajariku sesuatu yang berharga, terima
kasih telah menjadi cahaya harapan bagiku, dan terima kasih telah menjadi
bagian dari diriku. Terlalu banyak kata yang telah aku ungkapkan kepadamu,
maka sekarang izinkan aku untuk membuktikan kesungguhan cintaku.
Mungkin aku terlalu banyak menyebut kata maaf, tapi setiap kata maaf
tersimpan keinginan untuk menjadi lebih baik, untuk diri sendiri, keluarga,
teman, dan Ida. Aku akan tetap pada keyakinanku, tetap luruskan niat, menjadi
lebih baik, memantaskan diri sebagai imam untuk Ida dan anak-anakku nanti.
Jangan pernah ragu untuk menikah dalam keadaan kekurangan, jangan pernah
berpikir tak akan bahagia saat kita menikah dalam keadaan susah. Karena
kebahagiaan dan kesedihan itu adalah pilihan. Kita sendiri yang putuskan
tersenyum atau menangis. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi
tersenyumlah maka kamu akan bahagia. Jangan menunggu kaya baru
bersedekah, tapi bersedekahlah maka kamu akan jadi kaya. Kebahagiaan adalah
wujud dari rasa syukur kita. Hanya orang yang penuh dengan rasa syukur yang
dapat berbahagia. Hanya orang yang penuh dengan rasa syukur yang dapat
mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, jerit tangis menjadi tawa riang.
Bersyukurlah, maka Allah akan menambah rezeki kita. Bersyukurlah, karena
semua ketetapan Allah itu baik.

Anda mungkin juga menyukai