Anda di halaman 1dari 3

Nama: AGUSTIAMAL ARSYAD

Stbk:4513060061
Kls:A
Kasus: Warga Tuntut Penyelesaian Sengketa Tanah Bumi Flora
OLEH: AGUSTIAMAL

Warga di sekitar lokasi PT Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, kembali
mendatangi kantor DPR Aceh, guna menuntut penyelesaian sengketa tanah antara warga dan
perusahan perkebunan tersebut. Pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus ini. Kami
menpertanyakan hasil kerja tim yang pernah dibentuk oleh anggota DPRA sebelumnya, sekaligus
mempertanyakan hasil kerja tim yang dibentuk Gubernur atas kasus penyerobotan tanah kami
oleh PT Bumi Flora kata Tengku Idris A Manaf, kordinator warga Banda Alam, di Banda Aceh,
Senin, (25/1). Menurut Idris, PT Bumi Flora sejak tahun 1990 telah menyerobot lahan
perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukannya dalam kawasan perkebunan tersebut.
Warga telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada pemerintah Aceh Timur dan juga kepada
pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur pernah berjanji untuk mengganti lahan baru bagi kami,
tapi lahan yang dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya. Kami meminta
pemerintah serius menyelesaikan sengketa tanah ini, sebutnya. Dia menyebutkan, warga
menuntut agar pemerintah meninjau kembali pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada
perusahan perkebunan itu. Warga juga berharap perusahaan tersebut dapat mengembalikan tanah
mereka atau membayar ganti rugi. Memang kami tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah
itu, tetapi tanah itu sudah kami garap sebelum PT Bumi Flora ada. Gubernur Syamsuddin
Mahmud waktu itu juga telah meminta Bumi Flora untuk tidak menyerobot tanah garapan
masyarakat, ujarnya. Selain itu warga juga berharap DPR Aceh periode kali ini dapat
menyelesaikan kasus penyerobotan lahan ini dengan tuntas. Mereka juga berharap Gubernur
Aceh lebih serius dalam menyelesaikan kasus tersebut. Tim bentukan Gubenur untuk
menyelesaikan kasus Bumi Flora diketuai Kepala Satpol PP Drs Marzuki. Kita meminta
kepastian sejauh mana sudah tim itu bekerja. Kami sudah capek mengadu ke sana-kemari,
keluhnya.
POKOK PERMASALAHAN
Dalam kasus diatas yaitu menyoroti tentang suatu perusaan yakni PT Bumi Flora yang sejak
tahun 1990 telah menyerobot lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukannya
dalam kawasan perkebunannya. Dan objek tanah yang dimilki warga Banda Alam adalah tanah
yang belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga setempat, namun eksistensinya diakui oleh
warga setempat bahwa lahan itu adalah milik warga Banda Alam. Dalam kasus ini juga
dikemukakan bawha warga Banda Alam tersebut telah berulang kali melaporkan kasus ini
kepada pemerintah daerah Aceh Timur dan juga kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur
yang bersangkutan pernah menjanjikan akan memberikan lahan baru bagi warga Banda Alam
tersebut, namun pada kenyataannya lahan baru tersebut telah diberikan kepada warga setempat
lainnya, sehingga benar-benar tidak ada ganti rugi secara konkrit dari pihak PT Bumi Flora dan
juga dari Bupati Aceh Timur. Warga Banda Alam sudah berkali-kali complain atas kasus ini
namum penanganannya tidak berjalan dengan baik dan tidaklah sesuai dengan keadilan yang
dirasa oleh masyarakat warga Banda Alam.

ANALISIS KASUS
Subjek :
a. PT Bumi Flora
b. Warga Banda Alam ( warga yang bermukim di Banda Aceh )
c. Pemerintah Aceh Timur yang diwakili oleh Bupati Aceh Timur
d. Pemerintah Aceh

Peristiwa Hukum:
Persengketaan tanah antara PT Bumi Flora yang menjadikan lahan masyarakat warga Banda
Alam sebagai lahan perkebunan yang dilandaskan oleh Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT
Bumi Flora tersebut. Tanah tersebut sudah lama digarap oleh warga Banda Alam dan diakui
sebagai milik mereka, namun warga Banda Alam belumlah memiliki sertifikat Hak Milik yang
sebagai landasan kepemilikan tanah tersebut, tetapi tanah tersebut telah diakui bersama sebagai
kepunyaan desa tersebut dan disepakati bahwa itu adalah tanah yang diduduki oleh Warga Banda
Alam.
Objek:
Tanah tempat pemukiman warga Banda Alam
Tonggak awal permasalahan dalam kasus ini adalah tanah yang dihuni oleh masyarakat Banda
Alam sebesar 3.400 hektar diambil alih oleh PT Bumi Flora sejak tahun 1990 hingga sekarang.
Tanah tersebut dibeli oleh PT Bumi Flora melalui Pemerintah Banda Timur. Namun sebenarnya,
tanah tersebut adalah tanah tempat bermukim/bertempat tinggal para warga dan tempat warga
Banda Alam dalam menggarap dan mencari mata pencaharian. Namun demikian karena PT Bumi
Flora merasa telah memiliki Hak Guna Bangunan diatas lahan tersebut, maka lahan itu diambil
dan dipergunakan untuk perkebunan yang diusahakan oleh PT Bumi Flora, tanpa melihat
kepentingan dan kedudukan rakyat atas tanah tersebut. Hal itu memicu kemarahan warga karena
merasa terganggu lahannya akibat adanya ijin dari pemerintah daerah bagi PT Bumi Flora
tersebut untuk membangun suatu usaha perkebunan diatasnya. Namun ada satu kendala pula
pada masyarakat Banda Ala mini karena mereka tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu
sendiri, namun menurut pengakuan seluruh warga setempat, tanah tersebut adalah tanah mereka
yang sudah dimiliki bertahun-tahun dan turun temurun sehingga menyerupai hak milik,
walaupun secara juridis belumlah memiliki bukti yang kuat. Hal ini dapat dikategorikan seperti
atau menyerupai Tanah Adat, karena adanya pengakuan penuh atas warga akan tanah tersebut
dan eksistensinya masih ada akan kepemilikan tanah tersebut pada warga yang bersangkutan.
Namun dari sudut lain, PT Bumi Flora telah mendapatkan izin atas Hak Guna Usaha dari
pemerintah daerah setempat sehingga kedudukannya menjadi sangat kuat karena telah memiliki
bukti yuridis ( Tanah yang telah terdaftar), sedangkan lawannya adalah warga Banda Alam yang
tanpa bukti kuat yuridis yang menyertainya (Tanah belum terdaftar). Warga setempat sudah
mencoba complainberkali-kali kepada Pemerintah Aceh Timur yang ditangani langsung oleh
Bupati Aceh Timur namun hal itu diabaikan oleh Pemerintah daerah yang bersangkutan. Bupati
Timur juga telah menjanjikan akan penggantian tanah / lahan baru bagi warga Banda Alam
namun ternyata tapi lahan yang dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya.
Kemelut konflik ini telah berlangsung cukup lama hingga warga melaporkannya ke DPRD Aceh
untuk penyelesaian kasus ini secara jelas
DASAR HUKUM

Mengenai objek tanah ini hak yang melekat atasnya adalah Hak Guna Usaha dari PT Bumi Flora,
pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA Pasal 28 adalah hak untuk mengusahakan
tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai langsung oleh Negara, penggunaan tanah ini
jangka waktu tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini
digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang pertanian, perikanan ataupun peternakan.
Sedangkan mengenai hapusnya HGU ini diatur dalam Pasal 34 UUPA.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk kepentingan umum diubah dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menjadi
sebagai berikut yang terkait dengan kepentingan umum. Isi dari Pasal 1 ayat (3) Perpres No. 65
Tahun 2006 adalah Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.Sehingga jika dikaitkan dengan kasus
diatas adalah sudah selayaknya karena pengadaan tanah bagi PT Bumi Flora tersebut seharusnya
memberikan ganti rugi kepada warga Banda Alam yang bersangkutan, tetapi ganti rugi sama
sekali tidak diberikan kepada warga yang bersangkutan atas tanah belum terdaftar miliknya.
Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006 juga menyebutkan sebagai berikut Dalam
hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau
dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal
undangan pertama. Dalam hal ini jelaslah PT Bumi Flora telah melewati jangka waktu yang
ditetapkan seharusnya jika lokasi pemukiman warga tersebut belum dapat direlokasi, haruslah
terlebih dahulu untuk melakukan musyawarah dengan warga setempat agar tidak menyebabkan
konflik yang berkepanjangan serta berlarut-larut hingga sekarang dan harusnya musyawarah
dengan warga setempat itu dilakukan dalam jangka waktu 120 hari sejak undangan pertama. Dan
dalam ayat 2 dalam pasal ini dinyatakan pula harus diadakan pula ganti rugi apabila tentang
pengadaan jika menggangu kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai