Anda di halaman 1dari 95

Tag Archives: alih fungsi lahan ke

tambang
Petani Tolak Tambang di Lumajang
Dibunuh, Komnas HAM Bentuk Tim
Investigasi
September 28, 2015 Indra Nugraha, Jakarta

Sumber: Jatam
Pada Sabtu (26/9/15), petani pejuang penolak tambang pasir, di Desa Selok Awarawar, Lumajang, Salim Kancil, tewas mengenaskan sedang warga lain, Tosan,
mengalami luka serius. Kini Tosan dirawat intensif di RS Mawardi, Malang.
Dari keterangan Walhi Jawa Timur, menyebutkan, saat warga desa hendak
menghadang kegiatan tambang pasir, diduga oknum kepala desa mengerahkan
preman sekitar 30 orang untuk mengintimidasi warga. Seorang petani, Salim,
dibawa dan dikeroyok dengan kedua tangan terikat. Mayatnya ditemukan di tepi

alan dekat perkebunan warga. Korban lain, Tosan. Dia dijemput dari rumah dan
dianiaya. Dia sempat melawan tetapi dihajar beramai-ramai. Bersyukur, berhasil
diselamatkan warga dan dilarikan ke rumah sakit.
Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi
Nasional di Komnas HAM Jakarta, Senin, (28/9/15) mengatakan, konflik
pertambangan di Lumajang sudah lama terjadi. Laporan warga menolak tambang
kepada Walhi hampir dua tahun lalu. Mereka menolak karena khawatir
pertambangan mengancam produksi pertanian.
Pertambangam sudah berjalan sejak 2014. Mulanya, warga mendapat undangan
Kades Selok Awar-awar untuk sosialisasi wisata Watu Pecak. Yang terjadi, malah
penambangan marak disana.
Maret lalu masyarakat datang ke Walhi menyampaikan penolakan mereka
terhadap kegiatan pertambangan ilegal.
Aksi penolakan tambang dilakukan. Pada 9 September 2015, warga aksi damai
tolak tambang. Keesokan hari, pengancaman terbuka terjadi. Pada 11 September,
perwakilan masyarakat melaporkan intimidasi dan pengancaman kepada Polres
Lumajang. Pada 9 September, Polres Lumajang merilis penanganan kasus,
termasuk tim penyidik.
Pada 21 September, warga lapor pertambangan ilegal. Pada 25 September ,
mereka konfirmasi aksi lagi. Pada 26 September terjadi pembunuhan, katanya.
Sebenarnya, kata Munhur, pengaduan tertulis soal penolakan tambang sudah
disampaikan kepada polisi, DPRD, kementerian bahkan Presiden. Bahkan, saat
audiensi dengan DPRD, berjanji membentuk tim tetapi tak ada realisasi hingga
sekarang.
Ada skenario besar?
Muhnur mensinyalir kuat, ada skenario besar di balik kasus ini, yakni
melancarkan usaha pertambangan di sana. Di wilayah Perum Perhutanidekat
desa, ada perusahaan tambang pasir, PT Indo Modern Mining Sejahtera (PT
IMMS).
Kasus pertambangan ilegal itu pernah disidik Kejaksaan. Tapi tak belum ada
perkembangan sampai sekarang.
Muhnur berharap kasus ini bisa diusut tuntas. Konflik tak hanya soal
pembunuhan, tetapi ada masalah laten yaitu pertambangan ilegal. Dia mendesak,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, audit perizinan. Sebab, kawasan
tambang itu berada di wilayah kerja Perhutani.
Apakah benar perusahaan menambang di lahan itu sudah mengantongi izin
pelepasan kawasan? Atau izin lingkungan sebagai mana diamanatkan UU 32

tahun 2009. Kalau ada izin, segera cabut karena sudah banyak penolakan di
masyarakat, katanya.
Senada dengan Ki Bagus Kusuma, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Dia mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik pro dan kontra tambang.
Namun, dia melihat ada skenario besar. Perusahaan besar bermain di balik ini.
Kita tahu, perusahaan itu sudah diusut Kejati. Maret lalu Direktur Utama PT
IMMS sebagai tersangka. Dari tim pembuat Amdal juga ditetapkan tersangka
karena terlibat gratifikasi. Mantan bupati terkait izin ini.
Dia melihat kasus ini sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lain. Ketika
susah masuk ke wilayah eksploitasi, pertambangan-pertambangan liar didorong
perusahaan untuk kelancaran eksploitasi ke depan.
Artinya, perusahaan mengklaim mereka akan lebih memberikan PAD ke daerah,
akan mereklamasi. Tambang-tambang liar jadi bagian dari cuci tangan perusahan
besar.
Munhur juga meminta Komnas HAM turun ke lapangan bersama masyarakat
sipil, sebelum konflik ini didramatisir menjadi isu pro dan kontra tambang yang
sebenarnya bikinan perusahaan dan aparat yang terlibat.
Walhi, katanya, sudah meminta Lembaga Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) untuk melindungi warga. LPSK menyanggupi. Hanya beberapa
syarat administrasi harus diselesaikan.
Akan kami penuhi minggu ini. Situasi korban dan warga terancam. Mereka
ketakutan luar biasa. Masyarakat sangat susah dikoordinasi. Meski ada dampingan
dan investigasi dari KontraS, Walhi, Jatam dan masyarakat sipil lain di lokasi.Ada
12 warga jadi incaran intimidasi, katanya.
Ken Yusriansyah dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan,
pembunuhan itu bertepatan dengan perayaan Hari Tani Nasional. Ini kado paling
buruk diterima kaum tani.
Dia mengatakan, laporan dari lapangan, ternyata pembunuhan di depan umum.
Ini kejahatan sangat luar biasa. Maka kita melaporkan ke Komnas HAM agar
turun ke lapangan. Kami mendapatkan laporan, upaya intimidasi, kriminalisasi itu
terus dilakukan pihak-pihak yang melindungi aktivitas pertambangan.
Senada dikatakan anggota Divisi Ekonomi dan Sosial KontraS Ananto. Katanya,
ada beberapa kejanggalan seperti kegamangan polisi. Sebelum pembunuhan,
katanya, sebenarnya sudah banyak laporan kepada kepolisian. Namun, tindakan
polisi tak jelas. Kapolres malah menyatakan, tambang berguna bagi masyarakat
padahal menimbulkan konflik.

Sebenarnya polisi dan pejabat terkait sudah mengetahui. Mereka diduga terlibat
dalam kasus ini dalam bentuk pengabaian.
Investigasi Komnas HAM
Menanggapi ini, Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila mengatakan, akan
merespon cepat kasus ini karena sudah masuk kategori kasus urgen, menyangkut
keselamatan manusia. Komnas HAM akan investigasi kasus ini.
Komnas HAM akan pendalaman kasus. Soal ilegal mining perusahaan, juga
menggunakan beberapa oknum masyarakat dimodali untuk pertambangan ilegal.
Kemudian soal hak lingkungan sehat dan hak kesehatan dan kesejahteraan. Di
dalam mengandung konflik agraria. Juga soal hak rasa aman yang penting bagi
warga sekitar, katanya.
Komnas HAM akan memastikan aparat penegak hukum terutama kepolisian,
menjalankan proses penegakan hukum terbuka dan adil.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam
pesan singkat, menyatakan, laporan yang dia terima menyebutkan, sudah ada 18
orang ditetapkan menjadi tersangka dan tak ada karyawan Perhutani yang terlibat
dalam peristiwa itu.
Dari catatan Perhutani, lokasi kejadian berada di luar kawasan hutan, 200 meter
dari pal batas sebelah utara, ke selatan bibir pantai. Untuk memastikan, Perhutani
dan Kepolisian akan mengecek lapangan.
Laporan itu juga menyebutkan, galian pasir yang menjadi persoalan bukan pasir
besi tetapi pasir biasa yang berbatasan dengan petak 17E RPH Bogo, BKPH
Pasirian. Izin dikeluarkan bupati berupa izin pertambangan rakyat dengan luas
dua sampai lima hektar per izin. Sedangkan, pasir besi di dalam kawasan hutan
RPH Bogo, berada pada petak 22, 23 dan 24.

Inilah Para Penjaga Lingkungan dari


Tambang
August 21, 2015 Indra Nugraha, Jakarta

Pulau Bangka, Sulut, yang mulai rusak karena tambang. Sejak awal warga
melakukan penolakan hingga menang beberapa kali di pengadilan. Diana F
Takumansang, warga Pulau Bangka, salah satu penerima penghargaan Jatam,
sebagai tokoh inspiratif pejuang penolak tambang. Foto: Save Bangka Island
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memberikan penghargaan kepada 23 orang
yang dinilai menginspirasi dalam perjuangan menolak tambang. Mereka
sebenarnya tidak mewakili pejuang tambang, lingkungan dan HAM keseluruhan.
Masih banyak yang lain. Hanya, mereka dipilih karena dianggap memberikan
inspirasi kepada orang banyak, kata Koordinator Jatam, Hendrik Siregar, di
Jakarta Rabu (19/8/15), bersamaan dengan HUT Jatam ke-20.
Dia mengatakan, Jatam melihat konsistensi mereka dalam perjuangan menjaga
lingkungan hidup. Harapannya ini jadi inspirasi masyarakat lain yang sedang
berjuang mempertahankan ruang hidup.
Diana F Takumansang, warga Pulau Bangka, penerima penghargaan senang.
Tambang, katanya, membuat keselamatan warga hilang. Dia bersama-sama yang
lain berjuang mempertahankan ruang hidup bersama warga melawan PT Mikgro
Metal Perdana yang hendak menghancurkan Pulau Bangka, Sulawesi Utara.
Kami tak takut demi keselamatan desa. Segala macam cara dilakukan jangan
sampai ada pertambangan tetapi pemerintah mengawal perusahaan, katanya.
Warga Pulau Bangka, berkali-kali memenangkan gugatan di pengadilan. Terakhir
gugatan permohonan cabut izin MMP dikabulkan PTUN Jakarta timur. MMP, dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengajukan banding. Kami tak
akan pernah berhenti. Akan terus berjuang.

Cak irsyad, warga terdampak lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim, juga punya cerita.
Sejak sekolah banyak tenggelam, rumahnya disulap menjadi Sanggar Al-Faz. Di
sana, anak-anak korban lumpur Lapindo belajar membaca, bernyanyi dan menari.
Tak heran jika Jatam memberikan penghargaan kepadanya.
Dulu Sidoarjo nyaman, aman, jauh dari tsunami dan gempa. Tiba-tiba ada
lumpur.
Ada juga Umbu Janji, pejuang penolak pertambangan emas PT Fathi Resources di
Sumba. Bersama dua rekan, Umbu Mehang dan Umbu Pendingara, divonis
sembilan bulan penjara di Pengadilan Tinggi Waikabubak, 3 Mei 2012. Mereka
dituduh merusak peralatan perusahaan.
Tahun 2011 pertambangan emas masuk. Kami menolak. Saya orang pertama
menolak hingga ada 100 orang lebih menandatangani penolakan. Pemerintah
mulai bupati hingga gubernur tak menggubris. Tak ada jawaban, katanya.
Aleta Kornellia Baun atau Mama Aleta juga mendapatkan penghargaan. Dia
perempuan yang memimpin masyarakat adat Molo, Amanatun dan Amanuban
melawan tambang marmer. Perjuangan berhasil. Pada 2013, dia mendapatkan
penghargaan Goldman Environmental Prize.
Dulu kami diganggu dengan reboisasi, HTI, HKM dan pertambangan. Mulai
lima tahun belakangam, sudah tak ada gangguan. Hanya ada isu berkembang
bahwa Jokowi akan mendatangkan investor masuk. Kami masyarakat adat akan
terus berjuang. Wilayah itu milik kami, kata Petrus Almet, datang mewakili
Mama Aleta.
Tokoh lain, almarhum Werima Masi Mananta. Dia memperjuangkan tanah warga
yang dirampas PT. Valley, dulu PT Inco, perusahaan tambang nikel di Sulawesi
Selatan. Surtini Paputungan, pejuang Teluk Buyat, Sulawesi Utara yang
berhadapan dengan PT Newmont Minahasa Raya. Juga Sukinah, perempuan
melawan PT Semen Indonesia, di Rembang.
Juga Abdul Madjid, Kepala Desa Tangkeno, Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
Dia menolak tambang dengan menjadikan pulau seluas 873 km sebagai
ekowisata. Lalu, Sania, aktivis Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), Yani
Sagaroa, Direktur Yayasan LOH, pada 2007 vonis empat bulan atas kasus
pencemaran Teluk Buyat PT Newmont. Bambang Bin Nail, penjara empat bulan
karena bersana masyarakat adat Pelaik Keruap di Kalbar menolak pertambangan
PT Mekanika Utama Grup (MUG).
Ada Meli Melda dan Andi Jaya, berjuang melawan pertambangan PT Famiaterdio
Nagara di Bengkulu. Anwar Stirman, penggugat Newmont Minahasa atas
pencemaran Teluk Buyat. Harwati, warga terdampak lumpur Lapindo, St. Saudur
br. Sitorus (Opung Gideon), penolak tambang PT Dairi Prima Mineral di Dairi,
Sumut. Pastur Kopong, penggerak GSM.

Kemudian Romo Agustinus Ubin CM, tokoh agama penolak tambang PT MUG,
Kalbar. Baharudin Demu, Koordinator Jatam Kaltim 2002-2004 serta Rosdi
Bachtiar Martadi, pengajar yang menggalang anak-anak muda menolak tambang
emas di Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi.

Sebagian para penerima penghargaan Jatam, sebagai tokoh-tokoh inspiratif


penolak tambang. Foto: Indra Nugraha

Aneh, Izin Kadaluarsa, Kok Amdal


Tambang Zircon Diterima
September 20, 2014 Indra Nugraha, Palangkaraya

Lokasi tambang zircon di Dusun Tanjung Keramat, Desa Nanga Tempunak,


Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalbar. Warga protes karena
perusahaan tak ada sosialisasi. Di Kalimantan Tengah, Amdal tambang serupa
diterima padahal izin tambang sudah mati. Proses-proses administrasi izin seperti
ini berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Foto: Yuzrizal

Perizinan tambang zircon PT. Giri Indahandalan (GI) sudah kadaluarsa. SK


Walikota Palangkaraya No 93 Tahun 2010, terbit 1 Februari, berlaku tiga tahun.
Namun, Walikota Palangkaraya H.M. Riban Satia, justru menerbitkan
kesepakatan kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)
Nomor 69 tertanggal 17 Januari 2014. Kesepakatan keluar saat izin sudah tak
berlaku.
Saya melihat dokumen ini ngeri-ngeri sedap. Kalau berbicara soal kelayakan
lingkungan, gak bisa dilepaskan dari kelayakan administrasi. Jadi bullshit
berbicara lingkungan tapi dokumen bodong, kata Kussaritano, direktur eksekutif
Mitra Lingkungan Hidup Kalteng, dalam rapat Komisi Amdal di aula Bappeda
Palangkaraya, Selasa (9/9/14).
GI memperoleh izin Walikota Palangkaraya untuk pertambangan zircon seluas
3.014 hektar di Kelurahan Pager, Kecamatanan Rakumpit, Palangkaraya.
Itan begitu dia biasa disapa mengatakan, dalam konteks kelayakan lingkungan
harus disertakan data-data pendukung konkrit, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dia menilai, dokumen Amdal yang ada tak memperbaiki beberapa saran masukan
saat rapat terdahulu. Sebelumnya, ada rapat teknis pada Maret. Amdal juga
diumumkan melalui Palangka Post, pada 26-28 Februari 2013saat itu perizinan
telah kadaluarasa. Sedang sosialisasi 4 April 2013.
Sekarang ada lagi rapat tetapi hal yang harus diperbaiki tidak diperhatikan.
Melihat SK perizinan, dasar hukum jelas. Ketika berbicara soal Amdal, ada empat
aspek. Uji administrasi, relevansi, kedalaman dan konsistensi dokumen. Perizinan
itu bagian dari uji administrasi.
Komisi Amdal Palangkaraya, katanya, mempunyai tanggungjawab moral yang
harus dijaga. Jangan sampai, buntut izin ini memaksa walikota diperiksa KPK
karena menyalahi aturan.
Harus kita garisbawahi. Karena SK berlaku tiga tahun. Artinya, ia sudah tidak
berlaku sejak 2013. Kalau saya lihat, bagaimana konteks ketika muncul
kesepakatan kerangka acuan diterbitkan walikota 17 Januari 2014 dikaitkan
kontrak penyusunan dokumen Amdal? Ini menarik.
Menurut dia, tiga nama konsultan penyusun dokumen Amdal pertambangan
zircon ini jadi taruhan. Padahal, mereka mempunyai lisensi dan sertifikasi.
Bagaimana bisa menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal padahal izin
sudah tidak berlaku?
Tercantum nama konsultan tertera dalam dokumen Amdal itu antara lain, Junaidi,
Najamuddin, dan Yansen Noky. Sertifikat lisensi Yansen Noky, kadaluarsa. Jadi
bukan hanya pemda yang kena, tapi teman-teman konsultan juga kena, kata Itan.
Seharusnya, konsultan tak boleh menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal
karena izin sudah tak berlaku. Tidak boleh ada data fiktif. Jangan sampai ada

kesan sengaja melakukan kesalahan. Bagaimanapun, konsekuensi nanti ketika


audit, pertama kali diperiksa keluar SK, katanya.
Dalam dokumen Amdal sekarang, konsultan sudah memprediksi besaran produksi
tambang dan umur ditetapkan 11 tahun. Itan beranggapan, ketika konsultan
mendapatkan angka pasti datang ke lokasi.
Dalam ilmu kehutanan, itu namanya tahapan eksplorasi. Pertanyaan saya,
apakah ketika masuk ke kawasan hutan hingga memunculkan angka-angka itu ada
izin pinjam pakai tahap eksplorasi?
Menurut dia, ketika berbicara soal izin pinjam pakai, ada dua tahap, yakni kala
eksplorasi, dan izin operasi produksi.
Dia menilai, materi dokumen Amdal tidak jelas. Di dalam dokumen tertulis akan
ada penciutan lahan menjadi 1.094 hektar tetapi tidak dicantumkan lokasi, aspek
legalitas dan titik koordinat.
Angka-angka dalam perencanaan pertambangan menandakan perusahaan bersama
konsultan telah eksplorasi. Padahal, perusahaan belum memiliki IPPKH
eksplorasi.
Kalau mau jelas, harus ada SK. Kalau tidak mengantongi SK, berarti abal-abal.
Bisa jadi luasan berubah. BLH Kota akan kesulitan ketika pemantauan. Dasar
hukum tidak ada. Saya berbicara konsistensi terhadap peraturan.
Itan merekomendasikan penundahan pengesahan dokumen Amdal karena aspek
kelengkapan administrasi tak terpenuhi.
Dalam SK Walikota Palangkaraya No 93 tahun 2010 tentang pemberian izin usaha
pertambangan eksplorasi GI tercantum, jangka waktu berlaku IUP tiga tahun.
Dengan perincian satu tahun penyelidikan umum, setahun eksplorasi, dan studi
kelayakan setahun.
Dalam SK itu tertulis IUP eksplorasi bisa diberhentikan sementara, dicabut atau
dibatalkan bila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan larangan yang
ditentukan. Jika tidak bisa memenuhi target tiga tahun, berarti izin tidak berlaku.
IUP otomatis batal. Anehnya, 17 Januari, walikota malah menerbitkan SK No 69
tahun 2014 tentang kesepakatan kerangka acuan analisis dampak lingkungan
pertambangan itu.
Prosedurnya, perusahaan memproses dahulu perizinan pertambangan dengan
meningkatkan status dari IUP ekplorasi menjadi IUP operasi. Dengan begitu bisa
memproses perizinan lingkungan hidup seperti SK kelayaan lingkungan dan izin
lingkungan. IUP eksplorasi zircon paling lama tiga tahun dan tidak bisa
diperpanjang, melainkan ditingkatkan status menjadi IUP operasi produksi atau
izin dicabut apabila tidak prospek.

Seharusnya, pemerintah Palangkaraya tidak melanjutkan pembahasan Amdal


sepanjang legalitas IUP belum jelas. Yang terjadi SK-KA analisis dampak
lingkungan (Andal) terbit, padahal izin mati. Pembahasan Amdal dipaksakan,
sedang izin belum diproses, ucap Itan.
Kesempatan sama, Rawang, ketua BLH Palangkaraya mengatakan, hal berbeda.
Dia beranggapan, pembahasan Andal sudah sesuai rekomendasi walikota. Juga
sesuai rekomendasi rapat komisi Amdal terakhir.
Saya menyadari, seharusnya izin eksplorasi itu satu grup dengan keputusan
rekomendasi Amdal dan kelayakan lingkungan. Mungkin, yang menjadi
pertimbangan Pak Wali (walikota) izin sudah berjalan, sudah ada, dan Amdal
sangat panjang. Hingga selama tiga tahun belum selesai, sampai izin mati.
Rawang mengatakan, ada jaminan dari walikota memperpanjang izin ketika
pembahasan Amdal selesai. Pak wali mengatakan, ketika Amdal selesai, hari ini
juga izin perpanjangan ditandatangani. Ini yang menjadi dilema bagi komisi
Amdal. Saya akui ini kurang pas, katanya.
Pernyataan ini ditimpal Itan. Berarti ini berlaku surut ya pak? Peserta rapat
komisi, tertawa. Mereka seakan sadar bahwa ini menyalahi aturan.
Saya mohon, ini kebijakan kita. Ini bisa berlaku. Bagaimana teknis nanti, itu
ditangani biro hukum. Kesepakatan kerangka acuan sudah jatuh. Perpanjangan
izin dalam proses. Kita sama-sama memaklumi. Ini kebijakan dari Pak Walikota,
kata Rawang.
Direktur GI Saptaryo Kunindar, mengatakan, walikota memberikan jaminan,
menerbitkan perpanjangan IUP, bersamaan kelayakan lingkungan dan izin
lingkungan.
Memang ini menjadi blunder bagi kami. Kondisi seperti ini. Kami berupaya
supaya memenuhi aturan. Mundur sudah tidak bisa. Perpanjangan izin sedang
berjalan.
Itan tidak sepakat dengan itu. Menurut dia, aneh bin ajaib, ketika tanpa dasar
hukum, dokumen Amdal masih bisa dibahas. Perizinan kan kadaluarsa.
Rapat ditutup dengan kesepakatan menerima dokumen Andal dengan catatan
memperbaiki kelengkapan dokumen paling lambat 30 hari setelah rapat itu.

Ratusan Perusahaan Tambang di


Kalbar Rambah Hutan Lindung dan
Konservasi

May 25, 2014 Aseanty Pahlevi, Pontianak

Tambang di konsesi Harita di Ketapang. Temuan Kemenhut di Kalbar, ada 13


perusahaan di kawasan konservasi dan 125 pertambangan di hutan lindung. Foto:
Aseanty Pahlevi
Sekitar 300 an perusahaan tambang di Kalbar masih berstatus non clear and
clean. Potensi kerugian negara dari tambang di Kalbar, Rp2,72 miliar.
Ratusan izin usaha pertambangan di Kalimantan Barat (Kalbar) berada di kawasan
hutan lindung dan konservasi. Kementerian Kehutanan meminta pemerintah
daerah segera menindaklanjuti temuan sesuai kewenangan.
Saya mengkonfirmasi 13 perusahaan di Kalbar masuk wilayah konservasi. Ada
125 pertambangan di hutan lindung, kata Bambang Soepijanto, direktur jenderal
Planalogi Kemenhut, di Pontianak, Rabu(21/5/14).
Dia mengatakan, pada 21 Mei 2014, Kemenhut membuat surat edaran kepada
seluruh kepala daerah di Indonesia terkait ini. Sekaligus, Kemenhut mewajibkan,
kajian analisis dampak lingkungan (Amdal) bagi perusahaan yang membangun
smelter. Selaras penerapan PP No 1/2014 bahwa pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) dan kontrak karya wajib mengolah dan pemurnian hasil
penambangan.
Kemenhut juga mensyaratkan harus ada rencana kerja tingkat lanjut untuk
reklamasi dan rehabilitasi hutan. Penekanan ini, lantaran pemerintah tak mau

kecolongan. Sebelumnya, izin pinjam pakai bias didapat terlebih dahulu, setelah
itu baru rencana kerja penanaman. Praktik di lapangan, perusahaan, cenderung
eksploitasi baru penanaman.
Sekarang, perusahaan diminta menunjukkan perencanaan penanaman, baik di
dalam dan luar tambang yang sama luas dengan yang dipakai. Ketika pinjam
kawasan hutan diberikan, penanaman sudah dilakukan. Ketika kegiatan selesai,
tanam juga selesai. Jangan sampai tambang selesai, tanaman nggak.
Adnan Pandu Praja, wakil ketua KPK, menyatakan, masalah ini harus menjadi
perhatian pemda. Begitu pula masalah piutang royalti di Kalbar. Harus segera
ditagih, kalau tidak cabut izin.
KPK menyatakan, berpotensi kerugian negara Rp272 miliar dari IUP kurang
bayar di Kalbar kurun waktu 2011-2013.
Untuk IUP di Ketapang (102 IUP), Kapuas Hulu (69), Sanggau (59), Melawi (45),
dan Kayong Utara (40). Dari 682 IUP, 312 berstatus non clean dan clear.
KPK, katanya, berkoordinasi dan supervisi untuk menatakelola izin usaha
minerba. Ini untuk mencegah korupsi di pengelolaan pertambangan minerba.
Cornelis, Gubernur Kalbar, mengatakan, siap menjalankan arahan KPK, termasuk
mencabut izin perusahaan. Cornelis berjanji metinjau ulang izin tambang yang
tumpang tindih.

Sumber: Kementerian Kehutanan

Sumber: Kementerian Kehutanan

FOKUS LIPUTAN: Morowali di


Bawah Cengkeraman Tambang Para
Jenderal
May 12, 2014 Christopel Paino dan Sapariah Saturi

Kawasan hutan yang kini rata dengan tanah tempat galian nikel Bintang Delapan
Mineral. Sebelum itu, di kawasan ini menurut warga banyak pohon sagu dan juga
tempat masyarakat mencari damar. Foto: Christopel Paino
Siang itu, akhir Maret 2014. Masus berteduh di bawah pohon rindang. Tangan
kanan memegang sebilah parang. Seraya berjongkok, dia terus mengiris-ngiris
kayu kecil, dibentuk bulatan untuk menambal lubang-lubang di perahu.
Pria berusia 60 tahun ini asli Bungku, salah satu suku di Morowali, Sulawesi
Tengah. Dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kelas lima sekolah dasar.
Sang anak asyik bermain sepak bola di pantai, sambil sesekali menggali pasir.

Tak jauh di hadapan mereka, berdiri kantor perusahaan tambang nikel. Namanya
PT Bintang Delapan Mineral.
Ia berjarak tak sampai satu kilometer dari tempat Masus berteduh, di Pantai Desa
Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Desa ini salah satu desa
pesisir sekitar tambang Bintang Delapan.
Dulu, saban pagi atau sore, Masus pergi melaut. Kini, jadwal melaut tak menentu.
Ikan makin susah. Jarak tangkap pun makin jauh.
Dulu kalau tidak melaut, bisa mencari damar, sagu, atau rotan di hutan.
Sekarang, sudah melaut susah, pergi ke hutan pun tak bisa, kata Masus.
Dahulu, hutan mangrove tumbuh di pulau itu. Dikenal dengan Pulau Polo.
Terumbu karang indah. Ikan banyak bermain. Di sana, kami biasa mencari ikan.
Satu jam memancing, hasil bisa beli beras. Hidup kami tenang, kata Masus.
Tangannya menunjuk pulau yang ditimbun oleh Bintang Delapan menjadi
perkantoran.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi


Kini semua sirna. Perusahaan tambang datang, pabrik berdiri. Pantai ditimbun.
Mangrove ditebang. Pulaupun dibeli. Yang ada, kini, kapal mulai hilir-mudik di
hadapan mereka.

Semua berganti. Masyarakat tak lagi melaut. Kalaupun melaut, hasil jauh dari
harapan. Laut yang ditimbun itu tempat kami mencari ikan dengan pukat. Ibu-ibu
biasa mencari biya (kerang). Sejak nenek-moyang kami mencari makan di sini.
Kini laut jadi keruh kecoklatan karena lalu-lintas kapal yang memuat ore nikel.
Ore adalah nikel mentah yang masih bercampur dengan tanah. Kata Masus, setiap
hari ada sekitar lima kapal besar datang berlabuh tak jauh dari desa mereka.
Kapal-kapal kecil hilir-mudik mengangkut ore nikel,dari pelabuhan milik Bintang
Delapan di Desa Fatufia, menuju kapal besar. Kapal itu tidak merapat. Berjarak
sekira satu kilometer. Lalu kapal besar yang sudah berisi ore nikel itu menghilang
dari pandangan mereka. Tujuan kapal itu ke Tiongkok.
Siang malam kapal itu sibuk kesana-kemari. Aktivitas tidak berhenti. Desa kami
jadi ribut. Kami tidak bisa istirahat. Sekarang saja, kami dengar Bintang Delapan
akan menimbun lagi laut sekitar 200 meter dari garis pantai untuk pembangunan
jetty, pelabuhan mereka, kata Masus.

Pemandangan kantor Bintang Delapan dari pesisir Desa Fatufia, Kecamatan


Bahodopi. Tampak kawasan pesisir yang sudah ditimbun perusahaan untuk
pembangunan fasilitas perusahaan. Foto: Christopel Paino

Pemandangan kantor Bintang Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi,


berhadapan dengan pulau yang akan dibeli perusahaan. Foto: Christopel Paino
Masyarakat bukan tanpa perlawanan. Protes mereka layangkan kepada
perusahaan. Suatu ketika, pada Desember 2013, masyarakat melihat aktivitas
orang-orang Bintang Delapan, sedang mengebor di laut, tak jauh dari bibir Pantai
Fatufia. Saat ditanya warga, perusahaan beralasan hanya memeriksa struktur dan
kedalaman laut.
Pengeboran makin sering, warga mulai curiga. Mereka berkumpul. Satu persatu
perahu yang terparkir didorong ke laut. Ada yang memagang balok. Ada bergolok.
Tujuannya menakut-nakuti pekerja perusahaan. Sesampai di lokasi pengeboran,
para pekerja tampak ketakutan berhadapan dengan masyarakat.
Pergi kalian dari laut kami!!
Tinggalkan laut kami!!
Warga berteriak mengusir pekerja perusahaan. Para pekerja kabur.
Kecurigaan warga belum hilang. Mereka melihat ada pasir hitam diambil para
pekerja itu. Padahal, mereka bilang untuk mengetahui kedalaman laut. Ternyata
orang-orang perusahaan itu mengambil pasir hitam atau krom di laut ini, kata
Masus.

Krom atau kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam
kromium. Komposisi kimia kromit sangat bervariasi karena terdapat unsur-unsur
lain yang mempengaruhi. Kromit dibagi menjadi tiga jenis; kromit kaya akan
krom, kaya alumunium, dan kaya besi.
Warga lega berhasil mengusir orang-orang perusahaan yang mengambil krom.
Namun itu tak berlangsung lama. Terdengar kabar perusahaan negosiasi di kantor
camat, menghadirkan kepala desa dan aparatur lain. Warga tak dilibatkan.
Hasilnya, perusahaan diizinkan beraktivitas di laut Fatufia.
Mendengar itu, emosi warga tersulut. Mereka mengoranisir diri. Perlawanan
dilakukan. Mengusir orang-orang perusahaan bersampan membawa golok dan
balok. Sekali lagi, warga berhasil.
Kami meski tak sekolah, tapi sudah tahu dengan cara-cara perusahaan yang
menipu, ujar Masus.
Sayangnya, perusahaan punya banyak cara memuluskan rencana. Kepala desa
dihubungi, izin pun kembali keluar. Kami tetap melawan. Lalu warga mencari
kepala desa, dan hampir dipukuli. Sekarang, alhamdulillah, mereka tak lagi
beraktivitas mengambil kromit.
Keberhasilan mengusir orang perusahaan yang mengambil pasir hitam itu tidak
terulang ketika warga protes terhadap penimbunan pantai. Warga tak bisa berbuat
apa-apa. Bintang Delapan berhasil menimbun pantai. Kini, kian mendekati pulau.
Warga dihadapkan dengan polisi dan tentara. Moncong senjata setiap saat siap
menodong.
Polisi dan tentara banyak berkeliaran. Saya dengar, Bintang Delapan itu milik
delapan orang jenderal. Kami tidak tahu pasti, cuma semua warga sudah tahu
kalau perusahaan ini milik para jenderal.

Pesisir pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi dan kapal tongkang. Desa ini
memiliki bahan mineral lain, yaitu krom. Warga pada penghujung tahun 2013
pernah mengusir karyawan Bintang Delapan yang diduga mengambil pasir hitam
krom di desa mereka. Foto: Christopel Paino

Jalan tambang Bintang Delapan, berujung di Desa Fatufia, sebagai kantor


lapangan dan pelabuhan. Foto: Sapariah Saturi

DUA puluh empat Juli 2010, merupakan hari penuh mimpi buruk bagi desa-desa
seperti Baho Makmur dan Peukerea dan Fatufia. Sawah-sawah, kebun, ternak sapi
maupun kambing, sampai rumah, terendam. Banjir mencapai 1,5 meter
menggenangi desa-desa di Kecamatan Bohodopi Selatan, Morowali ini. Sawah
gagal panen, mesin pompa air manual dari program nasional pemberdayaan
masyarakat (PNPM) yang baru dipasangpun rusak.
Warga kesal. Sebab, sejak dulu daerah mereka tak pernah mengalami banjir. Baru
kali ini setelah tambang Bintang Mineral beroperasi.
Perusahaan masuk dan membuat jalan tambang yang dikenal dengan Jalan
Houling. Penyempitan Sungai Bahongkolangu terjadi. Jalan ini berjarak sekitar 30
meter dari pedesaan.
Beberapa hari setelah banjir bandang, datang utusan Bintang Mineral mendata
rumah dan mencatat kerugian banjir. Warga menunggu seraya berharap bantuan.
Namun, yang datang hanyalah berbungkus-bungkus supermi. Warga kecewa.

Para korban banjir aksi di kantor lapangan perusahaan tambang ini pada 4 Agustus
2010. Protes tak diindahkan, emosi warga memuncak, berujung pada pembakaran
timbangan nikel perusahaan. Kala itu, Bintang Mineral mengklaim rugi sekitar
Rp7 miliar.
Polisipun sigab bertindak. Empat warga yang dianggap provokator ditangkap.
Mereka disangka dengan pasal perusakan secara bersama-sama. Namun, aparat
negara ini seakan lupa kerugian warga dampak banjir yang muncul setelah ada
perusahaan. Kasus warga ini sama sekali tak diselidiki.

Pohon-pohon jambu mente di Desa Baho Makmur ini kini tak bisa lagi berbuah.
Foto: Sapariah Saturi

Dulu, lahan ini pagi menguningkini sungai mengering, irigasi tak mengalir,
padipun tak bisa tumbuh lagi. Hanya ilalang kering yang mengisi persawahan itu
saat ini. Foto: Sapariah Saturi
Pada Selasa 12 Juli 2011, banjir bandang kembali menerjang. Air Sungai
Bahongkolangu, meluap akibat jembatan houling jebol. Rumah-rumah warga di
Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti dan Baho Makmur, terendam.
Ya itulah, bisa dilihat sekarang. Sawah-sawah tinggal isi ilalang. Padi tak bisa
lagi tumbuh, kata Waryoto, warga Baho Makmur.
Penderitaan warga berlangsung hingga kini. Kala hujan, banjir. Musim kemarau,
kekeringan. Mereka juga kesulitan air bersih. Kondisi tambah miris kala
sepanjang tahun, padi tak lagi bisa tumbuh, tanaman kebun seperti jambu mente,
mangga tak lagi bisa berbuah. Semua seakan menjadi mandul.
Dulu, kata Waryoto, per hektar sawah menghasilkan empat ton padi. Setahun, dua
kali panen, dengan luas sawah di desa itu sekitar 200 hektar. Cukuplah buat
hidup kami sehari-hari. Ada lebih dijual. Saat ini, kalaupun ditanami, padi kering.
Mati.
Sebelum ada tambang, air irigasi mengalir ke sawah. Kini, tak bisa lagi. Kali
mengering. Tanggul perusahaan lebih tinggi dari sungai hingga air tak mengalir ke
lahan warga.

Tak hanya sawah. Tanaman yang tumbuh pun tak lagi berbuah, seperti jambu
mente, dan mangga. Misal mangga berbunga, ya tak jadi buah. Berbunga lalu
gugur.
Tanah-tanah pun banyak menjadi padang ilalang. Hanya tampak sapi-sapi dilepas
bebas memakan rerumputan.
Bagaimana kini warga hidup? Ada beralih menjadi tukang bangunan. Mencari
damar ke hutan. Ada beberapa masih jadi buruh di Bintang Delapan, ucap
Waryoto.
Mencari damarpun bukan semudah dulu. Sebagian lahan sudah menjadi tambang
dan Jalan Houling. Dulu, waktu bujuk agar warga jual lahan buat Jalan Houling,
perusahaan bilang, kalau ada jalan warga mudah cari damar. Jalan jadi, kami
malah tambah susah.
Penderitaan warga tak selesai sampai di sana. Kala kemarau polusi udara menerpa
desa. Di Desa Baho Makmur, Jalan Houling 30 sampai 50 meter di belakang desa,
kala kemarau debu-debu memenuhi lingkungan warga sampai masuk ke rumah.
Warga berdiam di dalam rumah sekalipun, pakaian dan badan akan dipenuhi debu.
Kalau kemarau, piring dan gelas yang mau dipakai harus dilap lagi karena penuh
debu, kata Suminah, perempuan berusia 60 an tahun, tetangga Waryoto.

Anak-anak tengah bermain di jalan Desa Baho Makmur. Sepanjang mata


memandang lahan sawah tinggal ditumbuhi rumput dan ilalang yang sebagian
mengering. Kala kemaran debu memenuhi desa ini. Bagaimana masa depan anakanak ini? Foto: Sapariah Saturi

Alat pompa air ini baru dipasang beberapa hari kala banjir melanda pada 2010
hingga menyebabkan sarana ini rusak. Hingga kini tak berfungsi. Warga kesulitan
air bersih. Foto: Sapariah Saturi
Wargapun banyak terkena penyakit pernapasan. Banyak yang sesak nafas, batuk,
kena debu,ujar dia.
Ini terbukti dari data penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali. Tahun 2013, penyakit ISPA tertinggi di
Kecamatan Bahodopi dan kecamatan yang ada pertambangan. Ada 922 kasus
ISPA, kulit alergi 444 kasus, hipertensi 304 kasus, anemia 196 kasus, dan diare
135 kasus.
Wahida, ibu rumah tangga lain di Desa Baho Makmur mengatakan, saat ini beras
makin susah karena sawah tak lagi berfungsi. Suami kami tidak lagi bekerja.
Kalau kerja ditambang, sudah tidak kuat lagi. Usia sudah tua, katanya.
Tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dekat tambang pun tak ada.
Dapat susah. Baiknya tak ada, kata Maryoto.

Tahun 2012, pernah turun dana sosial dari perusahaan Rp5 miliar kepada sembilan
desa, termasuk Baho Makmur. Masing-masing desa mendapat Rp615 juta.
Sebagian dana buat menimbun jalan.
Rp300 juta dibagi ke warga. Desa ini saja ada sekitar 315 keluarga. Sisa dana
yang lain, tak transparan. Penderitaan kami tak bisa dibayar dengan uang sebesar
itu. Itu 2012. Sekarang tak ada bantuan apa-apa lagi.
Di desa itu juga banyak dijumpai kos-kosan berbentuk rumah petak. Banyak
pendatang pekerja tambang kos di sini.
Baho dalam bahasa Bungku berarti air. Desa ini dinamakan Baho Makmur karena
banyak mata air. Belakang desa berbatasan dengan hutan. Sayangnya, kini desa ini
malah gersang. Air sulit.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi


Pencemaran air juga terjadi di Desa Bahodopi. Air dari PAM, berubah menjadi
warna kuning. Warga khawatir limbah pabrik mencemari sungai dan laut. Tak bisa
dibayangkan ikan yang dikonsumsi warga sehari-hari sudah tercemar limbah
tambang.
Manfaat tambang buat masyarakat sepertinya tidak ada. Malah susah, air
tercemar. Mungkin hanya jalan bagus atau listrik yang menyala malam hari. Kalau
CSR hanya bisa dirasakan aparat desa. Masyarakat tidak dapat apa-apa. Kecuali

kalau memang bekerja di Bintang Mineral. Itupun kalau tidak dipecat, kata
Hasmudin, warga Desa Bahodopi.
Sore itu, Hasmudin ditemani Johanis. Keduanya asli Bungku, dan seumuran, 43
tahun. Mereka sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Tampak Hasmudin dan
Johanis sibuk membuat kosen daun jendela dan pintu rumah. Tempat mereka
bekerja tepat di bawah pohon pinggir pantai yang sudah dicor.
Semalam hujan. Pagi, laut langsung jadi berwarna cokelat. Kalau dulu, meski
hujan satu minggu, laut tetap bersih. Sekarang, rintik-rintik saja laut jadi keruh.
Kalau memancing, ikan tak mau makan lagi, kata Johanis.
Johanis dan Hasmudin beberapa kali ikut pertemuan di balai desa maupun di
kantor camat terkait penyampaian dana tanggung jawab sosial atau dari Bintang
Delapan. Dari situ mereka tahu, setiap tahun dana tanggung jawab perusahaan ini
Rp5 miliar, lalu dibagi merata kepada sembilan desa sekitar tambang.
Desa-desa itu adalah Desa Lele, Onepute Jaya, Damapala, Makarti Jaya, Lalampa,
Dohodopi, Keurea, Fatufia, Labota dan Simbatu.
Sebenarnya ada Rp7,5 miliar dana CSR. Sudah dipotong sama biaya
pembangunan jalan dan listrik. Jadi bersih sisa Rp5 miliar untuk sembilan desa.
Yaaaitu tadi, masyarakat tidak dapat apa-apa.
Anak-anak kecil banyak mandi telanjang bulat di laut sambil bermain perahu.
Suasana sejuk. Kala sore, matahari senja menghiasi kampung ini.

Jalan tambang biasa dikenal dengan Jalan Houling, yang berada di dataran atas.
Di bagian bawah pedesaan. Tak pelak, kala kemarau, rumah-rumah warga penuh
debu. Foto: Sapariah Saturi

Warga Desa Baho Makmur, menerima dampak banjir kala hujan dan debu serta
kekeringan kala kemarau. Foto: Sapariah Saturi

KALA memasuki kawasan hutan yang dibuka Bintang Delapan, ada beberapa pos
jaga. Tak ada petugas. Portal yang biasa menghalangi kendaraan masuk dibiarkan
terbuka. Satu dua mobil hilux melintas ke hutan. Tak jauh dari situ, beberapa alat
berat dan mobil damp truk terparkir. Seorang perempuan paruh baya terlihat
duduk sendirian di rumah papan yang memanjang. Di bagian bawah, hanya
terdengar suara deras sungai besar berwarna kecokelatan. Kata warga, itu Sungai
Bahodopi.
Ketika masuk hutan, jalan mulai menanjak. Di belakang, hamparan permukiman
penduduk pesisir Bahodopi terlihat jelas. Di seberang, pemandangan kawasan
hutan berbukit masih lebat. Namun banyak pohon ditebang, yang terlihat hanyalah
tanah merah membentuk seperti jalan tikus.
Saat melewati Jalan Houling, dengan lebar sekitar lima sampai tujuh meter, jalan
tak hanya menanjak, juga bersimpang.
Anda Masuk Wilayah Kontrak Karya PT Inco. Begitu bunyi sebuah plang
berwarna kuning.

Di wilayah tambang yang digarap Bintang Delapan, terdapat plang PT Vale


(Inco). Sebelum ada Bintang Delapan, kawasan ini sudah menjadi area kontrak
karya Vale. Tumpang tindih terjadi setelah Bupati Morowali mengeluarkan
puluhan IUP di wilayah Vale. Foto: Christopel Paino

Dulu ini berhutan sebelum digali dan diambil nikel oleh Bintang Delapan. Foto:
Christopel Paino
PT Inco, kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia. Wilayah Bintang
Delapan, memang tumpang tindih dengan Vale.
Tak hanya Bintang Delapan yang menggerumuti area kontrak karya Vale, total ada
43 izin pertambangan dikeluarkan sang bupati, Anwar Hafid. Beberapa
perusahaan lain sudah pra konstruksi antara lain, Sulawesi Resources, dan PAN
China.
Bintang Delapan juga mendapat izin tambang dari bupati di wilayah Rio Tinto.
Buntutnya, Mei 2008, Bupati Morowali digugat ke PTUN karena membagi areal
kontrak karya raksasa tambang asal Australia ini kepada 14 penambang, salah satu
Bintang Delapan. Rio Tinto keok. Bintang Delapan berhasil menguasai lahan.
Makin ke atas, kiri-kanan pohon banyak tumbang. Lubang-lubang menganga
dengan gundukan tanah-tanah merah menumpuk bak bukit. Inilah tempat Bintang
Delapan mengeruk nikel.

Hutan berubah menjadi padang luas. Tak ada lagi pepohonan. Gersang. Tak ada
kicau burung, atau suara macaca tongkeana, salah satu jenis monyet endemik di
Sulteng. Semua dibabat. Rata dengan tanah.
Kawasan yang dibabat oleh Bintang Delapan itu banyak masuk kawasan hutan,
kata Rifai Hadi, manajer riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.

Hamparan mata memandang, lepas luaskawasan hutan ini telah menjadi


lapangan setelah nikel-nikel diangkut Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Kompleks militer. Di sini dibangun Koramil, tak begitu jauh dari kantor Bintang
Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Foto: Christopel Paino
Sebuah truk melintas. Biasa truk bak terbuka memuat ore. Kali ini berbeda.
Kendaraan menyerupai truk militer dengan kap bagian belakang tertutup kain
mota tebal kecoklatan. Tak ada penumpang. Tak berapa lama mobil hilux silver
double kabin melintas.
Dari atas terlihat, gedung-gedung beratapkan seng berwarna biru dan merah.
Karyawan perusahaan hilir-mudik. Kantor lapangan Bintang Delapan ini, terletak
di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.
Pagar setinggi dua meter, memanjang sekitar dua kilometer membatasi
pemukiman dengan perusahaan tambang itu. Ia berada di pinggir pantai.
Jalan umum Bahodopi, sekaligus jalan perusahaan. Mobil truk, hilux, atau ford
ranger memuat material hilir mudik, dari hutan ke perusahaan. Begitu sebaliknya.
Para sekuriti berjaga-jaga.
Sekitar 500-an meter dari kantor itu, berdiri Komando Rayon Militer (Koramil).
Para tentara berjaga-jaga. Ada yang bermain catur. Kantor ini dibangun, setelah
ada Bintang Delapan.
Kala matahari terik, debu-debu beterbangan. Seberang kantor Bintang Mineral,
kawasan hutan. Berbukit. Di sana juga ada gedung milik perusahaan.

Gedung di atas sangat mewah. Mirip hotel berbintang. Ada kolam renang. Kalau
ada tamu penting perusahaan atau bos-bos datang, biasa menginap di atas, kata
Yunan Bilondatu.
Yunan adalah sopir damp truk Bintang Delapan. Dia asli Gorontalo. Sejak 2010
bekerja di perusahaan ini.
Siang itu, Yunan sedang istirahat. Dia biasa mengangkut ore nikel dari blok-blok
Bintang Mineral di kawasan hutan. Sejak aturan larangan ekspor mineral mentah,
tak ada produksi. Tugas mereka, memuat material untuk menimbun pantai. Yunan
masuk kerja malam hari.

Jalan menuju blok pertambangan di kawasan hutan dan kantor Bintang Delapan
memotong jalan umum di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Untuk melewati
jalan raya ini harus berhati-hati karena lalu-lalang mobil truk perusahaan. Foto:
Christopel Paino

Perkantoran Bintang Delapan. Kini pembangunan fasilitas perusahaan, seperti


pabrik smelter, masih berlanjut. Proses penimbunan pantai tengah berlangsung.
Foto: Christopel Paino

BINTANG Delapan, berkantor pusat di Jakarta. Dalam surat izin, perusahaan


beralamat di Jalan Boulevard Barat Raya Blok LC 6, nomor 53, Kelurahan Kelapa
Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading.
Ia berada di kawasan elit di Jakarta Utara. Di pusat bisnis, di tengah kompleks
pertokoan. Logo Bintang Delapan bertengger di bagian teratas gedung. Di atas
pintu masuk kantor, label Bintang Delapan Grup, juga terpampang. Di tempat ini
juga alamat Sulawesi Mining Investment.
Bintang Delapan, mengantongi izin usaha pertambangan tahun 2010, dengan luas
wilayah konsesi 21.695 hektar. Ia mencakup sembilan desa di Morowali, yakni
Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea,
dan Fatufia. Operasi produksi Bintang Delapan resmi 2009, diperkirakan berakhir
2025.

Kantor pusat Bintang Delapan Grup di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Foto: Sapariah Saturi

Kantor Bintang Delapan di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi berada di tepian


pantai.Jauh lebih mewah dan besar dari kantor pusat di Jakarta. Foto: Christopel
Paino
Di dua kabupaten, Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi
Tenggara), Bintang Delapan menguasai sekitar 20 kuasa pertambangan. Mereka
membuat pecahan izin agar terhindar dari birokrasi perizinan pertambangan
dengan menaruh macam-macam nama dan badan usaha berbeda, total luas
47.000 hektar, kata Andika.
Pada 2010, Bintang Delapan menggandeng perusahaan Tiongkok, Tsingshan, anak
perusahaan PT Dingxin Group, dengan nilai investasi US$1 miliar atau sekitar Rp
8,9 triliun dalam bentuk joint venture. Komposisi kepemilikan, Bintang Delapan
45 persen dan Dingxin Group 55 persen. Mereka muncul dengan bendera PT
Sulawesi Mining Investment.
Kerjasama ini diikuti rencana pembangunan pabrik nikel, konstruksi dimulai
2010-2011. Target produksi pabrik ini 30.000 ton nikel per tahun. Total
pengeluaran investasi Bintang Delapan sudah sekitar US$20 juta untuk
membangun jalan, pelabuhan, dan macam-macam infrastruktur.
Kepemilikan saham Bintang Delapan Grup, sendiri, antara lain dipegang beberapa
jenderal. Tak heran, masyarakat Morowali mengenal perusahaan ini dengan
sebutan tambang para jenderal.
Ada Letnan Jenderal (purnawirawan) Sintong Panjaitan, duduk sebagai presiden
komisaris Bintang Delapan Grup. Sulawesi bukan kawasan asing bagi jenderal ini.
Pada Agustus 1964 hingga Februari 1965, saat itu berpangkat Letda, Panjaitan
ditugaskan menumpas DI/TII pimpinan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Hampir 50 tahun setelah itu, dia kembali terlibat di Sultra, tetapi dalam peran
yang jauh berbeda. Di Sultra, tepatnya Konawe, Panjaitan, kini sebagai pemilik
saham dari ribuan hektar wilayah tambang Bintang Delapan.
Dalam buku Para Komando ditulis Hendro Subroto, menceritakan, setelah
pensiun, Panjaitan memberdayakan masyarakat lewat usaha pertanian organik di
Green House Simarhompa, Tarutung. Pada ketinggian 1.300 meter dari
permukaan laut ini, bersama Luhut Panjaitan, mereka membibitkan sayur dan
buah-buahan. Kontras dengan bisnis ekstraktif yang dilakoni di Sulawesi, saat ini.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi


Ada juga Mayor Jenderal (purnawirawan) Hendardji Supandji, selaku presiden
komisaris Bintang Delapan Investama, anak usaha Bintang Delapan Grup. Dia ini
adik Hendarman Supandji, kepala Badan Pertanahan Nasional, dan kakak dari
Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji.
Pada, pemilihan Gubernur Jakarta, 2012, Hendardji mencalonkan diri sebagai
gubernur berpasangan dengan Ahmad Riza Patria. Impian kandas, hanya
memperoleh suara kurang dari dua persen. Pemilihan dimenangkan pasangan
Jokowi-Ahok.
Pada 18 Maret 2014, Panjaitan bersama petinggi Sulawesi Mining Investment
datang ke Kementerian Perindustrian, bertemu sang menteri, MS Hidayat. Ada
Hung Wei Feng, presiden komisaris Sulawesi Mining Invesment. Juga Halim
Mina, presiden direktur perusahaan joint venture ini beserta wakil, Alexander
Barus.
Mereka melaporkan perkembangan pembangunan pabrik smelter di Morowali.
Saat ini pembangunan fisik smelter sekitar 40%-45%, kata Barus, kepada
wartawan usai pertemuan.
Bersamaan pabrik smelter juga dibangun fasilitas pendukung seperti pembangkit
listrik tenaga diesel 265 mega watt, oxygen pant, crusher plat, batching plant,
water tratment plat, kanal air, dan pelabuhan kargo berkapasitas 60 ton. Mereka

menargetkan, pembangkit listrik siap Juni 2015 bersamaan dengan operasi pabrik
smelter.
Belum cukup. Kawinan dua perusahaan ini berencana membangun kawasan
industri seluas 1.200 hektar. Mereka mengusung bendara baru berlabel PT
Indonesia Morowali Industrial Park.
Di kawasan ini, akan melayani perusahaan-perusahaan hilir pengolahan nikel dan
stainless steel. Perusahaan-perusahaan tambang yang selama ini mati suri,
tampaknya bakal bangkit kembali dan memasok ore ke sini. Menurut Barus,
mereka telah mendapatkan izin prinsip Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Ketika hendak mengkonfirmasi beragam permasalahan di lapangan terkait operasi
Bintang Delapan di Morowali, tak mendapat tanggapan. Dari pesan singkat dan
telepon ke Barus, sampai kirim email, telepon ke perusahaan maupun mendatangi
kantor mereka.

Pertemuan jajaran Sulawesi Mining Investment dengan Menteri Perindustrian MS


Hidayat. Tampak Sintong Panjaitan (berbaju gelap dan berkacamata) selaku
presiden komisaris Bintang Delapan Grup. Foto: situs resmi Kementerian
Perindustrian

Sintong Panjaitan, presiden komisaris Bintang Delapan Grup, bersalaman dengan


MS HIdayat, Menteri Perindustrian usai pertemuan membahas perkembangan
pembangunan pabrik smelter perusahaan ini di Morowali, pada 18 Maret 2014.
Foto: dari situs resmi Kementerian Perindustrian

KEHENINGAN malam di Posko Pemogokan, di Desa Fatufia, Kecamatan


Bahodopi, berubah mencekam. Pada Kamis 13 Maret sekitar pukul 19.30, tibatiba sekitar delapan laki-laki turun dari mobil Avanza menerobos ke salah satu
rumah warga.
Siapa yang berani di sini?
Saya orang Bohodopi. Mana Masdar?
Posko Pemogokan itu memang menggunakan rumah kos Masdar, buruh Bintang
Delapan.
Kala itu, berbagai perwakilan organisasi sedang kumpul, antara lain Jatam
Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi,
dan PRD tergabung dalam gerakan buruh Morowali menggugat.

Sontak para aktivis yang tengah rapat ini lari kocar kacir. Mereka membabi buta.
Pukul sana sini. Kami bersembunyi masuk ke rumah kos para buruh, kata Kadi
dari Yayasan Tanah Merdeka.
Penyerangan ini, buntut dari mogok buruh Sulawesi Mining pada 13 Maret 2014.
Aksi mogok sebagai protes dari pemecatan 252 pekerja tanpa pesangon.
Pembangunan pabrik smelter pun berhenti total.
Kala aksi, perusahaan mendatangkan ratusan aparat polisi dan tentara guna
menghentikan mogok buruh. Buruh bergeming. Aksi berlanjut. Malam hari,
waktu kita rapat konsolidasi para preman bayaran perusahaan datang
menyerang.
Saat penyerangan, Wahab, buruh sopir terkena pukulan balok. Pinggang membiru
dan kemerah-merahan.

Aksi mogok buruh Bintang Delapan. Foto: Masdar

Aktivitas kerja lumpuh kala buruh Bintang Delapan mogok. Aksi ini berujung
penyerangan ke posko pemogokan buruh di Desa Fatufia. Foto: Masdar
Teror belum berakhir. Pada 15 Maret, para buruh, dilaporkan ke polisi. Cuma
gara-gara mereka bilang tailaso masuk saat aksi 13 Maret. Mereka dianggap
mengancam, kata Kadi. Meski begitu mogok berlanjut hingga Minggu (16/3/14).
Pada 26 Maret, seorang buruh, Kasmar, ditangkap, yang lain buron.
Tuntutan para pekerja, perusahaan mengangkat buruh kontrak dan buruh harian
lepas menjadi tenaga kerja tetap. Lalu meminta kejelasan status buruh Sulawesi
Mining asal Tiongkok berjumlah 400 orang lebih. Pekerja asal Tiongkok ternyata
lebih banyak dari pekerja Indonesia, yang berkisar 200 orang.
Namun data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morowali dan
Disnakertrans Sulteng, buruh asing yang terdaftar di Sulawesi Mining hanya 42
orang. Dari dokumen yang kami peroleh tercatat ratusan pekerja dari Tiongkok itu
datang pada Februari dan Maret 2014.
Tahun lalu, ada 32 pekerja ilegal asal Tiongkok didatangkan perusahaan ini
ditangkap Bea Cukai Kendari, Sultra karena tak memiliki berkas ketenagakerjaan
asing jelas.
Perusahaan pun memberikan upah murah bagi buruh harian maupun pekerja
kontrak. Buruh harian mendapat upah per hari Rp39.000 dan pekerja kontrak Rp1,
250 juta per bulan.

Belum lagi soal keselamatan kerja. Ya, ada beberapa kecelakaan kerja di
perusahaan sampai meninggal. Namun tidak terdengar keluar. Perusahaan
memberikan santunan, kata Yunan, sopir damp truk Bintang Delapan.
Masdar, warga Bahodopi, juga pekerja yang masih bersengketa dengan Bintang
Delapan, mengatakan hal sama. Selama saya tahu, sudah ada beberapa pekerja
tewas kecelakaan kerja, katanya.
Kini Masdar, menggugat perusahaan. Dia merasa dipecat tanpa pesangon. Sedang
perusahaan, mengklaim Masdar mengundurkan diri. Ini cuma trik perusahaan
agar tetap bersih tak PHK dan tak perlu bayar pesangon.
Kasus ini, katanya, berawal dari peraturan larangan ekspor mineral mentah sejak
12 Januari 2014. Masdar, selaku operator alat bor dipindah ke bagian elektrik.
Secara tertulis, dia menyatakan tak bersedia ditempatkan di bagian itu karena tak
memiliki keahlian. Perusahaan berkeras, dengan penolakan itu berarti saya
mengundurkan diri. Saya tak mau mundur. Kalau perusahaan tak pakai saya lagi,
silakan pecat.
Sidang bergulir. Pengadilan Hubungan Industrial di Morowali, menganjurkan
Masdar kembali bekerja dalam jangka waktu enam bulan. Saya sepakat, saya
bersedia kembali kerja, tapi Bintang Delapan bilang tak sepakat mau lanjut ke
PHI di Palu. Ayo, saya ladeni. Mereka mau enak, mau pecat tanpa bayar
pesangon.
Ratusan Masdar pun menyusul di-PHK dengan alasan mangkir lima hari kerja
dan mogok kerja. Hingga kini, aksi buruh terus berlangsung.

Aksi mogok protes PHK ratusan buruh Bintang Delapan, yang berujung
penyerangan. Hingga kini, buruh terus berlanjut. Foto: Masdar

MENJELANG senja bohlam-bohlam mulai menerangi Desa Keurea, Kecamatan


Bahodopi. Bukan berarti aliran listrik lancar, malah naik turun. Redup, terang.
Redup. Terang lagi. Begitu terus menerus. Memang seperti inilah kondisi listrik
di sini, kata Jasuli Kitta, warga Desa Keurea.
Jasuli adalah tokoh masyarakat di desa ini. Dia juga tokoh pendidikan di
Bahodopi, menjabat sebagai kepala Sekolah Menengah Kejuruan Alkhairat.
Alkhairat adalah organisasi Islam terbesar di Sulawesi Tengah, berpusat di Kota
Palu. Alkhairat bahkan menyebar ke beberapa pulau di Indonesia dengan
membentuk pengurus cabang, seperti di Kalimantan, dan Pulau Jawa. Aliran ini
mengusung Islam tradisional, hingga menjadi bagian dari Nahdatul Ulama, yang
berpusat di Jawa.
Jasuli juga tercatat sebagai dosen Kampus Muhamadiyah, jarak jauh di Bahodopi.
Banyak mencibir kegiatan kampus karena dianggap tak berkualitas. Namun,
katanya, alumni mereka banyak terpakai. Satu bukti, mahasiswa bisa terangkat
sebagai pegawai negeri sipil di Bahodopi.

Listrik di sini dipasok dari Bintang Delapan. Ini bagian dari tanggung jawab
sosial perusahaan, kata Jasuli.
Tanggung jawab sosial perusahaan diberikan untuk desa-desa sekitar tambang
Bintang Delapan.
Menurut Jatam Sulteng, desa-desa sekitar tambang itu adalah Desa Unepute Jaya,
Lele, Lalampu, Bahodopi, Siumbatu, Keurea, Makarti Jaya, Fatufia, Labota,
Dampala, Bahomakmur, Trans Makarti, dan Peukerea.
Sebelum tambang masuk ke Kabupaten Morowali, desa-desa ini memang belum
tersentuh listrik negara. Pun jalan-jalan banyak tak teraspal. Setelah tambang
masuk, harapan perbaikan fasilitas ikut masuk ke desa. Jalan mulai bagus, listrik
menyala walau masih setengah hati.
Listrik menyala hanya malam. Kalau pukul 6.00 pagi sampai sore, padam.
Magrib menyala lagi. Begitu setiap hari. Banyak bilang listrik gratis, itu salah.
Kami tetap bayar listrik, kata Jasuli.
Untuk urusan sekolah yang memakai listrik seperti mencetak lembar soal siswa,
jika tak ada mesin genset, Jasuli bergegas ke ibukota Morowali, di Bungku.
Sekitar satu jam lebih kalau naik kendaraan bermotor.

Salah satu caf di Kecamatan Bahodopi. Cafe-cafe ini tumbuh bak jamur di
kecamatan setelah tambang muncul, salah satu Bintang Delapan. Foto: Christopel
Paino

Penginapan-penginapan pun tumbuh bak jamur di musim hujan di Kecamatan


Bahodopi, sejak tambang bangkit. Foto: Christopel Paino
SEIRING industri pertambangan tumbuh subur di Morowali, kehidupan
masyarakat ikut berubah. Sepanjang jalan raya dari Bungku Timur, sampai
Bahodopi, kiri-kanan banyak berdiri penginapan-penginapan. Kos-kosan. Bahkan
caf-caf, billiard, sampai bar ikut menjamur. Tarif pun relatif murah. Berkisar
Rp50.000 hingga Rp175 ribuan. Ada yang bisa disewa bulanan.
Salah satu mesjid di Desa Fatufia dibangun Bintang Delapan, tak jauh dari sana
berdiri caf. Di malam hari pengunjung ramai. Koramil yang dibangun di pinggir
jalan tak jauh dari tempat ini. Kekacauan antar pengunjung caf sering terjadi.
Harga barang-barang kebutuhan ikut berubah, dari murah menjadi mahal. Ini
daerah dolar. Sekarang saja sepi karena banyak tambang setop operasi, kata
Gunawan, sopir mobil travel.
Dari hasil tambang, rumah-rumah warga banyak berubah. Mobil-mobil pribadi
terparkir di halaman rumah. Orang kaya baru bermunculan. Waktu saya kali
pertama ke sini heran. (Toyota) Fortuner untuk mobil sewa, kata Gunawan. Dia
sendiri tinggal di Poso.
Rezeki nomplok juga datang dari jual beli lahan di kawasan hutan lewat modus
surat keterangan pemilik tanah (SKPT). Seperti terjadi di Desa Labota,
Kecamatan Bahodopi. Belum lama ini, masyarakat kedatangan perusahaan, yang
mengaku akan membebaskan tanah. Padahal, lahan itu kawasan hutan berbukit,
tak jauh dari belakang Desa Labota.
Perusahaan itu mengaku bernama PT Garuda, tapi saya lupa nama lengkap
perusahaan itu. Mereka sosialisasi di belakang desa kami akan dibangun
perumahan. Mereka meminta lahan 1.000 hektar. Orang-orang dari Garuda itu
saya kenal baik. Mereka bekerja untuk Bintang Delapan, kata Hamzah, warga
Labota.
Yang menarik, kata Hamzah, mereka tak tahu tanah mana yang akan dibebaskan
untuk pembangunan perumahan itu. Mereka tak merasa memiliki. Warga seperti
mendapat durian jatuh. Mereka diberikan jatah satu keluarga dapat dua hektar
tanah dengan dibuatkan SKPT.
Perusahaan menetapkan satu hektar tanah dihargai Rp1.250 per meter. Saat
sosialisasi, warga minta Rp3.500 per meter. Setelah berdebat lama, disepakati
harga awal.
Dalam SKPT tanah, batas-batas tanah sama semua. Contoh, tanah sebelah selatan
saya berbatasan dengan tanah sebelah utara warga lain. Pokoknya, batas itu hanya
selatan, utara, barat atau timur.

Hamzah mendapatkan Rp45 juta pada pencairan pertama Desember 2014 dan
pencairan kedua Januari 2014. Tak hanya tanah, satu rumah tangga yang memiliki
anak usia SMP dan SMA ikut mendapat jatah per kepala.
Hamzah juga memiliki anak-anak di SMP dan SMA. Maka total memperoleh
Rp90 juta. Uang itu buat bangun rumah baru, dan beli sepeda motor matic.

Salah satu rumah warga yang sedang dibangun. Kehadiran tambang membuat
warga di Kecamatan Bahodopi dan sekitar bak menjadi orang kaya baru. Banyak
warga bisa membuat rumah baru danmembeli kendaraan karena mendapat uang
dari hasil penjualan tanah yang dibikin Surat Keterangan Pemilik Tanah. Bupati
mengeluarkan kebijakan kepala desa bisa keluarkan SKPT. Aksi ini diduga modus
mempermudah perusahaan tamabang mendapatkan lahan. Foto: Christopel Paino
Pada pencairan pertama Desember 2013, ada 170 keluarga dan tanah dibebaskan
400 hektar. Pencairan tahap kedua di rumah kepala desa, Januari 2014. Kala itu,
jumlah keluarga naik jadi 270 keluarga, tanah yang dibebaskan 540 hektar.
Mereka antri mengambil uang dari pukul 8.00 pagi hingga 11.00 siang.
Warga banyak kaya mendadak. Kepala desa, memiliki dua truk dan satu mobil
APV. Ada yang membangun kos-kosan dan penginapan. Mantan kades
mendapatkan 10 SKPT, dibayar satu surat Rp35 juta oleh perusahaan.

Hamzah tak percaya, lahan 1.000 hektar yang dibebaskan Garuda akan dibangun
perumahan Bintang Delapan. Kondisi berbukit-bukit, tak cocok dibangun gedung.
Dalam satu lembar lembar kertas berisi kesepakatan pertemuan pada 20 Juli 2013,
tercantum di Desa Labota yang harus dibayarkan perusahaan ada 200 lembar
SKPT. Dengan harga satu SKPT Rp45 juta. Jika dijumlahkan Rp45 juta dikali 200
lembar, total uang Rp9 miliar.
Pada lembar itu dijelaskan rincian pembayaran. Tak hanya buat warga Desa
Labota. Tertulis juga untuk luar masyarakat Labota, yaitu kecamatan Rp90 juta.
Danramil, kapolsek, dan kapolres dapat jatah Rp135 juta. Dinas Kehutanan,
Pertanahan, dan Kejaksaan dapat Rp90 juta. Staf bupati Rp45 juta dan aparat
desa, BPD, dan kepala dusun Rp90 juta.
Ada satu item tulisan menjelaskan, tamu kepala desa dapat Rp40 juta. Tak ada
penjelasan siapa tamu ini. Dari total dana Rp9 miliar itu, tersisa Rp500 juta. Uang
sisa itu untuk pembangunan mesjid.
SKPT ini produk Pemerintah Morowali, pada kepemimpinan Anwar Hafid.
Kecamatan dan kepala desa memiliki kewenangan mengeluarkan surat ini. Trik
ini, modus agar penguasaan lahan-lahan di kawasan hutan oleh perusahaan
menjadi lebih mudah.
Andika, aktivis lingkungan Sulteng mengatakan, dalam dua hingga tiga tahun,
pemberian SKPT mencolok di sebagian besar desa-desa yang terkena ekspansi
tambang. Kecamatan paling aktif menerbitkan SKPT itu Bahodopi dan Bungku
Selatan.

TIGA November 1999. Ini hari bersejarah bagi Morowali. Pada tanggal itu,
daerah ini resmi berpisah dari Kabupaten Poso dan membentuk wilayah
administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali, ibukota di Bungku.
Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf K, kabupaten ini tepat berada pada
ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo dan Laut Banda, Maluku.
Sebelah selatan Morowali, dekat dengan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas
wilayah Morowali 14. 489,62 kilometer persegi. Masih dianggap terlalu luas, pada
2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara.
Sejak 1999 hingga kini, Morowali dijabat empat orang bupati. Periode pertama,
bupati pejabat sementara Tato Masituju. Lalu bupati Andi Muhammad Abubakar,
tersangkut kasus hukum dan digantikan wakilnya, Datlin Tamalagi. Pada pilkada
2008, Anwar Hafid terpilih sebagai bupati. Pilkada lagi, Anwar Hafid terpilih kali
kedua, hingga kini.

Morowali berarti gemuruh. Konon, nama itu dari orang-orang Wana, suku di
Sulteng. Mungkin karena letak di pesisir pantai dan berombak. Dalam sebuah
dokumen berjudul Risalah dari Pontudua,menjelaskan, masyarakat turunan
tokoh Mokole Epe maupun Mokole Ndevolili-Ganda, disebut sebagai leluhur
masyarakat asli Bungku, khusus di Bahodopi.
Mereka hidup pada abad 16, yakni tahun 1597 Masehi, ketika raja Bungku
pertama dijabat Sangia Kinambuka. Zaman itu seangkatan dengan Sultan
Babullah di Ternate, Maluku Utara (1570-1585).
Sejak itu, mereka menjadi penghuni kawasan perbukitan yang meliputi Epe,
Pontudua, Mata Ee, Sampala, dan LereEa. Mereka bersepakat mendiami tanahtanah leluhur beserta tanaman-tanamannya, yakni damar (agathis sp) dan sagu.
Dokumen itu disusun oleh rumpun keluarga Mokole Ndevolili-Ganda di
Bahodopi-Bungku, sebagai perlawanan atas perampasan hutan leluhur yang
ditanami damar dan pohon sagu, oleh Bintang Delapan.
Dalam dokumen menyebutkan, masyarakat adat memiliki keterikatan kuat pada
tanah-tanah leluhur dan sumber daya alam di wilayah itu. Blok V yang dibuka
Bintang Delapan, merupakan titik-titik persebaran tanaman damar dan sagu.
Kedua tanaman ini memiliki peranan besar dalam menunjang ekonomi mereka
sejak masa lampau hingga kini.
Sampai kini, sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat di Bungku.
Damar juga menjadi alat penerang bagi suku-suku yang mendiami kawasan itu.
Bintang Delapan masuk membawa perubahan bagi kawasan hutan tempat damar
dan sagu. Bentang alam berubah, karena terjadi pembongkaran lapisan tanah
penutup pada permukaan bumi untuk mencari nikel. Mata rantai tumbuhan yang
dimanfaatkan turun menurun inipun nyaris terputus.

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan,


di tepi jalan raya dan dekat pemukiman, izin bisa keluar. Foto: Sapariah Saturi

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan


Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Foto: Sapariah
Saturi
Pertambangan di Morowali, memiliki sejarah panjang. Menurut Andika, fase
pertama dimulai sejak abad 17 atau tahun 1600-an. Ketika itu, pemanfaatan
bahan-bahan galian mineral sebagai alat-alat perang prajurit kerajaan Mori dan
kerajaan Luwu, seperti pedang dan tombak. Pemanfaatan itu secara sederhana dan
terbatas.
Fase kedua, dimulai sejak rezim orde lama Soekarno tumbang dan digantikan orde
baru, Soeharto. Ketika itu, tahun 1968. Melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, setelah Freeport di Papua, masuklah Rio Tinto dan Inco
ke bumi Tefe Asa Maroso, julukan Morowali. Kedua perusahaan itu
mendapatkan kontrak karya.
Namun Rio Tinto kurang masif di lapangan dan masih berkutat dalam pusaran
kampanye dan persiapan awal pra konstruksi. Hanya Inco yang terus memberikan
sinyal aktivitas pertambangan di Bahodopi, Morowali, kata Andika.
Fase ketiga, babak baru dalam sejarah pertambangan di Kabupaten Morowali.
Pengusaha-pengusaha besar asal Tiongkok ikut terlibat. Ketika itu, tahun 2008,
daerah diberikan keleluasan menerbitkan kuasa pertambangan (KP). Setahun
kemudian, terbit regulasi baru pertambangan, yakni UU Nomor 4 tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara. Isinya, memberikan otoritas penuh pada bupati
mengeluarkan perizinan tambang.

Hamparan tanah luas ini dulu pepohonan sebelum digali Bintang Delapan, salah
satu sagu yang menjadi sumber hidup warga. Namun, kini tinggal cerita.Foto:
Christopel Paino

Tak menyia-nyiakan kesempatan, dari 2009 sampai 2013 ini sudah ada 183 izin
tambang di Morowali. Ia terakumulasi hanya pada dua periode kepemimpinan
Bupati Morowali. Periode Datlin Tamalagi, tersubur dalam mengeluarkan izin
pertambangan, sekitar 120 izin dari kurang lebih 70 perusahaan. Mereka memecah
diri dalam berbagai nama berbeda. Masa Anwar Hafid bertambah sekitar 60-an
hingga menjadi 183 IUP di Morowali.
Sosok Anwar yang sempat ramai dibicarakan dan menjadi topik hangat di media
setelah dikaitkan dengan Angel Lelga, mantan istri siri Rhoma Irama, yang maju
menjadi calon legislatif dari PPP. Di dalam data KPU, Angel mencantumkan
status menikah dengan Anwar Hafid dan memiliki satu anak.
Angel diangkat Anwar sebagai duta pariwisata Morowali. Artis ini di Jakarta,
kerap tampil menampilkan tas-tas berharga selangit seperti Hermes. Ini
investasi. Begitu dia beralasan.
Dari sekian banyak izin pertambangan itu, sampai 2011, hanya sekitar 15 perusahaan mulai mengeruk di wilayah izin. Sisanya, hanya alat jualan para broker
tambang, kata Andika.
Perusahaan yang mendapat kemudahan konsesi di era Datlin Tamalagi, berpotensi
menciptakan kerugian negara, salah satu Bintang Delapan. Tahun 2010, hitungan
sederhana produksi nikel Bintang Delapan mencapai 600 ribu ton. Berdasarkan
kapasitas per kapal berjumlah 50 ribu ton dan dikali 12 kali proses pengapalan,
Bintang Delapan sudah menelan lahan seluas kurang lebih 20 hektar untuk 12 kali
pengapalan.
Proses itu tidak mendapat pengawalan dan pengawasan ketat dari pemerintah.

Sungai dari kawasan hutan yang ditambang mengalir ke laut dan berganti warna
orange. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu izin tambang nikel di Kecamatan Bahodopi, tetapt di tepi jalan raya.
Air galian tambang pun meluber membasahi jalanan. Tak jauh dari jalan, lubanglubang tambang menganga. Tanpa pembatas. Kini, ditinggalkan begitu saja tanpa
reklamasi. Foto: Sapariah Saturi

KETIKA menelusuri Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi, lubang-lubang


galian tambang, hutan-hutan gundul, sungai-sungai sampai ke laut berwarna
orange. Tumpukan ore juga bak gunung-gunung kecil di tepian pantai, di dekat
jetty atau pelabuhan masing-masing perusahaan. Ada yang terbuka. Ada ditutupi
terpal. Kala hujan, ore-ore itu makin membuat kondisi air di sekitar tercemar.
Alat-alat berat di beberapa perusahaan masih berjejer di parkiran. Ada yang sudah
bersih. Tak ada alat berat lagi. Tak ada aktivitas apa-apa. Perusahaan kabur bergitu
saja. Brimob maupun sekuriti masih terlihat bagi perusahaan yang belum menarik
alat berat.
Sejak Peraturan Presiden mengenai larangan mengekspor mineral mentah per 12
Januari 2014, alat-alat berat yang sehari-hari menggali tanah, memuat ke truk dan
diangkut kapal, tak lagi terlihat. Beberapa rumah warga yang biasa dikontrak
menjadi kantor perusahaan juga tampak sepi.
Hanya Bintang Delapan masih ada aktivitas pembangunan pabrik smelter. Itupun
tak ada produksi, tetapi menimbun pesisir pantai.
Menurut Rifai dari Jatam Sulteng, setelah pemerintah memberlakukan pelarangan
ekspor pertambangan, perusahaan-perusahaan kecil di Morowali ini ikut
morotarium. Durasi izin-izin mereka itu bervariasi. Ada berakhir 2015, ada 2029.
Lubang-lubang menganga ditinggalkan begitu saja. Parahnya, tak ada upaya
reklamasi baik pemerintah maupun perusahaan.
Alasan mereka, izin belum berakhir. Karena dana reklamasi itu keluar setelah
berakhir izin. Akibatnya perusahaan meninggalkan lubang dan hutan rusak. Jadi
tak ada kejelasan mengenai reklamasi pasca tambang, kata Rifai.
Asep Haerudin, kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan Morowali,
mengatakan, Dinas Kehutanan hanya sebatas memonitoring rutin kegiatan
tambang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sulteng.
Menurut dia, satu hal mencolok setelah ada tambang, pencurian kayu menjadi tak
terkontrol. Ada tambang, sekarang jalan mulai dibuka dan makin banyak
pencurian kayu. Masyarakat bebas masuk ke kawasan hutan.
Sampai saat ini, Asep merasa tak ada koordinasi sesama dinas. Kami tak punya
data IUP itu. Harusnya dalam mengeluarkan IUP harus terpadu dengan

melibatkan dinas lain. Atau minimal ada surat tembusan. Sekarang tidak ada
informasi kami dapat. Yang pegang semua hanyalah Dinas ESDM.
Kendala mereka di lapangan, kebijakan kawasan hutan tak berada di kabupaten.
Rekomendasi dari Dinas Kehutanan provinsi. Kabupaten hanya pengawasan.

Tumpukan ore di tepian laut di jetty perusahaan, sudah menjadi pemandangan


biasa terutama di sepanjang Kecamatan Bungku dan Bahodopi, Morowali. Foto:
Sapariah Saturi

Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air
sungai hingga mengalir ke laut berubah warna. Air tak lagi jernih tapi berwarna
orange. Foto: Sapariah Saturi
Aneh lagi, katanya, mereka disuruh monitoring sedang dana hanya sampai di
provinsi. Peran mereka juga lemah karena wilayah hanya areal penggunaan lain.
Tapi disuruh awasi kawasan hutan lain.
Untuk Bintang Delapan, katanya, berada di kawasan hutan produksi terbatas.
Namun, lagi-lagi, kata Asep, batas kawasan hutan belum jelas karena sulit
menentukan.
Karena kita pun kadang-kadang sudah melintasi kawasan hutan, tapi tidak ada
batas di lapangan. Nah, saat giliran mau dibikin batas tidak boleh, karena
kewenangan ada pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Asep punya cerita kala masuk dan mengawasi kawasan hutan. Ketika itu, sekitar
2008-2009, dia bersama rekan kerja di Dinas Kehutanan akan kontrol kawasan
hutan. Saat memasuki wilayah kerja Bintang Delapan, Asep ditahan satpam
perusahaan. Alasannya, mereka harus melapor dulu ke manajer perusahaan.
Padahal itu, wilayah kehutanan.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka dengan Bintang Delapan menjadi baik.
Setiap Pemerintah Morowali turun lapangan dibantu oleh perusahaan ini.

Sebenarnya, kalau mau cerita, Dinas Kehutanan yang paling dirugikan karena
aktivitas pertambangan. Kawasan banyak hilang.
Ketika ditanya hutan mangrove sekitar 20 hektar ditimbun Bintang Delapan dalam
pembangunan pelabuhan dan tempat pemurnian nikel, kata Asep, semua wilayah
alokasi penggunaan lain. Artinya, dimungkinkan kegiatan lain.
Yang jadi pertanyaan, apakah analisis dampak lingkungan sudah ada atau tidak?
kata Asep.
Sardin, kepala seksi Amdal Badan Lingkungan Hidup Morowali, mengaku tak
tahu menahu mengenai amdal pembabatan hutan mangrove buat menjadi
pelabuhan. Dia baru menjabat empat bulan.
Pria ini berusia di atas 50-an tahun. Di ruangan kantor itu tak tampak satupun
komputer atau labtop maupun mesin ketik. Ruangan bersih, seperti tak ada
aktivitas. Sardin, sebelum ini pernah menjadi kepala kelurahan, dan staf di kantor
kecamatan.
Saya ini jarang turun lapangan. Staf saya yang tahu semua, tapi dia tidak masuk
hari ini. Setahu saya, semua proses perizinan perusahaan sudah lengkap.
Namun, soal amdal Bintang Delapan menimbun mangrove, dia tidak tahu persis.
Coba tanya sama kepala dinas saya, dia pasti tahu. Soalnya sejak awal Morowali
berdiri jadi kabupaten, sampai sekarang masih menjabat sebagai kepala kantor.
Djafar Hamid adalah kepala Kantor Lingkungan Hidup Morowali. Hari itu,
menurut seorang staf, dia sedang sakit dan tak masuk kantor. Bersyukur tak
berapa lama, sang kepala kantor itu muncul.
Jawaban dari Djafar, Bintang Delapan sudah moncer mengurus semua izin.
Dokumen amdal semua sudah sesuai prosedur. Hutan mangrove yang ditimbun
Bintang Delapan juga ada kompensasi. Yaitu ditanami kembali mangrove di
tempat lain. Yang menanam LSM lingkungan yang didanai perusahaan. Luas
sesuai luas yang ditimbun untuk pembangunan pelabuhan perusahaan, kata
Djafar.
Dari sisi izin lingkungan, Bintang Delapan lengkap semua. Begitupun
perusahaan-perusahaan lain yang sudah produksi. Namun dia mengakui mungkin
ada cacat pada pengelolaan lingkungan karena tak mengikuti dokumen. Salah satu
poin dalam dokumen yang tak dijalankan perusahaan terlihat dari banyak lubanglubang galian tambang ditinggalkan begitu saja.

Aliran sungai dari dalam hutan yang digali, air berubah warna. Apakah ini yang
dibilang pejabat lingkungan hidup Morowali, sebagai semua sudah memenuhi
aturan? Foto: Sapariah Saturi

Jalan-jalan tambang menuju hutan yang terbabat di Kabupaten Morowali. Kini,


ditinggalkan begitu saja. Foto: Sapariah Saturi
Namun, Djafar seakan memaklumi perusahaan. Proses reklamasi butuh waktu
lama. Dana itu ada yang namanya jaminan reklamasi perusahaan. Namun
pelaporan bukan pada Kantor Lingkungan Hidup.
Perusahaan yang meninggalkan galian itupun, katanya, tidak tutup, hanya berhenti
sementara. Sambil menunggu mungkin ada kebijakan baru.
Bagi Andika, pernyataan Djafar ini menunjukkan pengetahuan dan pengawasan
jajaran pemerintah Morowali, lemah dalam menjaga lingkungan. Penanaman
kembali hutan mangrove yang diserahkan pada pihak ketiga oleh Bintang
Delapan, ternyata tidak jelas. Proyek itu dipercayakan pada salah satu lembaga
peduli lingkungan di Morowali, milik kontraktor lokal bernama Santi.
Penanaman kembali itu menghasilkan ciri khas proyek yang mewakili kebiasaan
buruk kontraktor. Lembaga yang mengaku pecinta lingkungan ini memanipulasi
penanaman bakau dengan hanya menanam tangkai bakau di sepanjang Pantai
Fatufia.
Pekerjaan serba manipulasi. Petani yang dipekerjakan sebagian honor belum
dibayar. Pengusaha muda itu melarikan diri. Dia meninggalkan setumpuk masalah
bagi seorang petani setempat yang menjadi orang kepercayaan.
Para petani sempat mengeluh pada Bintang Delapan, tetapi perusahaan tak mau
bertanggung jawab. Alasannya, proyek itu sudah diserahkan kepada pihak ketiga.
Anggaran pun sudah diberikan.
Hiruk pikuk persoalan tambang ternyata tak ditangkap cepat oleh DPRD
Morowali. Bahkan, para wakil rakyat ini bilang kurang informasi seputar carut
marut tambang di kabupaten ini.
Aminudin Awaludin, Wakil Ketua DPRD Morowali, mengatakan, kantor wakil
rakyat itu sangat kekurangan informasi. Ketika rapat dengar pendapat, kepala
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, selalu tak bisa hadir dengan alasan tugas
ke Jakarta. Sedang yang mewakili hanya kepala bidang, namun tidak bisa
menjawab pertanyaan anggota dewan.
Kami tidak memiliki validasi data yang rinci soal pertambangan di Morowali.
Padahal kondisi lapangan tidak sesuai. Sebenarnya sudah dibentuk pansus
pertambangan, namun hasil akan diketahui setelah pemilu.
Aminudin dari Partai Bulan Bintang. Kala di ruang kerja itu, dia tidak sendirian.
Salah seorang rekannya, pria berambut cepak, dengan kaos oblong bersimbolkan
militer.

Sebenarnya DRPD Morowali sudah membentuk Perda Pertambangan yang


mengatur semua, kata Aminudin.
Namun Perda Pertambangan yang disebut Aminudin ternyata belum ada. Ni
Wayan Endang, staf pegawai di Biro Hukum Kabupaten Morowali mengatakan,
belum ada, masih tahap penggodokan. Masih bentuk rancangan saja.

Dulu ini adalah sawah warga. Kini, irigasi tak jalan, sungai mengering. jalan air
tak lancar lagi setelah jalan tambang beserta jembatan dibagun. Padipun tak bisa
tumbuh lagi, hanya rumput dan ilalang yang menenuhi lahan bekas pesawahan di
Desa Baho Makmur, itu. Foto: Sapariah Saturi
LAPANGAN Marsaoleh di Bungku, penuh oleh manusia pada Rabu sore, 26
Maret 2014. Anak-anak, ibu-ibu, dewasa tua maupun muda, tumpah ruah. Mereka
mengenakan kaos seragam berwarna biru.
Di pinggir lapangan terpancang baliho-baliho dengan sketsa-sketsa wajah
tersenyum manis. Di arah tribun, berdiri panggung dihiasi bendera-bendera
berwarna biru dan salon musik besar. Dari salon itu, bergema musik seolah
menuntun manusia-manusia itu berjoget ria.
Tak berapa lama, musik terhenti. Sorak-sorai masih terdengar. Pengeras suara
dipandu seorang laki-laki dan perempuan itu lalu memanggil sebuah nama untuk
maju ke pentas. Dialah Anwar Hafid, Bupati Morowali. Berpakaian necis. Kemeja

putih lengan pendek, celana hitam. Sepatu mengkilat. Kepala terlindung kopiah
hitam.
Dia berorasi politik. Ini masa kampanye pemilu legislatif 2014 memasuki pekan
ketiga, sebelum masa tenang. Anwar Hafid ketua umum Partai Demokrat di
Sulteng.
Anwar melempar senyum. Banyak pendukung mengerumuni.
Keadaan ini selaras dengan Morowali. Banyak investor mengerumuni. Sumber
daya alam dan mineral berlimpah. Banyak janji-janji diumbar pemerintah dan
pengusaha atas kehadiran mereka: demi kesejahteraan dan kemakmuran warga.
Padahal semua itu hanya buaian janji manis. Tak beda dengan janji surga para
politikus kala berkampanye. Satu yang pasti, sebagian warga tengah merasakan
kesulitan hidup

Alat berat hilir mudik, dan kapal tongkang pengangkut ore nikel, jadi salah satu
hal paling mencolok di Morowali, terutama di Kecamatan Bungku Selatan dan
Bahodopi. Foto: Christopel Paino

Gubernur Sumsel Didesak Benahi


Tambang dalam Tiga Bulan

May 7, 2014 Taufik Wijaya, Palembang

Tambang batubara di Sumsel. KPK menemukan ratusan izin tambang Sumsel,


bermasalah. Foto: Taufik Wijaya
Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sekitar 201 perusahaan tambang di
Sumatera Selatan terlibat beragam persoalan dari tak memiliki NPWP sampai izin
di kawasan konservasi. Walhi Sumsel, meminta, KPK menetapkan batas waktu
tiga bulan kepada Gubernur Sumsel, untuk menyelesaikan carut marut ratusan
perusahaan itu.
Jika selama tiga bulan tidak ada perbaikan, kami berharap KPK menindak lebih
lanjut dengan memproses hukum, kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, di
Palembang, Jumat (2/5/14).
Dari 201 itu, 31 perusahaan batubara belum memiliki nomor pokok wajib pajak.
Sekitar 170 perusahaan batubara belum clean dan clear. Semua perusahaan
tersebar di Kabupaten Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Muaraenim dan
Lahat.
Hadi mengatakan, data pemerintah daerah dan pusat tidak sama. Walhi mencatat,
sekitar 300 IUP, 50-an telah beraktivitas.
Kami desak Gubernur bersama para bupati menagih utang pajak 31 perusahaan
dan mencabut izin perusahaan tak clean and clear, seperti izin dalam kawasan
konservasi, mencapai 9.300 hektar, katanya.

Rustandi Adriansyah, ketua AMAN Sumsel juga menanggapi. Kita senang


ditemuan KPK. Kami berharap sanksi diberikan, sebab pertambangan ini
memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat.
Anwar Sadat, ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS), mengapresiasi KPK. Namun,
dia berharap, KPK meningkatkan tindakan, seperti proses hukum. Orang baru
sadar persoalan lingkungan hidup kalau sudah mengalami bencana atau masuk
penjara.
Sadat mengharapkan, KPK mampu membongkar jaringan kolusi bisnis
pertambangan di Indonesia. Misal, kolusi pelaku bisnis dengan pejabat
pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Sebelumnya, Dian Patria, ketua Tim Kajian SDA Litbang KPK Senin (28/4/14),
mengatakan, ada tiga kepala daerah memberi izin di kawasan konservasi. Mereka
itu Bupati Musi Banyuasin Fahri Azhari, Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, dan
Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian.
Setelah kita tinjau, banyak kepala daerah setaraf bupati atau walikota
mengeluarkan izin namun tak memiliki data produksi dari perusahan-perusahaan
itu.
Dian mengatakan, sudah menyurati Kementerian Kehutanan dan segera menyurati
ketiga bupati mengenai penerbitan IUP dalam kawasan hutan konservasi.
Mengenai kerugian negara dari hasil SDA di Sumsel, selama tiga tahun terakhir,
tidak dibayar US$15 juta dan Rp9 miliar. Angka ini belum termasuk pajak dan
IUP trader. Baru dari PNBP.
Apakah itu tindak korupsi? Saya belum dapat mengatakan ini korupsi atau tidak,
tapi ada pelanggaran pidana umum. Di balik pembiaran ini akan kita cari buktibukti. Ini kewajiban penegak hukum yang lain. Tidak bisa serta-merta ini
penyalahgunaan kewenangan atau bukan, karena dapat jadi ini kewenangan
sektor, bisa UU Kehutanan atau yang lain.
Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat bertemu dengan perwakilan KPK bersama
bupati dan walikota, mengatakan berkomitmen kuat memberantas korupsi
pertambangan.
Bahkan, saat dipanggil KPK bersama 11 gubernur lain, Alex menyebutkan dari
285 IUP di Sumsel, 140 belum memiliki NPWP, sekitar 206 IUP belum membayar
pajak. Lalu, 115 IUP belum clean and clear dan belum menjalankan jaminan
reklamasi pascatambang.
Giat Kampanye Hijau
Pahri Azhari, merupakan Bupati Musi Banyuasin yang giat mengkampanyekan
gerakan hijau. Sama seperti Ishak Mekki, saat menjabat Bupati Ogan Komering

Ilir (OKI), Pahri menerima sertifikat penghargaan ENO Green Cities Network
(Jaringan Kota Hijau Dunia). Ini sebagai upaya melestarikan lingkungan Musi
Banyuasin.

Pesona Emas Hitam Ancam Bumi


Khatulistiwa
April 30, 2014 Aseanty Pahlevi, Pontianak

Tambang di konsesi Harita. Foto: Aseanty Pahlevi


Industri pertambangan bak dewa bagi sebagian masyarakat di Kalimantan Barat
(Kalbar). Tambang dianggap memberikan pekerjaan, perbaikan infrastruktur serta
sarana dan prasarana. Terlebih, di perusahaan tambang, ada kemasan corporate
social responsibility dan community development. Tanpa sadar, berbagai masalah
menanti.
Arif Munandar, Peneliti Swandiri Institute, mengungkapkan, di Kalbar, hingga
kini ada 721 konsesi pertambangan, dengan luas mencapai luas 5 juta hektar dan
tersebar di semua kabupaten. Ketapang 1,3 juta hektar diberikan pada 156
perusahaan. Lalu Landak (86) dan Kapuas Hulu (73).

Perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di Ketapang didominasi Citra Investama


Investindo TBK, melalui salah satu anak perusahaan PT Harita PAM Group
(Harita). Untuk cakupan Kalbar, salah satu andalan selain perkebunan sawit itu
pertambangan.
Menurut Arif, meski Ketapang memiliki potensi tambang sangat besar, namun
kondisi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan warga. Dari data,
kemiskinan di Ketapang, relatif lebih tinggi dari kabupaten lain.
Industri ekstraktif, katanya, justru menyebabkan pemanfataan sumber daya alam
warga makin berkurang. Dulu mereka bisa memanfaatkan berbagai sumberdaya
hutan, seperti rotan, kayu, damar, dan lain-lain. Sekarang semua sudah banyak
hilang. Sebagian besar warga justru menjadi buruh. Itu semua tidak meningkatkat
kesejahteraan mereka.
Data BPS 2011, penduduk miskin di Ketapang, lebih 37.000 orang. Ini jumlah
penduduk miskin terbesar di Kalbar. Menyusul Sambas dan Landak, yang
memiliki perkebunan dan pertambangan.
Ratusan tahun lalu, Belanda dan Jepang telah mengeskploitasi emas di sini. Emas
masih mempunyai deposit 541,6 juta ton tersebar di Bengkayang, Sekadau,
Sintang, Kapuas Hulu, Landak, dan Melawi.
Belakangan fakta menunjukkan, Kalbar berpotensi emas lain yakni, bauksit,
dikenal dengan emas hitam. Produksi per tahun mencapai 25 juta ton. Potensi
mencapai 3 miliar ton, dengan masa eksploitasi 150 tahun ke depan.

Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi
pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty
Pahlevi
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga 2011, Kalbar ada 651 izin
usaha pertambangan dan 477 izin eksplorasi. Sedangkan izin eksploitasi 174
perusahaan. Dari semua izin ini, tidak semua memulai kegiatan usaha. Sebagian
hanya broker.
Izin terbanyak dikeluarkan Ketapang, 60 perusahaan sudah eksplorasi. Izin ini
meliputi bahan tambang, bauksit, biji besi, timah, emas, mangan, galena, baal
clay, zircon, sampai pasir kuarsa.
Di Kalbar, terutama Ketapang, bauksit jadi primadona baru. Di Ketapang,
lapisan bauksit tidak begitu dalam, digali semeter sudah ketemu. Jadi tidak ada itu
cekungan seperti di Papua, kata Ali, supir kontraktor pertambangan.
Di Ketapang, Harita berencana mendirikan dua pabrik pengolahan bauksit dengan
investasi Rp 4,5 triliun per pabrik. Persyaratan deposit minimal 120 juta ton
terpenuhi. Di pabrik ini, bauksit diolah menjadi alumina. Jika teralisir, pabrik ini
pertama di Indonesia. Bahkan, bisa mengolah bauksit dari daerah lain di
Kalimantan.
Masalah mengintai Kalbar. Mursyid Hidayat, Aktivis Lembaga Gemawan,
mengatakan, kebijakan menggali sumber pendapatan negara lewat eksploitasi

tambang ini berisiko. Dampak tambang tidak sebanding dengan hasil, terutama
penurunan kualitas lingkungan dan konflik lahan, kata Dayat.
Menurut Arif, banyak contoh kerusakan lingkungan dampak tambang begitu
parah. Reklamasipun sangat sulit. Biaya reklamasi bekas pertambangan tiga kali
lipat dibanding keuntungan. Sebagian besar perusahaan memilih tak reklamasi.

Sumber: Dinas Pertambangan

Lelang Wilayah Tambang, Walhi Nilai


Pemerintah Kangkangi Hak Warga
March 31, 2014 Sapariah Saturi

Kapal-kapal nelayan yang menghadang kapal yang membawa alat berat tambang
ke Pulau Bangka, Sulut. Pulau kecil yang sesuai UU tak boleh ada pertambangan
ini tetap dilibas dan masuk WP. Warga menolak. Polisi ketat menjaga tambang.
Foto: Save Bangka Island
Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
mengeluarkan kebijakan melelang wilayah-wilayah pertambangan yang belum
ada izin di berbagai pulau di Indonesia. Kondisi ini, diprediksi memicu konflik
lahan dan sumber daya alam (SDA) lebih besar lagi, terlebih, menyangkut
pelanggaran hak-hak warga.
Konflik akan makin parah. Apalagi, sejak awal dari penetapan wilayah
pertambangan tidak menyertakan warga, kata Pius Ginting, Manajer Kampanye
Energi dan Tambang Walhi Nasional, di Jakarta, Kamis (27/3/14).
Di dalam UU Minerba, diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010,
disebutkan dalam penetapan wilayah pertambangan (WP) harus melibatkan

partisipasi masyarakat. Namun, fakta di lapangan masyarakat tak dilibatkan. Dari


penelitian Walhi tahun lalu, menemukan, WP-WP banyak ditetapkan minim
partisipasi warga. Jikapun ada, kebanyakan manipulatif.
Minimnya pelibatan masyarakat dalam proses WP ini, menyebabkan izin-izin
tambang sejak 2009, mencapai 10 ribu lebih menciptakan konflik dengan
masyarakat di berbagai daerah. Dengan sistem lelang, kata Pius, bukan malah
memperbaiki keadaan tetapi berpotensi menimbulkan konflik lebih buruk.
Bayangkan, peta-peta WP setiap pulau sudah dibuat kecuali Jawa, dan akan
dilelang. Bagaimana WP yang berada di wilayah kelola masyarakat? Belum lagi,
jika berbicara masalah lain tambang, seperti akan menjarah kawasan hutan.
WP yang siap dilelang pemerintah itu adalah Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku,
Pulau Papua, Pulau Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Pulau Sumatera.
Minus Pulau Jawa.
Pius memperlihatkan, peta Pulau Sumba, sebagian besar sudah ditandai sebagai
WP mineral logam. Begitu pula Pulau Bangka, Sulawesi Utara, juga dikapling
sebagai WP mineral logam. Keputusan lelang oleh ESDM ini jelas mengaborsi
UU Minerba dan Putusan MK.
Dalam Surat Keputusan Menteri ESDM itu, menyebutkan, untuk WP di wilayah
kabupaten/kota lelang dilakukan di kabupaten/kota. Jika, wilayah lintas kabupaten
atau kota dilakukan di provinsi. Kala kawasan tambang lintas provinsi, lelang di
Pusat.
Kala lelang di Pusat, ESDM akan meminta rekomendasi ke daerah. Namun, waktu
yang disediakan hanya lima hari! Jika lima hari tak ada jawaban, berdasarkan SK
Menteri itu, daerah dianggap setuju.

Pius mengingatkan, selama ini operasi tambang sudah menciptakan banyak


masalah dari kerusakan lingkungan sampai ancaman kesehatan manusia. Tak
jarang, warga penolak tambang harus berhadap-hadapan dengan aparat, sampai
dipenjara. Bukan rahasia lagi, katanya, kemiskinan terjadi di sekitar wilayah
tambang. Jadi pemerintah harus hati-hati dalam menetapkan WP dan lelang ini.
Senada dengan Deni Bram, pakar hukum lingkungan dari Universitas
Tarumanagara. Dia mengatakan, keluarnya keputusan lelang WP ini membuktikan
Kementerian ESDM tak mampu mencerna apa yang diperintahkan MK.
Lelang WP, katanya, tidak bisa dilakukan sebelum ada persetujuan atau partisipasi
warga terdampak.kebijakan lelang ini akan mencederai rakyat. Lagi-lagi,
masyarakat jadi pihak yang berpotensi dikorbankan.
Selama ini, operasi tambang sudah banyak ditolak warga. Mereka melakukan
perlawanan karena wilayah hidup mereka rusak karena dari polusi udara,
pencemaran air, dan kerusakan hutan.
Sebenarnya, perlawanan masyarakat ini dilindungi UU, alias tak bisa dikenai
hukum baik pidana maupun perdata. Sayangnya, Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009,
seakan tak digubris penegak hukum. Masyarakat, tetap saja ditangkapi kala
melakukan perlawanan karena khawatir lingkungan mereka rusak. Pasal ini
relatif baru dan perlu sosialisasi ulang.

Masyarakat Adat di Maluku Utara, protes dan melakukan blokir jalan karena
kampung mereka masuk wilayah tambang PT Weda Bay Nickel. Foto: AMAN
MAluku Utara

Sumber: Walhi dari Keputusan Menteri ESDM

Mereka yang Tersiksa Tambang


Berharap Perubahan dari Pemilu
2014
March 27, 2014 Sapariah Saturi

Masyarakat Desa Podi, yang menolak tambang. Foto: M Irsan


Jutaan masyarakat hidup di kawasan sekitar tambang. Mereka merasakan terorteror dari kekerasan sampai penangkapan kala menolak bisnis ekstraktif ini.
Mereka juga merasakan dampak langsung kala tambang beroperasi, kerusakan
lingkungan hingga mengancam kehidupan warga. Pada pemilu 2014 ini, wargawarga korban tambang ini berharap, ada perubahan. Berharap, wakil-wakil
rakyat yang duduk memperhatikan suara mereka, menghargai dan mendukung
perjuangan mereka mendapatkan kehidupan layak dan lingkungan sehat.
Adalah Burhanuddin, pemuda dari Desa Podi, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi
Tengah (Sulteng). Kini, desa mereka dalam teror tambang dari PT Arthaindo Jaya
Abadi. Perusahaan ini, sudah di-police line Polda Sulteng, diduga melakukan
aktivitas di kawasan hutan tanpa ini. Apa nyana, hingga kini terus beroperasi.

Meskipun sejak Januari 2014, pemerintah melarang ekspor mineral mentah,


pengangkutan material tambang perusahaan ini terus jalan.
Warga, kata Burhan, terus melakukan perlawanan. Mereka khawatir bencana akan
menghampiri mereka jika tambang ini terus beroperasi. Desa kami itu sudah
kena banjir besar beberapa kali. Makin ada tambang ini makin terancam, katanya
kala hadir dalam diskusi Jatam di Jakarta, Rabu (26/3/14).
Tambang beroperasi di dataran tinggi, dan membabat hutanyang menjadi
wilayah penyangga. Keadaan ini, katanya, bisa memicu bencana alam seperti
banjir dan longsor.
Bukan itu saja. Laut, yang biasa tempat mencari ikan nelayan juga mulai tercemar.
Kapal-kapal penganggkut lalu lalang bawa muatan. Tumpukan-tumpukan bahan
mentah di pelabuhan dekat laut juga merusak air laut, ujar dia.
Belum lagi, sungai-sungai yang menjadi gantungan hidup warga kini berubah
warna. Belum lama ini, warga terkena gatal-gatal karena mandi air di sungai
sekitar.
Kini, warga tak memiliki sumber air bersih lagi. Sehari-hari kami pakai galon.
Beli air segalon Rp5.000.
Bahkan, kata Burhan, saking sulitnya air bersih, kala ada warga meninggal dunia,
dimandikan dengan air galon.
Saat ini, katanya, warga bersama Yayasan Merah Putih, menyiapkan gugatan
kepada pemerintah dan perusahaan atas dampak-dampak buruk tambang ini.
Mendekati masa pemilu ini Burhan menaruh harapan. Dia ingin, sosok yang
duduk menjadi wakil rakyat bisa sadar penderitaan rakyat. Menurut dia, ada
aktivis yang berjuang bersama mereka menolak tambang di daerah itu, maju
menjadi calon legislatif. Kami harap dia bisa duduk dan terus berjuang bersama
kami.

Limbah tambang PT NHM, yang mengalir ke Sungai Kobok, Halmahera. Kini,


warga sekitar tambang mengalami sakit benjol-benjol di beberapa bagian tubuh
sampai gatal-gatal. Penyakit ini diduga karena warga kerab mengkonsumsi ikanikan dari sungai sekitar yang sudah tercemar. Foto: AMAN Malut
Harapan juga datang dari Umbu Janji, warga Desa Prekorokujangga, Kecamatan
Umbora Tunggae, Sumba Tengah, NTT. Dia tak ingin orang-orang yang terpilih di
pemilu malah pendukung tambang.
Dia pernah merasakan teror tambang di desanya. Belum juga perusahaan masuk,
sudah menyengsarakan warga. Janji, salah satu penolak tambang emas yang akan
masuk ke desa mereka. Janji mendekam sembilan bulan di penjara.
Kala itu, katanya, pada 2011, ada kabar tambang akan masuk wilayah adat
mereka. Warga tak diberi tahu. Warga pun mengirim surat penolakan kepada
Bupati, sampai Gubernur.
Tapi penolakan itu tak ada respon, baik kabupaten sampai provinsi. Alasan
Bupati, Gubernur kasih keputusan. Kala tanya ke Gubernur, bilang kalo tak izin
Bupati tak mungkin.
Bak anjing menggongong kafilah berlalu. Warga menolak, tambang emas ini jalan
terus. Katanya, dua dusun, Tanamitung dan Lakokah yang terkena langsung
tambang. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani kebun dan sawah serta
peternak. Kami menolak itu lahan ulayat. Ada perkebunan dan pekuburan adat.

Sekitar April 2011, emosi warga memuncak, alat berat perusahaan terbakar.
Kami 20 orang ditangkap polisi. Jadi tersangka tiga orang termasuk saya.
Akhirnya, perusahaan setop operasi. Meskipun perusahaan sudah setop operasi,
tetapi mereka masih khawatir kembali lagi.
Tak berlebihan kala warga berusaha mencari figur wakil di dewan yang tahu nasib
mereka. Yang jelas, kami lihat orang yang bisa menolong kami.
Arwati, korban luapan lumpur Lapindo, dari Desa Sirin, Sidoarjo, Jawa Timur,
agak beda. Dia punya harapan tetapi tak bisa menggunakan hak pilih pada pemilu.
Sebab, hingga kini, empat desa yang terendam lumpur Lapindo, tak terdata.
Mereka tak diberi kartu pemilih. Empat desa itu, yakni, Desa Sirin, Jatirejo,
Renokenongo dan Gedung Bendo.
Menurut dia, jika melihat caleg yang maju di wilayah Sidoarjo, mayoritas orangorang lama. Ada wajah baru, itu malah yang menjerumuskan masyarakat. Dulu,
dia panutan meminta warga harus kompak tapi malah memecah belah. Warga
Sidoarjo, korban Lapindo, tahu dia.
Mengenai pendataan penduduk ini, warga sudah pernah curhat ke Komidi D
DPRD Jatim. Kita diarahkan ngelapor ke Komisi A. Kan sudah ke dewan,
seharusnya mereka informasikan.

Kapal pembawa alat berat tambang yang dihadang ratusan nelayan menggunakan
puluhan kapal nelayan di perairan Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Chalid Muhammad, Direktur Institute Hijau Indonesia mengatakan, kisah


masyarakat ini melengkapi potret sengketa agraria di negeri ini.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutanyang dipenuhi izin-izin perusahaan
dari kebun, HTI sampai tambang, ada sekitar 33 ribu desa dengan 60 juta jiwa.
Namun, suara-suara mereka ini tak pernah menjadi pertimbangan dalam proses
pemilu.
Mengapa? Menurut Chalid, ada beberapa faktor penyebab. Pertama, sebagian
caleg itu terlihat dalam sengketa agraria, baik sebagai penambang, perkebunan,
HTI dan lain-lain. Kedua, caleg punya kedekatan dengan pelaku-pelaku usaha
ekstraktif itu.
Ketiga, fungsionaris partai adalah pemilik dari bisnis ekstraktif, misal Lapindo.
Keempat, caleg-caleg itu bukan di wilayah krisis, misal daerah pemilihan
Sumatera, caleg tinggal di Jakarta. Mereka tak tinggal di wilayah krisis hingga
tak merasakan. Mereka hanya jadikan daerah itu buat mendulang suara untuk
duduk di parlemen. Kelima, ATM caleg maupun partai. Perusahaan langsung
atau tak langsung beri uang pada caleg atau partai itu.
Begitu pula pada pemilu Presiden. Sinyalemen keterlibatan bakal calon (balon)
Presiden pada bisnis ekstraktif cukup kental. Sampai saat ini belum ada balon
yang janjikan selesaikan konflik lahan dan SDA. Ini mengkomfirmasi ada back
up dari perusahaan itu, ucap Chalid.
Jika kondisi ini terus terjadi, katanya, dari pemilu ke pemilu tak akan memberikan
perubahan pada upaya penyelesaian konflik agraria.
Akibatnya lagi, dari pemilu ke pemilu hanya menjadi ajang demokrasi dangdutan
atau kontes-kontesan. Kampanye tak ada isi. Tak ada harapan. Masyarakat susah
buat tagih janji kalo yang disodorkan dangdut. Masak tagih apa? Tagih janji agar
didatangkan artis dangdut lagi ke daerah itu?
Tak jauh beda diungkapkan Adrinof Chaniago, Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Masa kampanye sudah 10 hari ini
apakah ada program kelola SDA buat kemakmuran rakyat? Sampai hari ini saya
belum dengar. Belum ada yang coba perbaiki penyimpangan UUD Pasal 33.
Dalam Pasal 33 jelas menyebutkan sumber daya alam negeri yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dikuasasi negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran
rakyat. Apakah tambang betul dipergunakan sebesarnya oleh rakyat? Dah
dikuasai negara?
Yang benar, katanya, saat ini tambang dikuasai segelintir orang dengan izin negara
dan dinikmati segelintir orang-orang ini. Masyarakat dapat apa?
Kondisi tambah miris kala sebagian besar produksi tambang diekspor dan
konsumsi dalam negeri malah kekurangan. Contoh, batubara 80 persen dijual ke

luar negeri untuk memperkuat pertahanan energi negara lain. Pasar ekspor ke
negeri seperti China, yang memiliki cadangan batubara jauh lebih besar dari
Indonesia. Indonesia dikuras habis. Malah, warga sekitar tambang batubara tak
teraliri listrik. Kalaupun ada, masih pakai jatah per hari berapa jam dan
pemadaman bergilir.
Bagi Adrinof, guna memperbaiki perusakan sistematis ini harus dikembalikan
kepada penerapan UUD Pasal 33. Bukan berarti, SDA tak bisa dimanfaatkan,
tetapi diaambil secukupnya. Kembalikan hak negara dan masyarakat. Ga seperti
ngasih gratis gini ke segelintir orang.
Guna memberikan informasi seputar peta dapil dan krisis perusakan tambang,
Jatam menyediakan informasi yang bisa ditemukan di sini.

Rusak Lingkungan, Tambang Galian


C Resahkan Warga Sumba
February 10, 2014 Indra Nugraha, Jakarta

Truk-truk mengangkut tambang galian C di Sumba Timur, yang menyebabkan


keresahan warga karena polusi udara dan jalan rusak. Foto: Bengkel Tolak
Tambang NTT

Eksploitasi tambang galian C untuk industri asphalt mixing plant (AMP) di


Aibabara, Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera Kabupaten Sumba Timur,
Nusa Tenggara Timur (NTT) dikeluhkan warga karena tak memperhatikan aspek
lingkungan. Terlebih lagi, pengerukan tambang ini tanpa disertai selembar
izinpun.
Kala pengangkutan, bahan tambang dalam truk tak ditutup terpal hingga debu
beterbangan. Jalan juga banyak rusak karena terlalu sering dilintasi truk ukuran
besar. Setidaknya, dalam sehari ada lebih dari 50 truk melintas di pemukiman
warga.
Kami sudah mendampingi warga dalam menuntut perbaikan atas penurunan
kualitas lingkungan hidup mereka. Kami mendapatkan rekomendasi dari DPRD,
maupun dari Badan Lingkungan Hidup Sumba Timur, kata Arfian, aktivis
Bengkel Tolak Tambang NTT, ditemui di kantor Jatam Jakarta, Jumat (7/2/14).
Dia mengatakan, ada dua perusahaan AMP menggunakan bahan galian C di lokasi
itu. AMP milik PT Teratai di Kecamatan Kanatang, dan PT Nusa Jaya Abadi
(Nusa Jaya) di Kecamatan Papu. Jarak kedua perusahaan ini terpaut 20 kilometer.
Sebenarnya, kata Arfian, sudah ada kesepakatan hasil mediasi 5 Juni 2013.
Mediasi antara pengusaha, perwakilan masyarakat dan pemerintah diwakili BLH
dan Dinas Pertambangan. Dalam kesepakatan itu, ada beberapa poin disepakati,
antara lain, keinginan masyarakat dan lembaga keagamaan di loaksi tambang
galian C diakomodir. Kepentingan membangun pemukiman masyarakat dan
rumah ibadah diakomodir.
Kesepakatan lain, mobilitas pengangkutan galian C menggunakan kendaraaan 190
PS dihentikan sementara sambil menunggu proses pengurusan izin pertambangan
rakyat.
Artinya, lokasi itu tidak ada izin. Juga tidak ada dokumen Amdal. Tidak ada
sama sekali. Di kesepakatan itu ditulis menunggu perizinan pertambangan rakyat.
Jadi tambang itu ilegal. Pemerintah sudah mengakui ini.
Lalu, dalam mobilitas pengangkutan galian, perusahaan harus menutup bak truk
pengangkut material dengan terpal agar debu tak beterbangan. Pengangkutan juga
harus disesuaikan tonase jalan yang dilewati. Pengusaha bersama PLN harus
memindahkan empat tiang listrik yang terkena galian C.
Kemudian, Dinas Pertambangan dan Energi Sumba Timur bersama instansi terkait
akan membuat perda retribusi tentang galian C dan bahan tambang lain. Artinya,
ini belum ada perda. Izin tak ada, perda juga tidak ada, ucap Arfian.
Sayangnya, kesepakatan ini tak pernah dijalankan meskipun sudah hampir
setahun.Masyarakat, terutama di sumber galian merasa tak nyaman. Jalan
mereka rusak, berisiko kecelakaan. Kalau di lokasi produksi AMP banyak
masyarakat mengalami penyakit.

Di Nusa Jaya, ada sekitar enam balita sakit saluran pernafasan berat karena
pengelolaan tak memperhatikan lingkungan. Pencemaran debu dan hidrokarbon
dilepas bebas.
Keduanya sama-sama bermasalah. Di sekitar Teratai tidak ditemukan masyarakat
terkena penyakit karena perusahaan sudah membangun tembok, ada tahapantahapan pengelolaan lingkungan, meskipun belum bisa dikatakan layak, kata
Arfian.

Lokasi tambang galian C yang beroperasi tanpa memegang izin dan menyebabkan
kerusakan maupun polusi. Foto: Bengkel Tolak Tambang NTT
Dia merasa heran, karena izin pengambilan material tambang belum ada
walaupun izin perusahaan resmi. Seharusnya, kedua perusahaan ini mempunyai
izin tambang pengambilan material. Disitu ada kendala. Kita mempertanyakan
dokumen lingkungan mereka. Mereka penuhi dokumen pengelolaan lingkungan.
Seharusnya, dokumen evaluasi atau amdal untuk AMP.
Dokumen lingkungan UKL UPL kedua perusahaan ini juga baru dibuat tahun
2012. Padahal, Teratai beroperasi 2003 dan Nusa Jaya sejak 2008. Aneh lagi
Nusa Jaya tidak ada upaya pengelolaan lingkungan, mengapa punya UKL UPL?
Pemerintah daerah mengatakan lokasi galian C dipilih berdasarkan permintaan
masyarakat supaya meratakan dataran. Kita bertanya, meratakan tempat kok
model seperti ini?

Arfian berharap, pemerintah bisa konsen terhadap isu lingkungan terlebih NTT
diarahkan menjadi koridor pariwisata dan ketahanan pangan. Tolong
diperhatikan proses pembangunan infrastuktur harus sesuai konsep pariwisata dan
ketahanan pangan. Bukan memperlancar investasi pertambangan.
Senada diungkapkan Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye Jatam Nasional. Dia
mengatakan, hampir semua proyek-proyek pembangunan infrastruktur tidak
memperhatikan keperluan masyarakat dan daya dukung lingkungan. Kondisi ini,
langsung berkontribusi besar terhadap peningkatan krisis di sekitar tambang.
Dalam pembangunan infrastruktur, katanya, memerlukan pasokan material galian
C sangat besar. Conton di Sumba Timur, bagaimana pembangunan dermaga
meningkatkan eksploitasi galian C. Pasir, batu krikil banyak dalam penggalian
sampai pengolahan merusak sumber air masyarakat, kata Bagus.

Peta lokasi tambang dan perusahaan. Sumber: Bengkel Tolak Tambang NTT

Batalkan Penyidikan Kasus Izin


Tambang PT Isco, Kejati Sulsel Tuai
Kritik
February 2, 2014 Wahyu Chandra, Makassar

Kejati dinilai pilih kasih dalam penanganan kasus kehutanan. Warga yang tinggal
di sekitar hutan kerap mendapat kriminalisasi hanya karena mengambil potongan
kayu untuk keperluan hidup. Sedang perambahan hutan oleh perusahaan seakan
tak tersentuh hukum bahkan cenderung ditutup-tutupi. Foto: Wahyu Chandra
Diduga kuat ada upaya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) dan
Sulawesi Barat (Sulbar) menghentikan penyidikan kasus penerbitan izin
bermasalah dari PT Isco Polman Resource (Isco). Aksi inipun menuai kritik
kalangan aktivis lingkungan.
Terlebih, kasus ini mencuat pada Mei 2013 berawal dari ekspos Kejati, di
sejumlah media nasional dan lokal. Ketika itu, Asisten Pidana Khusus Kejati
Sulselbar, Chairul Amir mengakui ada masalah proses perizinan yang diterbitkan
Bupati Polman, Ali Baal, kepada Isco.

Kesimpulan Kejati, diperoleh setelah pemeriksaan sejumlah saksi, baik pemda


maupun DPRD Polman, termasuk Direktur Isco, Taufik Surjawijaya.
Setelah hampir setahun bergulir, perkembangan baru terjadi akhir 2013, tiba-tiba
ada indikasi Kejati hendak menghentikan penyidikan kasus ini. Muhammad
Kohar, Kepala Kejati Sulselbar, menyatakan, proses penyidikan dugaan korupsi
Isco dihentikan dengan alasan tak menemukan unsur pidana.
Anwar Lassapa, Aktivis Forum Studi Lingkungan Hidup (Fosil), menyayangkan
langkah Kejati. Seharusnya Kejati lebih serius menangani kasus-kasus tambang
bermasalah, karena dampaknya bagi kualitas lingkungan sangat besar. Apalagi
terkait penggunaan hutan lindung untuk aktivitas tambang tanpa izin pemerintah,
katanya di Makassar, Kamis (30/1/14).
Dia berharap, Kejati bisa lebih transparan menjelaskan kepada masyarakat alasan
penghentian penyidikan itu. Kesimpangsiuran sikap Kejati khawatir bisa
menimbulkan curiga dan memicu konflik dari masyarakat yang tinggal di
kawasan tambang bermasalah.
Sikap seperti inilah justru memicu konflik antara warga dengan pemerintah.
Warga menjadi curiga pemerintah justru lebih memihak kepentingan pengusaha
dibanding mereka.
Isco adalah perusahaan tambang sebagian investasi dari China, yang
mengeksplorasi biji besi di Desa Duampanua, Kecamatan Anreapi, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulbar.
Kasus ini sudah lama bergulir. Bermula dari izin tambang Bupati Polman, Ali
Baal Masdar kepada Isco pada 2009. Ketika itu, Bupati, mengeluarkan izin
penambangan di kawasan hutan area penggunaan lain (APL) seluas 130 hektar.
Pemda ketika itu merekomendasikan Isco mengajukan izin pinjam pakai kepada
pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut), meski upaya
ini tak dilakukan.
Dalam perkembangan, luas wilayah dikelola mencapai 204,19 hektar, mencakup
kawasan hutan lindung. Dalam aturan dikatakan hanya 153,33 hektar kawasan
hutan dengan izin pengelolaan lahan bisa dikeluarkan bupati. Sisanya, 50,6 hektar
izin Kemenhut.
Kasus ini, awalnya ditangani Kejati Sulselbar berdasarkan laporan warga. Kepada
penyidik Kejaksaan, Direktur Isco, Taufik Surjawijaya, mengakui tak tahu seluk
beluk perizinan tambang. Dia hanya tahun izin bupati, yang dinilai sudah cukup
untuk aktivitas penambangan.
BPN Sulbar kepada penyidik kejaksaan mengakui banyak kejanggalan dalam
pemberian izin Isco ini. Mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam setiap
proses seharusnya terlibat, seperti proses pengecekan lahan maupun ganti rugi
warga.

Peta lokasi tambang di Desa Duampanua, Kecamatan Anreapi, Kabupaten


Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yang berjarak sekitar 300 km dari Kota
Makassar, Sulawesi Selatan.

Pada saat pembayaran ganti rugi atau santunan, BPN juga tidak dilibatkan hingga
tidak diketahui latar belakang orang-orang yang mengklaim lahan, kata Nur Alim
Rachim, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel, dikutip dari
Harian Sindo, akhir September 2013.
Tak hanya prosedur perizinan, Kejati ketika itu menemukan indikasi manipulasi
data Isco maupun Pemda Polman, yang mengakui memberi ganti rugi kepada 233
warga. Meskipun mereka kesulitan menunjukkan daftar nama warga yang
dimaksud.
Pemalsuan data ini diduga dilakukan Isco demi memenuhi syarat administrasi
yang mewajibkan izin dan sepengetahuan warga setempat, termasuk pemberian
ganti rugi bagi warga yang terkena dampak.
Ikhsan Welly, Direktur Walhi Sulawesi Barat, angkat bicara. Dugaan kami
banyak prosedur dilanggar dalam proses pemberian perizinan terhadap perusahaan
ini.
Menurut dia, keberadaan tambang ini sarat masalah dan banyak mendapat
penolakan warga. Apalagi, pembangunan tambang ini hanya berdasar surat izin
bupati tanpa rekomendasi BPN dan Kemenhut, . Padahal, sebagian lokasi
tambang di hutan lindung.
Tim kami kini sudah ke lapangan untuk investigasi kasus ini. Kami sedang
mengumpulkan informasi siapa yang terlibat proses perizinan ini. Kami menduga
ada upaya gratifikasi.
Armansyah Dore, Juru Bicara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Sulsel, menilai, langkah Kejati terkesan pilih kasih dan membeda-bedakan
penegakan hukum. Ketika warga bermasalah dengan hutan lindung, proses cepat
dan langsung divonis tanpa pemeriksaan jelas.
Kala perusahaan, jelas-jelas merambah hutan lindung, justru proses diperlambat
dan seakan dicarikan celah untuk dibatalkan prosesnya. Ini aneh dan
menggelikan.
Dia mencontohkan, kasus Najamuddin, warga Dusun Tasosso, Desa Gunung
Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulsel, divonis lima bulan
penjara karena dituduh menebang dua pohon di hutan lindung. Ironisnya, pohon
itu dulu sebenarnya ditanam oleh Najamuddin sendiri.
Sikap Kejati juga memicu reaksi dari aktivis Anti Corruption Commitee (ACC)
Sulsel, yang segera melayangkan protes keras kepada lembaga ini. ACC
mengancam mengadukan Kejati Sulsel ke Komisi Kejaksaan RI. Kejati berdalih
penghentian kasus ini karena berdasar temuan Polda yang tidak mendapatkan
indikasi pelanggaran dalam kasus Isco ini.

Anehnya, Humas Polda Sulsel, Kombes Endi Sutendi, membantah pernah


menyelidiki apalagi penghentikan penyidikan terhadap kasus ini. Polres Polman
juga membantah pernah menangani kasus ini.
Ketika ditanyakan ke Kejati mereka bilang ini sudah ditangani kepolisian,
kepolisian membantah menangani kasus ini. Terakhir dikonfirmasi, Kejati
mengatakan tidak menghentikan kasus ini, hanya di-pending, sambil menunggu
hasil kepolisian, kata Kadir, aktivis ACC Sulsel.
Menurut Kadir, concern ACC pada kasus ini lebih pada kemungkinan korupsi
ataupun penyalahgunaan kewenangan oleh pemda. Terkait aspek lingkungan akan
diserahkan pada Walhi Sulbar dan NGO lingkungan lain.

Tolak Tambang Emas di Hutan


Lindung Pitu, Aktivis Protes dari
Puncak Gunung Agung
November 6, 2013 Sapariah Saturi

Aksi di puncak Gunung Agung Bali oleh dua aktivis Banyuwangi yang menolak
tambang emas di hutan lindung Pitu. Foto: Forum for Environmental Learning

Hey world, safe Banyuwangi and Tumpang Pitu from gold minning. Begitu
bunyi spanduk yang dikibarkan di kori suci Gunung Agung, 4 November 2013,
oleh Forum for Environmental Learning (BaFFEL). Aksi Ari Restu dan Edy
Prayitno, dua pendaki gunung asal Banyuwangi, ini sebagai bentuk protes rencana
pengerukan tambang emas di hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Mereka menaiki puncak Gunung Agung, Bali, dengan ketinggian 3.124 mdpl,
guna meneriakkan kekhawatiran ini. Menurut Ari, memilih Bali karena daerah itu
titik yang menarik perhatian dunia. Karena itu penolakan tambang emas
Tumpang Pitu kami suarakan di Gunung Agung. Harapannya, dunia mendukung
sikap kami, katanya dalam pernyataan kepada media.
BaFFEL memilih Kori suci Gunung Agung sebagai salah satu lokasi aksi untuk
menunjukkan titik persamaan antara Gunung Agung dengan Gunung Tumpang
Pitu. Dua gunung ini sama-sama memiliki tempat ibadah yang disucikan umat
Hindu. Jika di Gunung Agung ada kori suci, di kaki Gunung Tumpang Pitu ada
Pura Segara Tawang Alun, ucap Ari.
Dia mengatakan, aksi ini merupakan reaksi atas sikap Bupati Banyuwangi,
Abdullah Azwar Anas yang begitu tertutup jika menyangkut soal kehutanan,
khusus eksploitasi emas Tumpang Pitu. Dari pengamatan BaFFEL, tercatat hingga
bulan ini terhitung ada empat kali pertemuan tertutup oleh Bupati Banyuwangi.
Semua pertemuan tertutup itu ber-isu kehutanan. Mei lalu ada dua kali
pertemuan tertutup. Juli ada satu kali.
Terbaru, pertemuan awal November antara bupati dan Direktur Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Kementerian Kehutanan.
Aksi ini tak hanya memancing pendaki lain yang kebetulan berada di Gunung
Agung, juga menarik perhatian warga yang bersembahyang di kori suci Gunung
Agung.
Dikutip dari Tempo, Totok Sugiyono, Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian
Perkebunan Kehutanan dan Holtikultura Banyuwangi membenarkan ada
pertemuan dengan pejabat dari Kemenhut pada awal November. Namun
pertemuan ini tidak membahas alih fungsi hutan lindung Gunung Tumpang Pitu.
Pertemuan membahas tukar guling hutan di Pancer dan Grajagan.
Pembahasan alih fungsi hutan lindung Tumpang Pitu seluas 1.900 hektare menjadi
hutan produksi sudah rampung. Saat ini, hanya menunggu persetujuan Menteri
Kehutanan. Hanya hutan di Tumpang Pitu yang bisa dialihkan, kata Tatok.
Alih fungsi berkaitan dengan rencana eksploitasi penambangan emas oleh PT
Bumi Suksesindo. Kandungan mineral emas di bawah hutan ini diklaim mencapai
1 miliar ton, dengan perkiraan bernilai Rp70 triliun.
Namun, Yusuf Widiatmoko, Wakil Bupati Banyuwangi, berkata lain. Dikutip dari
KBR68, Yusuf mengatakan, Kemenhut telah mengeluarkan izin pinjam pakai
kawasan hutan lindung pada 2007. Terkait penggunaan kawasan hutan lindung

yang harus mendapatkan izin dari menteri. Bahwa kegiatan penambangan telah
mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kemenhut.
Sampai berita ini diturunkan, Mongabay, berusaha mengkonfirmasi mengenai alih
fungsi hutan lindung ini kepada Kemenhut, tetapi belum mendapat tanggapan.
PT Bumi Suksesindo mendapatkan lahan tambang bukan tanpa masalah.
Sebelumnya, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) PT Indo Multi Niaga
(IMN) yang bekerja bersama Intrepid Mines Ltd, perusahaan asal Australia. Kini,
Intrepid menggugat Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, ke PTUN
Surabaya. Gugatan tertanggal 14 Maret 2013 itu, menuntut pencabutan IUP
eksplorasi dan produksi PT Bumi Suksesindo.
Dikutip dari Kompas, Tony Wenas, Executive General Manager Intrepid Mines
Ltd, di Surabaya, Minggu (24/3/13) mengatakan, keputusan Bupati Banyuwangi
yang memberikan persetujuan pengalihan IUP eksplorasi dan operasi, cacat
hukum. Sebab, dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 pasal 93 ayat 1 disebutkan
pemegang IUP tak boleh memindahkan IUP kepada pihak lain.
Keputusan Bupati Banyuwangi cacat hukum termasuk kebijakan yang
memberikan persetujuan perubahan susunan kepemilikan saham. Dimana dalam
surat keputusan Nomor 545/764/429.108/2012 tertanggal 6 Desember 2012
memberikan kepemilihan saham kepada PT Bumi Suksesindo (100 persen):
saham PT Afa Sukesindo lima persen dan PT Merdeka Serasi Jaya (PT MSJ)
sebanyak 95 persen. PT MSJ memberikan saham 10 persen kepada Pemda
Banyuwangi.
Yang terjadi, IMN menjual ke PT Bumi Suksesindo dengan harapan Intrepid
Mines Ltd tak memiliki hak pengelolaan. Padahal, kala membuat studi kelayakan
dan beberapa pekerjaan di lapangan Intrepid telah mengeluarkan dana Rp1 triliun.
Intrepid selama ini merasa dirugikan dalam eksplorasi tambang Tujuh Bukit,
Tumpang Pitu Banyuwangi. IMN, telah bekerjasama dengan Intrepid Mines Ltd
dengan kepemilikan saham 80 persen. Namun tanpa sepengetahuan Intrepid, IMN
menjual IUP ke PT Bumi Suksesindo.

Anda mungkin juga menyukai