Anda di halaman 1dari 12

Ridzki Muhamad Rhamdan said:Februari 21, 2009 pukul 11:16 am

Akuntansi Syariah Sebagai Kontruksi Sosial


Lebih dari satu decade yang lalu Francis (1990) telah mencoba menarik perhatian para akuntan
agar melihat akuntansi tidak hanya sekedar sebagai angka-angka yang mencerminkan realitas
ekonomi semata, akan tetapi melihat juga akuntansi sebagai praktik moral dan diskursif, seperti
dikemukakan dalam pernyataan berikut:
Akuntansi hendaknya dilihat sebagai praktik moral dan diskursif. Sebagai praktik moral,
akuntansi secara idial dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi
yang dipancarkan juga bernuansa etika, dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi yang
diambil berdasarkan etika tadi mendorong diciptakannya realitas ekonomi dan bisnis yang
beretika. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang sebagai alat menyampaikan informasi
kepada orang lain yang berpengaruh pada perilaku penggunanya (users), dan sebaliknya
pengguna informasi akuntansi mempunyai kemampuan mempengaruhi akuntansi sebagai
instrument bisnis (dalam Triyuwono 2000 dan 2001).
Akuntansi menurut Tricker (Belkoui, 2001) adalah anak dari budaya masyarakat dimana
akuntansi itu dipraktikan, lebih jauh dikemukakan bahwa nilai-nilai masyarakat mempunyai peran
besar dalam mempengaruhi bentuk akuntansinya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada,
Belkoui (2001) menyatakan bahwa akuntansi dapat dipandang sebagai idiologi yang menjadi
instrument pendukung tatanan sosial-ekonomi suatu masyarakat.
Lahirnya akuntansi syariah sebagai idiologi masyarakat Islam menerapkan praktik-praktik
ekonomi Islami dalam tata kehidupan sosial-ekonominya, sejalan dengan teori colonial model
yang dikemukakan oleh Gambling dan Karim (dalam Harahap, 2001:198, 208) sebagai berikut:
Seyogyanya suatu masyarakat melahirkan teori dan praktik ekonomi yang sesuai dengan
idiologinya. Apabila idiologi yang dianut sebagian besar masyarakatnya adalah Islam, maka
aturan yang dipakai seharusnya berakar pada syariat Islam. Dengan demikian system sosial,
ekonomi, dan akuntansi yang diterapkan harus sesuai dengan syariat Islam (syariah). Islam
memiliki syariah yang dipatuhi semua umatnya, maka wajarlah jika masyarakat Islam memiliki
sistem ekonomi dan sistem akuntansi yang sesuai syariah.
Harahap (2001:23) mengemukakan bahwa akuntansi syariah adalah suatu bentuk akuntansi
yang disusun berdasarkan pada pencapaian tujuan syariah, tujuan ekonomi Islam. Serta tujuan
masyarakat Islam. Hal ini digambarkan dalam suatu hubungan antara akuntansi syariah dengan
masyarakat Islam sebagai berikut:
Keberadaan akauntansi syariah sebagai idiologi masyarakat Islam menerapkan ekonomi Islam
dalam kehidupan sosial ekonomi, dikenali dari persyaratan mendasar yang harus dipenuhi dan
tujuan diselenggarakan akuntansi syariah (Hameed, 2001). Persyaratan mendasar yang harus
dipenuhi oleh akuntansi syariah yaitu benar (truth), sah (valid), adil (justice), dan mengandung
nilai-nilai kebaikan atau ihsan (benevolenc). Sedangkan tujuan diselenggarakan akuntansi
syariah adalah memberikan informasi secara lengkap untuk mengetahui nilai dan kegiatan
ekonomi yang bertentangan dan yang diperbolehkan oleh syariah; meningkatkan kepatuhan
terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha; serta menentukan hak dan
kewajiban pihak-pihak yang berkepentingan (terkait) dalam suatu entitas ekonomi syariah
berlandaskan pada konsep kejujuran, keadilan, kebajikan, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai dan
etika bisnis Islami.
Akuntansi syariah diperlukan oleh masyarakat Islam sebagai instrument pendukung menerapkan
praktik ekonomi Islam dalam tata kehidupan sosial-ekonominya dengan dasar pertimbangan

berikut (Yusoh dan Ismail, 2001 dalam Harahap, 2001);


Adanya konsep kepemilikan yang diyakini oleh orang Islam bahwa harta dan kekayaan adalah
milik Allah SWT, manusia hanyalah penerima amanah yang harus mempertanggungjawabkan
pemanfaatannya sesuai dengan syariah.
Adanya konsep personal accountability yang harus dipatuhi oleh Islam dalam menjalin hubungan
dengan Allah SWT (hablum minallah) dan menjalin hubungan dengan sesame manusia (hablum
minannas).
Adanya konsep distribusi kekayaan secara adil yang harus dilaksanakan oleh orang Islam yaitu
melalui mekanisme kewajiban membayar zakat.
Berangkat dari pengertian akuntansi sebagai idiologi, Baydoun dan Willet (2000:82)
mengungkapkan adanya perbedaan yang sangat mendasar mengenai system, prinsip dan
criteria akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah seperti disajikan dalam tabel
Perbedaan Akuntansi Konvensional. Selain perbedaan system, prinsip dan criteria akuntansi
syariah dibandingkan dengan akuntansi konvensional yang melahirkan suatu bentuk akuntansi
syariah yang memiliki karakteristik unik, perbedaan yang lebih mendasar sebenarnya terletak
pada kerangka konseptual yang mendasari kedua bentuk akuntansi tersebut.
Kerangka konseptual akuntansi syariah, dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi
Islam, sedangkan kerangka konseptual akuntansi konvensional dirumuskan menggunakan
pendekatan epistimologi kapitalis. Penjelasannya secara mendalam mengenai kerangka
konseptual syariah yang dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi Islam disajikan
dalam uraian mengenai akuntansi syariah dalam konteks epistimologi Islam.
Praktik Akuntansi Syariah
Praktik akuntansi syariah yang pertama kali diterapkan di Indonesia adalah akuntansi perbankan
syariah. Munculnya akuntansi perbankan syariah seiring dengan diterapkannya Islamic Banking
System yang diakui legalitasnya dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang
menganur dual banking system, dimana Islamic banking system diterapkan berdampingan
dengan c0nvensional banking system. Dalam undang-undang perbankan ini ditegaskan bahwa
lembaga perbankan yang dalam kegiatan oeprasionalnya menerapkan prinsip syariah dinyatakan
sebagai bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah (Setiadi, 2000 dan Usman,
2002).
Sebagai konsekuensi diterapkannya prinsip syariah dalam kegiatan oeprasional perbankan di
Indonesia, maka pada tanggal 1 Mei 2002 Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) telah mengeluarkan regulasi akuntansi perbankan syariah. Regulasi akuntansi
perbankan syariah di Indonesia banyak mengadopsi dari Accounting and Auditing Standards for
Islamic Financial Institution (AAS-IFI) yang dihasilkan oleh Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institution (AAO-IFI) pada tahun 1998. Standar akuntansi ini telah diterapkan
oleh institusi keuangan Islam diberbagai negara seperti Araban, Iran, Sudan dan Malasyia.
Regulasi akuntansi perbankan syariah dituangkan dalam buku, yaitu: Buku Pertama, Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (IAI, 2001). Buku Kedua,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Akuntansi Perbankan Syariah atau PSAK No. 59
tentang Akuntansi Perbankan Syariah (IAI, 2001a) memuat standar teknis mengenai pengakuan,
pengukuran, penyajian, dan pengungkapannya dalam bentuk laporan keuangan dari setiap
transaksi keuangan bank syariah yang meliputi mudharabah, musyarakah, murabahah, salam,
istishna, ijarah, wadhiah, qardh, transaksi berbasis imbalan zakat, infaq dan shadaqah.
Standar akuntansi perbankan syariah diberlakukan secara efektif untuk penyusunan dan

penyajian laporan keuangan lembaga keuangan bank syariah periode yang dimulai atau setelah
tanggal 1 Januari 2003. Sebelum dikeluarkan regulasi standar akuntansi perbankan syariah ini,
pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan bank syariah menggunakan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Perbankan (PSAK No. 38) dengan berbagai
penyesuaian yang menurut Harahap (2002) dan Triyuwono (2002) sering kali tidak sejalan
dengan tujuan akuntansi keuangan bank syariah.
Regulasi akuntansi perbankan syariah sesungguhnya merupakan fenomena praktik akuntansi
yang berkembang dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Islam sebagai instrument
menerapkan prinsip syariah dalam dunia perbankan. Seiring dengan semakin banyaknya
lembaga perbankan yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, praktik akuntansi
perbankan syariah semakin luas dan berkembang.
KESIMPULAN
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan
ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al
Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang
berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan
akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam
sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk
sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan
motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng
kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas
laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan
dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Sumber : http://agt122005.blogspot.com/2007/08/akuntansi-syariah_15.html
BALAS

AI PADILAH said:Februari 21, 2009 pukul 12:06 pm


AKUNTANSI SYARIAH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS.
1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis menurut Mulawarman menganggap beberapa konsep dan teori

akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi. Modifikasi dilakukan


untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang
memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi
akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting
and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara
internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syariah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada
tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity
theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI
misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan
akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan
beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan
penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang
berdasarkan syariah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan
sumber daya manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk
kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan
ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang
perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun
lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Hameed dan Yaya yang menguji secara empiris praktik pelaporan
keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI,
perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis
laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas
sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan
Hameed dan Yaya menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan
praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan
syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya
masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak
praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang
mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi
sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang
kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syariah lebih menekankan formalitas fiqh
daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi
lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah.
2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu terbuka dan longgar
jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis
akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba. Landasan filosofis seperti itu jelas
berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan
keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI
maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep
akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan

going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Tujuan
laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan
informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi
tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah.
Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang
lebih luas. Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut
aliran idealis adalah Enterprise Theory, karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas.
Meskipun, dari sudut pandang syariah, konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang
secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, konsep ini belum bisa dijadikan
justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut
mengakui eksistensi dari indirect participants.
Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
1. akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi
berbasis entity theory.digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi
dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis.
2. akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis
berbasis shariate ET.penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga
diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
http://islamic-accounting.blogspot.com/2008/02/akuntansi-syariah-pengantar-1.html
DISARIKAN DARI:
Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi
Syariah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi
Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional
Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi
Kekayaan Altruistik Islami. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi MaisyahRizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syariah. Seminar Akuntansi Syariah,
Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, 24
Nopember.
BALAS

Tita Sri Nurwenda said:Februari 21, 2009 pukul 12:30 pm


Akuntansi Syariah
Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shariah
Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang
mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi
secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk
menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian.
Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang
konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki
standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh
kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-

free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam
memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih
untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar
dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis
muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi
semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan
horisontal dan vertikal).
Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia
menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun
pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed)
namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially
constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban
manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu
pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia
adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and
Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan
umum laporan ini adalah:
1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban
perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari
kegiatan usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan
dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi
kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses
pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan
adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama
juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional
sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas
memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum
sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat
horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi shariah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan
pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang
berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap
perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar
filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan
kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan
kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan
urusan dunia (sekuler).
Usaha untuk memberikan warna lain agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul

dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi
inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shariah. Dengan akutansi
shariah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai
ibadah (non-value-free).
Akuntansi shariah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan
informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi
konvensional. Ia (akutansi shariah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai
alat penghubung antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilainilai akuntansi dan ibadah syariah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar
sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada nilai ibadah
secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan ibadah sosial bagi terciptanya
peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.8
Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shariah menandang bahwa organisasi ini sebagai
interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh
pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil:
pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan
lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai
distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
Dengan berlandaskan al-Quran, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shariah memandang
bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang
bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat
vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua
manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah
(Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada Rajanya dan
mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada Sang Raja.
Laporan keuangan yang berbasiskan shariah mempunyai ruang dan peluang tersendiri untuk
bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan
aturan baku akutansi (shariah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh
dari sifat akutansi shariah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shariah mempunyai kelebihan
keterpercayaan dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya
sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan
karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
Penulis: M. Aqim Adlan Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single
BALAS

RIZAL PAHLEVI Z (063403367) said:Februari 21, 2009 pukul 2:57 pm


Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan double entry. Menurut sejarah yang diketahui
awam dan terdapat dalam berbagai buku Teori Akuntansi, disebutkan muncul di Italia pada
abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis

buku Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita dengan memuat satu bab mengenai
Double Entry Accounting System.
Namun apabila kita pelajari Sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di
Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di
Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan,
akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah
SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Bahkan
Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius
dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan
fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya. Sebagaimana
pada awal ayat tersebut menyatakan Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih
dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Dalam Al Quran surah Asy-Syuara ayat
181-184 yang berbunyi: Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan
manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang
dahulu.
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil.
Dalam Islam, fungsi Auditing disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah AlHujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
Dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang
disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa ayat 35 : Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang

disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan,
maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran
Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan
nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi
di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap
(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barangbarang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua
kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan
konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan
berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya
dan resiko;
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok,
transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan
antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang
berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan
berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para
ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau
dicampurkan pada pokok modal;

Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum.
Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi
sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam
dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi
persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga
pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri. (QS.An-Nahl/ 16:89)
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
sumber : http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
BALAS

HANA HUJAEMAH said:Februari 22, 2009 pukul 7:48 pm


Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan double entry. Menurut sejarah yang diketahui
awam dan terdapat dalam berbagai buku Teori Akuntansi, disebutkan muncul di Italia pada
abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis
buku Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita dengan memuat satu bab mengenai
Double Entry Accounting System. Dengan demikian mendengar kata Akuntansi Syariah atau
Akuntansi Islam, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat
mengada-ada. Namun apabila kita pelajari Sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya
Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah
Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undangundang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan,
akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah
SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Dalam Al
Quran surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasardasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang
harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan Hai,
orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya. Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa
ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada
tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada

tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba
mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas
berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang
berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu..
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Metode, teknik, dan
strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi
Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6
yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu..
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan,
maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran
Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan
nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi
di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap

(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barangbarang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung
semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin,
sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga
dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan
bahaya dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal
pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam
dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok)
dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang
haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum.
Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi
sebelum nyata laba itu diperoleh.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga
pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri. (QS.An-Nahl/ 16:89)
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Anda mungkin juga menyukai