Anda di halaman 1dari 7

Kolelitiasis

Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat


ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau
pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol,
terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung
empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik
maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut: ada masa asimtomatik setelah kolesistektomi, morfologik cocok
dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak
ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia, dapat
ditemukan sisa cacing askaris atau cacing jenis lain di dalam batu tersebut.
Morfologik batu primer saluran empedu antara lain bentuknya ovoid, lunak,
rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan warna coklat muda sampai coklat gelap.
Insidens. Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak
menyerang orang dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala
atau bertanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara
diagnosis dengan ultrasonografi.
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di
negara Barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian
batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak
batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu
kolesterol sejak 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini
betul-betul oelh karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya hidup,
termasuk perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan
menurunnya frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkan perubahan
insidens hepatolitiasis.
Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan
angka yang terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara
tetangga seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut
berperan penting dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insidens batu
primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di
dunia Barat sekitar 5 persen.
Perbedaan lain dengan di negara Barat ialah batu empedu banyak
ditemukan mulai pada usia muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata
tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60 tahun, insidens batu saluran
empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah
penderita lelaki. Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung

empedu, tetapisepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus


koledokus. Oleh karena itu, kolangitis di negara Barat ditemukan pada berbagai
usia, dan merupakan sepertiga dari jumlah kolesistitis. Batu intrahepatik dan
batu primer saluran empedu juga cukup sering ditemukan.

Jenis batu
BATU KOLESTEROL. Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal
kolesterol, dan sisanya adalah kalsiumkarbonat, kalsiumpalmitat, dan
kalsiumbilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri,
dan ada yang seperti buah murbei.
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu
penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi,
danpertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui
kapasitas daya larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya
sekresi kolesterol atau penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid.
Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain terjadi misalnya pada
keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, dan pemakaian obat yang
mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi asam empedu akan menurun pada
penderita dengan gangguan absorbsi di ileum atau gangguan daya pengosongan
primer kandung empedu.
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu,
kecuali bila ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus
dapat berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria,
atau benda asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi
pembentukan batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal
kolesterol di atas matriks inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan
relatif pelarutan dan pengendapan. Struktur matriks agaknya berupa endapan
mineral yang mengandung garam kalsium.
Stasis kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain
faktor yang telah disebut di atas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu
yang litogenik akibat stasis tadi.
BATU BILIRUBIN. Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium
bilirubinat dan disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak
bervariasi. Batu ini sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat
berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam,
dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu ini sering bersatu
membentuk batu yang lebih besar. Batu pigmen yang sangat besar dapat
ditemukan di dalam saluran empedu. Batu pigmen adalah batu empedu yang
kadar kolesterolnya kurang dari 25 persen. Batu pigmen hitam terbentuk di
dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan keseimbangan
metabolik seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa didahului infeksi.
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin
berhubungan dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirubin

dan ekskresi kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat


bakteria gram negatif, terutama E.coli. pada batu kolesterol pun, E.coli yang
tersering ditemukan dalam biakan empedunya.
Beberapa faktor yang juga disangka berperan adalah faktor geografi,
hemolisis. Dan sirosis hepatik. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan
penyerapan di dalam ileum tidak mempertinggi risiko batu bilirubin. Pada
kolangitis oriental atau kolangitis piogenik rekurens ditemukan batu pigmen
intrahepatik primer yang menimbulkan kolangitis rekurens. Keadaan lain yang
berhubungan dengan batu pigmen dan kolangitis bakteria gram negatif di Asia
Timur ialah infestasi parasit Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, dan Ascaris
lumbricodes.
Jntuk kurun waktu puluhan tahun, jenis batu empedu yang predominan di
wilayah Asia Timur adalah batu bilirubin, yang dapat primer terbentuk di mana
saja di dalam sistem saluran empedu, termasuk intrahepatik (hepatolitiasis).
Tentu saja kedua jenis batu empedu tersebut dapat saja ditemukan di wilayah
mana pun di dunia, yang berbeda barangkali insidennya saja.
Sebagai pegangan umum, pada penderita batu bilirubin, tidak ditemukan
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol baik di dalam kandung empedu
maupun di hati. Pada penderita batu bilirubin, konsentrasi bilirubin yang tidak
berkonjugasi meningkat, baik di dalam kandung empedu maupun di dalam hati.
Patogenesis. Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam
saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri
meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu
tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna coklat, lunak, bentuknya
seperti lumpur dan rapuh.
Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau
kolangitis oriental yang sering sulit penanganannya.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu
berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan
perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan
striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu
besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu
duktus sistikus.
Kolelitiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu
pemeriksaan ultrasonografi, pembuatan foto polos perut, atau perabaan sewaktu
operasi. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan.
Gambaran klinis. Anamnesis. Setengah sampai dua pertiga penderita
batu kandung empedu adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul
berupa dispepsia yang kadang disertai intolerans terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah
kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahanlahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke


puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang
setelah makan antasid. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu
tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang
merupakan tanda rangsangan peritonium setempat (tanda Murphy).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di peigastrium dan
perut kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila
terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin berwarna gelap yang hilang
timbul.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih
banyak ditemukan di daerah tungkai daripada di badan.
Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan disertai
syok dan gangguan kesadaran.

Pemeriksaan fisik
BATU KANDUNG EMPEDU. Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan
dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik napas.
BATU SALURAN EMPEDU. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala
atau tanda dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera
ikterik. Patut diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
baru akan timbul ikterus klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial
nonplogenik yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu demam dan menggigil,
nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangitis, biasanya berupa
kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade Reynold,
berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau
penurunan kesadaran sampai koma.
Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai
kemungkinan hepatolitiasis.

Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
ada sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat

penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong
Hartmann, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.

Pemeriksaan pencitraan
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi, punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.
Foto polos parut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu yang kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar, di fleksura hepatika.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras yang diberikan per
os cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum di
atas 2 mg/dl, obstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Payaran-CT tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis
batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk membantu diagnosis keganasan
pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90
persen.
Foto Rontgen dengan kolongipankreatikografi endoskopi retrogard di
papila Vater (ERCP) atau melalui kolongiografi transhepatik perkutan (PTC)
berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya ialah batu
kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi
dengan ultrasonografi dan kolesistografi oral, misalnya karena batu kecil.
Penyulit. Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat
menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis,
dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk ke dalam duodenum
melalui papila Vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa,
peradangan, udem, dan striktur papila Vater.

Obstruksi usus oleh batu empedu


Batu empedu dapat lolos masuk ke dalam lumen saluran cerna. Apabila batu
empedu tersebut cukup besar dapat menyumbat bagian tersempit jalan cerna,
yaitu ileum terminal dan menimbulkan ileus obstruksi.
Tata laksana. Kolelitiasis ditangani baik secara nonbedah terdiri atas lisis batu
dan pengeluaran secara endoskopik. Selain itu, dapat dilakukan pencegahan
kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki empedu litogenik dengan
mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara
mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin
dikenal dapat menghambat sintesis kolesterol karena menghambat enzim HMGCoA reduktase.
Lisis batu. Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin
berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan
pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan
ke dalam kandung empedu dengan metilbutil eter berhasil setelah beberapa
jam. Tetapi ini merupakan terapi invasif tetapi kerap disertai penyulit.
Pembedahan memang dilakukan untuk batu kandung empedu yang
simtomatik. Masalahnya, perlu ditetapkan apakah akan dilakukan kolesistektomi
profilaksis secara efektif pada yang asimtomatik. Indikasi keolesitektomi efektif
konvensional maupun laparoskopik adalah kolelitiasis asmtomatik pada
penderita diabetes melitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan
komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak terlihat pada
kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiamter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih
sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.
Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan
kejadian karsinoma. Pada semua keadaan tersebut dianjurkan kolesistektomi.
Tata laksana medis koledokolitiasis. Penderita yang menunjukkan gejala
kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut,
dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotik sistemik, dan pemberian
vitamin K sistemik kalau ada koagulapati. Biasanya keadaan umum dapat
diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.
Tata laksana endoskopik. Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum
tidak membaik atau kondisi penderita malah semakin buruk, dapat dilakukan
sfingterotomi endoskopik untuk menyalir empedu dan nanah dan membersihkan
duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier.
Cara ini juga berhasil melalui sfingterotomi sfingter Oddi di papila Vater,
yang memungkinkan batu keluar secara spontan atau melalui kateter Fogarty
atau kateter basket. Indikasi lain dari sfingterotomi endoskopik ialah adanya
riwayat kolesistektotmi. Apabila batu Duktus koledokus besar, yaitu berdiameter
lebih dari 2 cm, sfinterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu
ini. Pada penderita ini dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk mengeluarkan batu
duktus koledokus secara mekanik melalui papila Vater dengan alat ultrasonik
laser. Umumnya penghancuran ini dilakukan bersama-sama atau dilengkapi
denga sfingterotomi endoskopik.

Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous transhepatic biliar


drainage = PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien
dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledoskop dari luar
untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
Koledokotomi. Sambil memperbaiki keadaan umum serta mengatasi
infeksi kolangitis, diagnosis dipertajam. Biasanya denga ultrasonografi
ditemukan kolesistolitiasis disertai koledokolitiasis. Kalau pada kandung empedu
tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di dalam
duktus koledokus ditemukan batu apalagi bila batu ditemukan di saluran
intrahepatik, perlu dicurigai batu primer saluran empedu, pemeriksaan
endoskopik (ERCP) dapat membantu penegakan diagnosis sekaligus dapat
dilakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara.
Pada waktu laparotomi untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah
akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran empedu.
Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang
dicurigai menderita koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu.
Tindakan ini hanya dilakukan atas indikasi yang selektif.
Indikasi membuka duktus koledokus adalah jelas jika ada kolangitis, teraba
batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif ialah ikterus dengan pelebaran
duktus koledokus. Untuk menemukan indikasi absolut dilakukan kolangiogram
sewaktu pembedahan.
Sewaktu melakukan eksplorasi saluran empedu, semua batu, lumpur dan
debris harus dibersihkan, sebaiknya dengan bantuan koledokoskop. Kalau ada
striktur sfingter Oddi, harus dilakukan dilatasi dengan sonde khusus atau
dilakukan sfingterotomi transduodenal. Umumnya dipasang penyalir pipa T
setelah luka koledokotomi dijahit, kemudian dilakukan kolangiografi
pascaeksplorasi untuk mengetahui apakah ada batu yang tertinggal, agar segera
dapat dikeluarkan.
Koledokoduodenostomi. Setelah eksplorasi saluran empedu dan
pengangkatan batu secara sempurna, mungkin perlu penyaliran empedu
diperbaiki
dengan
koledokoduodenostomi
latero-lateral
atau
koledokoyeyunostomi Roux-en-Y. Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di duktus
koledokus distal atau di papila Vater yang terlalu panjang untuk dilakukannya
dilatasi atau sfingterotomi. Striktur demikian mungkin terjadi pascapankreatitis.

Anda mungkin juga menyukai