dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur
agama dan moral etika utama yang positif. Oleh karena itu diperlukan sikap moral
yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik
untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Muhammadiyah meyakini bahwa Negara dan usaha-usaha membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui
pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak
diperlukan untuk membangun nilai-nilai Ilahiyah melandasi dan tumbuh subur
kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, dan keadaban untuk terwujudnya
baldatun thayibatun Wa Rabbun ghofur.
3. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya
masyarakat madani (civil Society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah
untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi
politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekata-pendekatan secara tepat dan
bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam
kehidupan bernegara yang demokratis.
4. Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis
atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai
politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dan sebaik-baiknya menuju
terciptanya sistempolitik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita
luhur bangsa dan Negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh
kekuatan-kekuatan politik seharusnya benar-benar mengedepankan kepntingan rakyat
dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan
didirikannya Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tahun 1945.
5. Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari dawa
amar maruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan Negara
agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai
wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan
berkeadilan.
6. Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris
dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah
2
mendukung
perpolitikan
nasional
merupakan
tanggung
jawab
Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang memiliki amal usaha dan moral politik untuk
tetap memberikan pengawasan atas perilaku politik nasional, bikan partai politik.
tidak berlangsung lama karena terjadi konflik intern ditubuh Parmusi. Sejak saat ini
Muhammadiyah keluar dari Parmusi dan melepaskan hubungan organisator dengan
organisasi politik yang ada. Hal ini disebabkan antara lain, pertama karena
Muhammadiyah tidak jelas format politiknya. Kedua karena sistim politik yang
dikembangkan di Indonesia saat itu juga dapat dikatakan masih mencari bentuk. Maka
Muhammadiyah bila dapat dikatakan masih juga mencari format politik tidak dapat
dipisahkan dari sikap ketergantungannya terhadap sistim politik nasional bahkan
sampai sekarang. Kendatipun Indonesia pada waktu itu, masa demokrasi terpimpin,
telah mempunyai sistim politik yang jelas dalam Pancasila tidak dilaksanakan secara
murni dan konsekwen, pada masa orde lama.
3) Adapun kontribusi Muhammadiyah, sebagai sumbangan pikiran untuk penyusunan
GBHN 1988, antara lain adalah sebagai berikut : Judul "Agama dan Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Dengan alasan, bahwa kepercayaan Tuhan Yang
Maha Esa itu bukan agama dan agar tidak mengarah kepada pembentukan agama
baru.
4) Pemasukan Tujuh Kata Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945
Menjelang Sidang Tahunan MPR RI Agustus 2000, muncul perdebatan di
parlemen mengenai pencantuman Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945.
sidang Tahunan MPR tersebut membicarkan amandemen UUD 1945 pasal 29 ayat 1
tentang penegakan Syariat Islam sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta yang
disahkan oleh BPUPKI tanggal 22 Juni 1945. bunyi Piagam jakarta tersebut
ialah: ...Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemelukpemeluknya,. Fraksi di MPR yang menyetujui waktu itu adalah PBB, PPP dan
Organisasi Persatuan Islam. Sedangkan Fraksi lain menolak, bahkan NU dan
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar waktu itu juga menolak dimasukkannya
tujuh kata dari Piagam Jakarta tersebut.
Argumen yang kemukakan adalah formalisasi agama harus didukung oleh
budaya dan kesadaran beragama, bukan semata tertulis dalam konstitusi. Campur
tangan negara dalam pelaksanaan syariat agama tertentu akan menimbulkan bahaya
laten. Campur tangan seperti itu akan menimbulkan sejumlah distorsi atas
pelaksdanaan agama itu sendiri dan politisasi agama untuk tujuan sesaat partai-partai
5
yang sedang berkuasa. Apabila syariat Islam itu menjadi ketetapan dalam Konstitusi,
maka akan ada tuntutan yang sama dari agama lain, sehingga akan menimbulkan
gesekan antarumat beragama yang mengancam kesatuan nasional.
PP
Muhammadiyah
mengeluarkan
Surat
Edaran
bernomor:
korupsi,
Muhammadiyah-NU
bekerjasama
Kemitraan
Bagi
Korupsi.
Gerakan
Nasional
Pemberantasan
Korupsi
ini
terkait melalui bekerjanya sistem politik yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional
menuju terwujudnya tujuan negara.
Daftar Pustaka
10