SAH Traumatik Neurona by Taufik M
SAH Traumatik Neurona by Taufik M
11
Amerika Serikat dengan insidensi 90 per 100.000 penduduk.2 Dilaporkan oleh Thurman
et.al angka kecacatan yang terjadi sekitar 80.000 hingga 90.000 orang pada pasien
dengan cedera kepala.3 Di Indonesia khususnya RSCM Jakarta, penderita trauma kepala
yang dirawat menduduki peringkat pertama penyakit neurologik melebihi kasus penyakit
serebrovaskular.4
Komplikasi primer dari cedera kepala ini yaitu terjadinya perdarahan intrakranial
diantaranya
subdural,
epidural,
intraserebral,
dan
subarakhnoid.2
Perdarahan
subarakhnoid traumatik (SAHt) angka kejadiannya semakin meningkat pada kasus cedera
kepala. Laporan dari studi HIT II angka kejadian SAHt sekitar 33 %. Data lain dari
American Traumatic Coma Data Bank sekitar 40 % dari seluruh kejadian cedera kepala.5
Definisi
Penyebab cedera kepala secara epidemiologi sangat bervariasi. Hampir
setengahnya penyebab cedera kepala yaitu kecelakaan kendaraan bermotor dan sekitar
20 hingga 35 % nya disebabkan karena terjatuh. 6,7 Kejadian tersebut dapat menyebabkan
gejala klinis dari yang ringan hingga berat tergantung seberapa besar dan berat kerusakan
yang terjadi mulai dari luka di kulit hingga kerusakan jaringan otak.8
Terdapat
berbagai
klasifikasi
dari
cedera
kepala.
Berdasarkan
patologi/patofisiologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi komosio, kontusio dan laserasi
serebri. Berdasarkan lokasi lesi, cedera kepala dapat dibagi menjadi lesi difus jaringan
otak, kerusakan vaskular otak dan lesi fokal. Sedangkan berdasarkan derajat kesadaran
(SKG) dapat dibagi menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. 4,9 Klasifikasi
berdasarkan derajat kesadaran ini lebih banyak dipakai di klinik karena standarisasi dan
penilaian prognosis pasien yang lebih jelas, juga untuk pemilahan penatalaksanaan. 9
Ditinjau dari sudut waktu, proses patofisiologi kerusakan otak akibat cedera kepala terdiri
dari 2 jenis, yaitu4,8,10: 1) proses kerusakan primer yang terjadi langsung saat cedera dan
meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusio dan laserasi serebri,
cedera aksonal difus, perdarahan intrakranial dan jenis-jenis lain kerusakan otak, dan 2)
proses kerusakan sekunder, yang merupakan akibat dari proses komplikasi yang dimulai
pada saat cedera namun mungkin secara klinis tidak muncul dalam periode waktu tertentu
sesudahnya adalah tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, yang meliputi hipoksia,
22
iskemia, pembengkakan, infeksi dan kerusakan otak yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial.
Trauma kepala sering kita temukan suatu kerusakan primer berupa perdarahan
intrakranial. Perdarahan intrakranial akibat trauma dapat diklasifikasikan menjadi
perdarahan ekstradural dan intradural. Perdarahan intradural dibagi lagi menjadi
perdarahan subdural, perdarahan intraserebral/serebellar, dan perdarahan subarakhnoid.7
33
Patofisiologi
Dari kepustakaan terdapat berbagai mekanisme terjadinya cedera pada pembuluh
darah intrakranial yang disebabkan oleh keadaan trauma kepala. Akselerasi angular yang
merupakan kombinasi akselerasi translasional dan rotasional adalah bentuk proses cedera
akibat gaya kelembaman (inertial forces) yang paling sering. Pada akselerasi angular,
pusat gravitasi kepala bergerak terhadap poros di pusat angulasi, yaitu vertebra servikal
bawah atau tengah. Kekuatan dan lamanya akselerasi angular menentukan parahnya
kerusakan otak yang disebabkannya. Akselerasi berkecepatan tinggi dalam durasi singkat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah superfisial seperti vena-vena jembatan dan
pembuluh-pembuluh pial. Sedangkan akselerasi berkecepatan tinggi dengan durasi yang
lebih lama dapat menyebabkan kerusakan aksonal.15,16 Perdarahan subarakhnoid
traumatik ini dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah kecil yang melintas dalam
ruang subarakhnoid karena teregang saat fase akselerasi atau deselerasi. 17 Selain itu
terkumpulnya darah di ruang subarakhnoid dapat disebabkan dari darah akibat kontusio
serebral dan perluasan perdarahan intra ventrikel ke ruang subarakhnoid.18
Diagnosis
Dalam menentukan adanya perdarahan di ruang subarakhnoid secara klinis
tidaklah mudah. Pada kasus cedera kepala pasien datang dengan mengeluh sakit kepala
dan riwayat penurunan kesadaran. Hal tersebut semata dapat terjadi akibat cedera kepala
yang dialaminya. Dan pada pemeriksaan fisik neurologis tidak ditemukan suatu tanda
44
iritasi meningeal (kaku kuduk) yang tentunya pemeriksaan tersebut dilakukan setelah
terbukti tidak adanya cedera pada leher atau keadaan fraktur servikal.
Kaku kuduk terjadi karena meningismus, menunjukkan tahanan yang disertai
nyeri terhadap fleksi leher pasif maupun aktif yang disebabkan oleh iritasi meningen
servikal oleh darah dalam ruang subarakhnoid atau oleh inflamasi. 19 Pergerakan fleksi
kepala akan menjadi tegang dan kaku pada struktur lokasi dari meningen, serabut saraf,
atau medula spinalis yang mengalami inflamasi dan ataupun edema. 20 Iritasi pada
meningen yang menimbulkan tanda klinis berupa kaku kuduk ini biasanya timbul dalam
3 hingga 12 jam.21
22,23,24
Punksi
lumbal hanya dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit yang sangat mengarah ke
SAH, namun pada pemeriksaan pencitraan tidak ditemukan gambaran SAH. Pemeriksaan
funduskopi pada SAH hanya dapat menemukan perdarahan subhialoid pada sekitar 17%
pasien.16
Terdapat dua pola penyebab terjadinya SAH paska cedera kepala, yang pertama
disebabkan akibat trauma atau SAHt (diakibatkan ruptur pembuluh darah kecil di ruang
subarakhnoid) dan yang kedua SAH aneurismal (aneurisma yang telah ada sebelumnya
terjadi ruptur setelah trauma kepala).25 SAH yang terjadi pada kasus cedera kepala, harus
kita bedakan apakah hal ini akibat aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan.
Selain anamnesis keadaan tersebut dapat kita bedakan berdasarkan hasil imajing. Dimana
55
pada aneurismal SAH darah lebih banyak terdapat pada cisterna basal, sedangkan
perdarahan SAHt yang terjadi lebih sering terdapat pada sulkus perifer dan fisura
interhemisfer.25
SAH Aneurisma
SAH Traumatik
Year
1987
1990
1992
1992
Patients (n)
25
35
30
50
% Spasm
68
40
27
34
Studi lain pada 47 pasien dengan contusio serebri dilakukan pemeriksaan apakah terdapat
SAHt atau tidak, dimana hampir setengahnya terdapat SAHt (tabel 2). 27 Pada beberapa
hari follow up, pasien dengan SAHt secara signifikan terjadi suatu keadaan vasospasme
dibandingkan yang tanpa SAH (tabel 3).27
66
Tabel 2. Forty-seven patients with cerebral contusion with and without traumatic
subarachnoid haemorrhage according to computed tomography
Group I :
25 patients with cerebral contusion but without SAH
Group II :
22 patients with cerebral contusion with SAH
Tabel 3. Blood flow changes in patients of Table 2
Group I (n)
Group II (n)
Total
25
22
Hyperaemia
10
5
Vasospasm
6
13
Severe vasospasm
2
8
Normal velocity
9
4
Statistics
p = 0.2
p = 0.019
p = 0.021
p = 0.2
Pada cedera kepala vasospasme bukan hanya dikaitkan dengan SAH. Vasospasme
pun dapat timbul pada cedera kepala tanpa SAH. Pada 10-30% kasus vasospasme pasca
trauma tidak disertai dengan adanya darah dalam cairan serebrospinal (LCS).26 Berbeda
dengan pada SAH karena aneurisma, vasospasme pasca trauma muncul lebih awal, paling
sering pada hari ke-228 dan paling cepat dalam 12 jam pasca trauma. 26,29 Ada dua tipe
vasospasme pasca trauma, yang pertama diasosiasikan dengan SAH dengan perjalanan
waktu yang serupa dengan SAH karena aneurisma (hingga hari ke-17 dan maksimal pada
kisaran hari ke-7 sampai hari ke-10), dan yang kedua, tidak berkaitan dengan SAH
dengan durasi lebih singkat (rata-rata 1,25 hari).29, 30
Vasospasme pada cedera kepala secara umum mungkin berkaitan dengan kaskade
biokimia pasca cedera kepala yang mengganggu homeostasis ion kalsium. 31,32 Kelebihan
beban kalsium intrasel pada neuron menyebabkan dilepaskannya neurotransmiter tertentu
seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang diaktifkan oleh kalmodulin. Hal ini memicu
spasme pembuluh darah otak. Di pihak lain ion kalsium langsung masuk ke otot polos
pembuluh darah dan memperparah spasme tersebut.32
Mekanisme bagaimana SAH dapat menyebabkan vasospasme arteri masih dalam
penelitian dan menjadi bahan perdebatan. Vasospasme arteri paling mungkin melibatkan
beberapa perubahan pada struktur dinding pembuluh darah. Penelitian menunjukkan
bahwa vasospasme arterial terutama merupakan akibat kontraksi otot polos yang
berkepanjangan. Hipertrofi, fibrosis dan degenerasi serta perubahan inflamatorik lain
pada dinding pembuluh merupakan efek sekunder yang berlangsung kemudian. Penelitian
yang ekstensif menunjukkan bahwa kejadian utama yang menimbulkan inisiasi
77
88
dilakukan oleh Abraszko dkk. (2000) menunjukkan pada evaluasi keluaran tiga bulan
pasca cedera adalah lebih baik (namun tidak signifikan) pada kelompok pasien yang
diterapi nimodipin dibandingkan dengan yang tidak.35 Hasil metaanalisis 6 uji klinis
terandomisasi yang dilakukan Langham dkk. (2003) menunjukkan efek yang
menguntungkan dari pemberian nimodipin pada sub-kelompok pasien cedera kepala
dengan perdarahan subarakhnoid (SAH) (event OR 0,67 (95% CI 0,46-0,98), walaupun
efeknya masih belum pasti pada cedera kepala secara keseluruhan.36
Nimodipin merupakan penghambat kanal kalsium kelompok dihidropiridin.37,38
Mekanisme kerjanya terutama dikaitkan dengan penghambatan influks kalsium melalui
kanal kalsium tipe L terutama pada otot polos arteriol serebral, karena kemampuannya
menembus sawar darah otak.38,39 Penelitian in vitro dan pada hewan coba menunjukkan
nimodipin menurunkan spasme (kontraksi otot polos vaskular) dan proliferasi sel otot
polos vaskular.40 Namun di klinik (pada manusia) nampaknya nimodipin tidak jelas
menurunkan frekuensi vasospasme, walaupun terdapat perbaikan keluaran.39 Mungkin
nimodipin bekerja melalui mekanisme lain yang bersifat neuroprotektif. Nimodipin
diduga mengurangi kerusakan membran sel neuron, menurunkan permeabilitas sawar
darah otak, menurunkan efusi makromolekul ke parenkim otak (mengurangi edema
otak)32 dan meningkatkan kadar adenosin plasma yang bersifat sitoprotektif. 37 Dosis
pemberian nimodipin yang disetujui oleh FDA adalah 60 mg per oral/per NGT setiap 4
jam selama 21 hari.38,39 Studi nimodipin di Jerman pada kasus SAHt diberikan secepatnya
dalam 12 jam setelah terjadinya cedera kepala dengan dosis 2 mg iv selama 7 hingga 10
hari, dilanjutkan dengan dosis oral 360 mg/hari, hingga hari ke 21. Dan didapatkan
perbaikan keluaran pasien dibandingkan pemberian plasebo (75 % vs 54 %, p = 0,02). 5
Komplikasi lain yang mungkin timbul dari SAH traumatik adalah hidrosefalus.
Pada penelitian oleh Demircivi dkk. di Turki pada 89 pasien dengan SAH traumatik,
hanya 2 orang pasien yang menunjukkan hidrosefalus pada fase akut. 12 Hidrosefalus ini
diduga disebabkan oleh penurunan resorpsi LCS karena oklusi vili arakhnoid oleh
perdarahan dan metabolit darah (hidrosefalus komunikans). Penyebab lain yang lebih
jarang adalah sumbatan di ventrikel III atau IV yang menimbulkan hidrosefalus
obstruktif.17 Gejala-gejala dan tanda klinis yang mengarahkan pada dugaan hidrosefalus
antara lain adalah mual, muntah, nyeri kepala, papiledema, demensia, ataksia dan
99
inkontinensia. Diagnosis hidrosefalus ditegakkan jika secara klinis ditemukan gejala dan
tanda yang sesuai serta hasil pencitraan (MRI, CT atau sisternografi) yang menunjukkan
hidrosefalus.41 Hidrosefalus karena SAH traumatik lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan pada SAH pada aneurisma, karena darah yang terakumulasi lebih sedikit. 17 Jika
hidrosefalus yang ditimbulkan cukup parah, mungkin dibutuhkan drainase ventrikel
melalui ventrikulostomi darurat, sebelum dilakukan pemasangan VP shunt.17,41
Komplikasi SAH traumatik yang lain adalah kejang. Probabilitas SAH
menyebabkan kejang kurang dari 15%.17 Proses epileptogenesis dari perdarahan
subarakhnoid traumatik berkaitan erat dengan kontak langsung antara darah dengan
jaringan korteks. Hemolisis darah pada ruang subarakhnoid akan menghasilkan deposisi
ion Fe yang mengaktifkan kaskade asam arakhidonat dan osilasi kalsium dalam sel-sel
glia yang selanjutnya menyebabkan kematian neuron yang berakhir dengan terbentuknya
gliosis (parut glia) yang menjadi pusat aktivitas epileptiform. 42 Khusus untuk pasien SAH
traumatik pemberian antikejang sebagai profilaksis tidak dianjurkan.17
Prognosis pada pasien-pasien dengan SAH traumatik sangat bergantung pada
klasifikasi keparahan cedera kepalanya, banyaknya volume perdarahan dan distribusi
SAH. Adanya perdarahan subarakhnoid pada sisterna basal dan konveksitas serebri
mengindikasikan keluaran yang buruk.43 Pada penelitian oleh Kakarieka dkk. Di Jerman
menunjukkan keluaran pasien cedera kepala berat (CKB) dengan SAH traumatik secara
bermakna lebih buruk daripada pada pasien CKB tanpa SAH traumatik. 44 Akan tetapi
penelitian oleh Shigemori dkk. di Jepang menunjukkan bahwa pada 9 pasien cedera
kepala ringan dengan SAH menunjukkan hanya satu yang menunjukkan keluaran yang
buruk (vasospasme dan hidrosefalus komunikans), sedangkan dari 10 pasien cedera
kepala berat dengan SAH hanya satu yang menunjukkan keluaran yang baik. 45 Pada
banyak studi mengenai perdarahan subarakhnoid ini dipakai sistem skoring untuk
menentukan berat tidaknya keadaan SAHt ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien.
110
0
1.
2.
GCS Score
15
13-14
13-14
7-12
3-6
+
+ or + or -
3.
4.
Fisher grade5
111
1
Dari keempat grading tersebut yang dipakai dalam studi cedera kepala yaitu modified
Hijdra score dan Fisher grade.5 Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH
primer akibat rupturnya aneurisma.46
KESIMPULAN
SAHt merupakan salah satu komplikasi akibat dari cedera kepala yang ringan
hingga berat. Dalam mendiagnosis SAHt ini secara anamnesis ataupun klinis dapat
timbul kesulitan terutama pada kasus cedera kepala ringan dan tidak menimbulkan gejala
klinis yang khas seperti keadaan iritasi pada meningen. Oleh karenanya pemeriksaan
penunjang imajing untuk membantu mendiagnosis SAHt dalam hal ini CT Scan menjadi
penting bagi klinisi dalam hal penatalaksanaan selanjutnya seperti pemberian nimodipine
untuk mencegah komplikasi akibat SAHt yaitu vasospasme yang dapat memperburuk
keluaran pasien.
112
2
DAFTAR PUSTAKA
1. Rose FC. The history of cerebral trauma in Neurology and Trauma. 2 nd ed. Oxford
48.
15. Halliday AL. Patophysiology of severe traumatic brain injuries. In: Marion DW, editor.
Traumatic brain injury. New York: Thieme; 1999. p. 29-38.
16. Basyiruddin A. Mekanisme dan patofisiologi dari cedera kepala. Dalam: Amir D,
Basyiruddin A, Frida M, Djamil J, editors. Kumpulan makalah simposium cedera kepala.
Padang: Anonymous; 1995. p. 1-22.
17. Lowe JG, Northrup BE. Traumatic intracranial hemorrhage. In: Evans RW, editor.
Neurology and trauma. Philadelphia: W. B. Saunders; 1999. p. 140-50.
18. Zee CS, Go JL, Kim PE, Geng D. Computed tomography and magnetic resonance
imaging in traumatic brain injury. In Neurology and trauma. Evans RW 2 nd ed. New
York : Oxford University Press; 2006. p. 36
19. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical Neurology. 5th ed. New York: McGrawHill; 2002. p. 70-94.
20. Turner C. Crash course neurology. 2nd ed. Italy, Mosby, 2006.p165
21. DeMyer WE. Technique of the neurologic examination. 5th ed. New York; McGraw-Hill,
2004.p590
113
3
114
4
42. Temkin NR, Haglund M, Winn HR. Post-traumatic seizures. In: Narayan RK, Wilberger
JE Jr., Povlishock JT, editors. Neurotrauma. New York: McGraw-Hill; 1996. p. 71-101.
43. Gaetani P, Tancioni F, Tartara F, Carnevale L, Brambilla G, Mille T, et al. Prognostic
value of the amount of post-traumatic subarachnoid haemorrhage in a six month follow
up period. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995;59:635-7.
44. Kakarieka A, Braakman R, Schakel EH. Clinical significance of the finding of
subarachnoid blood on CT scan after head injury. Acta Neurochir (Wien) 1994;129(12):1-5.
45. Shigemori M, Tokutomi T, Hirohata M, Maruiwa H, Kaku N, Kuramoto S. Clinical
significance of traumatic subarachnoid hemorrhage. Neurol Med Chir (Tokyo) 1990
Jun;30(6):396-400.
46. Wahjoepramono EJ, Sidipramono P, Yunus Y. The treatment of spontaneous subarachnoid
hemorrhage. Neurona, vol.20, No.3-4, Juli 2003. p17
47. Hijdra et.al. Stroke.1990; 21: 1156-61.
115
5