Anda di halaman 1dari 3

RASIONALITAS PANCASILA DALAM PERMAINAN

Oleh: Chafid Wahyudi


(dimuat di Radar Surabaya, 2/6/2011)
Secara individu, saya berideologi Islam.
Tapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
ideologi saya Pancasila.
(Tri Sutrisno Mantan Wakil Presiden)
Perjumpaan bermacam-macam agama di dalam satu negara, yang masingmasing menawarkan norma dan nilai buat kehidupan sosial tidak memungkinkan
salah satu dari norma agama tersebut digunakan sebagai sumber makna general di
dalam kehidupan bernegara. Untuk itu, diperlukan makna pengganti sebagai
sistem yang dapat menfasilitasinya. Sebagaimana ditegaskan oleh seorang
sosiolog kenamaan, Emile Durkhaim (1858-1917), selama ada orang yang hidup
bersama-sama, akan ada semacam keyakinan bersama di antara mereka. (The
Elementary Forms of Religion Life, 1961: 92).
Dalam konteks Indonesia, dasar nalar keyakinan bersama di atas
sebenarnya sejak awal telah digagas oleh anak bangsa yang kreatif --baca: para
pendiri bangsa Indonesia-- ketika menyadari akan keanekaragaman masyarakat
Indonesia. Atas usaha mereka inilah lantas mengalir ide tentang rumusan
Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus menjadi makna general bagi
masyarakat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai makna general dalam rasionalitasnya
sebenarnya dapat digali melalui analogi sebuah permainan.
Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Philosophical Insvestigation,
mencetuskan teori permainan bahasa, (language games). Menurut Wittgenstein,
bahwa manusia memperlakukan bahasa bagaikan dalam permainan (game).
Meskipun namanya permainan namun terdapat suatu karakter serta serangkaian
aturan yang harus ditaati.
Lalu apa kaitannya bahasa dengan Pancasila? Jelas terdapat keterkaitan
yang erat, sebab antara bahasa dan Pancasila terdapat tujuan yang sama. Baik
bahasa maupun Pancasila mempunyai peran dalam memelihara identitas, selain
itu bahasa maupun Pancasila juga memiliki peran yang sangat vital bagi
terpeliharanya kesatuan masyarakat atau bangsa. Dengan demikian Pancasila juga
dapat diperlakukan seperti teori permainan bahasa.
Pertama, dalam sebuah permainan terdapat aturan yang mesti disepakati
oleh pemain, penonton dan wasit. Lahirnya Pancasila adalah kesepakatan untuk
mengatur hidup bersama-sama dalam sebuah negara. Untuk itu, tidak sulit

dipahami kenapa Gus Dur pernah mengatakan, tanpa Pancasila, kita akan
berhenti sebagai negara(Douglas E. Ramage, 1997:197-8). Pancasila sebagai
aturan yang disepakati sudah pasti akan menggadaikan individu atau golongan
yang secara anarkis memaksakan suatu makna maupun nilai sesuai dengan apa
yang dikehendakinya, sebab hal itu pasti bertentangan dengan kehendak individu
atau golongan lain.
Lantas bagaimana bentuk aturan kesepakatan tersebut? Pada dasarnya
setiap manusia menyediakan prinsip yang dapat digunakan sebagai perekat
tatanan sosial yaitu pesan moral. Misalnya, prinsip rahmatan li al-alamin dalam
Islam dan Cinta-Kasih dalam Kristian dan anti kekerasan dalam Hindu dan
kesederhanaan dalam Budha dan lain-lain, jangan menjadi prinsip teologis statis
yang kemudian diterjemahkan menjadi hukum positif di Indonesia. Tetapi,
pembumian aturan-aturan kolektifnya ini yang mesti disadur dari pesan-pesan
moral substansial agama tersebut.
Kedua, setiap permainan memiliki target dan tujuan. Misalya, permainan
sepak bola maka targetnya adalah menciptakan goal. Sudah pasti goal yang terjadi
adalah lewat kerjasama antar pemain. Pancasila dengan visi besarnya seperti apa
yang telah digagas oleh Bung karno adalah sebagai negara bangsa (nationale
state). Artinya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang hendak bersatu mewujudkan
keluhuran dan kemakmuran bersama-bersama di dalam negara kesatuan
Indonesia. Keluhuran dan kemakmuran itu akan terwujud jika sipirit ke-kita-an
membunuh spirit ke-aku-an. Karena bagaimanapun hanya berada dalam suasana
kita maka kerjasama dalam mewujudkan negara bangsa yang luhur dan makmur
akan terealisir.
Ketiga, dalam sebuah permainan selalu menampilkan daya tarik berupa
keasyikan bermain. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia berdimensi
anekaragam. Sementara itu dalam kehidupan sehari-hari, interaksi masyarakat
yang beranekaragam itu mendambakan cengkerama yang mengasyikan. Pancasila
dengan warna ideologi yang tolerannya akan menjadi mediasi terwujudnya sikap
timbal-balik, saling menghargai, sehingga masing-masing individu maupun
golongan merasa asyik bercengkrama karena dirinya dihargai.
Keempat, dalam setiap permainan, meskipun terdapat aturan main ketat
yang telah disepakati, sebenarnya masih menyisakan ruang bagi masing-masing
individu pemain untuk berinovasi secara kreatif sesuai dengan posisi masingmasing. Begitu pula dengan Pancasila akan memberi peluang bagi masyarakat
untuk mengamalkan agamanya secara bebas sesuai dengan pilihannya sendiri.
Dengan demikian, Pancasila sebagai makna general bukan dalam pengertian
penciptaan identitas tunggal melalui penyeragaman yang represif, tetapi kerelaan
melebur dalam kesatuan negara tanpa harus menghilangkan identitasnya. Dalam
pengertian inilah mantan wakil presiden RI di era Suharto, Tri Sutrisno
mengatakan, secara individu, saya berideologi Islam. Tapi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, ideologi saya Pancasila. (Jawa Pos,15/7/2006).

Dengan demikian, melalui anaologi permainan di atas, sayogjanya ada


kesadaran pemahaman nalar kolektif dalam keanekaragaman masyarakat
Indonesia, dan itu perlu ada upaya mewujudkan, jika tidak, Pancasila akan
menjadi sesuatu yang tanpa roh. Karenanya motivasi dari Jamal al-Banna saudara
dari Hasan al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslimun Mesir mengatakan, Jihad
terbesar adalah ketika kita berada dalam komunitas yang beragam nampaknya
telah menemukan momentum.

Anda mungkin juga menyukai