Anda di halaman 1dari 18

Diagnosis Prenatal dan Konseling Genetik pada

Kehamilan
Disusun Oleh:
Kasoki Sifa Justine
10.2013.478
C-3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kampus II Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Email: sifajustine27@gmail.com

Pendahuluan
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur dan
fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir mempunyai masalah dengan
kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital mayor
merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan
empat besar kasus rawat inap di bagian anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan teknologi
dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan prenatal,
sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara obstetri dan
pediatrik. Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa yaitu :
1.
Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital.
2.
Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.
3.
Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) ditemukan mempunyai kelainan
struktur dan perkembangan.
Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal dalam
mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas tampak, dan juga
peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang masih belum tampak jelas
secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai pembimbing yang sangat akurat untuk
berbagai prosedur seperti: pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis,
pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan biopsi janin.
Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan terjadinya
kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan atau deteksi dini
1

golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang
meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya
berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor.1
Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi dengan cacat
bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining genetika dalam kehamilan,
konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan suportif lainnya berupa terminasi
kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero.1
ANAMNESIS

Riwayat

Riwayat

Riwayat

Riwayat

Kehamilan ini
Usia ibu hamil

Obstetri lalu
Jumlah

Penyakit

Sosial Ekonomi
Status

Hari pertama

kehamilan

Jantung

perkawinan

haid terakhir,

Jumlah

Tekanan

Respon ibu

siklus haid

persalinan

darah tinggi

dan keluarga

Perdarahan per

Jumlah

Diabetes

tehadap

vaginam

persalinan

mellitus

kehamilan

Keputihan

cukup bulan

TBC

Jumlah

Mual dan muntah

Jumlah

Pernah

keluarga di

Masalah/kelainan

persalinan

operasi

rumah yang

pada

premature

Alergi

membantu

kehamilansekarang

Jumlah anak

obat/makanan

Pemakaian

hidup

obatobat (termasuk

Jumlah

Ginjal

pembuat

jamu-jamuan)

keguguran

Asma

keputusan

Jumlah aborsi

Epilepsi

dalam

Perdarahan

Penyakit hati

keluarga

pada

Pernah

Kebiasaan

kehamilan,

kecelakaan

makan dan

Siapa

persalinan,

minum

nifas

Kebiasaan

terdahulu

merokok,

Adanya

menggunakan
2

hipertensi

obat-obatan

dalam

dan alkohol

kehamilan

Kehidupan

pada

seksual

kehamilan

Pekerjaan

terdahulu

dan aktivitas

Berat bayi <

sehari-hari

2,5 kg atau

Pilhan tempat

berat bayi > 4

untuk

kg

melahirkan

Adanya

Pendidikan

masalahmasalah

Penghasilan

selama
kehamilan,
persalinan,
nifas
terdahulu
Indikasi Diagnosis Prenatal
Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35 tahun),
abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain yang
positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut:
1.
2.

Usia maternal 35 tahun atau lebih


Riwayat wanita hamil / keluarganya / keluarga pasangannya

dengan anomali

kromosom, seperti sindrom Down.


3.
Orang tua dengan karier translokasi kromosom
4.
Abnormalitas MSAFP (maternal serum alfa feto protein) atau multiple markers
5.
6.
7.
8.
9.

screen
Riwayat keluarga dengan neural tube defect (NTD)
Riwayat gangguan gen tunggal hadir dalam dirinya atau keluarga suaminya.
Malformasi kongenital yang didiagnosis dengan USG.
Kecemasan.
Wanita hamil atau orangtuanya telah memiliki anak sebelumnya dengan kelainan

10.

kromosom.
Wanita hamil memiliki riwayat aborsi berulang, atau istri sebelum dari suaminya
mengalami beberapa kali keguguran.

11.

Wanita hamil dipengaruhi dengan tipe 1 diabetes mellitus, epilepsi, atau distrofi

myotonic.
12.
Wanita hamil terkena infeksi virus, seperti rubela atau sitomegalovirus.
13.
Wanita hamil yang terkena obat yang berlebihan atau bahaya lingkungan.
14.
Saudara laki-laki nya memiliki distrofi otot Duchenne atau hemofilia berat.
15.
Wanita hamil diduga memiliki beberapa gen berbahaya lainnya pada kromosom Xnya.
16.

Janin yang didiagnosis dalam rahim memiliki beberapa kesalahan turun-temurun dari
metabolisme.1,2
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani

pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai meningkat
dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis ibu. Pada usia 35
tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom adalah
1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun
namun hal ini belum menjadi konsensus.
Pasangan yang pernah mempunyai anak trisomi mempunyai kemungkinan rekurens
sebesar 1% sehingga perlu ditawari untuk diagnosis prenatal. Saudara kandung dan keluarga
dekat (tingkat kedua) dari penderita sindroma Down juga mempunyai sedikit peningkatan
risiko untuk mendapat keturunan yang menderita sindroma Down, namun banyak penelitian
yang tidak menemukan peningkatan insiden sindroma Down dalam keluarga pada tingkat
kedua dan ketiga.
Translokasi dan rearrangement struktur kromosom yang lain merupakan predisposisi
untuk mendapat keturunan dengan kelainan kromosom. Pasangan yang salah satu partnernya
adalak karier translokasi berimbang resiprocal mempunyai risiko tinggi untuk mendapat
abortus berulang. Diagnosis prenatal pada keturunannya menemukan hampir 10-12% dengan
translokasi kromosom yang tidak berimbang. Turunan dari penderita karier translokasi
Robertsonian berisiko untuk mendapat turunan dengan trisomi dan monosomi, bahkan pada
karier translokasi robertsonian 21-21 seluruh keturunannya diprediksi akan menjadi trisomi
atau monosomi (lethal) kromosom 21.
Riwayat keluarga dengan defek gen tunggal, yang memerlukan diagnosis prenatal
tergantung dari banyak faktor, seperti berapa jauh hubungan kekerabatan antara anggota
keluarga yang sakit dengan individu yang meminta konseling, demikian juga halnya
frekuensi dari penyakit tersebut dalam populasi.
Pasangan keluarga yang mempunyai anak dengan kelainan gen, akan mempunyai
risiko berulang, tetapi risiko ini akan menurun dengan bertambah jauhnya jarak dengan
individu yang berisiko. Sebagai contoh orang tua dengan anak kelainan autosomal resesif
4

mempunyai risiko kelainan berulang 25% setiap kehamilannya, sebaliknya keturunan dari
saudara kandungnya mempunyai risiko 2/3 x risiko bila partnernya karier (frekuensi karier
dalam populasi bila tidak ada riwayat dalam keluarga) x risiko untuk mendapat keturunan
yang sakit bila kedua orang tuanya karier (1/4). Untuk penyakit kistik fibrosis dengan
frekuensi karier dikalangan kaukasian Amerika adalah 1 dari 25, maka risiko untuk saudara
kandung yang tidak sakit dari penderita kistik fibrosis adalah: 2/3 X 25 X = 1/150.
Skrining karier saat ini telah digunakan secara luas terhadap beberapa penyakit resesif,
seperti sickle cell anemia, penyakit Tay-Sachs dan terakhir penyakit Canavan. 1
Jenis-jenis Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal noninvasif
1. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
USG adalah prosedur noninvasif untuk pencitraan anatomi janin. Hal ini tidak
berbahaya untuk janin dan ibu. USG dapat mengevaluasi usia kehamilan, serta
mengidentifikasi kembar, posisi janin, letak plasenta, pertumbuhan janin, perkembangan,
dan gerakan, dan setiap cacat lahir structural, dapat menilai volume cairan ketuban.
Banyak sistem organ janin dan lesi anatomi, termasuk beberapa kelainan genitourinari,
pencernaan, tulang, dan sistem saraf pusat dan kardiopati bawaan, bisa divisualisasikan
oleh USG kehamilan antara 16-20 minggu. Dengan USG dapat dideteksi katarak bawaan
pada janin yang belum lahir dengan trisomi 21. USG juga digunakan untuk memandu
pengambilan sampel invasif, seperti amniosentesis, CVS, kordosentesis, dan biopsi janin.
Spina bifida dapat dideteksi di awal kehamilan dengan diameter biparietal (BPD) pada
USG. BPD lebih rendah pada bayi dengan spina bifida. Setengah dari cacat bawaan bisa
dideteksi oleh modalitas ini.
Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan USG,
maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis prenatal dalam
mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18 minggu, dengan
penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi abnormalitas morfologi janin
mulai kehamilan 13 minggu.
Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal meliputi
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Konfirmasi kehidupan janin


Penentuan umur kehamilan yang akurat
Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
Deteksi anomali pada janin
Pemantauan pertumbuhan janin
Penilaian kesejahteraan janin
5

7. Penentuan lokasi plasenta dan tepinya


8. Pemantauan real time untuk prosedur invasive
9. Deteksi kelainan uterus dan adneksa

Gambar 1. USG Prenatal


Diunduh dari : http://home.spotdokter.com/wpcontent/uploads/2012/07/images.jpg.

RCOG pada tahun 1997 membuat rekomendasi untuk pemakaian USG sebagai
berikut :
1. Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada janin
dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
2. Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena mampu
mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan.
3. Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu merupakan
metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada janin.
4. Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan namun wanita
perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau diperiksa. Harus tersedia
informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan. Ketetapan mengenai konseling dan
informasi yang memadai harus merupakan bagian dari program skrining.
5. Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai dampaknya.
Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli lain selain
ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli genetik dan ahli bedah
anak.
6. Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih.
Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan menggunakan protokol
atau daftar tilik yang telah disetujui.
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya tulang
tengkorak pada anencephali.
6

2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian tubuh tertentu
pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada dwarfism.
3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan, misalnya
adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya dilatasi pada saluran
ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama pada saat ibu
mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat kehamilan 20 minggu, minimal
pada kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan adanya kelainan maka harus dirujuk untuk
diperiksa oleh tenaga yang terampil untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan
penanganan selanjutnya yang sesuai. Keputusan penanganan harus dilakukan dengan
mendapat masukan dari tim dengan keahlian yang multidisplin. Orang tua harus terlibat
langsung dan mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan.
Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada jantung, defek
dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan ginjal dan nuchal
translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan dengan anomali kromosom
atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan demikian pemeriksan dengan USG akan
memberikan manfaat yang besar.
Standar RCOG untuk pemeriksaan USG pada kehamilan 20 minggu adalah
sebagai berikut :
1. Umur kehamilan : dengan mengukur diameter biparietal (BPD), lingkar kepala (HC)
dan panjang femur (FL)
2. Bentuk kepala dan struktur di dalamnya : midline echo, kavum pellucidum,
cerebellum, ukuran ventrikel dan atrium (< 10 mm)
3. Spina : longitudinal dan transversal
4. Bentuk abdomen dan isinya ( setinggi lambung)
5. Bentuk abdomen dan isinya (setinggi umbilikus)
6. Pelvis ginjal (jarak anterior-posterior < 5 mm)
7. Aksis longitudinal : tampak toraks abdominal (diafragma / buli-buli)
8. Toraks (setinggi 4 chamber view)
9. Lengan 3 tulang dan tangan (tidak termasuk jari-jari)
10. Tungkai 3 tulang dan kaki (tidak termasuk jari-jari)
11. Optional : pembuluh darah yang keluar dari jantung, muka dan bibir1-3
2. Ekokardiografi janin
Ekokardiografi janin dapat dilakukan pada usia kehamilan 15 minggu dan
seterusnya. Bila teknik ini digunakan dengan duplex atau warna aliran Doppler, dapat
mengidentifikasi sejumlah besar cacat jantung struktural dan gangguan irama.
Ekokardiagrafi janin dianjurkan dalam kasus di mana cacat jantung dicurigai.2
7

3. Mengukur alfa fetoprotein - serum ibu


Janin yang sedang berkembang memiliki 2 protein darah utama, albumin dan
alpha-fetoprotein (AFP), sementara orang dewasa hanya memiliki albumin dalam darah
mereka. Tingkat MSAFP (maternal serum alfa feto protein) dapat digunakan untuk
menentukan tingkat AFP dari janin. Nilai normal MSAFP adalah 0.5-2.5 MoM (Multiple
of Median). MSAFP meningkat pada NTD (neural tube defect), misalnya anensefali,
spina bifida, juga dapat meningkat pada cacat dinding perut janin. Namun MSAFP juga
dapat meningkat sesuai usia kehamilan, pada diabetes gestasional, kembar, kehamilan
dengan komplikasi perdarahan, dan dalam hubungannya dengan hambatan pertumbuhan
dalam kandungan.
Tes MSAFP memiliki sensitifitas terbesar antara 16-18 minggu kehamilan, tetapi
juga dapat dilakukan antara 15-22 minggu kehamilan. Kombinasi dari tes MSAFP dan
USG mendeteksi hampir semua kasus anensefali dan sebagian besar kasus spina bifida.
Juga, NTD dapat dibedakan dari cacat janin lainnya, seperti cacat dinding perut, dengan
menggunakan tes acetylcholinesterase dilakukan pada cairan ketuban yang diperoleh dari
amniosentesis. Jika acetylcholinesterase meningkat bersama dengan MSAFP hal ini
menunjukkan terjadinya NTD. Sebaliknya jika kadar MSAFP rendah, hal ini
menunjukkan terjadinya sindrom Down (ditambah dengan kadar estriol serum ibu yang
rendah, juga kadar -HCG yang tinggi) atau aneuploidi kromosom lainnya atau gagalnya
suatu kehamilan.2
Diagnosis prenatal infasif
Dengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal maka metode
yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga meningkat dengan cepat.
Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis
(CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel
yang diperoleh dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH),
diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan atau evalusi
biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur invasif ini mempunyai
keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan
diagnosis prenatal.
1. Amniosintesis midsemester
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung
sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun
8

1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis menjadi alat
diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk
memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal
pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas
menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit
yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital.
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin.
Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan
dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Selsel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH.
Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis
karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk
menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi
penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih
akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi
ini.
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada
usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai
(sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio
terbesar.
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk
menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi
anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta
memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu
dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum
ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat.
Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput
ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus
melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk
mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling tipis jauh
dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal.
Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu
memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar
jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan
9

jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion
yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan
sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung
untuk analisa sitogenetika.
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat
dilakukan pada lokasi lain setelah terlebih dahulu menilai kembali keadaan janin dan
letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi
penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk
beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang
sama.
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang
berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas
diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan.
Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum
namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat
mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari
amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan
perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput
ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi
reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan
pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai.
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif
setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan
menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian
anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien
Rh-negatif yang belum tersensitasi.

10

Gambar 2. Amniosintesis
Diunduh dari : http://thisability.org/yahoo_site_admin/assets/images/amniocentesis
1329337113317.19295834_std.jpg
2. Amniosintesis dini
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan
sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air
ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga
sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus
belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan
pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan
diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi
korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi.
Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml.
Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih
besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada
kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih
lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS, amniosintesis dini
mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan mosaicsm yang lebih rendah.
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan
amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun
Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok
amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan
11

yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs
1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara
kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk
tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.
3. Pemeriksaan villi korialis
Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa
kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih
lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin
sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga
diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun
1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan
kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada
hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12
minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode
biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam
kehamilan terutama pada penyakit turunan.
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal.
Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin
dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka
tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus,
namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus
keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat
pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk
manipulasi kateter.
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian
masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5
cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam
uterus dengan tuntunan USG sampai terasa

tahanan menghilang pada endoserviks.

Operator menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter


dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan
pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang
terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang
12

terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk


mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah
dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat
jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.
Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid Jensen dan
Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau
20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam
tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai
lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan
maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat
terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14
minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi
alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan
yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi
anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk
reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan
setelah usia > 11 minggu.
Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan
hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil,
namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.
4. Pemeriksaan darah janin / kordosentesis
Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin
dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke
dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical
blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah
yang sering digunakan.
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.
Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari
kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat
namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi
korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan
ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi
plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat

13

(usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan


karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.
Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan

hemoglobinopathi,

koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta


penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah :
terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada
janin dengan hidrops.
Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke
tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih
sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran
jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang
dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung
pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel
darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang
baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih
besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik
maupun jantung janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya
hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan
untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan
denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu
komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D
immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.
5. Biopsi janin
Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.
Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi,
dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak
memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain: kulit,
otot, liver, ginjal dan otak.
Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah
untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti
dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan
14

memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan
janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil
biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.
Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk
diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X,
gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal untuk
janin yang berisiko dapat dilakukan

dengan metode molekuler (polymerase chain

reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.
Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit
yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi
korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini dan
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin
transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency,
glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).1,2,4
Konseling genetik
Konseling genetik merupakan proses komunikasi yang berhubungan dengan kejadian
atau risiko kejadian kelainan genetik pada keluarga. Dengan adanya konseling genetik, maka
keluarga memperoleh manfaat terkait masalah genetik, khususnya dalam mencegah
munculnya kelainan-kelainan genetik pada keluarga. Manfaat ini dapat diperoleh dengan
melaksanakan tindakan-tindakan yang dianjurkan oleh konselor, termasuk di dalamnya
tindakan untuk melakukan uji terkait pencegahan kelainan genetic. Tindakan-tindakan yang
disarankan dapat disarankan oleh konselor dapat meliputi tes sebagai berikut:
1. Prenatal diagnosis
Prenatal diagnosis merupakan tindakan untuk melihat kondisi kesehatan fetus yang belum
dilahirkan. Metode yang digunakan meliputi ultrasonografi, amniocentesis, maternal
serum, dan chorionic virus sampling.
2. Carrier testing
Carrier testing merupakan tes untuk mengetahui apakah seseorang menyimpan gen yang
membawa kelainan genetik. Metode yang digunakan untuk melaksanakan tes tersebut
adalah uji darah sederhana untuk melihat kadar enzim terkait kelainan genetik tertentu,
atau dengan mengecek DNA, apakah mengandung kelainan tertentu.
3. Preimplantasi diagnosis
Preimplantasi diagnosis merupakan uji yang melibatkan pembuahan in vitro untuk
mengetahui kadar kelainan genetik embrio preimplantasi. Biasanya seorang wanita yang
15

akan melakukan uji akan diberi obat tertentu untuk merangsang produksi sel telur
berlebihan. Sel telur akan diambil dan diletakkan di cawan untuk dibuahi oleh sperma
donor. Setelah pembuahan maka sel embrio yang terbentuk akan dianalisa terkait dengan
kelainan genetik.
4. Newborn screening
Newnborn screening merupakan pemeriksaan bayi pada masa kelahiran baru.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan genetik, endokrinologi, metabolik, dan hematologi.
Diharapkan dari pemeriksaan ini dapat ditentukan prognosis ke depannya, sehingga
perawatan (treatment) yang berkenaan dapat diupayakan.
5. Predictive testing
Predictive testing merupakan tes yang digunakan untuk menguji apabila seseorang
menderita kelainan genetik dengan melihat riwayat genetik keluarga sebelumnya. Tes ini
dilakukan setelah kelahiran, dan biasa juga disebut sebagai presymptomatic testing.
Apabila hasil diagnosis menunjukkan adanya kelainan genetik maka konselor dapat
menyarankan pilihan-pilihan berikut:
1. Agar tidak memiliki anak
Keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan keputusan yang berat bagi orang tua,
karena memiliki anak merupakan dambaan bagi setiap orangtua. Oleh karena itu konselor
harus menerangkan secara terperinci mengenai indikasi tidak memiliki anak, termasuk di
antaranya kemungkinan untuk terpapar kelainan genetik, sehingga orang tua dapat
mempertimbangkan keputusan tersebut.
2. Mengadopsi
Apabila pilihan untuk tidak memiliki anak tidak dapat diterima oleh orang tua, salah satu
jalan keluarnya berupa pilihan untuk mengadopsi anak. Anak yang diadopsi dapat
merupakan anak saudara sendiri (keponakan) atau anak orang lain yang tidak memiliki
hubungan darah. Dalam hal ini mengadopsi anak saudara sendiri memiliki risiko kelainan
genetik lebih besar daripada mengadopsi anak orang lain yang tidak memiliki hubungan
darah. Konselor harus mengetahui terlebih dahulu pedigree keluarga tersebut, dan
memprediksi apakah di antara saudara-saudara terdapat (kemungkinan) menderita
kelainan genetik, dengan demikian keluarga dapat mengambil keputusan yang terbaik
menurutnya.
3. Kehamilan dengan donor sperma atau ovum
16

Kehamilan dengan donor sperma atau ovum merupakan salah satu solusi, di mana sel
sperma dan sel telur dipertemukan di luar rahim. Dalam hal ini akan diperiksa apakah sel
sperma atau sel ovum yang mengandung kelainan genetik. Sel yang mengandung
kelainan genetik akan digantikan dengan sel dari donor, sehingga tetap terjadi pembuahan
dan diharapkan anak yang dilahirkan dapat hidup sehat dengan risiko terpapar kelainan
genetika yang minim.
4. Keputusan untuk tidak mempunyai anak lagi
Keputusan untuk tidak mempunyai anak lagi merupakan solusi yang dapat diambil untuk
orangtua yang telah memiliki anak sebelumnya namun menderita kelainan genetik,
sehingga dengan demikian kehadiran anak berikutnya yang diprediksi bakal menderita
kelainan genetik dapat dihindari.
5. Tindakan operasi
Tindakan operasi dapat diterapkan untuk kelainan genetik tertentu seperti spina bifida
atau congenital diaphragmatic hernia (suatu kondisi di mana terdapat lubang pada
diafragma sehingga membuat paru menjadi tidak berkembang). Pilihan ini dapat
dilakukan pada masa sebelum kelahiran. Namun kebanyakan penyakit genetik tidak dapat
diobati dengan tindakan operasi.
6. Menterminasi kehamilan
Terminasi kehamilan/ aborsi merupakan solusi yang paling memberatkan bagi orangtua,
terlebih bagi orangtua muda yang belum mempunyai anak sebelumnya. Konselor harus
mempu menjelaskan dengan baik dan mudah mudah dimengerti oleh orangtua mengenai
indikasi dan kontraindikasi medis pelaksanaan aborsi. Konselor juga harus memahami
aspek etis yang menyertainya serta melakukan pendekatan holistik. Dengan demikian
orangtua tersebut dapat berpikir jernih dalam mengambil keputusan yang terbaik.
7. Membiarkan anak lahir
Orangtua juga dapat ditawarkan pilihan untuk meneruskan kehamilannya, dengan risiko
bahwa anak yang dilahirkan menderita kelainan genetik dan umurnya hanya sebentar.
Pilihan ini memungkinkan orangtua untuk melihat anaknya sebelum meninggal walaupun
hanya sesaat.
Namun pilihan apapun yang disarankan oleh konselor harus didiskusikan dulu dengan pasien,
dalam artian bahwa pasien diberikan kebebasan untuk berpikir jernih dan memilih keputusan
apa yang harus diambil. Konselor wajib memberikan semua informasi, termasuk baik-buruk
mengenai tindakan yang dapat diambil tanpa ada kesan menutup-nutupi.5
17

Penutup
Prenatal diagnostik sangat disarankan bagi wanita hamil 35 tahun, dimana faktor resiko
terjadinya kelainan pada janin meningkat. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan
sedini mungkin sehingga jika ditemukan kelainan dapat dikoreksi jika kelainan tersebut
dapat dikoreksi atau jika perlu dilakukan terminasi kehamilan.

Daftar Pustaka
1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Prenatal
diagnosis and therapy. In: Williams obstetrics. 21 ed. New York: McGraw Hill;
2001.h.973-1003.
2. M Teresa. Prenatal Diagnosis for Congenital Malformations and Genetic Disorders. 7
Agustus 2012. Diunduh dari www.medscape.com, 14 September 2015.
3. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins G. Teknikteknik yang digunakan untuk mengkaji kesehatan janin. In: Williams obstetrics. 21 ed.
New York: McGraw Hill; 2001.h.1221-73.
4. L Tom, F Avroy. Perewatan kehamilan, skrining prenatal, kedokteran dan pembedahan
fetal. In: At a glance neonatologi. Jakarta: ERLANGGA; 2009.h. 16-7.
5. Burke W. Genetic testing. N Engl J Med; 5 Desember 2002.h.1867-75.

18

Anda mungkin juga menyukai