tambang
Petani Tolak Tambang di Lumajang
Dibunuh, Komnas HAM Bentuk Tim
Investigasi
September 28, 2015 Indra Nugraha, Jakarta
Sumber: Jatam
Pada Sabtu (26/9/15), petani pejuang penolak tambang pasir, di Desa Selok Awarawar, Lumajang, Salim Kancil, tewas mengenaskan sedang warga lain, Tosan,
mengalami luka serius. Kini Tosan dirawat intensif di RS Mawardi, Malang.
Dari keterangan Walhi Jawa Timur, menyebutkan, saat warga desa hendak
menghadang kegiatan tambang pasir, diduga oknum kepala desa mengerahkan
preman sekitar 30 orang untuk mengintimidasi warga. Seorang petani, Salim,
dibawa dan dikeroyok dengan kedua tangan terikat. Mayatnya ditemukan di tepi
alan dekat perkebunan warga. Korban lain, Tosan. Dia dijemput dari rumah dan
dianiaya. Dia sempat melawan tetapi dihajar beramai-ramai. Bersyukur, berhasil
diselamatkan warga dan dilarikan ke rumah sakit.
Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi
Nasional di Komnas HAM Jakarta, Senin, (28/9/15) mengatakan, konflik
pertambangan di Lumajang sudah lama terjadi. Laporan warga menolak tambang
kepada Walhi hampir dua tahun lalu. Mereka menolak karena khawatir
pertambangan mengancam produksi pertanian.
Pertambangam sudah berjalan sejak 2014. Mulanya, warga mendapat undangan
Kades Selok Awar-awar untuk sosialisasi wisata Watu Pecak. Yang terjadi, malah
penambangan marak disana.
Maret lalu masyarakat datang ke Walhi menyampaikan penolakan mereka
terhadap kegiatan pertambangan ilegal.
Aksi penolakan tambang dilakukan. Pada 9 September 2015, warga aksi damai
tolak tambang. Keesokan hari, pengancaman terbuka terjadi. Pada 11 September,
perwakilan masyarakat melaporkan intimidasi dan pengancaman kepada Polres
Lumajang. Pada 9 September, Polres Lumajang merilis penanganan kasus,
termasuk tim penyidik.
Pada 21 September, warga lapor pertambangan ilegal. Pada 25 September ,
mereka konfirmasi aksi lagi. Pada 26 September terjadi pembunuhan, katanya.
Sebenarnya, kata Munhur, pengaduan tertulis soal penolakan tambang sudah
disampaikan kepada polisi, DPRD, kementerian bahkan Presiden. Bahkan, saat
audiensi dengan DPRD, berjanji membentuk tim tetapi tak ada realisasi hingga
sekarang.
Ada skenario besar?
Muhnur mensinyalir kuat, ada skenario besar di balik kasus ini, yakni
melancarkan usaha pertambangan di sana. Di wilayah Perum Perhutanidekat
desa, ada perusahaan tambang pasir, PT Indo Modern Mining Sejahtera (PT
IMMS).
Kasus pertambangan ilegal itu pernah disidik Kejaksaan. Tapi tak belum ada
perkembangan sampai sekarang.
Muhnur berharap kasus ini bisa diusut tuntas. Konflik tak hanya soal
pembunuhan, tetapi ada masalah laten yaitu pertambangan ilegal. Dia mendesak,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, audit perizinan. Sebab, kawasan
tambang itu berada di wilayah kerja Perhutani.
Apakah benar perusahaan menambang di lahan itu sudah mengantongi izin
pelepasan kawasan? Atau izin lingkungan sebagai mana diamanatkan UU 32
tahun 2009. Kalau ada izin, segera cabut karena sudah banyak penolakan di
masyarakat, katanya.
Senada dengan Ki Bagus Kusuma, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Dia mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik pro dan kontra tambang.
Namun, dia melihat ada skenario besar. Perusahaan besar bermain di balik ini.
Kita tahu, perusahaan itu sudah diusut Kejati. Maret lalu Direktur Utama PT
IMMS sebagai tersangka. Dari tim pembuat Amdal juga ditetapkan tersangka
karena terlibat gratifikasi. Mantan bupati terkait izin ini.
Dia melihat kasus ini sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lain. Ketika
susah masuk ke wilayah eksploitasi, pertambangan-pertambangan liar didorong
perusahaan untuk kelancaran eksploitasi ke depan.
Artinya, perusahaan mengklaim mereka akan lebih memberikan PAD ke daerah,
akan mereklamasi. Tambang-tambang liar jadi bagian dari cuci tangan perusahan
besar.
Munhur juga meminta Komnas HAM turun ke lapangan bersama masyarakat
sipil, sebelum konflik ini didramatisir menjadi isu pro dan kontra tambang yang
sebenarnya bikinan perusahaan dan aparat yang terlibat.
Walhi, katanya, sudah meminta Lembaga Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) untuk melindungi warga. LPSK menyanggupi. Hanya beberapa
syarat administrasi harus diselesaikan.
Akan kami penuhi minggu ini. Situasi korban dan warga terancam. Mereka
ketakutan luar biasa. Masyarakat sangat susah dikoordinasi. Meski ada dampingan
dan investigasi dari KontraS, Walhi, Jatam dan masyarakat sipil lain di lokasi.Ada
12 warga jadi incaran intimidasi, katanya.
Ken Yusriansyah dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan,
pembunuhan itu bertepatan dengan perayaan Hari Tani Nasional. Ini kado paling
buruk diterima kaum tani.
Dia mengatakan, laporan dari lapangan, ternyata pembunuhan di depan umum.
Ini kejahatan sangat luar biasa. Maka kita melaporkan ke Komnas HAM agar
turun ke lapangan. Kami mendapatkan laporan, upaya intimidasi, kriminalisasi itu
terus dilakukan pihak-pihak yang melindungi aktivitas pertambangan.
Senada dikatakan anggota Divisi Ekonomi dan Sosial KontraS Ananto. Katanya,
ada beberapa kejanggalan seperti kegamangan polisi. Sebelum pembunuhan,
katanya, sebenarnya sudah banyak laporan kepada kepolisian. Namun, tindakan
polisi tak jelas. Kapolres malah menyatakan, tambang berguna bagi masyarakat
padahal menimbulkan konflik.
Sebenarnya polisi dan pejabat terkait sudah mengetahui. Mereka diduga terlibat
dalam kasus ini dalam bentuk pengabaian.
Investigasi Komnas HAM
Menanggapi ini, Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila mengatakan, akan
merespon cepat kasus ini karena sudah masuk kategori kasus urgen, menyangkut
keselamatan manusia. Komnas HAM akan investigasi kasus ini.
Komnas HAM akan pendalaman kasus. Soal ilegal mining perusahaan, juga
menggunakan beberapa oknum masyarakat dimodali untuk pertambangan ilegal.
Kemudian soal hak lingkungan sehat dan hak kesehatan dan kesejahteraan. Di
dalam mengandung konflik agraria. Juga soal hak rasa aman yang penting bagi
warga sekitar, katanya.
Komnas HAM akan memastikan aparat penegak hukum terutama kepolisian,
menjalankan proses penegakan hukum terbuka dan adil.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam
pesan singkat, menyatakan, laporan yang dia terima menyebutkan, sudah ada 18
orang ditetapkan menjadi tersangka dan tak ada karyawan Perhutani yang terlibat
dalam peristiwa itu.
Dari catatan Perhutani, lokasi kejadian berada di luar kawasan hutan, 200 meter
dari pal batas sebelah utara, ke selatan bibir pantai. Untuk memastikan, Perhutani
dan Kepolisian akan mengecek lapangan.
Laporan itu juga menyebutkan, galian pasir yang menjadi persoalan bukan pasir
besi tetapi pasir biasa yang berbatasan dengan petak 17E RPH Bogo, BKPH
Pasirian. Izin dikeluarkan bupati berupa izin pertambangan rakyat dengan luas
dua sampai lima hektar per izin. Sedangkan, pasir besi di dalam kawasan hutan
RPH Bogo, berada pada petak 22, 23 dan 24.
Pulau Bangka, Sulut, yang mulai rusak karena tambang. Sejak awal warga
melakukan penolakan hingga menang beberapa kali di pengadilan. Diana F
Takumansang, warga Pulau Bangka, salah satu penerima penghargaan Jatam,
sebagai tokoh inspiratif pejuang penolak tambang. Foto: Save Bangka Island
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memberikan penghargaan kepada 23 orang
yang dinilai menginspirasi dalam perjuangan menolak tambang. Mereka
sebenarnya tidak mewakili pejuang tambang, lingkungan dan HAM keseluruhan.
Masih banyak yang lain. Hanya, mereka dipilih karena dianggap memberikan
inspirasi kepada orang banyak, kata Koordinator Jatam, Hendrik Siregar, di
Jakarta Rabu (19/8/15), bersamaan dengan HUT Jatam ke-20.
Dia mengatakan, Jatam melihat konsistensi mereka dalam perjuangan menjaga
lingkungan hidup. Harapannya ini jadi inspirasi masyarakat lain yang sedang
berjuang mempertahankan ruang hidup.
Diana F Takumansang, warga Pulau Bangka, penerima penghargaan senang.
Tambang, katanya, membuat keselamatan warga hilang. Dia bersama-sama yang
lain berjuang mempertahankan ruang hidup bersama warga melawan PT Mikgro
Metal Perdana yang hendak menghancurkan Pulau Bangka, Sulawesi Utara.
Kami tak takut demi keselamatan desa. Segala macam cara dilakukan jangan
sampai ada pertambangan tetapi pemerintah mengawal perusahaan, katanya.
Warga Pulau Bangka, berkali-kali memenangkan gugatan di pengadilan. Terakhir
gugatan permohonan cabut izin MMP dikabulkan PTUN Jakarta timur. MMP, dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengajukan banding. Kami tak
akan pernah berhenti. Akan terus berjuang.
Cak irsyad, warga terdampak lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim, juga punya cerita.
Sejak sekolah banyak tenggelam, rumahnya disulap menjadi Sanggar Al-Faz. Di
sana, anak-anak korban lumpur Lapindo belajar membaca, bernyanyi dan menari.
Tak heran jika Jatam memberikan penghargaan kepadanya.
Dulu Sidoarjo nyaman, aman, jauh dari tsunami dan gempa. Tiba-tiba ada
lumpur.
Ada juga Umbu Janji, pejuang penolak pertambangan emas PT Fathi Resources di
Sumba. Bersama dua rekan, Umbu Mehang dan Umbu Pendingara, divonis
sembilan bulan penjara di Pengadilan Tinggi Waikabubak, 3 Mei 2012. Mereka
dituduh merusak peralatan perusahaan.
Tahun 2011 pertambangan emas masuk. Kami menolak. Saya orang pertama
menolak hingga ada 100 orang lebih menandatangani penolakan. Pemerintah
mulai bupati hingga gubernur tak menggubris. Tak ada jawaban, katanya.
Aleta Kornellia Baun atau Mama Aleta juga mendapatkan penghargaan. Dia
perempuan yang memimpin masyarakat adat Molo, Amanatun dan Amanuban
melawan tambang marmer. Perjuangan berhasil. Pada 2013, dia mendapatkan
penghargaan Goldman Environmental Prize.
Dulu kami diganggu dengan reboisasi, HTI, HKM dan pertambangan. Mulai
lima tahun belakangam, sudah tak ada gangguan. Hanya ada isu berkembang
bahwa Jokowi akan mendatangkan investor masuk. Kami masyarakat adat akan
terus berjuang. Wilayah itu milik kami, kata Petrus Almet, datang mewakili
Mama Aleta.
Tokoh lain, almarhum Werima Masi Mananta. Dia memperjuangkan tanah warga
yang dirampas PT. Valley, dulu PT Inco, perusahaan tambang nikel di Sulawesi
Selatan. Surtini Paputungan, pejuang Teluk Buyat, Sulawesi Utara yang
berhadapan dengan PT Newmont Minahasa Raya. Juga Sukinah, perempuan
melawan PT Semen Indonesia, di Rembang.
Juga Abdul Madjid, Kepala Desa Tangkeno, Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
Dia menolak tambang dengan menjadikan pulau seluas 873 km sebagai
ekowisata. Lalu, Sania, aktivis Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), Yani
Sagaroa, Direktur Yayasan LOH, pada 2007 vonis empat bulan atas kasus
pencemaran Teluk Buyat PT Newmont. Bambang Bin Nail, penjara empat bulan
karena bersana masyarakat adat Pelaik Keruap di Kalbar menolak pertambangan
PT Mekanika Utama Grup (MUG).
Ada Meli Melda dan Andi Jaya, berjuang melawan pertambangan PT Famiaterdio
Nagara di Bengkulu. Anwar Stirman, penggugat Newmont Minahasa atas
pencemaran Teluk Buyat. Harwati, warga terdampak lumpur Lapindo, St. Saudur
br. Sitorus (Opung Gideon), penolak tambang PT Dairi Prima Mineral di Dairi,
Sumut. Pastur Kopong, penggerak GSM.
Kemudian Romo Agustinus Ubin CM, tokoh agama penolak tambang PT MUG,
Kalbar. Baharudin Demu, Koordinator Jatam Kaltim 2002-2004 serta Rosdi
Bachtiar Martadi, pengajar yang menggalang anak-anak muda menolak tambang
emas di Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi.
kecolongan. Sebelumnya, izin pinjam pakai bias didapat terlebih dahulu, setelah
itu baru rencana kerja penanaman. Praktik di lapangan, perusahaan, cenderung
eksploitasi baru penanaman.
Sekarang, perusahaan diminta menunjukkan perencanaan penanaman, baik di
dalam dan luar tambang yang sama luas dengan yang dipakai. Ketika pinjam
kawasan hutan diberikan, penanaman sudah dilakukan. Ketika kegiatan selesai,
tanam juga selesai. Jangan sampai tambang selesai, tanaman nggak.
Adnan Pandu Praja, wakil ketua KPK, menyatakan, masalah ini harus menjadi
perhatian pemda. Begitu pula masalah piutang royalti di Kalbar. Harus segera
ditagih, kalau tidak cabut izin.
KPK menyatakan, berpotensi kerugian negara Rp272 miliar dari IUP kurang
bayar di Kalbar kurun waktu 2011-2013.
Untuk IUP di Ketapang (102 IUP), Kapuas Hulu (69), Sanggau (59), Melawi (45),
dan Kayong Utara (40). Dari 682 IUP, 312 berstatus non clean dan clear.
KPK, katanya, berkoordinasi dan supervisi untuk menatakelola izin usaha
minerba. Ini untuk mencegah korupsi di pengelolaan pertambangan minerba.
Cornelis, Gubernur Kalbar, mengatakan, siap menjalankan arahan KPK, termasuk
mencabut izin perusahaan. Cornelis berjanji metinjau ulang izin tambang yang
tumpang tindih.
Kawasan hutan yang kini rata dengan tanah tempat galian nikel Bintang Delapan
Mineral. Sebelum itu, di kawasan ini menurut warga banyak pohon sagu dan juga
tempat masyarakat mencari damar. Foto: Christopel Paino
Siang itu, akhir Maret 2014. Masus berteduh di bawah pohon rindang. Tangan
kanan memegang sebilah parang. Seraya berjongkok, dia terus mengiris-ngiris
kayu kecil, dibentuk bulatan untuk menambal lubang-lubang di perahu.
Pria berusia 60 tahun ini asli Bungku, salah satu suku di Morowali, Sulawesi
Tengah. Dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kelas lima sekolah dasar.
Sang anak asyik bermain sepak bola di pantai, sambil sesekali menggali pasir.
Tak jauh di hadapan mereka, berdiri kantor perusahaan tambang nikel. Namanya
PT Bintang Delapan Mineral.
Ia berjarak tak sampai satu kilometer dari tempat Masus berteduh, di Pantai Desa
Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Desa ini salah satu desa
pesisir sekitar tambang Bintang Delapan.
Dulu, saban pagi atau sore, Masus pergi melaut. Kini, jadwal melaut tak menentu.
Ikan makin susah. Jarak tangkap pun makin jauh.
Dulu kalau tidak melaut, bisa mencari damar, sagu, atau rotan di hutan.
Sekarang, sudah melaut susah, pergi ke hutan pun tak bisa, kata Masus.
Dahulu, hutan mangrove tumbuh di pulau itu. Dikenal dengan Pulau Polo.
Terumbu karang indah. Ikan banyak bermain. Di sana, kami biasa mencari ikan.
Satu jam memancing, hasil bisa beli beras. Hidup kami tenang, kata Masus.
Tangannya menunjuk pulau yang ditimbun oleh Bintang Delapan menjadi
perkantoran.
Semua berganti. Masyarakat tak lagi melaut. Kalaupun melaut, hasil jauh dari
harapan. Laut yang ditimbun itu tempat kami mencari ikan dengan pukat. Ibu-ibu
biasa mencari biya (kerang). Sejak nenek-moyang kami mencari makan di sini.
Kini laut jadi keruh kecoklatan karena lalu-lintas kapal yang memuat ore nikel.
Ore adalah nikel mentah yang masih bercampur dengan tanah. Kata Masus, setiap
hari ada sekitar lima kapal besar datang berlabuh tak jauh dari desa mereka.
Kapal-kapal kecil hilir-mudik mengangkut ore nikel,dari pelabuhan milik Bintang
Delapan di Desa Fatufia, menuju kapal besar. Kapal itu tidak merapat. Berjarak
sekira satu kilometer. Lalu kapal besar yang sudah berisi ore nikel itu menghilang
dari pandangan mereka. Tujuan kapal itu ke Tiongkok.
Siang malam kapal itu sibuk kesana-kemari. Aktivitas tidak berhenti. Desa kami
jadi ribut. Kami tidak bisa istirahat. Sekarang saja, kami dengar Bintang Delapan
akan menimbun lagi laut sekitar 200 meter dari garis pantai untuk pembangunan
jetty, pelabuhan mereka, kata Masus.
Krom atau kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam
kromium. Komposisi kimia kromit sangat bervariasi karena terdapat unsur-unsur
lain yang mempengaruhi. Kromit dibagi menjadi tiga jenis; kromit kaya akan
krom, kaya alumunium, dan kaya besi.
Warga lega berhasil mengusir orang-orang perusahaan yang mengambil krom.
Namun itu tak berlangsung lama. Terdengar kabar perusahaan negosiasi di kantor
camat, menghadirkan kepala desa dan aparatur lain. Warga tak dilibatkan.
Hasilnya, perusahaan diizinkan beraktivitas di laut Fatufia.
Mendengar itu, emosi warga tersulut. Mereka mengoranisir diri. Perlawanan
dilakukan. Mengusir orang-orang perusahaan bersampan membawa golok dan
balok. Sekali lagi, warga berhasil.
Kami meski tak sekolah, tapi sudah tahu dengan cara-cara perusahaan yang
menipu, ujar Masus.
Sayangnya, perusahaan punya banyak cara memuluskan rencana. Kepala desa
dihubungi, izin pun kembali keluar. Kami tetap melawan. Lalu warga mencari
kepala desa, dan hampir dipukuli. Sekarang, alhamdulillah, mereka tak lagi
beraktivitas mengambil kromit.
Keberhasilan mengusir orang perusahaan yang mengambil pasir hitam itu tidak
terulang ketika warga protes terhadap penimbunan pantai. Warga tak bisa berbuat
apa-apa. Bintang Delapan berhasil menimbun pantai. Kini, kian mendekati pulau.
Warga dihadapkan dengan polisi dan tentara. Moncong senjata setiap saat siap
menodong.
Polisi dan tentara banyak berkeliaran. Saya dengar, Bintang Delapan itu milik
delapan orang jenderal. Kami tidak tahu pasti, cuma semua warga sudah tahu
kalau perusahaan ini milik para jenderal.
Pesisir pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi dan kapal tongkang. Desa ini
memiliki bahan mineral lain, yaitu krom. Warga pada penghujung tahun 2013
pernah mengusir karyawan Bintang Delapan yang diduga mengambil pasir hitam
krom di desa mereka. Foto: Christopel Paino
DUA puluh empat Juli 2010, merupakan hari penuh mimpi buruk bagi desa-desa
seperti Baho Makmur dan Peukerea dan Fatufia. Sawah-sawah, kebun, ternak sapi
maupun kambing, sampai rumah, terendam. Banjir mencapai 1,5 meter
menggenangi desa-desa di Kecamatan Bohodopi Selatan, Morowali ini. Sawah
gagal panen, mesin pompa air manual dari program nasional pemberdayaan
masyarakat (PNPM) yang baru dipasangpun rusak.
Warga kesal. Sebab, sejak dulu daerah mereka tak pernah mengalami banjir. Baru
kali ini setelah tambang Bintang Mineral beroperasi.
Perusahaan masuk dan membuat jalan tambang yang dikenal dengan Jalan
Houling. Penyempitan Sungai Bahongkolangu terjadi. Jalan ini berjarak sekitar 30
meter dari pedesaan.
Beberapa hari setelah banjir bandang, datang utusan Bintang Mineral mendata
rumah dan mencatat kerugian banjir. Warga menunggu seraya berharap bantuan.
Namun, yang datang hanyalah berbungkus-bungkus supermi. Warga kecewa.
Para korban banjir aksi di kantor lapangan perusahaan tambang ini pada 4 Agustus
2010. Protes tak diindahkan, emosi warga memuncak, berujung pada pembakaran
timbangan nikel perusahaan. Kala itu, Bintang Mineral mengklaim rugi sekitar
Rp7 miliar.
Polisipun sigab bertindak. Empat warga yang dianggap provokator ditangkap.
Mereka disangka dengan pasal perusakan secara bersama-sama. Namun, aparat
negara ini seakan lupa kerugian warga dampak banjir yang muncul setelah ada
perusahaan. Kasus warga ini sama sekali tak diselidiki.
Pohon-pohon jambu mente di Desa Baho Makmur ini kini tak bisa lagi berbuah.
Foto: Sapariah Saturi
Dulu, lahan ini pagi menguningkini sungai mengering, irigasi tak mengalir,
padipun tak bisa tumbuh lagi. Hanya ilalang kering yang mengisi persawahan itu
saat ini. Foto: Sapariah Saturi
Pada Selasa 12 Juli 2011, banjir bandang kembali menerjang. Air Sungai
Bahongkolangu, meluap akibat jembatan houling jebol. Rumah-rumah warga di
Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti dan Baho Makmur, terendam.
Ya itulah, bisa dilihat sekarang. Sawah-sawah tinggal isi ilalang. Padi tak bisa
lagi tumbuh, kata Waryoto, warga Baho Makmur.
Penderitaan warga berlangsung hingga kini. Kala hujan, banjir. Musim kemarau,
kekeringan. Mereka juga kesulitan air bersih. Kondisi tambah miris kala
sepanjang tahun, padi tak lagi bisa tumbuh, tanaman kebun seperti jambu mente,
mangga tak lagi bisa berbuah. Semua seakan menjadi mandul.
Dulu, kata Waryoto, per hektar sawah menghasilkan empat ton padi. Setahun, dua
kali panen, dengan luas sawah di desa itu sekitar 200 hektar. Cukuplah buat
hidup kami sehari-hari. Ada lebih dijual. Saat ini, kalaupun ditanami, padi kering.
Mati.
Sebelum ada tambang, air irigasi mengalir ke sawah. Kini, tak bisa lagi. Kali
mengering. Tanggul perusahaan lebih tinggi dari sungai hingga air tak mengalir ke
lahan warga.
Tak hanya sawah. Tanaman yang tumbuh pun tak lagi berbuah, seperti jambu
mente, dan mangga. Misal mangga berbunga, ya tak jadi buah. Berbunga lalu
gugur.
Tanah-tanah pun banyak menjadi padang ilalang. Hanya tampak sapi-sapi dilepas
bebas memakan rerumputan.
Bagaimana kini warga hidup? Ada beralih menjadi tukang bangunan. Mencari
damar ke hutan. Ada beberapa masih jadi buruh di Bintang Delapan, ucap
Waryoto.
Mencari damarpun bukan semudah dulu. Sebagian lahan sudah menjadi tambang
dan Jalan Houling. Dulu, waktu bujuk agar warga jual lahan buat Jalan Houling,
perusahaan bilang, kalau ada jalan warga mudah cari damar. Jalan jadi, kami
malah tambah susah.
Penderitaan warga tak selesai sampai di sana. Kala kemarau polusi udara menerpa
desa. Di Desa Baho Makmur, Jalan Houling 30 sampai 50 meter di belakang desa,
kala kemarau debu-debu memenuhi lingkungan warga sampai masuk ke rumah.
Warga berdiam di dalam rumah sekalipun, pakaian dan badan akan dipenuhi debu.
Kalau kemarau, piring dan gelas yang mau dipakai harus dilap lagi karena penuh
debu, kata Suminah, perempuan berusia 60 an tahun, tetangga Waryoto.
Alat pompa air ini baru dipasang beberapa hari kala banjir melanda pada 2010
hingga menyebabkan sarana ini rusak. Hingga kini tak berfungsi. Warga kesulitan
air bersih. Foto: Sapariah Saturi
Wargapun banyak terkena penyakit pernapasan. Banyak yang sesak nafas, batuk,
kena debu,ujar dia.
Ini terbukti dari data penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali. Tahun 2013, penyakit ISPA tertinggi di
Kecamatan Bahodopi dan kecamatan yang ada pertambangan. Ada 922 kasus
ISPA, kulit alergi 444 kasus, hipertensi 304 kasus, anemia 196 kasus, dan diare
135 kasus.
Wahida, ibu rumah tangga lain di Desa Baho Makmur mengatakan, saat ini beras
makin susah karena sawah tak lagi berfungsi. Suami kami tidak lagi bekerja.
Kalau kerja ditambang, sudah tidak kuat lagi. Usia sudah tua, katanya.
Tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dekat tambang pun tak ada.
Dapat susah. Baiknya tak ada, kata Maryoto.
Tahun 2012, pernah turun dana sosial dari perusahaan Rp5 miliar kepada sembilan
desa, termasuk Baho Makmur. Masing-masing desa mendapat Rp615 juta.
Sebagian dana buat menimbun jalan.
Rp300 juta dibagi ke warga. Desa ini saja ada sekitar 315 keluarga. Sisa dana
yang lain, tak transparan. Penderitaan kami tak bisa dibayar dengan uang sebesar
itu. Itu 2012. Sekarang tak ada bantuan apa-apa lagi.
Di desa itu juga banyak dijumpai kos-kosan berbentuk rumah petak. Banyak
pendatang pekerja tambang kos di sini.
Baho dalam bahasa Bungku berarti air. Desa ini dinamakan Baho Makmur karena
banyak mata air. Belakang desa berbatasan dengan hutan. Sayangnya, kini desa ini
malah gersang. Air sulit.
kalau memang bekerja di Bintang Mineral. Itupun kalau tidak dipecat, kata
Hasmudin, warga Desa Bahodopi.
Sore itu, Hasmudin ditemani Johanis. Keduanya asli Bungku, dan seumuran, 43
tahun. Mereka sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Tampak Hasmudin dan
Johanis sibuk membuat kosen daun jendela dan pintu rumah. Tempat mereka
bekerja tepat di bawah pohon pinggir pantai yang sudah dicor.
Semalam hujan. Pagi, laut langsung jadi berwarna cokelat. Kalau dulu, meski
hujan satu minggu, laut tetap bersih. Sekarang, rintik-rintik saja laut jadi keruh.
Kalau memancing, ikan tak mau makan lagi, kata Johanis.
Johanis dan Hasmudin beberapa kali ikut pertemuan di balai desa maupun di
kantor camat terkait penyampaian dana tanggung jawab sosial atau dari Bintang
Delapan. Dari situ mereka tahu, setiap tahun dana tanggung jawab perusahaan ini
Rp5 miliar, lalu dibagi merata kepada sembilan desa sekitar tambang.
Desa-desa itu adalah Desa Lele, Onepute Jaya, Damapala, Makarti Jaya, Lalampa,
Dohodopi, Keurea, Fatufia, Labota dan Simbatu.
Sebenarnya ada Rp7,5 miliar dana CSR. Sudah dipotong sama biaya
pembangunan jalan dan listrik. Jadi bersih sisa Rp5 miliar untuk sembilan desa.
Yaaaitu tadi, masyarakat tidak dapat apa-apa.
Anak-anak kecil banyak mandi telanjang bulat di laut sambil bermain perahu.
Suasana sejuk. Kala sore, matahari senja menghiasi kampung ini.
Jalan tambang biasa dikenal dengan Jalan Houling, yang berada di dataran atas.
Di bagian bawah pedesaan. Tak pelak, kala kemarau, rumah-rumah warga penuh
debu. Foto: Sapariah Saturi
Warga Desa Baho Makmur, menerima dampak banjir kala hujan dan debu serta
kekeringan kala kemarau. Foto: Sapariah Saturi
KALA memasuki kawasan hutan yang dibuka Bintang Delapan, ada beberapa pos
jaga. Tak ada petugas. Portal yang biasa menghalangi kendaraan masuk dibiarkan
terbuka. Satu dua mobil hilux melintas ke hutan. Tak jauh dari situ, beberapa alat
berat dan mobil damp truk terparkir. Seorang perempuan paruh baya terlihat
duduk sendirian di rumah papan yang memanjang. Di bagian bawah, hanya
terdengar suara deras sungai besar berwarna kecokelatan. Kata warga, itu Sungai
Bahodopi.
Ketika masuk hutan, jalan mulai menanjak. Di belakang, hamparan permukiman
penduduk pesisir Bahodopi terlihat jelas. Di seberang, pemandangan kawasan
hutan berbukit masih lebat. Namun banyak pohon ditebang, yang terlihat hanyalah
tanah merah membentuk seperti jalan tikus.
Saat melewati Jalan Houling, dengan lebar sekitar lima sampai tujuh meter, jalan
tak hanya menanjak, juga bersimpang.
Anda Masuk Wilayah Kontrak Karya PT Inco. Begitu bunyi sebuah plang
berwarna kuning.
Dulu ini berhutan sebelum digali dan diambil nikel oleh Bintang Delapan. Foto:
Christopel Paino
PT Inco, kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia. Wilayah Bintang
Delapan, memang tumpang tindih dengan Vale.
Tak hanya Bintang Delapan yang menggerumuti area kontrak karya Vale, total ada
43 izin pertambangan dikeluarkan sang bupati, Anwar Hafid. Beberapa
perusahaan lain sudah pra konstruksi antara lain, Sulawesi Resources, dan PAN
China.
Bintang Delapan juga mendapat izin tambang dari bupati di wilayah Rio Tinto.
Buntutnya, Mei 2008, Bupati Morowali digugat ke PTUN karena membagi areal
kontrak karya raksasa tambang asal Australia ini kepada 14 penambang, salah satu
Bintang Delapan. Rio Tinto keok. Bintang Delapan berhasil menguasai lahan.
Makin ke atas, kiri-kanan pohon banyak tumbang. Lubang-lubang menganga
dengan gundukan tanah-tanah merah menumpuk bak bukit. Inilah tempat Bintang
Delapan mengeruk nikel.
Hutan berubah menjadi padang luas. Tak ada lagi pepohonan. Gersang. Tak ada
kicau burung, atau suara macaca tongkeana, salah satu jenis monyet endemik di
Sulteng. Semua dibabat. Rata dengan tanah.
Kawasan yang dibabat oleh Bintang Delapan itu banyak masuk kawasan hutan,
kata Rifai Hadi, manajer riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.
Kompleks militer. Di sini dibangun Koramil, tak begitu jauh dari kantor Bintang
Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Foto: Christopel Paino
Sebuah truk melintas. Biasa truk bak terbuka memuat ore. Kali ini berbeda.
Kendaraan menyerupai truk militer dengan kap bagian belakang tertutup kain
mota tebal kecoklatan. Tak ada penumpang. Tak berapa lama mobil hilux silver
double kabin melintas.
Dari atas terlihat, gedung-gedung beratapkan seng berwarna biru dan merah.
Karyawan perusahaan hilir-mudik. Kantor lapangan Bintang Delapan ini, terletak
di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.
Pagar setinggi dua meter, memanjang sekitar dua kilometer membatasi
pemukiman dengan perusahaan tambang itu. Ia berada di pinggir pantai.
Jalan umum Bahodopi, sekaligus jalan perusahaan. Mobil truk, hilux, atau ford
ranger memuat material hilir mudik, dari hutan ke perusahaan. Begitu sebaliknya.
Para sekuriti berjaga-jaga.
Sekitar 500-an meter dari kantor itu, berdiri Komando Rayon Militer (Koramil).
Para tentara berjaga-jaga. Ada yang bermain catur. Kantor ini dibangun, setelah
ada Bintang Delapan.
Kala matahari terik, debu-debu beterbangan. Seberang kantor Bintang Mineral,
kawasan hutan. Berbukit. Di sana juga ada gedung milik perusahaan.
Gedung di atas sangat mewah. Mirip hotel berbintang. Ada kolam renang. Kalau
ada tamu penting perusahaan atau bos-bos datang, biasa menginap di atas, kata
Yunan Bilondatu.
Yunan adalah sopir damp truk Bintang Delapan. Dia asli Gorontalo. Sejak 2010
bekerja di perusahaan ini.
Siang itu, Yunan sedang istirahat. Dia biasa mengangkut ore nikel dari blok-blok
Bintang Mineral di kawasan hutan. Sejak aturan larangan ekspor mineral mentah,
tak ada produksi. Tugas mereka, memuat material untuk menimbun pantai. Yunan
masuk kerja malam hari.
Jalan menuju blok pertambangan di kawasan hutan dan kantor Bintang Delapan
memotong jalan umum di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Untuk melewati
jalan raya ini harus berhati-hati karena lalu-lalang mobil truk perusahaan. Foto:
Christopel Paino
Kantor pusat Bintang Delapan Grup di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Foto: Sapariah Saturi
menargetkan, pembangkit listrik siap Juni 2015 bersamaan dengan operasi pabrik
smelter.
Belum cukup. Kawinan dua perusahaan ini berencana membangun kawasan
industri seluas 1.200 hektar. Mereka mengusung bendara baru berlabel PT
Indonesia Morowali Industrial Park.
Di kawasan ini, akan melayani perusahaan-perusahaan hilir pengolahan nikel dan
stainless steel. Perusahaan-perusahaan tambang yang selama ini mati suri,
tampaknya bakal bangkit kembali dan memasok ore ke sini. Menurut Barus,
mereka telah mendapatkan izin prinsip Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Ketika hendak mengkonfirmasi beragam permasalahan di lapangan terkait operasi
Bintang Delapan di Morowali, tak mendapat tanggapan. Dari pesan singkat dan
telepon ke Barus, sampai kirim email, telepon ke perusahaan maupun mendatangi
kantor mereka.
Sontak para aktivis yang tengah rapat ini lari kocar kacir. Mereka membabi buta.
Pukul sana sini. Kami bersembunyi masuk ke rumah kos para buruh, kata Kadi
dari Yayasan Tanah Merdeka.
Penyerangan ini, buntut dari mogok buruh Sulawesi Mining pada 13 Maret 2014.
Aksi mogok sebagai protes dari pemecatan 252 pekerja tanpa pesangon.
Pembangunan pabrik smelter pun berhenti total.
Kala aksi, perusahaan mendatangkan ratusan aparat polisi dan tentara guna
menghentikan mogok buruh. Buruh bergeming. Aksi berlanjut. Malam hari,
waktu kita rapat konsolidasi para preman bayaran perusahaan datang
menyerang.
Saat penyerangan, Wahab, buruh sopir terkena pukulan balok. Pinggang membiru
dan kemerah-merahan.
Aktivitas kerja lumpuh kala buruh Bintang Delapan mogok. Aksi ini berujung
penyerangan ke posko pemogokan buruh di Desa Fatufia. Foto: Masdar
Teror belum berakhir. Pada 15 Maret, para buruh, dilaporkan ke polisi. Cuma
gara-gara mereka bilang tailaso masuk saat aksi 13 Maret. Mereka dianggap
mengancam, kata Kadi. Meski begitu mogok berlanjut hingga Minggu (16/3/14).
Pada 26 Maret, seorang buruh, Kasmar, ditangkap, yang lain buron.
Tuntutan para pekerja, perusahaan mengangkat buruh kontrak dan buruh harian
lepas menjadi tenaga kerja tetap. Lalu meminta kejelasan status buruh Sulawesi
Mining asal Tiongkok berjumlah 400 orang lebih. Pekerja asal Tiongkok ternyata
lebih banyak dari pekerja Indonesia, yang berkisar 200 orang.
Namun data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morowali dan
Disnakertrans Sulteng, buruh asing yang terdaftar di Sulawesi Mining hanya 42
orang. Dari dokumen yang kami peroleh tercatat ratusan pekerja dari Tiongkok itu
datang pada Februari dan Maret 2014.
Tahun lalu, ada 32 pekerja ilegal asal Tiongkok didatangkan perusahaan ini
ditangkap Bea Cukai Kendari, Sultra karena tak memiliki berkas ketenagakerjaan
asing jelas.
Perusahaan pun memberikan upah murah bagi buruh harian maupun pekerja
kontrak. Buruh harian mendapat upah per hari Rp39.000 dan pekerja kontrak Rp1,
250 juta per bulan.
Belum lagi soal keselamatan kerja. Ya, ada beberapa kecelakaan kerja di
perusahaan sampai meninggal. Namun tidak terdengar keluar. Perusahaan
memberikan santunan, kata Yunan, sopir damp truk Bintang Delapan.
Masdar, warga Bahodopi, juga pekerja yang masih bersengketa dengan Bintang
Delapan, mengatakan hal sama. Selama saya tahu, sudah ada beberapa pekerja
tewas kecelakaan kerja, katanya.
Kini Masdar, menggugat perusahaan. Dia merasa dipecat tanpa pesangon. Sedang
perusahaan, mengklaim Masdar mengundurkan diri. Ini cuma trik perusahaan
agar tetap bersih tak PHK dan tak perlu bayar pesangon.
Kasus ini, katanya, berawal dari peraturan larangan ekspor mineral mentah sejak
12 Januari 2014. Masdar, selaku operator alat bor dipindah ke bagian elektrik.
Secara tertulis, dia menyatakan tak bersedia ditempatkan di bagian itu karena tak
memiliki keahlian. Perusahaan berkeras, dengan penolakan itu berarti saya
mengundurkan diri. Saya tak mau mundur. Kalau perusahaan tak pakai saya lagi,
silakan pecat.
Sidang bergulir. Pengadilan Hubungan Industrial di Morowali, menganjurkan
Masdar kembali bekerja dalam jangka waktu enam bulan. Saya sepakat, saya
bersedia kembali kerja, tapi Bintang Delapan bilang tak sepakat mau lanjut ke
PHI di Palu. Ayo, saya ladeni. Mereka mau enak, mau pecat tanpa bayar
pesangon.
Ratusan Masdar pun menyusul di-PHK dengan alasan mangkir lima hari kerja
dan mogok kerja. Hingga kini, aksi buruh terus berlangsung.
Aksi mogok protes PHK ratusan buruh Bintang Delapan, yang berujung
penyerangan. Hingga kini, buruh terus berlanjut. Foto: Masdar
Listrik di sini dipasok dari Bintang Delapan. Ini bagian dari tanggung jawab
sosial perusahaan, kata Jasuli.
Tanggung jawab sosial perusahaan diberikan untuk desa-desa sekitar tambang
Bintang Delapan.
Menurut Jatam Sulteng, desa-desa sekitar tambang itu adalah Desa Unepute Jaya,
Lele, Lalampu, Bahodopi, Siumbatu, Keurea, Makarti Jaya, Fatufia, Labota,
Dampala, Bahomakmur, Trans Makarti, dan Peukerea.
Sebelum tambang masuk ke Kabupaten Morowali, desa-desa ini memang belum
tersentuh listrik negara. Pun jalan-jalan banyak tak teraspal. Setelah tambang
masuk, harapan perbaikan fasilitas ikut masuk ke desa. Jalan mulai bagus, listrik
menyala walau masih setengah hati.
Listrik menyala hanya malam. Kalau pukul 6.00 pagi sampai sore, padam.
Magrib menyala lagi. Begitu setiap hari. Banyak bilang listrik gratis, itu salah.
Kami tetap bayar listrik, kata Jasuli.
Untuk urusan sekolah yang memakai listrik seperti mencetak lembar soal siswa,
jika tak ada mesin genset, Jasuli bergegas ke ibukota Morowali, di Bungku.
Sekitar satu jam lebih kalau naik kendaraan bermotor.
Salah satu caf di Kecamatan Bahodopi. Cafe-cafe ini tumbuh bak jamur di
kecamatan setelah tambang muncul, salah satu Bintang Delapan. Foto: Christopel
Paino
Hamzah mendapatkan Rp45 juta pada pencairan pertama Desember 2014 dan
pencairan kedua Januari 2014. Tak hanya tanah, satu rumah tangga yang memiliki
anak usia SMP dan SMA ikut mendapat jatah per kepala.
Hamzah juga memiliki anak-anak di SMP dan SMA. Maka total memperoleh
Rp90 juta. Uang itu buat bangun rumah baru, dan beli sepeda motor matic.
Salah satu rumah warga yang sedang dibangun. Kehadiran tambang membuat
warga di Kecamatan Bahodopi dan sekitar bak menjadi orang kaya baru. Banyak
warga bisa membuat rumah baru danmembeli kendaraan karena mendapat uang
dari hasil penjualan tanah yang dibikin Surat Keterangan Pemilik Tanah. Bupati
mengeluarkan kebijakan kepala desa bisa keluarkan SKPT. Aksi ini diduga modus
mempermudah perusahaan tamabang mendapatkan lahan. Foto: Christopel Paino
Pada pencairan pertama Desember 2013, ada 170 keluarga dan tanah dibebaskan
400 hektar. Pencairan tahap kedua di rumah kepala desa, Januari 2014. Kala itu,
jumlah keluarga naik jadi 270 keluarga, tanah yang dibebaskan 540 hektar.
Mereka antri mengambil uang dari pukul 8.00 pagi hingga 11.00 siang.
Warga banyak kaya mendadak. Kepala desa, memiliki dua truk dan satu mobil
APV. Ada yang membangun kos-kosan dan penginapan. Mantan kades
mendapatkan 10 SKPT, dibayar satu surat Rp35 juta oleh perusahaan.
Hamzah tak percaya, lahan 1.000 hektar yang dibebaskan Garuda akan dibangun
perumahan Bintang Delapan. Kondisi berbukit-bukit, tak cocok dibangun gedung.
Dalam satu lembar lembar kertas berisi kesepakatan pertemuan pada 20 Juli 2013,
tercantum di Desa Labota yang harus dibayarkan perusahaan ada 200 lembar
SKPT. Dengan harga satu SKPT Rp45 juta. Jika dijumlahkan Rp45 juta dikali 200
lembar, total uang Rp9 miliar.
Pada lembar itu dijelaskan rincian pembayaran. Tak hanya buat warga Desa
Labota. Tertulis juga untuk luar masyarakat Labota, yaitu kecamatan Rp90 juta.
Danramil, kapolsek, dan kapolres dapat jatah Rp135 juta. Dinas Kehutanan,
Pertanahan, dan Kejaksaan dapat Rp90 juta. Staf bupati Rp45 juta dan aparat
desa, BPD, dan kepala dusun Rp90 juta.
Ada satu item tulisan menjelaskan, tamu kepala desa dapat Rp40 juta. Tak ada
penjelasan siapa tamu ini. Dari total dana Rp9 miliar itu, tersisa Rp500 juta. Uang
sisa itu untuk pembangunan mesjid.
SKPT ini produk Pemerintah Morowali, pada kepemimpinan Anwar Hafid.
Kecamatan dan kepala desa memiliki kewenangan mengeluarkan surat ini. Trik
ini, modus agar penguasaan lahan-lahan di kawasan hutan oleh perusahaan
menjadi lebih mudah.
Andika, aktivis lingkungan Sulteng mengatakan, dalam dua hingga tiga tahun,
pemberian SKPT mencolok di sebagian besar desa-desa yang terkena ekspansi
tambang. Kecamatan paling aktif menerbitkan SKPT itu Bahodopi dan Bungku
Selatan.
TIGA November 1999. Ini hari bersejarah bagi Morowali. Pada tanggal itu,
daerah ini resmi berpisah dari Kabupaten Poso dan membentuk wilayah
administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali, ibukota di Bungku.
Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf K, kabupaten ini tepat berada pada
ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo dan Laut Banda, Maluku.
Sebelah selatan Morowali, dekat dengan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas
wilayah Morowali 14. 489,62 kilometer persegi. Masih dianggap terlalu luas, pada
2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara.
Sejak 1999 hingga kini, Morowali dijabat empat orang bupati. Periode pertama,
bupati pejabat sementara Tato Masituju. Lalu bupati Andi Muhammad Abubakar,
tersangkut kasus hukum dan digantikan wakilnya, Datlin Tamalagi. Pada pilkada
2008, Anwar Hafid terpilih sebagai bupati. Pilkada lagi, Anwar Hafid terpilih kali
kedua, hingga kini.
Morowali berarti gemuruh. Konon, nama itu dari orang-orang Wana, suku di
Sulteng. Mungkin karena letak di pesisir pantai dan berombak. Dalam sebuah
dokumen berjudul Risalah dari Pontudua,menjelaskan, masyarakat turunan
tokoh Mokole Epe maupun Mokole Ndevolili-Ganda, disebut sebagai leluhur
masyarakat asli Bungku, khusus di Bahodopi.
Mereka hidup pada abad 16, yakni tahun 1597 Masehi, ketika raja Bungku
pertama dijabat Sangia Kinambuka. Zaman itu seangkatan dengan Sultan
Babullah di Ternate, Maluku Utara (1570-1585).
Sejak itu, mereka menjadi penghuni kawasan perbukitan yang meliputi Epe,
Pontudua, Mata Ee, Sampala, dan LereEa. Mereka bersepakat mendiami tanahtanah leluhur beserta tanaman-tanamannya, yakni damar (agathis sp) dan sagu.
Dokumen itu disusun oleh rumpun keluarga Mokole Ndevolili-Ganda di
Bahodopi-Bungku, sebagai perlawanan atas perampasan hutan leluhur yang
ditanami damar dan pohon sagu, oleh Bintang Delapan.
Dalam dokumen menyebutkan, masyarakat adat memiliki keterikatan kuat pada
tanah-tanah leluhur dan sumber daya alam di wilayah itu. Blok V yang dibuka
Bintang Delapan, merupakan titik-titik persebaran tanaman damar dan sagu.
Kedua tanaman ini memiliki peranan besar dalam menunjang ekonomi mereka
sejak masa lampau hingga kini.
Sampai kini, sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat di Bungku.
Damar juga menjadi alat penerang bagi suku-suku yang mendiami kawasan itu.
Bintang Delapan masuk membawa perubahan bagi kawasan hutan tempat damar
dan sagu. Bentang alam berubah, karena terjadi pembongkaran lapisan tanah
penutup pada permukaan bumi untuk mencari nikel. Mata rantai tumbuhan yang
dimanfaatkan turun menurun inipun nyaris terputus.
Hamparan tanah luas ini dulu pepohonan sebelum digali Bintang Delapan, salah
satu sagu yang menjadi sumber hidup warga. Namun, kini tinggal cerita.Foto:
Christopel Paino
Tak menyia-nyiakan kesempatan, dari 2009 sampai 2013 ini sudah ada 183 izin
tambang di Morowali. Ia terakumulasi hanya pada dua periode kepemimpinan
Bupati Morowali. Periode Datlin Tamalagi, tersubur dalam mengeluarkan izin
pertambangan, sekitar 120 izin dari kurang lebih 70 perusahaan. Mereka memecah
diri dalam berbagai nama berbeda. Masa Anwar Hafid bertambah sekitar 60-an
hingga menjadi 183 IUP di Morowali.
Sosok Anwar yang sempat ramai dibicarakan dan menjadi topik hangat di media
setelah dikaitkan dengan Angel Lelga, mantan istri siri Rhoma Irama, yang maju
menjadi calon legislatif dari PPP. Di dalam data KPU, Angel mencantumkan
status menikah dengan Anwar Hafid dan memiliki satu anak.
Angel diangkat Anwar sebagai duta pariwisata Morowali. Artis ini di Jakarta,
kerap tampil menampilkan tas-tas berharga selangit seperti Hermes. Ini
investasi. Begitu dia beralasan.
Dari sekian banyak izin pertambangan itu, sampai 2011, hanya sekitar 15 perusahaan mulai mengeruk di wilayah izin. Sisanya, hanya alat jualan para broker
tambang, kata Andika.
Perusahaan yang mendapat kemudahan konsesi di era Datlin Tamalagi, berpotensi
menciptakan kerugian negara, salah satu Bintang Delapan. Tahun 2010, hitungan
sederhana produksi nikel Bintang Delapan mencapai 600 ribu ton. Berdasarkan
kapasitas per kapal berjumlah 50 ribu ton dan dikali 12 kali proses pengapalan,
Bintang Delapan sudah menelan lahan seluas kurang lebih 20 hektar untuk 12 kali
pengapalan.
Proses itu tidak mendapat pengawalan dan pengawasan ketat dari pemerintah.
Sungai dari kawasan hutan yang ditambang mengalir ke laut dan berganti warna
orange. Foto: Sapariah Saturi
Salah satu izin tambang nikel di Kecamatan Bahodopi, tetapt di tepi jalan raya.
Air galian tambang pun meluber membasahi jalanan. Tak jauh dari jalan, lubanglubang tambang menganga. Tanpa pembatas. Kini, ditinggalkan begitu saja tanpa
reklamasi. Foto: Sapariah Saturi
melibatkan dinas lain. Atau minimal ada surat tembusan. Sekarang tidak ada
informasi kami dapat. Yang pegang semua hanyalah Dinas ESDM.
Kendala mereka di lapangan, kebijakan kawasan hutan tak berada di kabupaten.
Rekomendasi dari Dinas Kehutanan provinsi. Kabupaten hanya pengawasan.
Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air
sungai hingga mengalir ke laut berubah warna. Air tak lagi jernih tapi berwarna
orange. Foto: Sapariah Saturi
Aneh lagi, katanya, mereka disuruh monitoring sedang dana hanya sampai di
provinsi. Peran mereka juga lemah karena wilayah hanya areal penggunaan lain.
Tapi disuruh awasi kawasan hutan lain.
Untuk Bintang Delapan, katanya, berada di kawasan hutan produksi terbatas.
Namun, lagi-lagi, kata Asep, batas kawasan hutan belum jelas karena sulit
menentukan.
Karena kita pun kadang-kadang sudah melintasi kawasan hutan, tapi tidak ada
batas di lapangan. Nah, saat giliran mau dibikin batas tidak boleh, karena
kewenangan ada pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Asep punya cerita kala masuk dan mengawasi kawasan hutan. Ketika itu, sekitar
2008-2009, dia bersama rekan kerja di Dinas Kehutanan akan kontrol kawasan
hutan. Saat memasuki wilayah kerja Bintang Delapan, Asep ditahan satpam
perusahaan. Alasannya, mereka harus melapor dulu ke manajer perusahaan.
Padahal itu, wilayah kehutanan.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka dengan Bintang Delapan menjadi baik.
Setiap Pemerintah Morowali turun lapangan dibantu oleh perusahaan ini.
Sebenarnya, kalau mau cerita, Dinas Kehutanan yang paling dirugikan karena
aktivitas pertambangan. Kawasan banyak hilang.
Ketika ditanya hutan mangrove sekitar 20 hektar ditimbun Bintang Delapan dalam
pembangunan pelabuhan dan tempat pemurnian nikel, kata Asep, semua wilayah
alokasi penggunaan lain. Artinya, dimungkinkan kegiatan lain.
Yang jadi pertanyaan, apakah analisis dampak lingkungan sudah ada atau tidak?
kata Asep.
Sardin, kepala seksi Amdal Badan Lingkungan Hidup Morowali, mengaku tak
tahu menahu mengenai amdal pembabatan hutan mangrove buat menjadi
pelabuhan. Dia baru menjabat empat bulan.
Pria ini berusia di atas 50-an tahun. Di ruangan kantor itu tak tampak satupun
komputer atau labtop maupun mesin ketik. Ruangan bersih, seperti tak ada
aktivitas. Sardin, sebelum ini pernah menjadi kepala kelurahan, dan staf di kantor
kecamatan.
Saya ini jarang turun lapangan. Staf saya yang tahu semua, tapi dia tidak masuk
hari ini. Setahu saya, semua proses perizinan perusahaan sudah lengkap.
Namun, soal amdal Bintang Delapan menimbun mangrove, dia tidak tahu persis.
Coba tanya sama kepala dinas saya, dia pasti tahu. Soalnya sejak awal Morowali
berdiri jadi kabupaten, sampai sekarang masih menjabat sebagai kepala kantor.
Djafar Hamid adalah kepala Kantor Lingkungan Hidup Morowali. Hari itu,
menurut seorang staf, dia sedang sakit dan tak masuk kantor. Bersyukur tak
berapa lama, sang kepala kantor itu muncul.
Jawaban dari Djafar, Bintang Delapan sudah moncer mengurus semua izin.
Dokumen amdal semua sudah sesuai prosedur. Hutan mangrove yang ditimbun
Bintang Delapan juga ada kompensasi. Yaitu ditanami kembali mangrove di
tempat lain. Yang menanam LSM lingkungan yang didanai perusahaan. Luas
sesuai luas yang ditimbun untuk pembangunan pelabuhan perusahaan, kata
Djafar.
Dari sisi izin lingkungan, Bintang Delapan lengkap semua. Begitupun
perusahaan-perusahaan lain yang sudah produksi. Namun dia mengakui mungkin
ada cacat pada pengelolaan lingkungan karena tak mengikuti dokumen. Salah satu
poin dalam dokumen yang tak dijalankan perusahaan terlihat dari banyak lubanglubang galian tambang ditinggalkan begitu saja.
Aliran sungai dari dalam hutan yang digali, air berubah warna. Apakah ini yang
dibilang pejabat lingkungan hidup Morowali, sebagai semua sudah memenuhi
aturan? Foto: Sapariah Saturi
Dulu ini adalah sawah warga. Kini, irigasi tak jalan, sungai mengering. jalan air
tak lancar lagi setelah jalan tambang beserta jembatan dibagun. Padipun tak bisa
tumbuh lagi, hanya rumput dan ilalang yang menenuhi lahan bekas pesawahan di
Desa Baho Makmur, itu. Foto: Sapariah Saturi
LAPANGAN Marsaoleh di Bungku, penuh oleh manusia pada Rabu sore, 26
Maret 2014. Anak-anak, ibu-ibu, dewasa tua maupun muda, tumpah ruah. Mereka
mengenakan kaos seragam berwarna biru.
Di pinggir lapangan terpancang baliho-baliho dengan sketsa-sketsa wajah
tersenyum manis. Di arah tribun, berdiri panggung dihiasi bendera-bendera
berwarna biru dan salon musik besar. Dari salon itu, bergema musik seolah
menuntun manusia-manusia itu berjoget ria.
Tak berapa lama, musik terhenti. Sorak-sorai masih terdengar. Pengeras suara
dipandu seorang laki-laki dan perempuan itu lalu memanggil sebuah nama untuk
maju ke pentas. Dialah Anwar Hafid, Bupati Morowali. Berpakaian necis. Kemeja
putih lengan pendek, celana hitam. Sepatu mengkilat. Kepala terlindung kopiah
hitam.
Dia berorasi politik. Ini masa kampanye pemilu legislatif 2014 memasuki pekan
ketiga, sebelum masa tenang. Anwar Hafid ketua umum Partai Demokrat di
Sulteng.
Anwar melempar senyum. Banyak pendukung mengerumuni.
Keadaan ini selaras dengan Morowali. Banyak investor mengerumuni. Sumber
daya alam dan mineral berlimpah. Banyak janji-janji diumbar pemerintah dan
pengusaha atas kehadiran mereka: demi kesejahteraan dan kemakmuran warga.
Padahal semua itu hanya buaian janji manis. Tak beda dengan janji surga para
politikus kala berkampanye. Satu yang pasti, sebagian warga tengah merasakan
kesulitan hidup
Alat berat hilir mudik, dan kapal tongkang pengangkut ore nikel, jadi salah satu
hal paling mencolok di Morowali, terutama di Kecamatan Bungku Selatan dan
Bahodopi. Foto: Christopel Paino
Ilir (OKI), Pahri menerima sertifikat penghargaan ENO Green Cities Network
(Jaringan Kota Hijau Dunia). Ini sebagai upaya melestarikan lingkungan Musi
Banyuasin.
Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi
pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty
Pahlevi
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga 2011, Kalbar ada 651 izin
usaha pertambangan dan 477 izin eksplorasi. Sedangkan izin eksploitasi 174
perusahaan. Dari semua izin ini, tidak semua memulai kegiatan usaha. Sebagian
hanya broker.
Izin terbanyak dikeluarkan Ketapang, 60 perusahaan sudah eksplorasi. Izin ini
meliputi bahan tambang, bauksit, biji besi, timah, emas, mangan, galena, baal
clay, zircon, sampai pasir kuarsa.
Di Kalbar, terutama Ketapang, bauksit jadi primadona baru. Di Ketapang,
lapisan bauksit tidak begitu dalam, digali semeter sudah ketemu. Jadi tidak ada itu
cekungan seperti di Papua, kata Ali, supir kontraktor pertambangan.
Di Ketapang, Harita berencana mendirikan dua pabrik pengolahan bauksit dengan
investasi Rp 4,5 triliun per pabrik. Persyaratan deposit minimal 120 juta ton
terpenuhi. Di pabrik ini, bauksit diolah menjadi alumina. Jika teralisir, pabrik ini
pertama di Indonesia. Bahkan, bisa mengolah bauksit dari daerah lain di
Kalimantan.
Masalah mengintai Kalbar. Mursyid Hidayat, Aktivis Lembaga Gemawan,
mengatakan, kebijakan menggali sumber pendapatan negara lewat eksploitasi
tambang ini berisiko. Dampak tambang tidak sebanding dengan hasil, terutama
penurunan kualitas lingkungan dan konflik lahan, kata Dayat.
Menurut Arif, banyak contoh kerusakan lingkungan dampak tambang begitu
parah. Reklamasipun sangat sulit. Biaya reklamasi bekas pertambangan tiga kali
lipat dibanding keuntungan. Sebagian besar perusahaan memilih tak reklamasi.
Kapal-kapal nelayan yang menghadang kapal yang membawa alat berat tambang
ke Pulau Bangka, Sulut. Pulau kecil yang sesuai UU tak boleh ada pertambangan
ini tetap dilibas dan masuk WP. Warga menolak. Polisi ketat menjaga tambang.
Foto: Save Bangka Island
Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
mengeluarkan kebijakan melelang wilayah-wilayah pertambangan yang belum
ada izin di berbagai pulau di Indonesia. Kondisi ini, diprediksi memicu konflik
lahan dan sumber daya alam (SDA) lebih besar lagi, terlebih, menyangkut
pelanggaran hak-hak warga.
Konflik akan makin parah. Apalagi, sejak awal dari penetapan wilayah
pertambangan tidak menyertakan warga, kata Pius Ginting, Manajer Kampanye
Energi dan Tambang Walhi Nasional, di Jakarta, Kamis (27/3/14).
Di dalam UU Minerba, diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010,
disebutkan dalam penetapan wilayah pertambangan (WP) harus melibatkan
Masyarakat Adat di Maluku Utara, protes dan melakukan blokir jalan karena
kampung mereka masuk wilayah tambang PT Weda Bay Nickel. Foto: AMAN
MAluku Utara
Sekitar April 2011, emosi warga memuncak, alat berat perusahaan terbakar.
Kami 20 orang ditangkap polisi. Jadi tersangka tiga orang termasuk saya.
Akhirnya, perusahaan setop operasi. Meskipun perusahaan sudah setop operasi,
tetapi mereka masih khawatir kembali lagi.
Tak berlebihan kala warga berusaha mencari figur wakil di dewan yang tahu nasib
mereka. Yang jelas, kami lihat orang yang bisa menolong kami.
Arwati, korban luapan lumpur Lapindo, dari Desa Sirin, Sidoarjo, Jawa Timur,
agak beda. Dia punya harapan tetapi tak bisa menggunakan hak pilih pada pemilu.
Sebab, hingga kini, empat desa yang terendam lumpur Lapindo, tak terdata.
Mereka tak diberi kartu pemilih. Empat desa itu, yakni, Desa Sirin, Jatirejo,
Renokenongo dan Gedung Bendo.
Menurut dia, jika melihat caleg yang maju di wilayah Sidoarjo, mayoritas orangorang lama. Ada wajah baru, itu malah yang menjerumuskan masyarakat. Dulu,
dia panutan meminta warga harus kompak tapi malah memecah belah. Warga
Sidoarjo, korban Lapindo, tahu dia.
Mengenai pendataan penduduk ini, warga sudah pernah curhat ke Komidi D
DPRD Jatim. Kita diarahkan ngelapor ke Komisi A. Kan sudah ke dewan,
seharusnya mereka informasikan.
Kapal pembawa alat berat tambang yang dihadang ratusan nelayan menggunakan
puluhan kapal nelayan di perairan Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island
luar negeri untuk memperkuat pertahanan energi negara lain. Pasar ekspor ke
negeri seperti China, yang memiliki cadangan batubara jauh lebih besar dari
Indonesia. Indonesia dikuras habis. Malah, warga sekitar tambang batubara tak
teraliri listrik. Kalaupun ada, masih pakai jatah per hari berapa jam dan
pemadaman bergilir.
Bagi Adrinof, guna memperbaiki perusakan sistematis ini harus dikembalikan
kepada penerapan UUD Pasal 33. Bukan berarti, SDA tak bisa dimanfaatkan,
tetapi diaambil secukupnya. Kembalikan hak negara dan masyarakat. Ga seperti
ngasih gratis gini ke segelintir orang.
Guna memberikan informasi seputar peta dapil dan krisis perusakan tambang,
Jatam menyediakan informasi yang bisa ditemukan di sini.
Di Nusa Jaya, ada sekitar enam balita sakit saluran pernafasan berat karena
pengelolaan tak memperhatikan lingkungan. Pencemaran debu dan hidrokarbon
dilepas bebas.
Keduanya sama-sama bermasalah. Di sekitar Teratai tidak ditemukan masyarakat
terkena penyakit karena perusahaan sudah membangun tembok, ada tahapantahapan pengelolaan lingkungan, meskipun belum bisa dikatakan layak, kata
Arfian.
Lokasi tambang galian C yang beroperasi tanpa memegang izin dan menyebabkan
kerusakan maupun polusi. Foto: Bengkel Tolak Tambang NTT
Dia merasa heran, karena izin pengambilan material tambang belum ada
walaupun izin perusahaan resmi. Seharusnya, kedua perusahaan ini mempunyai
izin tambang pengambilan material. Disitu ada kendala. Kita mempertanyakan
dokumen lingkungan mereka. Mereka penuhi dokumen pengelolaan lingkungan.
Seharusnya, dokumen evaluasi atau amdal untuk AMP.
Dokumen lingkungan UKL UPL kedua perusahaan ini juga baru dibuat tahun
2012. Padahal, Teratai beroperasi 2003 dan Nusa Jaya sejak 2008. Aneh lagi
Nusa Jaya tidak ada upaya pengelolaan lingkungan, mengapa punya UKL UPL?
Pemerintah daerah mengatakan lokasi galian C dipilih berdasarkan permintaan
masyarakat supaya meratakan dataran. Kita bertanya, meratakan tempat kok
model seperti ini?
Arfian berharap, pemerintah bisa konsen terhadap isu lingkungan terlebih NTT
diarahkan menjadi koridor pariwisata dan ketahanan pangan. Tolong
diperhatikan proses pembangunan infrastuktur harus sesuai konsep pariwisata dan
ketahanan pangan. Bukan memperlancar investasi pertambangan.
Senada diungkapkan Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye Jatam Nasional. Dia
mengatakan, hampir semua proyek-proyek pembangunan infrastruktur tidak
memperhatikan keperluan masyarakat dan daya dukung lingkungan. Kondisi ini,
langsung berkontribusi besar terhadap peningkatan krisis di sekitar tambang.
Dalam pembangunan infrastruktur, katanya, memerlukan pasokan material galian
C sangat besar. Conton di Sumba Timur, bagaimana pembangunan dermaga
meningkatkan eksploitasi galian C. Pasir, batu krikil banyak dalam penggalian
sampai pengolahan merusak sumber air masyarakat, kata Bagus.
Peta lokasi tambang dan perusahaan. Sumber: Bengkel Tolak Tambang NTT
Kejati dinilai pilih kasih dalam penanganan kasus kehutanan. Warga yang tinggal
di sekitar hutan kerap mendapat kriminalisasi hanya karena mengambil potongan
kayu untuk keperluan hidup. Sedang perambahan hutan oleh perusahaan seakan
tak tersentuh hukum bahkan cenderung ditutup-tutupi. Foto: Wahyu Chandra
Diduga kuat ada upaya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) dan
Sulawesi Barat (Sulbar) menghentikan penyidikan kasus penerbitan izin
bermasalah dari PT Isco Polman Resource (Isco). Aksi inipun menuai kritik
kalangan aktivis lingkungan.
Terlebih, kasus ini mencuat pada Mei 2013 berawal dari ekspos Kejati, di
sejumlah media nasional dan lokal. Ketika itu, Asisten Pidana Khusus Kejati
Sulselbar, Chairul Amir mengakui ada masalah proses perizinan yang diterbitkan
Bupati Polman, Ali Baal, kepada Isco.
Pada saat pembayaran ganti rugi atau santunan, BPN juga tidak dilibatkan hingga
tidak diketahui latar belakang orang-orang yang mengklaim lahan, kata Nur Alim
Rachim, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel, dikutip dari
Harian Sindo, akhir September 2013.
Tak hanya prosedur perizinan, Kejati ketika itu menemukan indikasi manipulasi
data Isco maupun Pemda Polman, yang mengakui memberi ganti rugi kepada 233
warga. Meskipun mereka kesulitan menunjukkan daftar nama warga yang
dimaksud.
Pemalsuan data ini diduga dilakukan Isco demi memenuhi syarat administrasi
yang mewajibkan izin dan sepengetahuan warga setempat, termasuk pemberian
ganti rugi bagi warga yang terkena dampak.
Ikhsan Welly, Direktur Walhi Sulawesi Barat, angkat bicara. Dugaan kami
banyak prosedur dilanggar dalam proses pemberian perizinan terhadap perusahaan
ini.
Menurut dia, keberadaan tambang ini sarat masalah dan banyak mendapat
penolakan warga. Apalagi, pembangunan tambang ini hanya berdasar surat izin
bupati tanpa rekomendasi BPN dan Kemenhut, . Padahal, sebagian lokasi
tambang di hutan lindung.
Tim kami kini sudah ke lapangan untuk investigasi kasus ini. Kami sedang
mengumpulkan informasi siapa yang terlibat proses perizinan ini. Kami menduga
ada upaya gratifikasi.
Armansyah Dore, Juru Bicara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Sulsel, menilai, langkah Kejati terkesan pilih kasih dan membeda-bedakan
penegakan hukum. Ketika warga bermasalah dengan hutan lindung, proses cepat
dan langsung divonis tanpa pemeriksaan jelas.
Kala perusahaan, jelas-jelas merambah hutan lindung, justru proses diperlambat
dan seakan dicarikan celah untuk dibatalkan prosesnya. Ini aneh dan
menggelikan.
Dia mencontohkan, kasus Najamuddin, warga Dusun Tasosso, Desa Gunung
Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulsel, divonis lima bulan
penjara karena dituduh menebang dua pohon di hutan lindung. Ironisnya, pohon
itu dulu sebenarnya ditanam oleh Najamuddin sendiri.
Sikap Kejati juga memicu reaksi dari aktivis Anti Corruption Commitee (ACC)
Sulsel, yang segera melayangkan protes keras kepada lembaga ini. ACC
mengancam mengadukan Kejati Sulsel ke Komisi Kejaksaan RI. Kejati berdalih
penghentian kasus ini karena berdasar temuan Polda yang tidak mendapatkan
indikasi pelanggaran dalam kasus Isco ini.
Aksi di puncak Gunung Agung Bali oleh dua aktivis Banyuwangi yang menolak
tambang emas di hutan lindung Pitu. Foto: Forum for Environmental Learning
Hey world, safe Banyuwangi and Tumpang Pitu from gold minning. Begitu
bunyi spanduk yang dikibarkan di kori suci Gunung Agung, 4 November 2013,
oleh Forum for Environmental Learning (BaFFEL). Aksi Ari Restu dan Edy
Prayitno, dua pendaki gunung asal Banyuwangi, ini sebagai bentuk protes rencana
pengerukan tambang emas di hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Mereka menaiki puncak Gunung Agung, Bali, dengan ketinggian 3.124 mdpl,
guna meneriakkan kekhawatiran ini. Menurut Ari, memilih Bali karena daerah itu
titik yang menarik perhatian dunia. Karena itu penolakan tambang emas
Tumpang Pitu kami suarakan di Gunung Agung. Harapannya, dunia mendukung
sikap kami, katanya dalam pernyataan kepada media.
BaFFEL memilih Kori suci Gunung Agung sebagai salah satu lokasi aksi untuk
menunjukkan titik persamaan antara Gunung Agung dengan Gunung Tumpang
Pitu. Dua gunung ini sama-sama memiliki tempat ibadah yang disucikan umat
Hindu. Jika di Gunung Agung ada kori suci, di kaki Gunung Tumpang Pitu ada
Pura Segara Tawang Alun, ucap Ari.
Dia mengatakan, aksi ini merupakan reaksi atas sikap Bupati Banyuwangi,
Abdullah Azwar Anas yang begitu tertutup jika menyangkut soal kehutanan,
khusus eksploitasi emas Tumpang Pitu. Dari pengamatan BaFFEL, tercatat hingga
bulan ini terhitung ada empat kali pertemuan tertutup oleh Bupati Banyuwangi.
Semua pertemuan tertutup itu ber-isu kehutanan. Mei lalu ada dua kali
pertemuan tertutup. Juli ada satu kali.
Terbaru, pertemuan awal November antara bupati dan Direktur Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Kementerian Kehutanan.
Aksi ini tak hanya memancing pendaki lain yang kebetulan berada di Gunung
Agung, juga menarik perhatian warga yang bersembahyang di kori suci Gunung
Agung.
Dikutip dari Tempo, Totok Sugiyono, Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian
Perkebunan Kehutanan dan Holtikultura Banyuwangi membenarkan ada
pertemuan dengan pejabat dari Kemenhut pada awal November. Namun
pertemuan ini tidak membahas alih fungsi hutan lindung Gunung Tumpang Pitu.
Pertemuan membahas tukar guling hutan di Pancer dan Grajagan.
Pembahasan alih fungsi hutan lindung Tumpang Pitu seluas 1.900 hektare menjadi
hutan produksi sudah rampung. Saat ini, hanya menunggu persetujuan Menteri
Kehutanan. Hanya hutan di Tumpang Pitu yang bisa dialihkan, kata Tatok.
Alih fungsi berkaitan dengan rencana eksploitasi penambangan emas oleh PT
Bumi Suksesindo. Kandungan mineral emas di bawah hutan ini diklaim mencapai
1 miliar ton, dengan perkiraan bernilai Rp70 triliun.
Namun, Yusuf Widiatmoko, Wakil Bupati Banyuwangi, berkata lain. Dikutip dari
KBR68, Yusuf mengatakan, Kemenhut telah mengeluarkan izin pinjam pakai
kawasan hutan lindung pada 2007. Terkait penggunaan kawasan hutan lindung
yang harus mendapatkan izin dari menteri. Bahwa kegiatan penambangan telah
mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kemenhut.
Sampai berita ini diturunkan, Mongabay, berusaha mengkonfirmasi mengenai alih
fungsi hutan lindung ini kepada Kemenhut, tetapi belum mendapat tanggapan.
PT Bumi Suksesindo mendapatkan lahan tambang bukan tanpa masalah.
Sebelumnya, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) PT Indo Multi Niaga
(IMN) yang bekerja bersama Intrepid Mines Ltd, perusahaan asal Australia. Kini,
Intrepid menggugat Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, ke PTUN
Surabaya. Gugatan tertanggal 14 Maret 2013 itu, menuntut pencabutan IUP
eksplorasi dan produksi PT Bumi Suksesindo.
Dikutip dari Kompas, Tony Wenas, Executive General Manager Intrepid Mines
Ltd, di Surabaya, Minggu (24/3/13) mengatakan, keputusan Bupati Banyuwangi
yang memberikan persetujuan pengalihan IUP eksplorasi dan operasi, cacat
hukum. Sebab, dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 pasal 93 ayat 1 disebutkan
pemegang IUP tak boleh memindahkan IUP kepada pihak lain.
Keputusan Bupati Banyuwangi cacat hukum termasuk kebijakan yang
memberikan persetujuan perubahan susunan kepemilikan saham. Dimana dalam
surat keputusan Nomor 545/764/429.108/2012 tertanggal 6 Desember 2012
memberikan kepemilihan saham kepada PT Bumi Suksesindo (100 persen):
saham PT Afa Sukesindo lima persen dan PT Merdeka Serasi Jaya (PT MSJ)
sebanyak 95 persen. PT MSJ memberikan saham 10 persen kepada Pemda
Banyuwangi.
Yang terjadi, IMN menjual ke PT Bumi Suksesindo dengan harapan Intrepid
Mines Ltd tak memiliki hak pengelolaan. Padahal, kala membuat studi kelayakan
dan beberapa pekerjaan di lapangan Intrepid telah mengeluarkan dana Rp1 triliun.
Intrepid selama ini merasa dirugikan dalam eksplorasi tambang Tujuh Bukit,
Tumpang Pitu Banyuwangi. IMN, telah bekerjasama dengan Intrepid Mines Ltd
dengan kepemilikan saham 80 persen. Namun tanpa sepengetahuan Intrepid, IMN
menjual IUP ke PT Bumi Suksesindo.