Anda di halaman 1dari 8

Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

Banyak pendapat melontarkan berbagai penyebab orang melakukan korupsi di Indonesia,


diantaranya :
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
hari makin meningkat;
2. Ada pula penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien;
4. Penyebab korupsi adalah modernisasi; Huntington memberikan jawaban :
a. modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat;
b. modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumbersumber

kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan

politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat,
sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan
berpengaruh dalam masyarakat;
c. modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam
bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang memulai
modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan
kegiatan-kegiatan yang diatur pemerintah oleh peraturan-peraturan pemerintah.

Sedangkan pada lingkungan pemerintahan daerah faktor penyebab korupsi yang paling
signifikan adalah :
1. Faktor politik dan kekuasaan; korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang
kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang
dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok atau
golongannya. Data dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, apabila dibandingkan
pada tahun 2009 ketika mereja yang terjerat kasus korupsi didominasi oleh anggota DPRD, pada
tahun 2010 dan sesudahnya kepala daerah dan mantan kepala daerah ditempatkan pada posisi
teratas sebagai pelaku korupsi. modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalan

dinas fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan
menguntungkan diri sendiri maupun golongan;
2. Faktor ekonomi ; faktor ini dinilai tidak terlalu signifikan juka dibandingkan dengan faktor politik
dan kekuasan karena cenderung masih konvensional yaitu tidak seimbangnya penghasilan
dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi;
3. Nepotisme; nepotisme yang cenderung masih kental terasa baik di sektor public maupun swasta.
Di lingkungan daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang menimbulkan
penyalahgunaan kewenangan;
4. Faktor pengawasan; lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti
BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuang negara oleh pejabat-pejabat publik
merupakan faktor yang penting yang menumbuhsuburkan budaya korupsi di daerah-daerah.
Ketidak efektifan pengawasan itu sendiri sering diakibatkan sering terjadinya penyimpangan dan
penyalahgunaan keuangan negara.

Pelaku korupsi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pejabat di daerah masih terus melakukan
korupsi.
Pertama, korupsi dilakukan karena pejabat politik harus membiayai keikutsertaan
mereka dalam Pemilukada atau Pemilu Legislatif. Sebagaimana diketahui bahwa biaya untuk
mengikuti pemilukada dan pemilu legislatif sangatlah mahal. Namun, ini tidak mengurangi
keinginan banyak orang untuk ikut mencalonkan diri karena posisi kepala daerah dan anggota
DPRD tidak hanya menjanjikan kedudukan sosial yang lebih tinggi, namun juga kekuasaan
untuk mengatur penggunaan dana publik. Dengan kekuasaan yang ada, kepala daerah maupun
anggota DPRD dapat menentukan kemana saja APBD dialokasikan dan kelompok mana saja
yang memperoleh manfaat dari dana tersebut.
Untuk mendapatkan jabatan tersebut, mereka perlu pendukung, yaitu masyarakat yang
mempunyai hak pilih. Untuk mendapatkan dukungan maka dilakukan transaksi antara calon dan
berbagai organisasi masyarakat serta para tokoh masyarakat yang banyak pengikutnya. Biasanya

calon menawarkan batuan bagi kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi ataupun tokoh
tersebut. Bantuan dapat diberikan dalam bentuk uang ataupun barang. Tentunya ini memerlukan
biaya yang besar.
Dana tersebut biasanya tidak sepenuhnya berasal dari kantong pribadi para calon,
namun dapat pula berasal dari para sponsor, yang nantinya dikembalikan dalam bentuk uang,
proyek, jabatan ataupun licence menjadi importir gula, miras, dll. Oleh sebab itu, ketika sudah
terpilih para kepala daerah dan para waki2 rakyat bukannya sibuk memikirkan nasib rakyat,
namun bagaimana agar hutang-hutang dapat segera dilunasi. Setelah hutang lunas, mereka akan
terus berupaya mengumpulkan dana untuk membiayai pemilu/pilkada periode berikutnya.
Kedua, korupsi dilakukan oleh PNS demi mendapatkan dan mempertahankan jabatan.
Adalah wajar jika para PNS ingin kariernya maju dan duduk di jabatan struktural tertinggi yang
ada di Pemerintah Daerah. Namun, keinginan tersebut tidak selalu dapat diwujudkna hanya
dnegan mengdalkan kerja keras dan bersikap profesional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
setiap jabatan struktural di Pemerintah Daerah ada harganya.
Seringkali sebelum pemilukada dilakukan, para PNS sudah diiming-iming dengan
jabatan tertentu oleh calon kepala daerah dengan syarat harus mendukung dana kampanye.
Besarnya dana yang diminta juga beragam, tergantung jabatan yang dijanjikan.Untuk jabatan
Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Pendapatan, Kepala Dinas PU, dan Biro Keuangan, biasanya
agak tinggi harganya dibandingkan dengan untuk jabatan lainnya.
Jika kemudian calon yang didukung menang, mereka akan mendapat jabatan yang
dijanjikan. Kualifikasi tidak cocok tidak menjadi masalah karena yang penting pangkatnya
memenuhi persyaratan. Apabila pangkatnya masih kurang maka mereka terlebih dahulu diangkat
menjadi pelaksana tugas sampai pangkat mereka memenuhi persyaratan.
Jika calon yang didukung kalah, tidak berarti peluang tertutup untuk menduduki
jabatan yang diinginkan. Pimpinan parpol, ormas atau tokoh-tokoh yang disegani Kepala daerah
dapat diminta tolong untuk menjadi penghubung ke Kepala daerah yang terpilih. Oleh sebab itu,
pejabat di Pemerintah daerah selalu harus menjaga hubungan baik dengan Parpol, Ormas dan
para tokoh masyarakat. Tentunya membina hubungan baik disini juga memerlukan dana.

Khusus jika incumbent yang ikut pemilukada maka dukungan dapat pula diberikan
dalam bentuk proyek yang sifatnya populis, yang dapat mendongkrat dukungan bagi incumbent,
seperti bantuan modal/peralatan kepada petani, nelayan, beasiswa untuk mahasiswa dan pelajar,
bantuan seragam untuk ibu-ibu pengajian, sembako serta rehabilitasi rumah untuk keluarga
miskin, serta dukungan dana untuk program-program yang dilakukan oleh ormas dan LSM.
Jangan heran apabila dua tahun menjelang Pemilukada sebagian besar anggaran dalam APBD
hanya untuk belanja yang sifatnya bantuan.
Ketiga, banyak pejabat yang melakukan korupsi karena ingin mendapat kekayaan dan
hidup nyaman. Walaupun gaji PNS rendah, namun kehidupan para pejabat di daerah cukup
mewah. Mereka berbelanja barang-barang dari merk terkenal, bermain golf dan berlibur di hotel
mewah dengan keluarganya. Anak-anak mereka juga mendapat pendidikan di sekolah/perguruan
tinggi yang terbaik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogyakarta dan bahkan di luar
negeri. Kondisi seperti ini dianggap biasa oleh masyarakat di sekitarnya. Jika ada pejabat yang
berpenampilan sederhana dengan rumah yang kecil, mereka ini dipandang aneh oleh masyarakat,
atau bahkan dianggap bodoh atau kurang gaul karena tidak mampu memanfaatkan
kewenangannya.
Kehidupan pejabat pemerintah yang glamor merupakan salah satu pendorong mengapa
semua orangtua bercita-cita anaknya menjadi PNS, walaupun untuk itu mereka harus menyogok
Panitia Seleksi ataupun mengemis-ngemis minta tolong ke kepala daerah ataupun pejabat yang
berwenang menetapkan kelulusan.
Untuk mendapatkan uang yang banyak PNS harus menduduki jabatan yang strategis.
Untuk itu, mereka mau berkorban apa saja untuk mendapat dan mempertahankan jabatan
tersebut. Mereka akan berupaya menyenangkan atasannya. Semua kebutuhan atasan dan
keluarganya diupayakan untuk dipenuhi, walaupun untuk itu mereka harus melakukan mark up
atau meminta kick back dari rekanan.
Apabila perlu, mereka juga harus menggalang dukungan dari tokoh-tokoh yang
disegani, pimpinan partai politik, anggota DPD/DPR/DPRD dan organisasi sosial yang dekat
dengan kepala daerah. Tokoh-tokoh tersebut diharapkan akan mengusung nama mereka ke

kepala daerah untuk segera dipromosikan ke jabatan-jabatan tertentu. Ini tentunya perlu dana,
yang tentunya diambil dari uang yang dikelola kantornya.
Keempat, korupsi banyak dilakukan karena ingin disenangi keluarga, teman dan
tetangga. Di masyarakat di Asia dan Afrika, korupsi marak antara lain disebabkan adanya
obligasi sosial bagi para pejabat untuk menolong keluarga, teman dan tetangganya. Apabila yang
bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban sosial tersebut maka ada perasaan khawatir akan
dikucil. Sebagai ilustrasi, seorang pejabat pernah memaksa BKD untuk meluluskan anak
temannya dalam test CPNS karena khawatir nanti ketika beliau pensiun teman-temannya tidak
mau mengajaknya minum di kedai kopi. Pejabat lainnya, memaksa Tim Pengadaan Barang/Jasa
untuk memenangkan perusahaan besannya hanya karena karena ingin menjaga hubungan baik
dengan menantunya.
Di daerah, pengertian korupsi lebih terbatas pada praktek-praktek yang terkait dengan
uang, seperti mark-up, pertanggung jawaban fiktif, dan lain-lain. Penyalahgunaan wewenang
yang tidak secara langsung mendatangkan uang, seperti menolong saudara untuk menjadi CPNS,
mendapatkan jabatan struktural, atau menang lelang, dianggap bukan korupsi, hanya praktek
tolong menolong saja. Untuk pembenaran, kadang-kadang para pejabat tidak segan
menjustifikasi perbuatannye dengan menyitir Hadist Nabi yang isinya menganjurkan kita untuk
menolong keluarga dan orang dekat kita sebelum menolong orang lain.
Kelima, korupsi dilakukan guna merintis karier setelah pensiun nanti. Pensiun yang
kecil membuat banyak pejabat pemerintah yang takut menghadapi masa pensiun. Oleh sebab itu
mereka harus memikirkan sejak dini apa yang akan mereka lakukan agar kesejahteraan mereka
tetap terjaga.
Bagi pejabat yang berniat nanti pensiunnya menjadi kepala daerah atau masuk ke
politik, maka upaya untuk menanam budi sudah harus dilakukan sejak awal. Mereka harus
berupaya menjadi ketua ataupun penasehat dari berbagai organisasi masyarakat, organisasi
profesi dan bidang olahraga. Mereka juga menjadi pengurus organisasi kedaerahan. Kadangkadang ada yang menjadi pengurus di dua atau tiga organisasi kedaerah yang berbeda, dengan
alasan ayahnya dari Aceh, Ibunya dari Sumatra Barat, istrinya dari Jawa Timur, dan seterusnya.

Tentunya tujuannya agar dikenal dan pada saatnya nanti didukung oleh para anggota organisasi
tersebut. Untuk itu mereka harus mengeluarkan biaya besar, yang tentunya diperoleh dari hasil
korupsi.
Ada juga pejabat yang sejak awal sudah merencanakan nantinya setelah pensiun akan
menjadi pengusaha. Untuk itu, maka jauh-jauh hari mereka sudah harus membangun bisnis
dengan memanfaatkan kewenangan yang ada padanya. Misalnya, seorang kepala dinas
perhubungan memulai bisnis feri antar pulau atau taksi ketika masih aktif dijabatan, namun yang
mengoperasikannya adalah keluarga dekatnya. Ada pejabat yang merintis usaha jasa konsultan
dengan memaksakan bawahannya menggunakan jasa perusahaan tersebut ketika yang
bersangkutan masih aktif dengan harapan ketika dia pensiun maka perusahaan sudah cukup besar
dan mampu bersaing.

Mengatasi Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.


Terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen bagi
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan adalah,
Pertama, segera merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama
masalah pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat
status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut memberi
ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun
penjara,

mereka

bisa

bebas

dan

tetap

menempati

jabatannya.

Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan aparat penegak hukum ketika akan
menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala
daerah atas izin presiden. Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan
rumit. Dengan merevisi undang-undang tersebut, diharapkan gubernur, bupati/walikota yang
tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak mereka
akan

diberikan

kembali

jika

penyidikan

kasusnya

dihentikan.

Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK) dalam upaya memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita. Argumentasi ini
didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga negara
dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi. Sebelum itu ditempuh, tentu langkah yang
harus diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di
daerah.
Ketiga, penting untuk menerapkan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik
merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang
dimilikinya, sebelum menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber kekayaan
itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang
ilegal,

tentu

merupakan

tindak

pidana

korupsi.

Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka harus
ditangani secara luar biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak. Karena, langkahlangkah strategis tersebut tidak akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat
penegak hukum untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar otonomi daerah
benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di daerah.

Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org
http://www.investor.co.id
www.google.com
http://inspire-web.or.id/blog/home/detail/18
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 Hal 21
http://makalahpaimin.blogspot.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.35 wib
http://www.suaramerdeka.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.30 wib

Anda mungkin juga menyukai