Anda di halaman 1dari 2

ABSTRAK

Yoseph Rudy Marison Sihombing, NPM : 2002520002, Kontroversi Antara Kebebasan


Pers Dan HAM ( Studi Kasus Tommy Winata Dengan Bambang Harimurti Sebagai
Pimpinan Redaksi Majalah Tempo). Dibawah Bimbingan K.G. Widjaja, SH., MH. Dan
Dessy Sunarsi, SH., MH.; 78 halaman.
Kebebasan Pers yang hadir sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 /
tentang Pers memunculkan beragam reaksi dari komunitas Pers, kemerdekaan yang didapat
tersebut memberikan jalan lapang untuk membuat berita yang lebih kritis dalam menyoroti
berbagai persoalan di masyarakat. Redaksi Pers lebih bebas dan independent tanpa campur
tangan dari pihak luar. Namun selain itu, muncul bentuk penyalagunaan atas nama kebebasan
Pers. Berbagai penyalagunaan atas nama kebebasan Pers tersebut menjadi dasar bagi sebagian
masyarakat yang menilai Pers telah berbuat semena-mena. Lebih jauh lagi kebebasan Pers di
anggap sebagai penyebab terjadinya berbagai konflik dalam masyarakat. Etika Pers yang pada
gilirannya tidak mampu mengendalikan insan Pers, sehingga integritas pribadi seseorang yang
dilindungi Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, di langgar. Undang-Undang Pers
Nomor 40 Tahun 1999 tidak mengatur penyelesaian konflik yang diakibatkan oleh pemberitaan
atau informasi-informasi yang merugikan orang lain, sehingga tidak menjadi persoalan jika
proses pelaporan pidana di tempuh oleh korban pemberitaan tanpa melaporkan kepada Dewan
Pers karena Dewan Pers sendiri juga bukanlah lembaga peradilan. Dalam kasus pencemaran
nama baik, pihak yang dirugikan dapat memberikan hak jawab, dimana hak jawab dapat
memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat yang menjadi narasumber atau objek
pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita
yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Akan tetapi dalam kenyataannya hak jawab inilah
yang banyak dilanggar kalangan pers. Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini
adalah: (1). Bagaimana sistem hukum Nasional menjaga keseimbangan antara kebebasan Pers
dan Hak Asasi Manusia, (2). Bagaimana reaksi Tommy Winata terhadap kebebasan Pers yang
melakukan pencemaran nama baiknya, (3). Bagaimana pandangan hakim terhadap kasus Tommy
Winata. Metode penelitian yang digunakan adalah: (1). Bahan bahan hukum Primeir yaitu
Undang-Undang, peraturan pemerintah, putusan hakim, (2). Bahan bahan hukum sekunder yaitu
berupa pendapat para ahli, tulisan-tulisan ilmiah komentar-komentar masyarakat, (3). Teknik
pengumpulan data melalui penyusuran enciclhopedia, kamus-kamus dan bahan bahan buku
lainnya yang berguna sebagai pendukung penyelesaian Skripsi ini. Kesimpulan dari hasil
penelitian ini adalah: (1). Untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan Pers dan Hak Asasi
Manusia sistem hukum Indonesia mengatur dengan berbagai cara yaitu dengan menggunakan:
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Surat Izin Terbit dan Undang-Undang No. 21
Tahun 1982 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers keseimbangan diserahkan kepada dewan Pers yang bertugas sebagai mediator antara
Pers dengan masyarakat atau pengadu serta mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana kususnya pada pasal 310 dan pada pasal 311, Kode Etik yang
mengatur tentang sikap moral dari seorang wartawan yang wajib menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beretikad buruk. (2). Reaksi Tommy Winata terhadap pemberitaan
majalah mingguan Tempo Edisi 3-9 Maret 2003 menganggap bahwa pemberitaan tersebut
mencemarkan nama baiknya dan telah melakukan tuntutan hukum baik Perdata maupun Pidana
karena telah melanggar asas-asas kepatutan dalam masyarakat yang mengakibatkan kerugian

materil dan imateril terhadap dirinya. (3). Pandangan hakim terhadap kasus Tommy Winata:
Dalam perkara Perdata pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempergunakan tolak ukur bahwa berita
Ada Tommy di Tenabang? tidak memenuhi prinsip cover both slides, karena berita tersebut
tidak benar, tidak akurat dan tidak tepat. Gugatan Tommy Winata dikabulkan, Pada Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, hakim Pengadilan Banding menggunakan tolak ukur yang bersifat teknis
prosedural, belum menyoroti substansi yang menjadi permasalahan hukum, Dalam perkara
Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggunakan tolak ukur dengan mengacu pada pasal
310 dan pasal 311 KUHP dan menghukum Tempo karena perbuatan tersebut dikualifikasikan
telah mencemarkan nama baik, Mejelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan menggunakan tolak ukur
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Mahkamah
Agung menguatkan putusan Pengadilan Banding dengan mempergunakan tolak ukur standar
etika profesi dan deadline sebagai alasan pembenar untuk menyiarkan berita yang belum
diyakini kepastian kebenarannya.

Anda mungkin juga menyukai