(MUHIBBIN SYAH)
BAB I
PENDAHULUAN
Kandungan pokok buku ini terdiri dari dua macam, yakni hal belajar dan hal
mengajar. Hal-hal pokok tersebut dijadikan intisari pembahasan dalam buku ini mengingat
perannya yang vital dalam setiap proses pengajaran baik dalam satuan pendidikan sekolah
maupun satuan pendidikan luar sekolah.
Hal-hal lain seperti tentang studi psikologi pendidikan dan perkembangan siswa juga
dibahas, namun tetap dalam konteks proses belajara dan pengajar. Dalam hal ini, kedua
bidang bahasan tersebut dipandang sebagai bagian-bagian penting yang melandasi
pembahasan-pembahasan inti.
BAB II
PSIKOLOGI, PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
A. DEFINISI PSIKOLOGI, PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
1. DEFINISI PSIKOLOGI
Psikologi berarti ilmu jiwa. Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, psikologi
memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang hingga sekarang masih
tampak pengaruhnya. Dalam ilmu kedokteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang
terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah). Sedangkan dalam filsafatpsikologi berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan
akal, kehendak, dan pengetahuan.
Karena kontak dengan berbagai disiplin itulah, maka timbul bermacam-macam
definisi psikologi yang satu dengan yang lain berbeda, seperti:
a. Psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental (the science of mental life)
b. Psikologi adalah ilmu mengenai pikiran (the science of mind)
c. Psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku (the science of behavior) dan lain-lain
definisi yang sangat bergantung pada sudut pandang yang mendefinisikannya.
Dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki yang
membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun
kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
2. DEFINISI PENDIDIKAN
Dalam pengertian luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan
metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara
bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Poerbakawatja Harahap (1981), pendidikan adalah usaha secara sengaja dari
orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu
diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya .... orang
dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya
mempunyai kewajiban untuk mendidik, misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam
lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.
3.
psikologi itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak memiliki teori, konsep
dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan banyaknya hasil-hasil riset psikologi lain
yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode psikologi pendidikan.
Dalam pandangannya, psikologi pendidikan sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang
berkaitan dengan teori masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal berikut:
Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
Pengembangan dan pembaharuan kurikulum.
Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.
Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan
ranah kognitif.
Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Psikologi pendidikan mempunyai dua objek riset dan kajian, yakni:
Siswa, yaitu orang-orang yang belajar
Guru, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar termasuk metode,
model, strategi dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian materi
pelajaran.
B. ARTI PENTING PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Selaku calon guru maupun guru yang sedang bertugas tidak perlu memandang
psikologi pendidikan sebagai satu-satunya gudang penyimpan jawaban-jawaban yang benar
dan pasti atas persoalan-persoalan kependidikan yang anda hadapi. Namun, anda tetap perlu
tahu bahwa dalam psikologi pendidikan terdapat serangkaian stok informasi mengenai teoriteori dan praktik belajar, mengajar.
Yang perlu dipetik dari psikologi pendidikan:
1. Proses perkembangan siswa
2. Cara belajar siswa
3. Cara menghubungkan mengajar dengan belajar
METODE PSIKOLOGI
1.
2.
3.
4.
5.
Metode eksperimen
Metode kuesioner
Metode studi kasus
Metode penyelidikan klinis
Metode observasi naturalistik
BAB III
PROSES PERKEMBANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PROSES BELAJAR
A. DEFINISI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
1. DEFINISI PERKEMBANGAN
Perkembangan merupakan rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia menuju ke
arah yang lebih maju dan sempurna. Atau proses perubahan kualitatif yang mengacu kepada
mutu fungsi organ-organ jasmaniah. Dengan kata lain, penekanan arti perkembangan itu
terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik.
2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
a. Aliran Nativisme
Nativisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran
pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860)
seorang filsup Jerman. Pokok pikiran aliran ini bahwa perkembangan manusia ditentukan
oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan, pandangan seperti ini disebut
pesimisme pedagogis.
b. Aliran Empirisme
Tokoh utama bernama John Locke (1632-1704). Doktrin aliran empirisme yang
amat termasyur adalah tabula rasa, sebuah istilah bahasa Latin yang berarti batu tulis
kosong atau lembaran kosong. Doktrin tabula rasa ini menekankan arti penting pengalaman,
lingkungan dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung
pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak
lahir dianggap tidak ada pengaruhnya.
c. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi merupakan gabungan antara aliran empirisme dengan aliran
nativisme. Aliran ini mengggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan
lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia.
B. PROSES, TUGAS, DAN HUKUM PERKEMBANGAN
1. PROSES PERKEMBANGAN
Secara global, seluruh proses perkembangan individu sampai menjadi person
(hati nurani).
b. Tugas Perkembangan Fase Anak-Anak
Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain, seperti lompat jauh,
lompat tinggi, mengejar, menghindari kejaran, dan seterusnya.
Membina sikap yang sehat (positif) terhadap dirinya sendiri sebagai seorang
indivitu yang sedang berkembang, seperti kesadaran tentang harga diri dan
kemampuan diri.
Belajar begaul dengan teman-teman sebaya sesuai dengan etika moral yang
berlaku di masyarakatnya.
Belajar memainkan peran sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan sebagai
masyarakat.
Mencapai peranan sosial sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan peranan
sosial seorang wanita (jika ia seorang wanita) dan menggunakannya secara
dewasa lainnya dan mulai menjadi seorang person (menjadi dirinya sendiri).
Mempersiapkan diri untuk mencapao karier (jabatan dan profesi) tertentu dalam
dan
mengembangkan
kewarganegaraannya.
d. Tugas Perkembangan Dewasa
ideologi
untuk
keperluan
kehidupan
akademik.
Memilih teman atau pasangan hidup berumah tangga (memilih calon suami atau
isteri).
Mulai memasuki kehidupan berumah tangga, yakni menjadi seorang suami atau
isteri.
Belajar hidup bersama pasangan dalam suasana rumah tangga, yakni dengan
isteri/suaminya.
Mengelola tempat tinggal untuk keperluan rumah tagga dan keluarganya.
Membesarkan anak-anak dengan menyediakan pangan, sandang, dan papan
yang cukup dan memberikan pendidikan (dalam arti luas) yang memadai.
Menerima tanggung jawab kewarganegaraan sesuai dengan perundang-
bertanggung jawab.
Mengembangkan aktivitas dan memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya
(penghasilan).
Menyesuaikan diri dengan kematian pasangannya (isteri atau suaminya).
Membina hubungan tegas (afiliasi eksplisit) dengan para anggota kelompok
seusianya.
dengan kebutuhannya.
Menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap peranan-peranan sosial dengan cara yang
luwes.
3. HUKUM PERKEMBANGAN
a. Hukum konvergensi
Perkembangan manusia pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
pembawaan sejak lahir, tetapi juga oleh lingkungan pendidikan. Hal ini berarti masa depan
kehidupan manusia, tak terkecuali para siswa, bergantung pada potensi pembawaan yang
mereka warisi dari orangtua pada proses pematangan, dan pada proses pendidikan yang
mereka alami.
b. Hukum perkembangan dan pengembangan diri
Para siswa, seperti juga manusia dan organisme lainnya, memiliki dorongan dan
hasrat mempertahankan diri dari hal-hal yang negatif. Usaha mempertahankan diri ini,
berlanjut menjadi usaha untuk mengembangkan diri.
Pada anak-anak biasanya tampak keingintahuannya terhadap sesuatu itu berkalikali. Alhasil, manusia berkembang karena adanya insting atau naluri pembawaan sejak lahir
yang menuntutnya untuk bertahan dan mengembangkan diri di muka bumi.
c. Hukum masa peka
Peka berarti mudah terangsang atau mudah menerima stimulus. Masa peka
merupakan masa yang tepat yang terdapat pada diri anak untuk mengembangkan fungsifungsi tertentu, seperti fungsi mulut untuk berbicara dan membaca.
Masa mudah dirangsang ini sangat menentukan cepat dan lambatnya siswa
dalam menerima pelajaran. Artinya, jika seorang siswa belum sampai pada masa pekanya
untuk mempelajari suatu materi pelajaran, materi pelajaran tersebut akan sangat sulit diserap
dan diolah oleh sistem memorinya. Oleh karena itu, para orangtua dan guru seyogianya
memperhatikan secara cermat perkembangan anak-anak didik dalam hubungannya dengan
kedatangan masa peka belajar mereka.
perkembangan
fungsi-fungsi
rohaniah.
Dengan
demikian,
suatu
tahapan
menjadi egois, selalu bersikap dan bertingkah laku mendahulukan kepentingan diri sendiri.
Trotz periode ke-2 atau krisis kedua terjadi pada umur antara 14-17 tahun, dengan ciri
utama sering membantah orangtuanya sendiri dalam mencapai identitas pribadi. (14-17
bukan harga mati).
h. Hukum rekapitulasi
Hukum rekapitulasi perkembangan yang tampak pada anak, yaitu:
Masa berburu dan menyamun, yakni pada umur sekitar 8 tahun ketika ia suka
bermain kejar-kejaran, perang-perangan, dan menangkap hewan-hewan kecil
Masa bercocok tanam, yakni pada umur sekitar 12 tahun ketika ia suka
Ciri Khas
(pra- 1. Memusatkan
pada
akibat-akibat
perbuatan.
2. Aturan-aturan tak berubah.
3. Hukuman atas pelanggaran bersifat
otomatis.
7-10 tahun
Masa transisi (konkret- 1. Perubahan secara bertahap ke
operasional)
pemilikan moral tahap kedua.
11 tahun ke atas Otonomi
moral, 1. Mempertimbangan
tujuan-tujuan
realisme, dan resiprositas
perilaku moral.
2. Menyadari bahwa aturan moral adalah
(formal-operasional)
kesepakatan tradisi yang dapat
berubah.
Tabel Teori Enam Tahap Perkembangan Pertimbangan Moral Versi Kohlberg
Tingkat
Tingkat I
Tingkat II
Tahap
Realisme moral
operasional)
Tahap
konsep
Moralitas prakonvensional 1.Anak
menentukan
keburukan
perilaku
(usia 4-10 tahun).
berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan
Tahap 1: memperhatikan
tersebut.
2.Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran
ketaatan dan hukum.
dari hukuman.
1.
Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan
Tahap 2: memperhatikan
keinginan
dan
kebutuhan
tanpa
pemuasan kebutuhan.
mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Moralitas prakonvensional 1. Anak dan remaja berperilaku sesuai dengan
(usia 10-13 tahun).
aturan dan patokan moral agar memperoleh
Tahap 3: memperhatikan
citra anak baik.
2.
Tingkat III
Tahap 4: memperhatikan 1.
hukum dan peraturan.
2.
Motivasi
1.
pascakonvensional (usia
13 tahun ke atas).
Tahap 5: memperhatikan 2.
hak perseorangan.
3.
Tahap 6: memperhatikan
prinsip-prinsip etika
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel Teori Perkembangan Sosial dan Moral Siswa Menurut A. Bandura dan L.
Kohlberg
Aspek
A. Bandura (Teori Belajar
L. Kohlberg (Teori Psi. Kognitif)
Sosial)
Tekanan dasar Perilaku
bergantung
pada Pemikiran
sebagai
perilaku
pengaruh orang lain dan kondisi kualitatif dalam perkembangan.
stimulus.
Mekanisme
Hasil dari conditioning dan Berlangsung dalam tahap-tahap
perolehan
modeling.
yang teratur dan berkaitan dengan
moralitas
perkembangan kognitif.
Usia
Belajar berlangsung sepanjang Proses belajar berkesinambungan
perolehan
hayat, dan ada perbedaan usia sampai masa dewasa dan dapat
moralitas
perolehan.
ditetapkan dalam usia-usia tertentu.
Kenisbian
Moralitas bersifat nisbi secara Nilai-nilai moral dalam tahapan
kebudayaan
kultural.
perkembangan bersifat universal.
Pelaku
Model-model
yang
sangat Orang-orang yang berada pada
sosialisasi
berpengaruh, orang-orang dewasa tahap perkembangan yang lebih
dan teman-teman yang dapat tinggi dan memiliki pengaruh yang
menyalurkan
ganjaran
dan sangat besar.
hukuman.
6. Implikasi
untuk
pendidikan
BAB IV
BELAJAR
Definisi belajar dapat ditinjau dari sudut-sudut pandang kuantitatif, institusional, dan
kualitatif. Belajar pada asasnya ialah tahapan perubahan perilaku siswa yang relatif positif
dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Belajar memiliki arti penting bagi siswa dalam:
hubungan yang tak terpisahkan. Teori-teori pokok mengenai belajar terdiri atas:
a. koneksionisme,
b. pembiasaan klasik,
c. pembiasaan perilaku respons,
d. teori belajar kognitif
Teori kesatu, kedua, dan ketiga bersifat behavioristik (perilaku jasmaniah semata) sedangkan
teori keempat bersifat kognitif, yakni bahwa belajar adalah peristiwa mental bukan sematamata behavioral.
Mnurut aliran behaviorisme, setiap siswa lahir tanpa warisan/pembawaan apa-apa dari
orangtuanya, dan belajar adalah kegiatan refleks-refleks jasmani terhadap stimulus yang ada
serta tidak ada hubungannya dengan bakat dan kecerdasan atau warisan/pembawaan.
Sedangkan menurut aliran kognitif, setiap siswa lahir dengan bakat dan kemampuan mental
yang menjadi basis kegiatan belajar. Faktor bawaan ini memungkinkan siswa untuk
menentukan merespons atau tidak terhadap stimulus, sehingga belajar tidak bersifat otomatis
seperti robot.
Fase belajar menurut Bruner meliputi:
informasi (penerimaan materi)
transformasi (pengubahan materi dalam memori)
evaluasi (penilaian penguasaan materi)
Sedangkan menurut Wittig, fase belajar meliputi:
Acquistion (perolehan materi)
Storage (proses penyimpanan)
Retrieval (memproduksi/mengungkapkan kembali materi dari memori)
BAB V
CIRI, PERWUJUDAN, JENIS, PENDEKATAN DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI BELAJAR
A. CIRI KHAS PERILAKU BELAJAR
1. Intensional (disengaja)
2. Positif dan aktif (bermanfaat dan atas hasil usaha sendiri)
3. Efektif dan fungsional (berpengaruh dan mendorong timbulnya perubahan batu)
B. PERWUJUDAN PERILAKU BELAJAR
1. Kebiasaan: timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan
menggunakan stimulus yang berulang-ulang. Kebiasaan ini terjadi karena prosedur
pembiasaan seperti classical dan operant conditioning.
2. Keterampilan: kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot yang
lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan
sebagainya.
3. Pengamatan: proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk
melalui indera-indera seperti mata dan telinga.
4. Berpikir asosiatif dan daya ingat: proses pembentukan hubungan antara rangsangan
dengan respons. Di samping itu, daya ingat pun merupakan perwujudan belajar, sebab
merupakan unsur pokok dalam berpikir asosiatif. Jadi, siswa yang telah mengalami
proses
belajar
akan
ditandai
dengan
bertambahnya
simpanankemampuan
menghubungkan materi tersebut dengan situasi atau stimulus yang sedang ia hadapi.
5. Berpikir rasional dan kritis: perwujudan perilaku belajar terutama yang bertalian
dengan pemecahan masalah.
6. Sikap: perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya
kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas)
terhadap suatu objek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.
7. Inhibisi: kesanggupan siswa untuk mengurangi dan menghentikan tindakan yang tidak
perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yang lebih baik ketika ia
berinteraksi dengan lingkungannya.
8. Apresiasi: penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda baik abstrak maupun
konkret yang memiliki nilai luhur. Tingkat apresiasi seorang siswa terhadap nilai
sebuah karya sangat bergantung pada tingkat pengalaman belajarnya.
9. Tingkah laku afektif: tingkah laku yang menyangkut keaneka-ragaman perasaan
seperti: takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya.
C. JENIS-JENIS BELAJAR
1. Belajar abstrak: belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya
adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak
nyata.
2. Belajar keterampilan: belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni
yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot. Tujuannya untuk memperoleh
dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu.
3. Belajar sosial: belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk
memecahkan masalah tersebut. Tujuannya untuk menguasai pemahaman dan
kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial.
4. Belajar pemecahan masalah: belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir
secara sistematis, logis, teratur dan teliti. Tujuannya untuk memperoleh kemampuan
dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas.
5. Belajar rasional: belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan
rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya untuk memperoleh aneka ragam
kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.
6. Belajar kebiasaan: proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan
kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya agar
siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih
tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu.
7. Belajar apresiasi: belajar mempertimbangkan arti penting atau nilai suatu objek.
Tujuannya agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa yang
dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu.
8. Belajar pengetahuan: belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap
objek pengetahuan tertentu. Atau sebuah program belajar terencana untuk menguasai
materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber,
1988).
D. EFISIENSI, PENDEKATAN, DAN METODE BELAJAR