PENDAHULUAN
SKENARIO 3
SUARAKU HILANG!
Seorang laki-laki, 40 tahun, pekerjaan penyanyi kafe, datang ke poliklinik
THT dengan keluhan serak dan makin lama makin hilang. Keluhan sudah dirasakan
sejak 4 bulan terakhir. Keluhan disertai dengan tenggorokan terasa kering terutama
pada pagi hari, kadang dirasakan nyeri telan, kadang disertai batuk. Tidak didapatkan
keluhan sulit menelan. Pasien mempunyai hobi menyanyi dan sejak timbul keluhan
tersebut pasien sudah tidak dapat bernyanyi lagi. Pasien merokok, setiap hari
menghabiskan
1/2
bungkus
rokok.
Pasien
juga
mempunyai
kebiasaan
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
dengan mulut terbuka, nafas melalui mulut, tinggal di daerah kering, atau
mengalami dehidrasi. Selain itu, tembakau dan voice strain juga dapat
merangsang timbulnya tenggorokan kering. Adanya penegangan suara
ditambah konsumsi tembakau yang mengandung nikotin dapat mengiritasi
epitel squamous komplex pada mukosa orofaring, sehingga menyebabkan
kerukan dan penurunan fungsi mukosiliar, padahal mukosilier berperan
dalam menyaring udara inspirasi. Jadi, apabila terjadi penurunan fungsi,
maka tubuh akan mudah dimasuki oleh bakteri,virus, atau pun jamur. Iritasi
pada tenggorokan inilah yang menyebabkan rasa kering pada tenggorokan.
Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas
bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran
nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus
secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut
akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi
pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut.
Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia
darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.
2.
Luminal
Mekanis
Penyempitan
instrinsik
Keadaan
inflamasi
pembengkakan
yang
menyebabkan
seperti
Stomatitis,
Faringitis,epiglottis, Esofangitis
b
pulmer,
Vinson),
inflamasi),
Esophagus
Cincin
mukosa
esophagus distal
c
Kompresi
Disfagia
ekstrinsik
Kesulitan
motorik
dalam
memulai
menelan
reflek
menelan
Kelainan
pada
lurik
a
otot
Kelemahan
otot
(Paralisis
bulbar,
Kontraksi
dengan
awitan
gangguan
inhibisi
deglutisi
stimultan
atau
(Faring
dan
pada
otot
polos
esophagus
Kontraksi
dengan
awitan
simultan
(Harrison, 1999)
Biasanya pasien yang mempunyai keluhan disfagia juga disertai odinofagia,
tetapi tidak berlaku sebaliknya. Tidak ditemukannya disfagia pada kasus
odinofagia menandakan bahwa fungsi mekanis, motoris, dan neurologis
esophagus masih baik. Kemungkinan karena peradangan yang terjadi akibat
polutan hanya terjadi pada mukosa laring dan faring, tanpa mempengaruhi
bekerjanya otot-oto menelan sehingga tidak didapatkan kesulitan menelan
melainkan hanya nyeri menelan.
3.
atau
membuat
plika
vokalis
mengendor.
Kontraksi
serta
akibat peradangan
keganasan
distal
5.
keadaan plika ventricular mengambil alih fungsi fonasi dari plika vokalis,
karena penggunaan suara yang terus menerus.
Di dalam rokok terdapat berbagai macam zat yang berbahaya bagi tubuh.
Zat tersebut dapat mengiritasi dinding faring atau laring sehingga dapat
menyebabkan batuk. Iritasi dinding faring atau laring dapat menyebabkan
peradangan pada daerah tersebut. Peradangan ini yang menyebabkan pasien
nyeri menelan.
Makanan instan
yang dapat menyebabkan adanya peradangan pada mukosa pita suara. Jadi,
iritan dapat membengkakkan pita suara dan tampak hiperemis, sehingga
menggangu getaran karena ada penegangan pita suara akibatnya terjadilah
peningkatan ambang fonasi untuk menghasilkan suara dan timbullah suara
serak dan apabila ambang fonasi tersebut tidak dapat dilewati, maka suara
lama kelamaan dapat menghilang (afonia).
6.
7.
FAKTOR RISIKO
penyanyi
merokok
es
gorengan
makanan instan
PRIA
40 tahun
KELUHAN
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
TATA LAKSANA
G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi laring dan faring
ANATOMI
a. Pharynx
occipitalis
Caudal: Melanjutkan ke oesophagus
Ventral: Choane menghubungkan ke cavum nasi, isthmus faucium
menghubungkan
ke
cavum
oris,
dan
aditus
laryngis
a) Nasopharynx
Skeletopis setinggi VC 1, berada dibelakang cavum nasi, diatas
palatum molle. Nasopharynx dihubungkan dengan cavum nasi melalui
choane, berhubungan dengan oropharynx melalui isthmus pharyngeus,
dengan batas:
- Ventral: Palatum molle
- Lateral: Arcus palatopharyngeus
- Dorsal: Dinding posterior pharynx
Pada dinding lateral nasopharynx terdapat bangunan-bangunan berupa:
- Ostium pharyngeum tubae auditiva eustachii (OPTAE), yang
diabtasi peninggian disebelah dorsal dan atas OPTAE oleh torus
tubarius
cartilaginea tubae
Plica salpyngopharyngea, yang ebrjalan descendens dari torus
tubarius
Torus levatorius, terletak dibawah OPTAE, terbentuk akibat
tonsilaris.
Arcus palatopharyngeus, terbentuk karena m. palatopharyngeus.
b. Larynx
Cartilago epiglotica
Berpasangan
Cartilago cuneiformis
Hyalin
: Cartilago thyroidea, Cartilago cricoidea,
Cartilago arytenoidea
Elastis
: Cartilago corniculata, Cartilago cuneiformis,
Cartilago epiglotica
a) Cartilago thyroidea
- Prominentia laryngea
- Incisura thyroidea superior et inferior
- Cornu superius et inferius
- Cartilago cricoidea
- Lamina cartilaginis cricoidea
- Arcus cartilaginis cricoidea
- Cartilago arytenoidea
- Cartilago corniculata
- Cartilago cuneiformis
- Cartilago epiglotica
b) Membrana et ligamenta
- Ekstrinsik: Membrana thryohyoidea
Ligamentum hyoepigloticum
Ligamentum cricotracheale
- Intrinsik: Membrana quadrangularis
Membrana crycothyroidea
Ligamentum crycothyroidea posterius
Ligamentum thyroepigloticum
c) Articulatio larynges
- Articulatio cricothyroidea
- Articulatio cricoarytenoidea
d) Bangunan-bangunan penting:
- Aditus laryngis, merupakan pintu msuk ke dalam cavum laryngis
- Vestibulum laryngis, dibawah aditus laryngis
- Plica vestibularis, merupakan pita suara palsu
- Rima vestibuli, celah antara kedua plica vestibularis sinister et
-
dexter
Ventriculus laryngis, diantara plica vestibularis dan plica vocalis
Plica vocalis, merupakan pita suara sejati
Rima glotidis, celah antara plica vocalis dexter et sinister
Cavitas infraglotica, dibawah plica vocalis
e) Musculi larynges
Musculus ekstrinsik
Depressor larynx
m. sternohyoideus
m. sternohyoideus
m. omohyoideus
Levatores larynx
m. thyrohyoideus
m. digastricus
m. stylohyoideus
m. stylopharyngeus
m. palatopharyngeus
Musculus intrinsik
Fungsi
Membuka glotis
Menutup glotis
Musculus
m. cricoarytenoideus posterior
m. cricoarytenoideus lateralis
m. arytenoideus transversus
m. thryoarytenoideus
m. cricothyroideus
m. thyroarytenoideus
m. vocalis
m. thyroepiglotica
m. arytenoideus transversus
m. artytenoideus obliquus
c. Tonsil
Tonsil
terdiri
dari
respiratori. Cincin
jaringan
Waldeyer
limfoid
yang
merupakan
dilapisi
jaringan
oleh
epitel
limfoid
yang
pilar
anterior
(otot palatoglosus)
dan
pilar
posterior
(otot
ke
terletak
di
bawah jaringan
ikat
dan
tersebar
(Anggraini D, 2001).
Tonsil Faringeal
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah
ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
sebagai
bursa
faringeus.
Adenoid
tidak
tengah,
dikenal
mempunyai kriptus.
2004).
Tonsil Lingual
glosoepiglotika. Di
garis
tengah,
di
sebelah
Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk
karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara
dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan
subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat
dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung- ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara
terbentuk, yaitu teori Mioelastik Aerodinamik dan teori neuromuskular.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokal. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokal (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika
vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses
pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan
mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika
vokal akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian
posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula
kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan
udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling
mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik).
Kekuatan mioelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit
menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokal akan
kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat
dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
Teori Neuromuskular
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika
vokal adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk
mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke
laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokal. Analisis secara
fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih
bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).
Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang
bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikular dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen
N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan
laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar
lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
sinus piriformis lalu ke introitus.
Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada
dan M. Krikoaritenoid Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan
rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2 dan O 2 arteri
serta pH darah. Bila pO 2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO 2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia
dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO 2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring.
Tekanan parsial CO 2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita
suara.
Fungsi Sirkulasi
Fungsi Fiksasi
Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya
proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor
Faring Superior, M. Palatofaring dan M. Stilofaring) mengalami kontraksi sepanjang
kartilago krikoid dan kartilago tiroid, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus,
sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esophagus.
Fungsi Batuk
Bentuk plika vokal palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga
tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan
batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau
membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat meneyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu
menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
2. Mengapa tenggorokan kering di pagi hari?
Tenggorokan kering di pagi hari dapat dialami jika tidur dengan mulut
terbuka. Tidur cara ini memungkinkan udara untuk masuk melalui mulut
tanpa ada penyaringan atau pelembaban yang ada di hidung. Selain itu, ada
beberapa hal yang dapat menyebabkan tenggorokan kering di pagi hari:
Udara dingin
Kebiasaan tidur
Obat-obatan
Tenggorokan kering juga bias menjadi hasil dari efek samping obat tertentu
yang digunakan untuk mengobati depresi, alergi, hipertensi, asma, jerawat,
gangguan psikotik, obesitas, inkontinensia, nyeri, pilek, penyakit parkinson,
dan sebagainya.
Sleep apnea
Sleep apnea adalah berhenti bernapas selama tidur karena penyumbatan jalan
pernafasan. Sleep apnea yang tidak diobati dapat menyebabkan berbagai
komplikasi. Manifestasi klinis orang yang menderita kondisi ini akan mudah
mengantuk dan lelah sepanjang hari, serta cenderung menderita kehilangan
memori dalam jangka panjang atau mudah pikun.
Dehidrasi
Dehidrasi akibat demam, berkeringat berlebihan, muntah, diare, kehilangan
darah atau kurang asupan cairan dalam tubuh, dapat menyebabkan
tenggorokan kering dan sakit di pagi hari.
LPR sering
terjadi pada pagi hari, maka kemungkinan penyebab saat pagi hari tenggorok
semakin terasa kering adalah hal tersebut (Renner B, Mueller CA, dan
Shephard A, 2012).
3. Mengapa suara serak sampai menghilang?
Etiologi dan Patofisiologi
Faktor resiko terjadinya masalah pada suara adalah:
-Merokok (factor resiko karsinoma laring)
NORMAL.
terganggu dan dapat terjadi stasis mucus di dinding belakang laring dan di sekitar pita
suara. Hal ini memicu batuk yang bersifat reaktif. Mucus di pita suara dapat
bermanifestasi dengan laringospasme. Perubahan dapat terjadi di epitel pita suara
dalam bentuk hyperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis, akantosis, dan atipia sel.
Etiologi
Beberapa hal bisa mendasari kondisi ini yang biasanya akibat paparan dari iritan (zat
yang bisa mengiritasi) seperti tekanan yang terus menerus pada pita suara, sinusitis
kronis, infeksi ragi (akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah) serta terpapar asap
atau gas yang mengandung zat kimia, intoksikasi alcohol atau tembakau, inhalasi uap
atau debu yang toksik, radang saluran napas dan penyalahgunaan suara (vocal abuse).
Dalam keadaan laryngitis, pita suara mengalami peradangan sehingga tekanan yang
diperlukan untuk memproduksi suara meningkat. Hal ini menyebabkan kesulitan
dalam memproduksi tekanan yang adekuat. Udara yang melewati pita suara yang
mengalami peradangan ini justru menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi parau.
Bahkan pada beberapa kasus suara dapat menjadi lemah atau bahkan tak terdengar.
Semakin tebal dan semakin kecil ukuran pita suara, getaran yang dihasilkan semakin
cepat. Semakin cepat getaran suara yang dihasilkan semakin tinggi. Pembengkakan
pada pita suara dapat mengakibatkan tidak menyatunya kedua pita suara sehingga
dapat terjadi perubahan pada suara.
Epidemiologi
Sampai sekarang, data menunjukkan laki laki lebih sering terkena laryngitis kronis
dengan perbandingan 2 : 1. Namun, belakangan ini mengalami perubahan,
kemungkinan dikarenakan lebih banyak wanita yang merokok dan bekerja di
lingkungan yang toksik.
Kelompok usia yang paling sering terkena laryngitis kronis adalah kelompok usia 60.
Neonatus, anak anak, dan dewasa memiliki faktor risiko yang sama untuk
mengalami laryngitis kronis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada laryngitis kronis terdapat perubahan pada selaput lendir, terutama selaput lendir
pita suara. Pada mikro laringoskopi tampak bermacam-macam bentuk, tetapi
umumnya yang kelihatan ialah edema, pembengkakan serta hipertrofi selaput lendir
pita suara atau sekitarnya. Terdapat juga kelainan vaskular, yaitu dilatasi dan
proliferasi, sehingga selaput lender itu tampak hiperemis. Bila peradangan sudah
sangat kronis, terbentuklah jaringan fibrotic sehingga pita suara tampak kaku dan
tebal, disebut laryngitis kronis hiperplastik. Kadang-kadang terjadi keratinisasi dari
epitel, sehingga tampak penebalan pita suara yang di suatu tempat berwarna
keputihan seperti tanduk. Pada tempat keratosis ini perlu diperhatikan dengan baik,
sebab mungkin di bawahnya terdapat tumor yang jinak atau yang ganas.
FARINGITIS AKUT
Faringitis akut adalah sindroma inflamasi yang terjadi pada faring yang disebabkan
oleh berbagai jenis mikroorganisme. Faringitis dapat merupakan gejala infeksi umum
dari saluran nafas bagian atas atau merupakan suatu infeksi lokal yang spesifik di
faring.
EPIDEMIOLOGI
-Frekuensi
Faringitis akut memberikan konstribusi 40 juta kunjungan penderita berobat ke
tenaga kesehatan tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa
mengalami 3-5 infeksi saluran nafas atas (termasuk didalamnya faringitis akut) tiap
tahunnya.
-Mortalitas
Faringitis akut merupakan salah satu penyebab terbesar absensi anak di sekolah dan
absensi di tempat kerja bagi orang dewasa.
-Ras
Faringitis akut mengenai semua golongan ras dan suku bangsa secara merata
-Jenis Kelamin
Faringitis akut mengenai kedua jenis kelamin dalam komposisi yang sama
-Usia
Faringitis akut mengenai semua golongan usia, tetapi yang terbesar mengenai anakanak.
PATOFISIOLOGI
Penyebab faringitis akut dapat bervariasi dari organisme yang mengahasilkan eksudat
saja atau perubahan kataral sampai yang menyebabkan edema dan bahkan ulserasi.
Organisme yang ditemukan termasuk streptokokus, pneumokokus dan basillus
influensa, diantar organisme yang lainnya. Pada stadium awal,terdapat hiperemia,
edema, dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal
atau berbentuk mukus dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat
pada dinding faring.Dengan hyperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning, atau abu-abu terdapat dalam
folikel atau jaringan limfoid. Tidak adanya tonsila, perhatian biasaanya difokuskan
difokuskan pada faring, dan tampak bahwa folikel atau bercak-bercak pada dinding
faring posterior, atau terletaj lebih kelateral, menjadi meradang dan membengkak.
Terkenanya dinding lateral, jika tersendiri, disebut sebagaifaringitis lateral. Hal ini
tentu saja mungkin terjadi, bahkan adanya tonsila, hanya faring saja yang terkena.
ETIOLOGI
Penyebab faringitis akut ialah kuman-kuman golongan Streptococcus B hemoliticus,
Streptococcus viridans serta golongan pyogenes. Sisanya disebabkan oleh infeksi
virus yaitu adenovirus, ECHO, virus influenza, serta Herpes. Cara infeksi ialah oleh
percikan ludah (droplet infektion).
Tabel 1. Berbagai etiologi faringitis akut
Pathogen
Viral 40-46%
Rhinovirus (100 types and 1 subtype)
Coronavirus (3 or more types)
Adenovirus (types 3, 4,7, 14 and 21)
Herpes simplex virus (types 1 and 2)
Parainfluenza virus (types 1-4)
Influenzavirus (types A and B)
Coxsackivirus A (types 2, 4-6, 8 and 10)
Epstein-Barr virus
Cytomegalovirus
Human immunodeficiency virus type I
Bacterial
Streptococcus pyogenes (group A b-hemolytic streptococci) 20%
Group C b-hemolytic streptococci
Neisseria gonorrhoeae
Corynebacterium diphtheria
Arcanobacterium haemolyticum
Chlamydial
Chlamydia penumoniae
Mycoplasmal
Mycoplasma pneumoniae
GEJALA KLINIS
Gejala yang sering ditemukan ialah:
-
PENATALAKSANAAN
-
Antipiretik
PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini umumnya baik bila penyakit cepat diketahui dan diterapi
dengan tepat dan dapat sembuh dengan sempurna. Akan tetapi bila pasien datang
terlambat dan penyakit sudah berlanjut maka prognosis akan kurang baik.
KOMPLIKASI
Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika
tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar abses,
peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi
saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut
dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak diobati (John R. Acerra,
2013).
FARINGITIS KRONIK
Terdapat 2 bentuk faringitis kronis yaitu hiperplastik dan atrofi. Faktor predisposisi
proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh
rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring, dan
debu.Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa
bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.
Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering dan
gatal dan akhirnya batuk yang bereak.
Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitasargenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simptomatis: obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlukan obat batuk
antitusif atau ekspektoran penyakit di hidung & sinus paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda
biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi
ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut. (Soepardi,
2003)
6. Menjelaskan apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan
A.
Visualisasi Laring
Visualisasi laring memungkinkan penilaian pita suara dan melihat apakah
terdapat lesi, atau eritema, atau edema mukosa, serta gerakan abnormal yang
mungkin menunjukkan masalah sistemik yang mendasari
1. Laringoskopi indirek
2. Laringoskopi direk, apabila diperlukan visualisasi yang lebih detail,
pencahayaan, dan pembesaran
3. Video stroboskopi. Untuk visualisasi laring dan pita suara yang lebih
dinamis, dimana gerakan pita suara dapat diperlambat seringga dapat
dilihat getaran pita suara dan gelombang mukosanya. Metode ini
memungkinkan untuk penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita
suara, perdarahan, kista intracordal, atau inasi epithelial pada awal
karsinoma glotis
B.
Penilaian Suara dan Aliran Udara
1. Penilaian suara objektif, dapat secara
perceptual
yaitu
dengan
LAKI-LAKI
Lebar
Panjang
PEREMPUAN
Sempit
Pendek
Sel goblet
Banyak
Sedikit
b. Usia usia yang terlalu muda atau usia yang semakin tua meningkatkan
risiko terjadinya keluhan terkait dengan fisiologis pharynx larynx yang
sudah menurun fungsinya (Joo YHet al, 2015).
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Dollinger M, Berry DA, Luegmair G, Huttner B, dan Bohr C (2012).Effects of the
epi-larynx area on vocal fold dynamics and the primary voice signal. J Voice,
26 (3): 285-92.
Hermani B dan Hutauruk SM (2012). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher: Disfonia. Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, pp: 209-210.
Joo YH, Lee SS, Han KD, dan Park KH (2015). Association between chronic
laryngitis and particulate matter based on the korea national health and
nutrition
examination
survey
20082012.
PlosOne.
DOI:
10.1371/journal.pone.0133180.
Klarisa C dan Fardizza F (2014). Kapita selekta kedokteran: Laringitis. Edisi IV,
Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 1064-6.
Renner B, Mueller CA, dan Shephard A (2012). Environmental and non-infectious
factors in the aetiology of pharyngitis (sore throat). Inflamm Res., 61 (10):
1041-51.
Rusmarjono dan Hermani B (2012). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher: Odinofagia. Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI, p: 190.
Soepardi EA (2012). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher: Disfagia. Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, p: 244.
Waschke J dan Paulsen F (2012). Sobotta atlas anatomi manusia: Leher larynx.
Edisi 23 Jilid 3. Jakarta: EGC, p: 186.