Anda di halaman 1dari 11

Orde

Baru
Yuke Fadhillah
Kirana XII A

Sistem Pemerintahan Orde Baru


Istilah "Orde Baru" digunakan untuk memisahkan masa kempimpian Sistem
Pemerintahan Orde lama :Masa Pemerintahan Indonesia Orde lama berjalan sekitar 23 tahun
yaitu dari tahun 1945-1968 dibawah kepemimpinan sang proklamator Presiden Sukarno.
Penyebutan "Orde Lama" merupakan istilah yang diciptakan dibawah rezim Suharto yaitu masa
Orde Baru. Padahal Sukarno sendiri tidak suka dengan sebutan "Orde Lama". Karena memang,
tidak sepantasnya disebut Orde Lama. Karena di masa itu terjadi transformasi besar-besaran di
Indonesia dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan. Dan Sukarnopun lebih suka dengan
istilah "Orde Revolusi" daripada "Orde Lama".. Era ini digunakan untuk menandai keberhasilan
Suharto menumpas Pemberontakan PKI pada 1965 atau sering disebut G30S/PKI. Pada masa
ini, awalnya Demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tetapi
perkembangannya, kehidupan di era Orde Baru ini tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya.
Sistem Pemerintahan Presidensial lebih ditonjolkan. Atau bisa dikatakan kekuasaan diktator.
Kemudian Demokrasi Pancasila yang dicetuskan pada masa ini.

PERALIHAN KEKUASAAN: ORDE LAMA MENJADI ORDE BARU


Pada 11 Maret 1966, penduduk Indonesia masih dalam keadaan terguncang dan
terjebak dalam kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa menandatangani
sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan
tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal
sebagai dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan
kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala
aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat
peran politik militer di masyarakat Indonesia. Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno
semakin lama semakin berkurang sehingga Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat
sementara presiden pada tahun 1967 dan dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada
tahun 1968. Ini menandai munculnya era baru yang disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintah diubah dengan drastis. Pemerintah baru berfokus pada
pembangunan ekonomi. Hubungan dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno,
dipulihkan sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan

ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para
teknokrat ekonomi dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Menterimenteri tidak diizinkan membuat kebijakan-kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden).
Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai
kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok
fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang
memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik.
Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam
pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa
dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan
mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang
harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada
pemilihan umum 1971. Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong'
sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai
kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen.
Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi
masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.

OPOSISI YANG SEMAKIN MENGUAT


Selama era 1990an, Pemerintah Orde Baru Suharto mulai kehilangan kontrol ketika
masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif. Hal ini sebagian disebabkan karena
kesuksesannya sendiri: perkembangan ekonomi yang mengesankan membuat lebih banyak
orang Indonesia mendapat pendidikan dan kelompok yang terdidik ini merasa frustasi karena
tidak memiliki pengaruh apa pun dalam merubah keadaan politik di negara ini. Sementara itu,
para pengusaha pribumi frustasi karena tidak dapat kesempatan bisnis karena kesempatankesempatan bisnis yang besar hanya diberikan kepada keluarga dan teman-teman dekat
Suharto (kroni-kroninya). Dari tahun 1993, demonstrasi-demonstrasi di jalan menjadi lebih
sering terjadi dan bukan tanpa kesuksesan, misalnya sebuah lotere yang disponsori pemerintah
terpaksa dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa dan kelompok-kelompok Muslim.
Terlebih lagi, beberapa pejabat yang didukung pemerintah pusat dikalahkan saat pemilihan
umum di provinsi-provinsi. Ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa rejim Suharto bukannya
tanpa kelemahan.
Isu lain yang memiliki dampak negatif untuk posisi pemerintah adalah kegiatannya mencampuri
urusan internal PDI. Megawati Soekarnoputri (puteri dari Soekarno) dipilih sebagai ketua umum

PDI pada tahun 1993 menggantikan Suryadi. Namun, pemerintah tidak mengakui keputusan ini
dan memerintahkan dilaksanakannya pemilihan ulang. Megawati, yang semakin kritis terhadap
rejim Suharto, dilihat sebagai sebuah ancaman nyata karena status ayahnya. Oleh karena itu,
Pemerintah mendukung Suryadi di sebuah konggres lain tanpa mengundang partisipasi
Megawati. Ini menghasilkan pemilihan ulang Suryadi sebagai Ketua Umum namun Megawati
jelas menolak mengakui hasil dari konggres buatan ini. Hal ini kemudian menyebabkan
perpecahan di dalam PDI dan juga bentrokan-bentrokan kekerasan di markas umumnya di
Jakarta. Masyarakat pada umumnya merasa frustasi karena Suharto ikut campur dalam urusan
internal PDI, terutama karena hal ini melibatkan puteri Sukarno.

Diskriminasi Rasial Masa Orde Baru


Jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya
diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial
terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Diskriminasi terhadap
orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :
1.

Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk

2.

Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara

3.

Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan


dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini
pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia
dan sebagai manusia.
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran Kebijakan Pokok Penyelesaian
Masalah Cina yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan
mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.
Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967
yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan
Tionghoa

WNI.

Untuk

menghindari

eksklusifisme

rasial

maka

pemerintah

memilih

untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoaitu dan melakukan berbagai usaha untuk
memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi ini terlihat dalam :

1.

Aturan penggantian nama

2.

Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina

3.

Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga

4.

Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka
umum

5.

Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk


masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Benang merah yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi rasial di Indonesia sendiri
adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masing-masing masa. Di masa Orde Baru ini
kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar, dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang
untuk diperbincangkan. Rasisme diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan). Implikasinya adalah segala hal yang berbau rasisme dikatakan SARA, yang
berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa adanya tindak lanjut
berarti dari pemerintah. Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah sekaligus
bentuk rasisme yang paling kejam.
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada 8 buah produk perundang undangan yang sangat
diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :

1.

Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok


Penyelesaian Masalah Cina

2.

Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah


Cina

3.

Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina

4.

Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina

5.

Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng

6.

Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina

7.

SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor,


Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina

8.

Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan
Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina

Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia
nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan grassroot yang begitu
keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi tidak setia pada Negara, namun
Pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi
pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Menjadi
Kontradiksi yang begitu jelas juga ketika kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia
memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai
negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia

Kebijakan Pemerintahan Orde Baru


Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, langkah
selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah adalah melaksanakan Pembangunan
Nasional. Pembangunan Nasional yang diupayakan pada zaman Orde Baru direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa
Indonesia.

Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut maka
MPR telah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973.
Pada dasarnya GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya. GBHN dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) yang berisi program-program konkret yang akan dilaksanakan dalam kurun
waktu lima tahun. Pelaksanaan Repelita telah dimulai sejak tahun 1969.

Pembangunan nasional yang selalu dikumandangkan tidak terlepas dari Trilogi


Pembangunan sebagai berikut :

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya

keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.


Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis.

Selain itu dikumandangkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
sebagai akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diiringi oleh
pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pelita III pemerintah Orde Baru
menetapkan Delapan Jalur Pemerataan yaitu :

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan

perumahan.

.Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.


.Pemerataan pembagian pendapatan.
.Pemerataan kesempatan kerja.
.Pemerataan kesempatan berusaha.
.Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi

generasi muda dan kaum wanita.

Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.


.Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan

Kelebihan dan Kekurangan Pemerintahan Orde Baru


Kelebihan

Kekurangan

perkembangan GDP per kapita Indonesia


yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.000

semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

sukses REPELITA (Rencana


Pembangunan Lima Tahun

sukses keamanan dalam negeri

sukses menumbuhkan rasa nasionalisme


dan cinta produk dalam negeri

sukses Gerakan Wajib Belajar

Investor asing mau menanamkan modal di


Indonesia

sukses memerangi buta huruf

pembangunan Indonesia yang tidak


merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah,
sebagian disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat
munculnya rasa ketidakpuasan di
sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan
Papua
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai
oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel
penggunaan kekerasan untuk
menciptakan keamanan, antara lain
dengan program "Penembakan Misterius"
(petrus)
kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang
cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
*tidak ada rencana suksesi
(penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)

HANCURNYA ORDE BARU SUHARTO

Legitimasi pemerintahan otoriter Suharto terutama berasal dari pembangunan ekonomi


yang terjadi pada masa pemerintahannya. Dari keputusasaan di tahun 1960an, proses
industrialisasi merubah Indonesia menjadi negara yang menjanjikan. Institusi-institusi
internasional berpengaruh (seperti Bank Dunia) menyatakan Indonesia sebagai 'Keajaiban
Asia Timur' pada tahun 1990an. Istilah-istilah lain yang digunakan institusi-institusi
internasional menggambarkan performa ekonomi Indonesia sebagai 'Macan Asia' dan 'High
Performing Asian Economy' (HPAE). Tentu saja, komunitas internasional juga menyadari
bahwa hak asasi manusia tidak selalu dihormati oleh pemerintah di negara ini. Namun,
ironisnya, karakteristik Orde Baru yang supresif juga menjadi kunci dalam mengentaskan
kemiskinan untuk jutaan orang karena hanya ada sedikit ruang untuk menentang
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Pada pertengahan 1960an, lebih dari 50%
penduduk diklasifikasikan sebagai kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan,
sementara di 1993 angka ini berkurang menjadi 13,5% dari jumlah total penduduk.
Indikator-indikator sosial lain (seperti partisipasi di sekolah, angka kematian bayi, usia
harapan hidup) menunjukkan hasil-hasil positif yang serupa.
Gaya pemerintahan Suharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk dukungan
di bidang politik atau keuangan, ia membujuk para pengkritiknya dengan memberikan
mereka posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang bagus.
Namun, perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya. Selama
dekade terakhir pemerintahan Suharto, anak-anak dan teman-teman dekatnya bisa
membentuk sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Suharto.
Meskipun banyak orang Indonesia yang frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
tingkat tinggi di lingkaran pemerintahan ini, Pemerintah selalu bisa merujuk pada
pembangunan ekonomi yang mengesankan dan pada saat yang sama melakukan lip
service kepada masyarakat dengan mengklaim bahwa ada usaha-usaha memberantas
korupsi di negara ini. Namun, pilar ekonomi yang menjadi alat legitimasi ini menghilang
ketika Krisis Finansial Asia melanda pada 1997-1998 (penjelasan lebih mendetail ada di
bagian Krisis Finansial Asia). Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini
yang kemudian menimbulkan efek bola salju. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut
menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh
dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan (tanpa
Suharto) yang baru. Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhankerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh.
Pada 21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto,
menjadi presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui
tuntutan-tuntutan masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.

http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/orde-baru-suharto/item180
http://repository.upi.edu/249/4/S_SEJ_0807008_CHAPTER1.pdf
http://guildofnavigators.forumotion.net/t18-kelebihan-dan-kekurangan-sistem-pemerintahanorde-baru
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lamadan-orde-baru/
http://brainly.co.id/tugas/117840
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_stabiltas_d
ulu_sekarang
http://www.artikelsiana.com/2014/08/proses-lahirnya-orde-baru.html

Anda mungkin juga menyukai