Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar 1 neonatus dari 5.000 kelahiran hidup dilahirkan dengan obstruksi usus. Etiologi primer
obstruksi usus halus kongenital adalah abnormalitas-abnormalitas pada perkembangan anatomic
(stenosis dan atresia jejuni-ileal), sekresi mucus (ileus mekonium), dan inervasi dinding usus
(penyakit Hirschprung segmen panjang)3.
Obstruksi ini dapat terjadi secara parsial maupun komplit, dapat dengan karakteristik sederhana
(simple) atau strangulasi. Pada obstruksi sederhana, isi usus gagal bergerak dalam arah aboral
(menjauhi mulut), sedangkan pada obstruksi strangulasi, selain terdapat kegagalan isi usus
bergerak dalam arah aboral juga terdapat gangguan aliran darah menuju usus. Jika obstruksi
strangulasi tidak ditangani dengan tepat, strangulasi dapat menyebabkan infark dan perforasi
usus3.
Berdasarkan etiologi yang mendasarinya, obstruksi usus dapat diklasifikan menjadi obstruksi
intrinsic dan ekstrinsik. Penyebab obstruksi intrinsic adalah abnormalitas kongenital pada
inervasi usus, produksi mucus, dan anatomi tubular. Diantara ketiganya, abnormalitas pada
struktur tubular adalah yang paling sering ditemukan, dan dapat bermanifestasi sebagai obliterasi
(atresia) atau penyempitan (stenosis) pada lumen usus. Lebih dari 90% stenosis dan atresia usus
terjadi di duodenum, jejunum, dan ileum. Stenosis dan atresia pada kolon sangat jarang dijumpai.
Penyebab obstruksi ekstrinsik kongenital adalah adanya kompresi pada usus oleh pembuluh
darah, organ, dan kista3.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Atresia usus adalah obliterasi atau hilangnya lumen usus yang disebabkan oleh adanya
abnormalitas struktur tubular pada usus yang terjadi secara kongenital 3. Lebih dari 90% stenosis
dan atresia usus terjadi di duodenum, jejunum, dan ileum. Stenosis dan atresia pada kolon sangat
jarang dijumpai1.
2.2. Epidemiologi
Insiden atresia duodenal adalah 1 per 5.000-10.000 kelahiran hidup, sedangkan insiden atresia
jejuno-ileal adalah 1 per 2.000-5.000 kelahiran hidup1,2. Dari penelitian kasus atresia usus yang
dilakukan oleh Sirelkhatim dkk., 82.5% kasus atresia usus adalah tipe jejuno-ileal dan 27.5%
adalah tipe duodenum1.
Hampir semua anak dengan atresia usus akan menunjukkan gejala dalam beberapa jam setelah
kelahiran4. Atresia duodenum biasanya berhubungan dengan anomaly sistemik seperi sindrom
Down dan anomaly kardiak dan ginjal, sedangkan atresia jejuni-ileal biasanya berhubungan
dengan anomaly gastrointestinal seperti malrotasi, hernia internal, dan gastroschisis1.
Laju mortalitas pada pasien dengan atresia usus adalah sebesar 32.5% yang disebabkan oleh
penyebab yang multipel seperti anomaly kardiak, ikterus, prematuritas, dan tipe atresia yang
terjadi, seperti yang akan disebutkan selanjutnya1.
2.3. Etiologi dan Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya atresia usus telah dijelaskan berdasarkan penelitian oleh Louw dan
Barnard pada tahun 1955. Penelitian tersebut menemukan bahwa dengan percobaaan
menggunakan anjing coba, melakukan ligasi pada pembuluh darah mesenteric dan menciptakan
obstruksi strangulasi pada janin anjing akan menyebabkan lesi atretik pada usus halus yang sama

seperti yang ditemukan secara klinis pada bayi manusia baru lahir 4. Dari temuan tersebut,
disimpukan bahwa atresia usus disebabkan oleh gangguan iskemik. Teori ini juga menjelaskan
mengapa ibu hamil yang merokok dan konsumsi obat vasokonstriktor selama kehamilan
berhubungan dengan atresia usus4.
Pada obstruksi, secara khas akan muncul distensi usus, hal ini disebabkan oleh akumulasi
makanan, udara, dan sekresi usus di proksimal dari titik obstruksi. Seiring usus mengalami
dilatasi, absorpsi cairan usus akan menurun dan sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.
Pergeseran ini akan menyebabkan deplesi intravascular secara isotonic, yang biasanya
menyebabkan hipokalemia. Distensi usus juga menyebabkan penurunan aliran darah menuju
usus yang mengalami obstruksi. Ketika darah mengalami pergeseran menjauh dari mukosa usus,
integritas mukosa menghilang. Bakteri akan berproliferasi pada usus yang stagnan, dengan
dominasi bakteri coliform dan anaerob. Proliferasi bakteri yang cepat ini, ditambah dengan
hilangnya integritas mukosa, akan menyebabkan bakteri mengalami translokasi melalui dinding
usus dan berpotensi menyebabkan endotoksemia, bakteremia, dan sepsis3.

2.3.1. Atresia Duodenum


Atresia duodenum terjadi akibat adanya kegagalan vakuolisasi duodenum dari tahap
korda padatnya2. Terdapat variasi anatomi pada atresia duodenum ini, yaitu stenosis
duodenum, jaring mukosa (mucosal web) dengan dengan dinding muscular yang
intak (disebut deformitas windsock), dua ujung duodenum yang dipisahkan oleh
fibrous cord, dan separasi komplit , dengan celah di dalam duodenum 2. Atresia
duodenum

berhubungan

dengan

beberapa

kondisi,

diantaranya

yaitu

polihidramnion pada saat kehamilan, marotasi, pancreas anular, dan atresia biliaris,
serta anomaly kardiak, renal, esophageal, dan anorektal. Pada sebagian besar kasus,
obstruksi duodenum yang terjadi ada di distal dari ampulla vater, sehingga neonates
akan menunjukkan manifestasi emesis biliari2.
Atresia duodenum terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran hidup dan merupakan 2540% dari kejadian atresia usus secara keseluruhan. Atresia duodenal terjadi
diakibatkan adanya kegagalan dalam rekanalisasi lumen usus selama kehamilan,

berbeda dengan atresia yang terjadi pada level yang lebih distal dimana atresia
terjadi akibat gangguan vascular pada periode prenatal. Selama minggu ke 4 dan ke
5 pada perkembangan fetus normal, mukosa duodenum mengalami proliferasi sel
epithelial yang cepat. Persistensi sel ini, yang seharusnya mengalami degenerasi
setelah usia kehamilan 7 minggu, akan menyebabkan oklusi lumen (atresia) pada
sekitar dua pertiga kasus dan menyebabkan penyempitan (stenosis) pada sepertiga
kasus. Atresia duodenal dapat muncul dalam beberapa bentuk, termasuk
diantaranya adalah membrane tipis yang menyumbat lumen, fibrous cord pendek
yang menghubungkan dua ujung buntu kantung duodenum, atau celah yang
memisahkan dua ujung duodenum yang tidak saling berhubungan. Bentuk yang
paling sering adalah bentuk membrane, dan hampir seluruhnya terjadi di dekat
ampulla of vater. Pada kasus yang jarang, membrane tersebut dapat mengalami
distensi dan disebut dengan windsock web. Bentuk atresia duodenal yang tidak
biasa ini menyebabkan obstruksi sebesar beberapa sentimeter sampai ke distal dari
asal membrane3.
Sekitar 50% bayi dengan atresia duodenum adalah bayi premature. Sering terjadi
anomali yang terjadi bersamaan, diantaranya adalah penyakit jantung kongenital
(30%), malrotasi (20-30-%), pancreas anularis (30%), anomaly ginjal (5-15%),
atresia esofagela dengan atau tanpa transesofageal fistula (5-10%), malformasi
skeletal (5%), dan anomaly anorektal (5%). Dari anomaly-anomali tersebut, hanya
penyakit jantung kongenital yang menyebabkan peningkatan mortalitas. Pancreas
anularis

menyebabkan

peningkatan

komplikasi

lambat,

seperti

refluks

gastroesofageal, ulkus peptikum, pancreatitis, gastric outlet dan obstruksi


duodenum yang rekuren, dan kanker lambung. Maka, follow-up jangka panjang
pada pasien ini direkomendasikan. Hampir separuh pasien dengan atresia
duodenum mempunyai abnormalitas kromosom, dengan trisomi 21 ditemukan pada
sepertiga pasien3.

2.3.1. Atresia Jejuno-ileal

Atresia jejuniileum biasanya disebabkan oleh kejadian vascular dalam kehidupan


intrauterine, yang menyebabkan infark dan resorpsi segmental pada usus bayi.
Kejadian-kejadian yang meningkatkan kompromis vascular diantaranya adalah
volvulus usus, intususepsi, ileus mekonium dan herniasi strangulasi melalui defek
pada dinding abdomen pada gastroschisis dan omphalocele. Gaya hidup ibu selama
kehamilan yang menyebabkan vasokonstriksi, seperti merokok dan penggunaan
kokain juga merupakan hal yang meningkatkan kompromis vascular. Atresia
jejunoilelal ditemukan berhubungan dengan kejadian kelahiran ganda, berat lahir
rendah, dan prematuritas. Tidak seperti atresia pada duodenum, atresia jejuniileal
sering disertai dengan anomaly ekstraintestinal3.
Ada lima tipe atresia jejuno-ileal2,4,5, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 di
bawah ini. dari kelima tipe atresia jejuno-ileal, tipe II dan IIIa adalah tipe yang paling
sering dijumpai, masing-masing berkontribusi sebesar 30-35% kasus. Tipe IIIb dan
IV berkontribusi sebesar 10-20% kasus, dan tipe IIIb adalah tipe yang paling jarang
dijumpai.

Gambar 1. Tipe Atresi Jejuno-ileal4

1. Tipe I
Terdapat jaring mukosa atau diafragma yang mengoklusi lumen usus, namun
kontinuitas antara usus bagian proksimal dan distal masih terjaga 2,5. Usus bagian
proksimal mengalami dilatasi, sedangkan usus bagian distal kolaps. Panjang usus
biasanya normal4.
2. Tipe II
Terdapat kord (cord) yang atretik yang menghubungkan usus bagian proksimal
dan distal3,4. Mesenterium pada atresia jejunoileal tipe II ini intak2.
3. Tipe IIIa
Tipe IIIa ini terjadi jika kedua ujung proksimal dan distal usus berakhir pada
simpul mati. Terdapat defek kecil pada mesenterium, sehingga usus bagian
proksimal dan distal dipisahkan oleh celah berbentuk V karena mesenteric yang
mengalami defek2,3,4.
4. Tipe IIIb

Tipe IIIb sama seperti tipe IIIa, namun terdapat defek pada mesenterium yang
lebih ekstensif dan hilangnya suplai darah normal menuju usus bagian distal. Usus
distal akan bergelung di sekitar arteri ileokolik, yaitu arteri tempat usus bagian
distal mendapatkan seluruh suplai darahnya, sehingga terbentuk tampilan applepeel. Anomaly ini berhubungan dengan prematuritas, ileum bagian distal yang
pendek abnormal, dan pemendekan usus yang signifikan3.
5. Tipe IV
Atresia multipel, dengan penampakan seperti sosis2.

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pasien dengan obstruksi usus akan bervariasi bergantung kepada penyebab,
level obstruksi, dan waktu antara kejadian obstruksi dan evaluasi pasien. Gejala klasik obstruksi
pada neonates adalah emesis biliari (muntah hijau), distensi abdomen, dan obstipasi (konstipasi
yang intractable)3. Manifestasi klinis atresia usus berdasarkan level obstruksi dibagi menjadi
atresia usus letak tinggi untuk atresia duodenum dan atresia usus letak rendah untuk atresia
jejuno-ileal2,5. Kedua atresia letak tinggi dan letak rendah pada akhirnya akan menyebabkan
obstipasi. Namun, pada awalnya mekonium tetap dapat keluar jika obstruksi terjadi di bagian
atas usus atau jika obstruksi terjadi pada usia lanjut ketika janin masih berada dalam kehidupan
intrauterine3.

2.4.1. Atresia Duodenum


Hallmark adanya obstruksi duodenum adalah emesis biliari (muntah hijau) dengan
volume yang banyak dan frekuensi yang sering, tanpa atau dengan distensi abdomen
yang kurang menonjol, yang biasanya muncul pada hari pertama kehidupan 3. Jika
ditemukan distensi abdomen, distensi yang terjadi terbatas di bagian atas (di daerah
epigastrium) dan menghilang setelah bayi muntah 5. Nyeri yang dirasakan bersifat
intermittent, dan biasanya membaik setelah muntah. Gelombang peristaltic dapat

terlihat di awal perjalanan penyakit. Riwayat polihydramnion selama kehamilan


ditemukan positif pada separuh kasus, hal ini disebabkan oleh absorpsi cairan amnion
yang tidak adekuat di usus bagian distal. Cairan ini dapat terwarnai oleh empedu
dikarenakan adanya muntah saat janin masih di dalam uterus 3. Bayi dengan sindroma
Down juga harus dicurigai menderita atresia duodenum5. Jaundice ditemukan pada
sepertiga kasus dengan obstruksi duodenum3. Pasase mekonium pada bayi dengan
atresia duodenum dapat normal karena mekonium sudah berada di dalam usus bagian
distal sebelum atresia terjadi5.

2.4.2. Atresia Jejuno-ileal


Obstruksi pada usus halus bagian distal menyebabkan distensi abdomen sedang atau
menonjol dengan emesis yang secara progresif berisi feses 3. Emesis yang terjadi
lebih lambat, yang terjadi setelah abdomen mengalami distensi. Distensi abdomen
terjadi di seluruh kuadran abdomen, berbeda dengan distensi pada atresia duodenum
yang hanya terbatas pada abdomen bagian atas saja. Abdomen juga tetap mengalami
distensi walaupun bayi sudah muntah5. Hampir 80% bayi gagal untuk mengeluarkan
mekonium pada 24 jam pertama kehidupan3. Biasanya, saat dilakukan rectal toucher,
mekonium yang keluar hanya sedikit, kering berbutir-butir, dan berwarna hijau atau
abu-abu. Mekonium yang abnormal ini ditemukan pada atresia yang terjadi pada
kehamilan muda dan pada letak atresia di ileum bagian distal5. Obstruksi usus bagian
distal (jejuno-ileal) lebih jarang terdeteksi pada saat janin masih dalam kandungan
dibandingkan dengan obstruksi proksimal (duodenum). Polihidramnion ditemukan
pada 20-30% kasus atresia jejuno-ileal, dan itu dapat merupakan tanda pertama
adanya obstruksi usus. Jaundice, berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi, ditemukan pada 20-30% pasien3.
Pada atresia jejunum yang berada di proksimal, manifestasi klinisnya lebih mirip
dengan atresia duodenum5.

2.5. Diagnosis
Diagnosis obstruksi usus kongenital mengandalkan kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
temuan radiologic. Pada kasus-kasus tertentu, diagnosis dapat ditegakkan pada periode prenatal.
Diagnosis prenatal adanya atreasia dapat dicapai dengan pemeriksaan ultrasound, dimana pada
ultrasound tersebut didapatkan gambaran double bubble3.Pemeriksaan ultrasound rutin selama
periode prenatal juga dapat mendeteksi polihidramnion, yang sering terjadi bersamaan dengan
obstruksi usus di level yang tinggi. Adanya polihidramnion tersebut merupakan indikasi
dilakukannya aspirasi lambung pada nenonatus segera setelah lahit. Aspirasi dengan volume
lebih dari 15-20 mL cairan, khususnya jika cairan tersebut diwarnai oleh cairan empedu,
merupakan tanda yang sangat indikatif akan adanya obstruksi usus bagian proksimal3.
Pada periode postnatal, radiografi polos adalah pemeriksaan diagnostic awal yang dapat
memberikan informasi yang berharga tentang potensi komplikasi yang dapat terjadi pada
obstruksi usus. Pada obstruksi komplit, radiografi polos dapat menunjukkan distensi usus di
proksimal dari titik obstruksi. Foto upright atau cross-table lateral view biasanya menunjukkan
adanya beberapa of air-fluid levels pada bagian usus yang mengalami distensi.

2.5.1. Atresia Duodenum


Diagnosis atresia duodenum dicurigai oleh adanya double-bubble sign yang khas
pada foto polos abdomen, sebelum dilakukan dekompresi orogastrik pada bayi 2,3,5,6.
Penampakan bubble sign (gelembung udara) ini, seperti yang ditunjukkan oleh
gambar 2 di bawah ini, disebabkan oleh lambung dan duodenum proksimal yang
mengalami distensi dan terisi gas, yang terkoneksi secara invariable3.
Bila pada kecurigaan adanya atresia duodenum namun pada pemeriksaan foto polos
abdomen hanya terlihat satu gelembung udara, mungkin sekali gelembung duodenum
terisi penuh cairan atau gambarab gelembung duodenum dan lambung dalam
proyeksi tumoang tindih. Foto ulang dapat dilakukan dengan sebelumnya dilakukan

pengisapan cairan dalam lambung dan duodenum dan foto dibuat kembali delam
proyeksi lateral atau dengan posisi kepala di bagian bawah (upside down) 5.

Gambar 2. Foto Polos Abdomen Menunjukkan tanda Double-Bubble yang Khas


pada Atresia Duodenum6.

2.5.2. Atresia Jejunoileal


Pada pasien dengan obstruksi karena atresia jejunioleal, foto polos abdomen
menunjukkan air-fluid level yang multiple di bagian proksimal obstruksi pada
posisisi upright atau lateral decubitus3. Untuk atresia jejunum sendiri, gambaran yang
terlihat pada foto polos abdomen adalah adanya setidaknya tiga air-fluid level. Ketiga

air-fluid level ini dibentuk oleh air-fluid level masing-masing di lambung, di


duodenum, dan di usus di bawah ligamentum Treitz5.

Gambar 3. Gambaran Atresia Jejunum. Terlihat tiga air fluid level, dan tidak
ditemukan air fluid level pada segmen bawah usus5.

Untuk atresia ileum, pada foto polos abdomen terlihat seluruh abdomen terisi penuh
gelembung udara yang tersebar rata, kecuali sedikit di bagian bawah. Namun,
gambaran ini tidak karakteristik untuk atresia ileum dikarenakan terdapat kelainankelainan lain dengan gambaran foto polos abdomen yang sama, yaitu penyakit
Hirschsprung letak tinggi, meconium plug syndrome, dan atresia setinggi kolon5.

Dalam menentukan lokasi obstruksi usus menggunakan foto polos harus hati-hati,
dikarenakan haustra colon belum berkembang secara penuh pada neonates, sehingga
obstruksi usus kecil dan usus besar bisa sulit dibedakan menggunakan foto polos.
Pada kasus tersebut, dapat diindikasikan pemeriksaan menggunakan kontras atau CT
scan. Media kontras oral atau nasogastrik dapat digunakan untuk mengidentifikasi
obstruksi di usus bagian proksimal, dan kontras enema dapat digunakan untuk
mendiagnosis obstruksi yang terjadi di bagian usus yang lebih distal. Studi kontras
kadang dibutuhkan untuk mengekslusi malrotasi dan volvulus karena infarks usus
dapat terjadi dalam 6 sampai 12 jam jika volvulus tidak ditangani. Studi kontras jenis
barium meal secara umum tidak diperlukan dan kemungkinan dapat menyebabkan
aspirasi, sehingga tidak boleh dikerjakan3,5. Pada studi bariu enema, pada atresia
ileum dapat terlihat gambaran lumen kolon yang kecil (mikrocolon) 5. Selain itu,
enema juga dapat berperan sebagai alat terapeutik dalam memperbaiki obstruksi di
bagian distal oleh karena ileus mekonium atau meconium plug syndrome3.

Gambar 4. Atresia Ileum5.

Pasien dengan obstruksi usus halus harus stabil dan berada dalam keseimbangan
cairan dan elektrolit yang adekuat sebelum operasi atau radiographic attemps at
dissimpaction kecuali dicurigai adanya volvulus. Adanya infeksi harus diterapi
dengan antibiotic yang sesuai. Antibiotic profilaksis biasnya diberikan sebelum
pembedahan3.
Atresia ileal atau jejuna memerlukan reseksi bagian proksimal usus yang mengalami
dilasi dan diikuti dengan anastomosis end-to-end. Jika ada mucosal diaphragm,
jejunoplasty atau ileoplasty dengan eksisi parsial pada web merupakan alternative
untuk reseksi3.

2.6. Terapi
Terapi awal pada bayi dan anak-anak dengan obstruksi usus harus diarahkan pada resusitasi
cairan dan stabilisasi pasien. dekompresi nasogastrik biasanya akan memperbaiki nyeri dan
muntah. Setelah dilakukan kultur, antibiotic broad-spectrum dapat diberikan untuk neonates
dengan obstruksi usus yang terlihat sakit berat dan untuk pasien yang dicurigai mengalami infark
karena strangulasi. Pasien dengan strangulasi harus segera dilakukan operasi sebelum usus
mengalami infark, karena menyebabkan gangrene dan perforasi usus. Nekrosis usus yang
ekstensif dapat menyebabkan short bowel syndrome. Manajemen konservatif non operatif
biasanya terbatas hanya pada anak-anak dengan kecurigaan striktur adhesi atau inflamatori yang
kemungkinan dapat membaik dengan pemberian dekompresi nasogastrik atau obat anti
inflamasi. Jika perbaikan tanda klinis tidak terlihat dalam 12-24 jam, maka intervensi bedah
biasanya diindikasikan pada pasien dengan manajemen konservatif tersebut3.

2.6.1. Atresia Duodenum


Terapi awal untuk anak dengan atreasia duodenum adalah dekompresi nasogastric
atau orogastric dan cairan intravena. Echocardiography, ultrasound ginjal, dan
radiologi dada dan tulang punggung sebaiknya dilakukan untuk mengevaluasi
anomaly lain yang menyertai. Koreksi definitif untuk atresia biasanya ditunda sampai

anomaly yang mengancam nyawa dievaluasi dan diterapi3. Repair pembedahan


tipikal

untuk

atresia

duodenum

adalah

duodenoduodenostomy3.

Teknik

duodenoduodenostomy pada atresia duodenum adalah melakukan pembedahan


bypass pada obstruksi duodenum2.
Pada periode postoperative, gastrotomy tube dapat ditempatkan untuk drain lambung
dan

melindungi

saluran

nafas.

Dukungan

nutrisi

secara

intravena

atau

transanastomitic jejuna tube diprlukan sampai anak dapat makan secara oral.
Prognosis jangka panjang sangat baik, dengam hampir 90% kasus akan bertahan3.

2.6.2. Atresia Jejuniileal


Atresia jejunoilela membutuhkan pembedahan reseksi pada bagian proksimal usus
yang mengalami dilatasi dan diiukuti dengan anastomosis ujung ke ujung (end to end
anastomosis). Jika terdapat diafragma mukosa, dapat dilakukan alternative reseksi
yaitu jejunoplasti atau ileoplasti dengan eksisi parsial pada jaring mukosa tersebut3.
.

BAB III
RINGKASAN
Atresia usus adalah obliterasi atau hilangnya lumen usus yang disebabkan oleh adanya
abnormalitas struktur tubular pada usus yang terjadi secara kongenital 3. Hampir semua anak
dengan atresia usus akan menunjukkan gejala dalam beberapa jam setelah kelahiran4. Atresia
duodenum biasanya berhubungan dengan anomaly sistemik seperi sindrom Down dan anomaly
kardiak dan ginjal, sedangkan atresia jejuni-ileal biasanya berhubungan dengan anomaly
gastrointestinal seperti malrotasi, hernia internal, dan gastroschisis 1. Manifestasi klinis pasien
dengan obstruksi usus akan bervariasi bergantung kepada penyebab, level obstruksi, dan waktu
antara kejadian obstruksi dan evaluasi pasien. Gejala klasik obstruksi pada neonates adalah
emesis biliari (muntah hijau), distensi abdomen, dan obstipasi (konstipasi yang intractable) 3.
Hallmark adanya obstruksi duodenum adalah emesis biliari (muntah hijau) dengan volume yang
banyak dan frekuensi yang sering, tanpa atau dengan distensi abdomen yang kurang menonjol.
Obstruksi pada usus halus bagian distal menyebabkan distensi abdomen sedang atau menonjol
dengan emesis yang secara progresif berisi feses 3. Emesis yang terjadi lebih lambat, yang terjadi

setelah abdomen mengalami distensi. Diagnosis atresia duodenum dicurigai oleh adanya doublebubble sign yang khas pada foto polos abdomen. Pada pasien dengan obstruksi karena atresia
jejunioleal, foto polos abdomen menunjukkan air-fluid level yang multiple di bagian proksimal
obstruksi pada posisisi upright atau lateral decubitus3. Terapi awal pada bayi dan anak-anak
dengan obstruksi usus harus diarahkan pada resusitasi cairan dan stabilisasi pasien. dekompresi
nasogastrik biasanya akan memperbaiki nyeri dan muntah. Terapi definitif untuk atresia usus
adalah pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai