Ridzki Muhamad Rhamdan
Ridzki Muhamad Rhamdan
penyajian laporan keuangan lembaga keuangan bank syariah periode yang dimulai atau setelah
tanggal 1 Januari 2003. Sebelum dikeluarkan regulasi standar akuntansi perbankan syariah ini,
pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan bank syariah menggunakan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Perbankan (PSAK No. 38) dengan berbagai
penyesuaian yang menurut Harahap (2002) dan Triyuwono (2002) sering kali tidak sejalan
dengan tujuan akuntansi keuangan bank syariah.
Regulasi akuntansi perbankan syariah sesungguhnya merupakan fenomena praktik akuntansi
yang berkembang dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Islam sebagai instrument
menerapkan prinsip syariah dalam dunia perbankan. Seiring dengan semakin banyaknya
lembaga perbankan yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, praktik akuntansi
perbankan syariah semakin luas dan berkembang.
KESIMPULAN
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan
ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al
Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang
berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan
akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam
sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk
sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan
motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng
kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas
laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan
dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Sumber : http://agt122005.blogspot.com/2007/08/akuntansi-syariah_15.html
BALAS
going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Tujuan
laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan
informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi
tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah.
Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang
lebih luas. Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut
aliran idealis adalah Enterprise Theory, karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas.
Meskipun, dari sudut pandang syariah, konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang
secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, konsep ini belum bisa dijadikan
justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut
mengakui eksistensi dari indirect participants.
Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
1. akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi
berbasis entity theory.digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi
dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis.
2. akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis
berbasis shariate ET.penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga
diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
http://islamic-accounting.blogspot.com/2008/02/akuntansi-syariah-pengantar-1.html
DISARIKAN DARI:
Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi
Syariah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi
Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional
Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi
Kekayaan Altruistik Islami. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi MaisyahRizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syariah. Seminar Akuntansi Syariah,
Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, 24
Nopember.
BALAS
free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam
memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih
untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar
dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis
muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi
semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan
horisontal dan vertikal).
Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia
menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun
pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed)
namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially
constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban
manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu
pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia
adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and
Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan
umum laporan ini adalah:
1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban
perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari
kegiatan usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan
dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi
kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses
pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan
adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama
juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional
sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas
memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum
sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat
horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi shariah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan
pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang
berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap
perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar
filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan
kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan
kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan
urusan dunia (sekuler).
Usaha untuk memberikan warna lain agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul
dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi
inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shariah. Dengan akutansi
shariah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai
ibadah (non-value-free).
Akuntansi shariah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan
informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi
konvensional. Ia (akutansi shariah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai
alat penghubung antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilainilai akuntansi dan ibadah syariah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar
sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada nilai ibadah
secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan ibadah sosial bagi terciptanya
peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.8
Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shariah menandang bahwa organisasi ini sebagai
interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh
pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil:
pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan
lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai
distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
Dengan berlandaskan al-Quran, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shariah memandang
bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang
bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat
vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua
manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah
(Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada Rajanya dan
mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada Sang Raja.
Laporan keuangan yang berbasiskan shariah mempunyai ruang dan peluang tersendiri untuk
bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan
aturan baku akutansi (shariah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh
dari sifat akutansi shariah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shariah mempunyai kelebihan
keterpercayaan dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya
sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan
karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
Penulis: M. Aqim Adlan Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single
BALAS
buku Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita dengan memuat satu bab mengenai
Double Entry Accounting System.
Namun apabila kita pelajari Sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di
Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di
Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan,
akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah
SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Bahkan
Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius
dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan
fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya. Sebagaimana
pada awal ayat tersebut menyatakan Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih
dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Dalam Al Quran surah Asy-Syuara ayat
181-184 yang berbunyi: Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan
manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang
dahulu.
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil.
Dalam Islam, fungsi Auditing disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah AlHujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
Dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang
disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa ayat 35 : Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan,
maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran
Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan
nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi
di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap
(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barangbarang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua
kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan
konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan
berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya
dan resiko;
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok,
transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan
antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang
berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan
berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para
ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau
dicampurkan pada pokok modal;
Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum.
Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi
sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam
dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi
persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga
pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri. (QS.An-Nahl/ 16:89)
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
sumber : http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
BALAS
tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba
mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas
berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang
berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu..
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Metode, teknik, dan
strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi
Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6
yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu..
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan,
maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran
Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan
nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi
di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap
(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barangbarang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung
semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin,
sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga
dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan
bahaya dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal
pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam
dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok)
dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang
haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum.
Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi
sebelum nyata laba itu diperoleh.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga
pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri. (QS.An-Nahl/ 16:89)
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)