Anda di halaman 1dari 10

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim dan Implikasinya bagi Indonesia

Meuthia A Naim1
Disampaikan pada Diklat Pengendalian Pencemaran Udara
7 Juli 2008
Indonesia telah berhasil menyelenggarakan perhelatan besar awal bulan
Desember tahun lalu. Konferensi Para Pihak (COP2) dari Konvensi PBB mengenai
Perubahan Iklim (UNFCCC3) telah digelar di Bali, pada tanggal 3 hingga 14
Desember 2007 yang lalu, yang merupakan COP ke-13 sekaligus merupakan
Pertemuan Para Pihak (CMP4) ke-3 dari Protokol Kyoto. Mungkin banyak kalangan
mempertanyakan, mengapa di tengah kemelut ekonomi dan kondisi negara yang carut
marut seperti sekarang ini Indonesia memberanikan diri untuk menjadi tuan rumah
bagi pertemuan besar yang dihadiri oleh sekitar 190 negara, yang tentu saja memakan
dana yang tidak sedikit. Banyak orang boleh jadi menilai pemerintah tidak memiliki
sense of crisis, kalau kita hanya terfokus pada jumlah dana yang diserap untuk
penyelenggaraan pertemuan para Pihak tersebut. Namun, kita tentu saja akan
mendukung pemerintah, jika pemahaman mengenai ancaman pemanasan global dan
perubahan iklim terhadap kehidupan manusia di bumi, khususnya di Indonesia, telah
dimiliki.
Pemanasan global dan perubahan iklim
Berdasarkan laporan IPCC5 ke-4 tahun 2007, pemanasan sistem iklim
dipastikan telah terjadi yang dibuktikan melalui pengamatan-pengamatan terhadap
meningkatnya suhu udara dan suhu laut rata-rata global, meluasnya pelelehan salju
dan es, serta meningkatnya ketinggian permukaan laut rata-rata global. Meningkatnya
suhu bumi ini telah terjadi sejak 157 tahun yang lalu, di mana pemanasan pada abadabad terakhir terjadi dalam dua tahap, yaitu dari tahun 1910-an hingga 1940-an
dengan kenaikan suhu sebesar 0.350C, dan pemanasan yang lebih kuat mulai dari
tahun 1970-an hingga akhir tahun 2006 dengan kenaikan suhu sebesar 0.550C.
Pemanasan sebesar itu telah menimbulkan perubahan pada iklim bumi yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah presipitasi (baik berupa hujan maupun salju), perubahan
pola angin serta aspek-aspek cuaca ekstrim seperti kemarau, presipitasi berat,
gelombang panas dan intensitas topan tropis.
Penyebab terjadinya pemanasan global yang memicu berubahnya iklim bumi
juga dikaji oleh IPCC yang menyatakan bahwa kegiatan manusia merupakan
kontribusi terbesar terjadinya pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil dan
alih guna lahan merupakan kegiatan yang mengemisikan gas rumah kaca terbesar ke
atmosfer, diikuti oleh kegiatan-kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan
persampahan. Gas-gas rumah kaca (GRK) terpenting yang menimbulkan pemanasan
1

Penulis adalah Widyaiswara pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup.


COP= Conference of the Parties
3
UNFCCC = United Nation Framework Convention on Climate Change
4
CMP = Meeting of the Parties
5
IPCC= Intergovernmental Panel on Climate Change (suatu badan antar-pemerintah yang bertugas
menilai informasi-informasi ilmiah, teknis serta informasi sosio-ekonomi terkait dengan pemahaman
terhadap dasar-dasar ilmiah resiko perubahan iklim, dampak potensialnya serta opsi-opsi untuk
adaptasi dan mitigasi).
2

global tersebut adalah karbon dioksida, metan, nitrous oksida, termasuk sulfur
heksafluorida, hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon. Gas-gas ini menimbulkan
efek rumah kaca pada bumi, yang meningkatkan suhu bumi dan menimbulkan
perubahan iklim.
Jenis-jenis GRK berdasarkan UNFCCC dan sumber-sumbernya:
Gas Rumah Kaca
Karbondioksida (CO2)
Metan (CH4)
Nitrous oksida (N2O)
Hidrofluorokarbon
(HFCs)
Perfluorokarbon (PFCs)
Sulfur heksafluorida
(SF6)
Sumber: KLH (2004).

Sumber
Pembakaran bahan bakar fosil, transportasi, deforestasi,
pertanian
Pertanian, perubahan tata guna lahan, pembakaran
biomassa, tempat pembuangan akhir sampah
Pembakaran bahan bakar fosil, industri, pertanian
Industri manufaktur, industri pendingin (freon),
penggunaan aerosol
Industri manufaktur, industri pendingin (freon),
penggunaan aerosol
Transmisi listrik, manufaktur, industri pendingin (freon),
penggunaan aerosol

Seberapa besar kontribusi Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca?


Sebuah studi mengenai kontribusi negara berkembang terhadap emisi karbon
dioksida dunia menunjukkan bahwa emisi dari negara-negara tersebut meningkat
selama tahun 1971 hingga 1995, yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dan
populasi serta peningkatan intensitas energi dan karbon (Ravindranath and Sathaye,
2002). Pemicu utama peningkatan ini adalah pertumbuhan pendapatan per kapita,
yang diikuti dengan pertambahan penduduk. Studi tersebut menunjukkan bahwa
khususnya untuk Indonesia, intensitas energi merupakan pemicu penting kedua
terhadap peningkatan emisi. Peningkatan emisi karbon dioksida di Indonesia lebih
dari delapan kali selama periode ini. Walaupun terjadi pada kecepatan yang lebih
rendah, emisi karbon di Indonesia akan meningkat di kemudian hari dengan
pertumbuhan pendapatan per kapita sebagai pemicu utamanya. Berdasarkan
International Energy Agency, Indonesia berkontribusi sebesar 1.3% dari emisi
karbondioksida (CO2) total dunia.
Dampak perubahan iklim pada manusia
Perkiraan-perkiraan dampak perubahan iklim yang akan terjadi di abad ke-21
adalah (AGO, 2005):
 Gelombang panas akan lebih sering terjadi yang menimbulkan kematian pada
manusia dan ternak serta kerusakan pada pertanian. Resiko kebakaran semak
akan meningkat di beberapa daerah.
 Hari-hari dingin dan beku akan berkurang yang akan mengurangi kematian pada
manusia dan ternak, serta mengurangi kerusakan akibat dingin, namun akan
memperluas sebaran hama dan penyakit. Hasil beberapa jenis tanaman buah
seperti aprikot di beberapa daerah akan berkurang karena berkurangnya
pendinginan.
 Curah hujan akan semakin besar dan menyebar (termasuk dari badai tropis) yang
akan meningkatkan kejadian banjir dan kerugian seperti kematian, kerugian
2





materil dan produktifitas. Banjir juga akan mempengaruhi erosi tanah serta
pencemaran sungai dan laut.
Musim kering akan lebih sering terjadi dan lebih berat yang akan meningkatkan
kerugian pada tanaman pertanian, peternakan, perikanan dan kehidupan satwa liar,
serta menurunkan aliran sungai dan kualitas air.
Perubahan pada pola curah hujan dan berkurangnya kelembaban tanah di beberapa
tempat yang dapat mengurangi pasokan air untuk pertanian, penggunaan rumah
tangga dan industri, pembangkit energi dan keanekaragaman hayati.
Pengaruh perubahan iklim pada pertumbuhan tanaman bergantung pada interaksi
antara karbon dioksida, suhu, nutrien dan curah hujan. Konsentrasi karbon
dioksida yang tinggi meningkatkan produktifitan tanaman tetapi suhu yang lebih
tinggi serta curah hujan yang berkurang, yang dapat terjadi di daerah garis lintang
tengah, dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.
Perkiraan terhadap pemanasan global akan berkontribusi terhadap kerusakan pada
batu karang di seluruh dunia karena pemanasan laut yang menyebabkan
pemutihan karang (coral bleaching), badai tropis yang lebih kuat, kenaikan muka
air laut dan tingkat konsentrasi karbon dioksida yang lebih tinggi yang dapat
mengurangi laju pertumbuhan batu karang.
Berkurangnya salju dan lebih singkatnya musim dingin akan mengancam
ekosistem pegunungan es.

Dampak perubahan iklim bagi Indonesia


Perubahan-perubahan pada pola iklim dengan sangat jelas kita alami sejak
beberapa tahun terakhir. Bagi kita di Indonesia, pemanasan global merupakan suatu
kenyataan. Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan garis pantai terpanjang kedua
di dunia, tentu saja sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya saja,
meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia tentu saja menjadi ancaman serius
bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir.
Daerah-daerah pantai serta pulau-pulau kecil di Nusantara yang jumlahnya mencapai
ribuan tentu saja terancam tenggelam dan hilang. Kenaikan muka air laut ini telah
dipantau oleh Bakosurtanal sejak tahun 1984 dengan menempatkan stasiun
pengamatan di beberapa daerah. Dari pengamatan tahun 1984 hingga 2002, daerah
pantai Tanjung Priuk, Semarang dan Jepara menunjukkan kenaikan muka air laut ratarata sebesar 8 mm per tahun (Sutisna dan Manurung, 2002). Menurut Departemen
Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja (2005-2007) Indonesia telah
kehilangan 24 pulau kecil. Pulau-pulau tersebut antara lain tiga pulau di Nanggroe
Aceh Darussalam, tiga di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua
di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu
(KLH, 2007).
Selain dampak terhadap permukaan air laut, perubahan iklim juga
mempengaruhi vektor penyakit menular, misalnya yang berasal dari nyamuk.
Meningkatnya suhu udara akan memicu pertambahan populasi vektor pembawa
penyakit. Selain itu, meningkatnya curah hujan serta air sisa banjir juga memicu
meningkatnya perkembang biakan sebagian besar spesies nyamuk, sehingga jika kita
lihat korelasinya dengan kenyataan yang terjadi pada waktu-waktu terakhir ini di
Indonesia (19982002), kasus demam berdarah, misalnya, menunjukkan peningkatan
yang luar biasa setelah terjadinya hujan dengan intensitas tinggi serta banjir (Sukowati
dan Sitorus, 2004).

Sepanjang tahun 2007 yang lalu hingga awal tahun 2008 ini saja, bencana
banjir, kekeringan, angin topan, dan tingginya gelombang laut silih berganti menimpa
sebagian besar daerah di Indonesia, yang kesemuanya ditengarai sebagai akibat
berubahnya iklim. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bappenas, selama periode
2003 -2005 telah terjadi 1429 kejadian bencana, di mana banjir adalah bencana yang
paling sering terjadi diikuti oleh tanah longsor (KLH, 2007).
Terkait dengan ketersediaan pangan, berdasarkan hasil pemantauan
kekeringan pada tanaman padi selama periode tahun 1993-2002 yang dilakukan oleh
Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena
kekeringan mencapai lebih dari 200 ribu ha dengan lahan puso (gagal panen)
mencapai sekitar 43 ribu ha atau setara dengan kehilangan 190 ribu ton gabah kering
giling (GKG). Sementara itu, areal persawahan yang terlanda banjir mencapai luas
158 ribu ha dengan puso sekitar 39 ribu ha (yang setara dengan 174 ribu ton GKG).
Sedangkan pada periode Januari Juli 2007, tercatat sejumlah 268 ribu ha lahan
pertanian mengalami kekeringan, di mana 17 ribu ha di antaranya mengalami puso,
yang berimplikasi pada penurunan produksi pada hingga 91 ribu ton GKG (ibid).
Kenaikan muka air laut
Estuaria, belukar perairan laut, pantai, serta daerah rendah pada daerah pantai
merupakan daerah-daerah yang rentan dengan adanya kenaikan muka air laut. Intrusi
air laut akan mempengaruhi sungai-sungai serta daerah perairan pantai lainnya.
Kenaikan muka air laut juga mengancam kehidupan masyarakat nelayan yang dapat
ditemukan pada hampir setiap pulau di Indnesia. Tidak hanya itu, lima dari enam
kota di Indonesia yang berpenduduk setidaknya satu juta orang berada di daerah
pantai, di mana kegiatan sosio-ekonomi, infrastruktur, serta institusi terkonsentrasi di
sepanjang garis pantai. Beberapa dampak yang terjadi akibat naiknya muka air laut
adalah sebagai berikut (ADB, 1994):

Relokasi penduduk di daerah pantai


Perkiraan mengenai penduduk mana yang harus direlokasi terlebih dahulu sulit
untuk dilakukan mengingat tidak terdapatnya peta kontur serta informasi spesifik
mengenai erosi dan deposisi garis pantai. Namun, berdasarkan parameter
demografik, topografi tanah serta asumsi mengenai jumlah penduduk Indonesia
akan stabil antara tahun 2030 dan 2045, sekitar 3.3 juta penduduk harus direlokasi
akibat adanya banjir di daerah dataran rendah pada tahun 2070.

Hilangnya lahan
Studi terhadap dampak kenaikan muka air laut setinggi 60 cm telah dilakukan oleh
KLH bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1992.
Daerah yang dikaji adalah Subang, Kerawang dan Bekasi. Pada ketiga daerah
tersebut, hilangnya lahan akibat kenaikan air laut setinggi 60 cm adalah sekitar
124,584 hektar, yang mengakibatkan gagal panen sebesar 150,000 ton serta
pengurangan tangkapan udang, ikan serta hasil pertanian lainnya sebesar 54,000
ton.

Infrastruktur
Mengingat kegiatan sosio-ekonomi dan institusi terkonsentrasi di kota-kota, maka
daerah perkotaan merupakan daerah utama yang rentan terhadap perubahan iklim
dalam hal infrastruktur dan komunikasi. Di Indonesia, lima dari enam kota besar
dengan jumlah penduduk melebihi satu juta jiwa berada di garis pantai. Kenaikan
muka air laut merupakan salah satu dampak yang dapat mempengaruhi
infrastruktur yang berada di sekitar daerah pantai.

Dampak kenaikan suhu pada daerah pantai


Meningkatnya suhu air laut sebesar 0.2 hingga 2.5 0C akan mempengaruhi
pertumbuhan dan kecepatan reproduksi organisme yang hidup di daerah laut tropis.
Telah ditemukan pada daerah pantai Jakarta banyak batu karang yang mati akibat
bleaching. Batu karang memegang peranan penting dalam daur hidup spesies laut.
Perubahan yang terjadi pada habitat laut akan berdampak kepada nelayan-nelayan di
Indonesia. Peningkatan suhu muka air laut di antaranya akan mempengaruhi sirkulasi
air, memutuskan rantai makanan, yang pada akhirnya akan mengurangi produktifitas
sumber daya laut. Dari beberapa studi yang telah dilakukan dilaporkan bahwa bisnis
pariwisata di Indonesia juga dapat terpengaruh dengan terjadinya pemanasan global.
Dampak pada pertanian
Studi dampak perubahan iklim terhadap pertanian telah dilakukan oleh KLH
dan IPB pada tahun 1991 dan menunjukkan hasil-hasil sebagai berikut. Produksi
pertanian untuk tanaman pangan dan non-pangan cenderung berkurang dengan adanya
banjir, erosi serta berkurangnya lahan yang subur, serta peningkatan evapotraspirasi
selama musim kemarau. Perubahan pada pola presipitasi akan mengganggu sistem
pertanian baik pada sawah tadah hujan maupun irigasi, yang disebabkan karena
perubahan pada kelembaban tanah akibat perubahan suhu dan erosi. Peningkatan
presipitasi akan meningkatkan erosi tanah; peningkatan curah hujan akan
meningkatkan hilangnya tanah, menurunkan kesuburan tanah serta produktifitas
lahan.
Kesehatan manusia
Beberapa dampak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia yang
dilaporkan adalah kanker kulit, perubahan respon kekebalan tubuh, katarak dan lainlain. Dampak tidak langsungnya sebagai akibat dari kegiatan pertanian adalah
perkembang- biakan nyamuk serta siput yang dapat menyebarkan penyakit.
Perubahan pada jangka waktu atau intensitas musim kemarau dan hujan akan
mengakibatkan banjir serta kemarau berkepanjangan. Kondisi tersebut dapat
meningkatkan berbagai wabah penyakti seperti diare yang bergantung kepada suplai
air bersih serta sanitasi yang memenuhi syarat. Selain itu perubahan iklim juga
mempengaruhi pola transmisi vektor nyamuk seperti malaria dan demam berdarah.
Dengan berubahnya suhu akan mempengaruhi masa inkubasi suatu penyakit.
Upaya antisipasi perubahan iklim
Penanganan dampak pada iklim dikategorikan ke dalam dua bentuk pendekatan
yaitu kegiatan mitigasi dan adaptasi. Kegiatan mitigasi yaitu kegiatan yang bertujuan
untuk memperlambat terjadinya perubahan iklim lebih lanjut, yaitu dengan cara
mengurangi emisi GRK ke atmosfer atau kegiatan yang menyerap GRK. Kegiatan
adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
perubahan iklim yang telah terjadi.
Pemanasan global dan perubahan iklim bukanlah isu lingkungan lokal, namun
bersifat global karena penyebab terjadinya serta dampaknya dirasakan oleh seluruh
penduduk bumi di berbagai belahan. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka

masyarakat internasional melalui Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan


Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development
UNCED) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro bersepakat untuk
melakukan tindakan antisipatif terhadap perubahan iklim melalui Konvensi Kerangka
Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on
Climate Change UNFCCC).
Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan
konsentrasi GRK di atmosfer sampai pada tingkatan tertentu sehingga tidak
membahayakan sistem iklim bumi. Tingkat tersebut harus dicapai dalam kurun waktu
tertentu dan memungkinkan ekosistem untuk dapat beradaptasi secara alamiah
terhadap perubahan iklim, serta dapat menjamin ketersediaan pangan dan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia meratifikasi Konvensi ini
melalui UU No.6 tahun 1994.
Untuk mencapai tujuan Konvensi, sebuah protokol telah diadopsi pada
pelaksanaan COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan
nama Protokol Kyoto. Aspek terpenting dari Protokol Kyoto ini adalah komitmen
yang berkekuatan hukum dari 39 negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah
kacanya secara global hingga rata-rata sekitar 5.2% di bawah tingkat emisi tahun
1990. Pengurangan emisi ini harus dicapai pada rentang waktu 2008-2012, yang
disebut sebagai Periode Komitmen Pertama. Negara-negara maju yang dikenai target
pengurangan emisi disebut sebagai negara-negara Annex 1, dan negara-negara tanpa
target disebut negara Non-Annex 1. Indonesia yang termasuk ke dalam negara NonAnnex 1 meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No.17 tahun 2004.
Protokol Kyoto menyediakan mekanisme pencapaian target pengurangan emisi
GRK negara maju melalui tiga mekanisme fleksibel. Mekanisme tersebut adalah
Emissions Trading - ET (perdagangan emisi antar negara maju); Joint Implementation
- JI (pelaksanaan penurunan emisi secara bersama-sama antar negara maju); dan
Clean Development Mechanism - CDM (kerjasama antara negara maju dan
berkembang).
Selain tujuan untuk mengurangi emisi GRK, salah satu tujuan Konvensi yang
juga perlu mendapat perhatian, terutama dari negara-negara yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim seperti Indonesia, adalah mengenai kegiatan adaptasi
terhadap perubahan iklim. Adaptasi perlu dilakukan terhadap perubahan-perubahan
yang mungkin terjadi pada sistem pertanian, peningkatan muka air laut, serta
peningkatan terjadinya bencana.
Mitigasi perubahan iklim
Upaya-upaya untuk menurunkan emisi GRK ke atmosfer, atau mitigasi
perubahan iklim, dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan di berbagai sektor, di
antaranya adalah:
Sektor
Kegiatan
Pertanian
 Pengelolaan air: proses penggenangan berkala;
 Pengelolaan tanah: penggunaan pupuk urea tablet pengganti urea
tabur;
 Pemilihan praktek pertanian: pemakaian varietas padi jenis unggul;
 Diversifikasi pangan: konsumsi karbohidrat selain beras, seperti
kentang, sagu dan jagung.
Peternakan
 Penggunaan pakan ternak berkualitas baik;
 Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pembangkit listrik
tenaga biogas.

Transportasi

Energi

Kehutanan

Pengelolaan
sampah

 Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di bawah kapasitas


angkutnya;
 Penggunaan transportasi massal;
 Penggunaan sistem transportasi non-motor untuk jarak pendek.
Pemanfaatan energi terbarukan:
 Panas bumi;
 Mikrohidro;
 Surya;
 Angin;
 Biomassa.
Pengelolaan hutan:
 Reboisasi;
 Penanaman kawasan penyangga;
 Penghijauan kembali
 Mengurangi jumlah sampah (dari rumah tangga);
 Pemilahan sampah untuk tujuan daur ulang;
 Pemanfaatan gas metana dari sampah sebagai sumber energi

Jika dikaitkan dengan kegiatan berskala internasional sesuai dengan UNFCCC


dan Protokol Kyoto, maka kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat dilaksanakan di
bawah mekanisme seperti CDM. Sebagai salah satu instrumen dalam mitigasi
perubahan iklim, CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan satusatunya mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang melibatkan negara berkembang.
Indonesia termasuk sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat aktif dalam
pengembangan proyek CDM. CDM memiliki dua tujuan utama, yaitu:
 Membantu negara berkembang yang menjadi tuan rumah proyek CDM untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan;
 Membantu negara maju untuk mencapai target pengurangan emisinya (yang
tidak mungkin dipenuhi di dalam negerinya) dengan cara mengambil kredit
dari pengurangan emisi yang dihasilkan dari proyek-proyek yang dilakukan di
negara berkembang.
CDM berusaha untuk memadukan perbedaan kepentingan antara negara-negara
maju dan berkembang, namun tetap mempertimbangkan usaha perlindungan iklim
global. Negara maju memiliki potensi untuk mendapatkan CER dengan biaya yang
relatif rendah dibandingkan jika kegiatan pengurangan dilakukan di dalam negeri
mereka, sedangkan negara berkembang mendapatkan keuntungan finansial dari hasil
penjualan CER, teknologi ramah lingkungan, dan ilmu pengetahuan baru.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan sebagai proyek CDM adalah:
Proyek Pengurangan Emisi
 Industri pembangkitan energi (dari sumbersumber terbarukan dan tidak terbarukan);
 Distribusi energi;
 Kebutuhan energi;
 Industri manufaktur;
 Industri kimia;
 Konstruksi;

Proyek Penyerapan Karbon


 Aforestasi dan reforestasi;






Transportasi;
Pertambangan/produksi mineral;
Produksi logam;
Emisi fugitif dari bahan bakar (padat, minyak
dan gas);
 Emisi fugitif dari produksi dan konsumsi
halokarbon dan sulfur heksafluorida;
 Penggunaan pelarut;
 Penanganan dan pembuangan limbah;
 Pertanian (pengurangan emisi CH4 dan N2O).
Sumber: UNFCCC.

Adaptasi perubahan iklim


Adaptasi terhadap perubahan iklim berarti meminimalkan kerusakan-kerusakan
yang diproyeksikan dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan fisik pada iklim. Adaptasi dapat dilakukan melalui perbaikan
sistem pada sumber-sumber yang terkena dampak atau melalui penggunaan teknologi
yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dan/atau resiko yang mungkin terjadi,
sehingga akan mengurangi biaya yang diperlukan dibandingkan dengan apabila tidak
dilakukan kegiatan adaptasi. Pada umumnya pilihan-pilihan yang banyak dilakukan
adalah adaptasi melalui penggunaan teknologi. Walaupun demikian, usaha adaptasi
dapat pula dilakukan secara individu atau masyarakat dengan cara yang mudah,
murah dan sederhana.
Adaptasi merupakan hal yang penting dalam perubahan iklim. Adaptasi
merupakan satu-satunya cara untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang tak
terelakkan. Adaptasi juga memberikan peluang untuk menyesuaikan kegiatan
ekonomi pada sektor-sektor yang rentan sehingga mendukung pembangunan
berkelanjutan. Hingga saat ini kegiatan adaptasi difokuskan pada area-area yang
dianggap rentan terhadap perubahan iklim yaitu daerah pantai, sumber-sumber air,
pertanian, kesehatan manusia dan infrastruktur.

Area

Daerah
pantai

Pertanian

Dampak
Perubahan
Iklim
Peningkatan
muka air laut

 Gangguan
pada sistem
pertanian

Kegiatan adaptasi

 Pembangunan tanggul-tanggul di daerah pantai;


 Penetapan daerah sempadan pantai;
 Perlindungan terhadap pelabuhan, bangunan atau
infrastruktur lainnya yang rentan terhadap
kenaikan air laut;
 Konservasi air a.l. melalui kampanye publik untuk
mencegah kontaminasi oleh air laut;
 Penerapan teknologi untuk memperoleh air bersih
dari air yang telah tercemar;
 Perubahan pola penangkapan ikan oleh nelayan.
 Konservasi tanah;
 Konservasi air;
 Aforestasi melalui agroforestry dengan tanaman
8

 Erosi pada
daerah
dataran
tinggi
Kesehatan Peningkatan
manusia
kasus-kasus
akibat:
 Malaria
 Demam
berdarah
 Diare













pengikat nitrogen;
Penyesuaian waktu tanam yang dilakukan oleh
petani;
Penanaman jenis tanaman yang lebih tahan
terhadap perubahan iklim.
Pemusnahan tempat-tempat perkembang- biakan
nyamuk;
Pencegahan deforestasi melalui pencegahan
transmigrasi spontan dan penebangan liar;
Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap
lokasi-lokasi perkembang-biakan nyamuk;
Peningkatan akses terhadap air bersih;
Peningkatan imunisasi;
Kampanye ASI;
Peningkatan kebersihan diri dan sanitasi
perorangan;
Peningkatan sistem drainase;
Peningkatan pengelolaan banjir.

Beberapa kegiatan berskala nasional yang dapat dilakukan yang berkaitan dengan
adaptasi perubahan iklim adalah antara lain:
 Pengumpulan dan penyebarluasan informasi mengenai dampak, kerentanan serta
adaptasi, termasuk metodologi, teknologi dan kegiatan-kegiatan yang dilaporkan
di dalam komunikasi nasional;
 Mendukung peningkatan kapasitas dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat;
 Pengembangan mekanisme untuk peningkatan kesadaran masyarakat melalui
pembentukan Pusat Informasi, sistem informasi dan pelaksanaan seminar dan
lokakarya terkait;
 Tukar-menukar informasi dan pengalaman serta pandangan-pandangan di antara
Negara Pihak mengenai peluang-peluang serta solusi dalam pelaksanaan
Konvensi yang terkait dengan adaptasi;
 Bekerjasama dengan PBB serta organisasi internasional lainnya dalam isu-isu
adaptasi.
Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Dari hubungan-hubungan sebab-akibat serta implikasinya bagi Indonesia
seperti diuraikan di atas, wajar saja jika Indonesia sebagai salah satu negara yang
rentan terhadap dampak perubahan iklim mulai mengambil sikap tegas dalam
menanggapi isu ini. Keberanian pemerintah Indonesia sewaktu mencalonkan diri
menjadi tuan rumah pada COP-11 di Montreal dua tahun yang lalu perlu dilihat dari
sisi positifnya. Boleh jadi jika COP ke-13 tahun ini tidak diselenggarakan di
Indonesia, perhatian kita terhadap masalah perubahan iklim belum tentu akan sebesar
sekarang ini. Contohnya, Hari Lingkungan Nasional tahun ini mengambil tema
mengenai perubahan iklim, dan yang sungguh menggembirakan adalah ketika
Presiden RI sangat menanggapi isu perubahan iklim dengan meminta disusunnya
suatu rencana aksi nasional untuk masalah perubahan iklim. Rencana Aksi ini telah
disetujui oleh Presiden pada bulan November 2007 yang lalu. Berdasarkan amanat
Presiden, Rencana Aksi tersebut harus dijadikan sebagai panduan bagi instansi terkait,

baik di pusat maupun di daerah, dalam melaksanakan pembangunan, dengan


memasukkan Rencana Aksi tersebut dalam RPJPN 2005-2025 maupun RPJPM.

Referensi
ADB (1994) Climate Change in Asia: Indonesia Country Report on Socioeconomic
Impacts of Climate Change and National Response Strategy. ADB, Manila.
AGO - Australian Greenhouse Office (2005) Climate Change Science: Questions
Answered. AGO, Canberra, Australia.
IEA-International Energy Agency (2002) Beyond Kyoto: Energy Dynamics and
Climate Stabilisation. IEA, Paris.
IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change (2007) Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller
(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA

KLH (2004) Indonesian DNAs Approval Mechanism. (Brosur). KLH, Jakarta.


KLH (2007) Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. KLH,
Jakarta.
Ravindranath, N.H. and Sathaye, J.A. (2002) Climate Change and Developing
Countries. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.
Sutisna, S. dan Manurung, P. (2002) Pemantauan Perubahan Permukaan Air Laut
akibat Global Warming dan Dampaknya terhadap Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Sukowati, S. dan Sitorus, J. (2004) Hubungan Iklim dengan Penyakit Tular Vector
(Demam Berdarah Dengue/DBD dan Malaria).

10

Anda mungkin juga menyukai