Anda di halaman 1dari 13

PADRI WAR (1821 1837)

IPS VIII PC 2011


Islamic Junior High School Sewulan

Group Members:
Angga Akbar Andila P.
Dwi Hadi Saputro
M. Nur Mujlhisoda
Eliza Tiara D.
Hanum Qoniah
Helmy Nur Rahma E.
Selma Rosita D.

Sebab-sebab Terjadinya
Perang
Padri
1. Pada
awal abad ke-19, muncul

kelompok gerakan wahabi di Sumatra


Barat yang bertujuan memurnikan
kehidupan Islam. Kelompok pendudung
gerakan ini dikenal sebagai Kaum Padri.
2. Gerakan Kaum Padri mendapat
tentanngan dari kelompok Kaum Adat.
3. Pemerintah kolonial Belanda berpihak
pada Kaum Adat. Pada tanggal 10
Februari 1821, diadakan perjanjian
antara Residen De Puy dan Tuanku
Suruaso ( pimpianan Kaum Adat ).
4. Berdasarkan perjanjian itu, Belanda
menduduki beberapa daerah di
Sumatra Barat. Peristiwa itu menandai
dimulainya Perang Padri.

Personage/ The Leader of The


Incident
Datuk Malim Basa ( Tuanku Imam
Bonjol ),
Tuanku nan Cerdik,
Tuanku Tambusai,
Tuanku nan Alahan,
Datuk Bandoro,
Tuanku Pasaman,
Tuanku nan Renceh.

The History Of The


Perang
Padri
War
Paderi meletus di Minangkabau

antara tahun 1821 hingga 1837. Kaum


Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol
melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatanperbuatan yang marak waktu itu di
masyarakat Minang, seperti perjudian,
penyabungan ayam, penggunaan madat (
opium), minuman keras, tembakau, sirih,
juga aspek hukum adat matriarkat
mengenai warisan dan umumnya
pelaksanaan longgar kewajiban ritual
formal agama Islam.

Perang baru berhenti tahun 1838 setelah


seluruh bumi Minang ditawan Belanda dan
setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol
ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir
pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi
benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah
pimpinan Tuanku Tambusai, baru jatuh tahun
1838. Alam Minangkabau menjadi bagian dari
pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842,
pemberontakan Regent Batipuh meletus.

Continuation of The
History
...
Belanda menyerang
benteng kaum Paderi di
Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi
yang sebagian besar terdiri dari berbagai
suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon. Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel
Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der
Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama
Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di
Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Ketika

dimulai serangan terhadap


benteng Bonjol, orang-orang
Bugis berada di bagian depan
menyerang pertahanan Paderi.
Belanda menggunakan 2 benteng
sebagai pertahanan selama
perang Padri,Fort de Kock dan
Fort van der Capellen di
Batusangkar.

Continuation War (Bonjol


War)

Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie.


Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang,
Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji
Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap
hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi
perintah ialah Tuanku Haji Be Di Bonjol
dengan pertahanan enam meriam di daerah
gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar
pertahanan dan parit-parit.

Pada

tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke


tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu
kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang
yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan
18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah
meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orangorang Minang. Mereka membunuh sersan dan
seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas
dendam dengan cara memanggil beberapa
pemimpin dari daerah Agam untuk
menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13
orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke13 orang itu digantung semua. Setelah
kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari
Pagaruyung dibuang ke Batavia.

Pemerintah

Hindia Belanda kini telah menyadari


bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum
paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka
pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang
disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah
pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke
Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai
negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang
dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau
akan tetap diperintah oleh para penghulu adat
mereka dan tidak pula diharuskan membayar
pajak.
Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan,
mencegah terjadinya "perang antar-nagari",
membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan
sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol
jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.

A Negotiation
Residen Belanda mengirim utusan-utusannya
untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku menyatakan bersedia melakukan
perundingan dengan Residen atau dengan
komandan militer. Perundingan itu tidak boleh
lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari
berkibar bendera putih dan gencatan senjata
berlaku. Tuanku datang ke tempat berunding
tanpa membawa senjata. Tapi perundingan tidak
terlaksana. Tuanku Imam Bonjol yang datang
menemui panglima Belanda untuk berunding,
malah ditangkap dan langsung dibawa ke
Padang, untuk selanjutnya diasingkan ke
berbagai daerah hingga meninggal dunia tahun
1864.

Wassalamualaikum
Wr.
Sekian Dan Terimakasih
Wb

Anda mungkin juga menyukai