Konsepsi ini barangkali amat sederhana, bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan
oleh masyarakat kita yang tak pernah memiliki persoalan dengan gizi; akan tetapi
bagi kebanyakan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan maka persoalan
makanan, makanan tambahan, gizi sampai dengan prestasi masih merupakan
persoalan yang teramat sentral.
Secara empirik kita memiliki pengalaman yang tidak terlalu me-nyenangkan;
yaitu banyaknya anak-anak kita yang tidak sekolah (atau disekolahkan) dikarenakan
urusan makanan. Walau masih dalam usia belajar anak-anak kita sering dipaksa oleh
keadaan untuk membantu mencari makan orang tuanya. Mereka harus ikut bekerja di
sawah, di ladang, di pasar atau terkadang bekerja secara berpindah-pindah seke-dar
untuk mempertahankan hidup. Mereka inilah yang perlu "ditarik" untuk masuk
sekolah. PMATS diharapkan mampu "menarik" mereka, disamping mampu
meningkatkan prestasi belajar pada anak-anak yang sudah masuk di kelas.
Persoalannya sekarang adalah apakah gizi memang berhubungan dengan
prestasi; dengan kata lain apakah benar status gizi anak dapat meningkatkan prestasi
belajar anak didik. Ya,melalui berbagai temuan empirik memang telah dibuktikan
terdapatnya korelasi yang positif di antara status gizi anak dengan prestasi belajarnya.
Studi yang pernah dilakukan oleh seorang dosen senior dari John Hopkins
University, A. Berg, mengenai 'malnutrition' (1987), men-dapat bukti bahwa
kurangnya gizi pada anak-anak dapat menyebabkan anak balita mudah terserang
penyakit yang bisa mematikan; kalaupun mereka hidup, banyak di antaranya yang
tidak dapat tumbuh dan ber-kembang sebagaimana mestinya. Keadaan yang
demikian ini akhirnya akan berpengaruh pada prestasi belajar anak dan produktivitas
kerja. Ringkasnya: kurang gizi pada anak akhirnya akan berpengaruh buruk pada
prestasi belajarnya.
Dalam bukunya 'Population Health, Nutrition, and Development' (1987),
Hector Correa menulis bahwa pemberian nutrisi pada anak berpengaruh terhadap
kapasitas mental maupun pencapaian pres-tasi belajar anak di sekolah. Itu berarti,
kalau kita sampai keliru dalam pemberian makan pada anak dengan makananmakanan yang tak sehat dan tidak bergizi maka perkembangan mental anak dapat
terganggu sehingga pencapaian prestasi belajarnya pun akan lambat.
Sebagaimana dengan yang dikutip oleh M. Tajudin (1993) maka seorang pakar
psikologi, Elizabeth Hurlock, menyatakan bahwa anak-anak yang kurang
memperoleh gizi secara memadai lebih sering terse-rang penyakit dibanding dengan
anak lain yang memperoleh makanan yang lebih bergizi. Selain daripada itu, kalau
kekurangan gizi terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan anak maka hal itu
mempengaruhi sel-sel otak sehingga kemampuan anak untuk menangkap hal-hal yang
memerlukan kecerdasan menjadi kurang berkembang. Bila kekurang-an gizi itu
terjadi pada tahun-tahun selanjutnya maka kemampuan anak untuk mencapai prestasi
belajar akan terganggu.
Mengacu berbagai temuan empirik tersebut kiranya dapat ditarik benang
konklusi bahwa perbaikan dan peningkatan gizi pada anak kita merupakan aktivitas
nutritif yang bisa membantu anak-anak kita untuk berprestasi secara lebih memadai.
Itu berarti bahwa Program PMTAS layak kita dukung.
Sesungguhnya program gizi bagi anak sekolah sebagaimana yang akan
diluncurkan pemerintah bukanlah merupakan program yang baru sama sekali karena
beberapa negara telah lebih dulu memulainya; ka-takanlah misalnya China,
Hongkong, India, dan Bangladesh.
Program pemberian makanan tambahan yang bergizi bagi anak-anak sekolah di
Bangladesh oleh Bank Dunia disebut dengan Food for Education(FFE). Program
yang baru saja dimulai sekitar empat atau lima tahun yang lalu itu ternyata telah
berhasil menarik minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya sehingga tingkat
partisipasi pendidikan dinegara tersebut telah mengalami kenaikan angka yang
berarti. Lebih daripada itu FFE tersebut juga telah berhasil menekan angka putus
sekolah (drop-out) secara meyakinkan.
Harus Profesional
Bahwa PMTAS merupakan gagasan konstruktif dan rencana pro-gram yang
cemerlang kiranya memang tidak terbantahkan; hanya saja apakah rencana program
tersebut nantinya bisa dijalankan dengan baik memang masih menjadi tanda tanya.
Pasalnya kita telah mempunyai pengalaman bahwa tidak semua gagasan konstruktif
dan program yang cemerlang dapat dijalankan secara baik.
Ilustrasi riilnya ialah Gerakan Orang Tua Asuh (GOTA). GOTA merupakan
gagasan konstruktif dan program yang cemerlang, tetapi tidak dapat dijalankan secara
baik. GOTA sangat konstruktif karena benar-benar dapat membantu anak-anak
sekolah dari kalangan masya-rakat kurang berpunya untuk bisa berprestasi belajar
secara memadai. Anak-anak yang mendapat orangtua asuh menjadi terjamin beaya
pen-didikan yang harus dipikulnya sehingga mereka lebih tentram dalam menjalani
pendidikannya untuk dapat berprestasi secara memadai. Banyak anak-anak (dan
orang tua) yang merasa benar-benar terbantu secara konkrit oleh GOTA.
Tetapi sayang; program yang cemerlang tersebut tidak dikelola secara
profesional sehingga banyak kasus yang muncul. Dana GOTA yang mestinya
diberikan kepada siswa dalam bentuk uang ternyata ada yang diberikan dalam bentuk
barang (alat tulis, buku, dsb) atau binatang (ayam, itik, dsb) yang nilainya kurang
sebanding dengan nilai uangnya. Pengelolaan GOTA terkesan kurang transparan dan
kurang memuaskan para orang tua asuh hingga banyak yang enggan memperpanjang
waktu untuk menjadi orangtua asuh kembali. Belum lagi dana GOTA yang sering
diterima terlambat oleh siswa yang berhak. Pen-deknya pengelolaan GOTA benarbenar kurang profesional sehingga wajarlah kalau GOTA kemudian "macet".
Sekarang Depdikbud men-coba mengaktualisasi GOTA, akan tetapi nampaknya
banyak menemui kesulitan karena terlanjur banyak anggota masyarakat yang kecewa.
Program PMTAS hendaknya kelak jangan bernasib sama dengan GOTA.
Pengalaman dari uji coba dibeberapa propinsi hendaknya bisa memacu petugas