PENDAHULUAN
Ultisol merupakan tanah terluas
di Indonesia yaitu 51 juta ha atau
meliputi 29,7 % dari luas daratan
Indonesia yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya
(Moch Munir, 1996), sedangkan luas
Ultisol di Propinsi Jambi 2,72 juta ha
atau mencapai 53,46 %.
Sebagian
Ultisol di Jambi telah dimanfaatkan
untuk pemukiman, perkebunan dan
pertanian tanaman semusim (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, 2005).
Berdasarkan luasnya, Ultisol berpotensi
dalam
pengembangan
budidaya
pertanian, namun kendala yang dimiliki
cukup besar. Salah satu kendalanya
adalah kandungan bahan organik yang
rendah (kecil dari 9%), sehingga
menyebabkan
kemantapan
agregat
menjadi rendah atau kurang stabil.
Kemantapan agregat yang rendah akan
mengakibatkan struktur tanah mudah
hancur akibat pukulan butiran hujan. Hal
ini menyebabkan pori-pori tanah akan
tersumbat oleh partikel-partikel agregat
yang hancur sehingga tanah mudah
1
2
3535
Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng
36
37
Hutan
Kebun Karet
Kebun Sawit
Kebun Campuran
38
08
8.36
1.08
57.19
43.53
91.48
78.20
8 15
6.81
1.09
57.10
43.05
88.80
77.18
15 20
5.51
1.18
53.38
38.22
86.05
76.35
08
6.14
1.17
53.54
39.47
79.39
76,70
8 15
4.70
1.19
52.82
34.04
71.40
76.55
15 20
4.26
1.21
52.36
28.42
78.70
76.13
08
3.32
1.27
50.01
38.27
45.09
71.86
8 15
1.51
1.33
47.24
28.27
43.29
7163
15 20
1.05
1.38
45.17
26.74
40.75
71.24
08
4.57
1.22
51.62
38.25
59.83
73.18
8 15
3.06
1.24
51.01
33.69
60.71
72.53
15 20
2.55
1.29
49.54
29.15
64.99
72.30
Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng
Tabel 1. Rata-rata analisis BO, BV, TRP, KA, % Agregat Terbentuk dan Kemantapan Agregat pada beberapa penggunaan lahan dan
kemiringan lereng
Lereng
BO
BV
TRP
KA
Kemantapan
Agregat terbentuk
Penggunaan Lahan
(%)
(%)
(gr/cm3
(%)
(% Vol)
Agregat
(%)
Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng
dan
organik
tanah sehingga
berbeda
kemampuannya
dalam
membuat
granulasi butir-butir tanah.
Dengan
terbentuknya agregat mengindikasikan
kegemburan tanah, di mana semakin
banyak agregat terbentuk menunjukan
tanah semakin gembur dan berarti makin
sarang dan makin mudah melewatkan
air.
Persen agregat terbentuk dan
kemantapan agregat pada kelerengan 08% lebih tinggi dibandingkan lereng 815% dan 15-20% ( Tabel 1), pada lereng
yang curam bila terjadi hujan air yang
jatuh dipermukaan tanah sedikit yang
masuk ke dalam tanah tetapi langsung
mengalir. Karena masuknya air kedalam
tanah membutuhkan waktu yang lama,
hal inilah yang menyebabkan erosi dan
aliran permukaan terjadi semakin besar
yang menyebabkan
penghanyutan
partikel-partikel tanah sehingga terjadi
pengrusakan agregat. Menurut Ananta
Kusuma Seta (1987) ada 3 proses yang
bekerja
secara
beruntun
dalam
mekanisme erosi yaitu penghancuran
agregat dan pelepasan partikel-partikel
tanah dari massa tanah, pengangkutan,
pengendapan. Pendapat ini didukung
oleh Wani Hadi Utomo (1985) bahwa
proses erosi bermula dengan terjadinya
penghancuran agregat-agregat tanah
sebagai akibat pukulan air hujan yang
mempunyai energi lebih besar dari pada
daya tahan tanah.
KESIMPULAN
1.
41
Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng
42