Baru
Yuke Fadhillah
Kirana XII A
ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para
teknokrat ekonomi dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Menterimenteri tidak diizinkan membuat kebijakan-kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden).
Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai
kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok
fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang
memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik.
Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam
pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa
dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan
mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang
harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada
pemilihan umum 1971. Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong'
sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai
kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen.
Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi
masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.
PDI pada tahun 1993 menggantikan Suryadi. Namun, pemerintah tidak mengakui keputusan ini
dan memerintahkan dilaksanakannya pemilihan ulang. Megawati, yang semakin kritis terhadap
rejim Suharto, dilihat sebagai sebuah ancaman nyata karena status ayahnya. Oleh karena itu,
Pemerintah mendukung Suryadi di sebuah konggres lain tanpa mengundang partisipasi
Megawati. Ini menghasilkan pemilihan ulang Suryadi sebagai Ketua Umum namun Megawati
jelas menolak mengakui hasil dari konggres buatan ini. Hal ini kemudian menyebabkan
perpecahan di dalam PDI dan juga bentrokan-bentrokan kekerasan di markas umumnya di
Jakarta. Masyarakat pada umumnya merasa frustasi karena Suharto ikut campur dalam urusan
internal PDI, terutama karena hal ini melibatkan puteri Sukarno.
2.
Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
3.
WNI.
Untuk
menghindari
eksklusifisme
rasial
maka
pemerintah
memilih
untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoaitu dan melakukan berbagai usaha untuk
memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi ini terlihat dalam :
1.
2.
3.
4.
Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka
umum
5.
1.
2.
3.
Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina
4.
5.
6.
Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina
7.
8.
Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan
Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina
Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia
nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan grassroot yang begitu
keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi tidak setia pada Negara, namun
Pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi
pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Menjadi
Kontradiksi yang begitu jelas juga ketika kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia
memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai
negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia
Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut maka
MPR telah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973.
Pada dasarnya GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya. GBHN dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) yang berisi program-program konkret yang akan dilaksanakan dalam kurun
waktu lima tahun. Pelaksanaan Repelita telah dimulai sejak tahun 1969.
Selain itu dikumandangkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
sebagai akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diiringi oleh
pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pelita III pemerintah Orde Baru
menetapkan Delapan Jalur Pemerataan yaitu :
perumahan.
Kekurangan
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/orde-baru-suharto/item180
http://repository.upi.edu/249/4/S_SEJ_0807008_CHAPTER1.pdf
http://guildofnavigators.forumotion.net/t18-kelebihan-dan-kekurangan-sistem-pemerintahanorde-baru
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lamadan-orde-baru/
http://brainly.co.id/tugas/117840
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_stabiltas_d
ulu_sekarang
http://www.artikelsiana.com/2014/08/proses-lahirnya-orde-baru.html