ANALISIS KASUS
Pada bab ini, kita membahas analisis kasus tentang An. AM, 9 tahun, lakilaki, datang dengan keluhan utama mau transfusi dan keluhan tambahan berupa
pucat, mudah lelah dan lemas. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, didapatkan konjungtiva palpebra pucat dan Hb = 7,3 g/dL. Dari hasil
tersebut, bisa kita simpulkan bahwa An. AM anemia.
Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit (red cell mass) sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer. Anemia ini harus kita bedakan apakah anemia akut atau kronik.
Penyebab anemia akut adalah perdarahan yang terjadi secara mendadak, misalkan
pada kecelakaan, operasi bedah maupun perdarahan saluran cerna yang massif.
Sedangkan, penyebab anemia kronik adalah kekurangan nutrisi seperti zat besi,
asam folat dan B12, cacingan, perdarahan kronik. Penyebab anemia yang lainnya
adalah gagal ginjal, kanker hingga gangguan produksi darah di sumsum tulang.
Jadi, pada kasus ini, An. AM mengalami anemia kronik karena keadaan ini (pucat,
mudah lelah, lemas) sudah dialaminya sejak usia 9 tahun dan juga pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik pun, tidak ditemukan ciri ataupun tanda perdarahan akut
ditambah lagi dengan riwayat transfusi darah rutin sejak usia 9 tahun. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pasien an. AM menderita anemia kronik.8,15
Setelah itu, kita harus mencari tahu penyebab anemia kronik yang dialami
An. AM. Menurut penyebabnya, anemia dibagi menjadi 3 yakni: 1. gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang yaitu anemia yang diakibatkan karena
adanya gangguan pembentukaan eritrosit, ada 3 penyebabnya kekurangan bahan
essensial pembentukan eritrosit yaitu anemia defisiensi besi, anemia akibat
gangguan penggunaan besi (contoh :anemia akibat penyakit kronik), dan anemia
akibat kerusakan sumsum tulang (contoh: anemia aplastik), 2. kehilangan darah
keluar tubuh (perdarahan), dan 3. proses penghancuran eritrosit dalam tubuh
sebelum waktunya (hemolisis). Anemia akibat hemolitik dibagi menjadi anemia
terhadap thalasemia semakin kuat. Karena pada anemia defisiensi besi, tanda yang
khas itu berupa koilonychia (kuku sendok), atrofi papil, stomatitis angularis, dan
pica. Tanda khas tersebut tidak ditemukan pada kasus An. AM ini. Selain itu,
biasanya anemia defisiensi besi tidak disertai hepatospleenomegali. Pada anemia
penyakit kronik (kanker), tidak terdapat tanda khas, Cuma terdapat tanda anemia
seperti konjungtiva palpebra pucat, bibir pucat, karena untuk diagnosis pada
anemia akibat penyakit kronik (kanker) lebih tergantung pada hasil pemeriksaan
laboratorium. Anemia aplastik disingkirkan, karena pada pemeriksaan fisik
anemia aplastik itu tidak ditemukan hepatospleenomegali. Anemia perdarahan
biasanya, ditemukan tanda perdarahan seperti ptechiae, hemoroid. Sedangkan,
pada anemia hemolitik, pada pemeriksaan fisiknya, ditemukan ikterik pada sklera,
splenoktomi pada thalasemia yaitu: meningkatnya kebutuhan transfusi (> 200220 ml/kg/tahun) untuk mempertahankan hemoglobin >10 g/dl dan leukopenia
dan trombositopenia. Namun komplikasi yang perlu diperhatikan jika limpa
diangkat adalah sering terjadinya infeksi. Maka dari itu, pemberian antibiotik dan
imunisasi pada penderita yang telah melakukan splenoktomi perlu dilakukan.
Tapi, pada kasus, An. AM belum mengalami keluhan berupa pendeknya jangka
transfusi, pembesaran perut yang signifikan, sehingga splenoktomi belum
diindikasikan pada kasus ini.16, 18
Tindakan penatalaksanaan terbaik justru ada pada cangkok sumsum tulang,
dimana jaringan sumsum tulang penderita diganti dengan susum tulang donor
yang cocok dari anggota keluarga, meskipun hal ini masih cukup sulit dan biaya
cukup mahal.16, 18
Secara non-farmakologis, penderita thalasemia di anjurkan untuk membatasi
aktifitas. Hal tersebut disebabkan akibat dari anemia kronik yang dideritanya
sehingga mencegah terjadinya perubahan pada jantung (dekompensasi jantung).
Baik penderita maupun orang tua penderita thalasemia harus mendapat edukasi
tentang penyakitnya. Perlunya penjelasan bahwa terapi utama penyakit thalasemia
adalah transfusi dan perlu juga penjelasan terhadap komplikasinya seperti: tulang
rapuh, keracunan bilirubin, keracunan besi, dll. Pada masa pertumbuhan, asupan
energi yang sama dengan orang yang sehat dapat diberikan, namun pada dewasa,
diet karbohidrat kompleks mungkin lebih berguna demi mencegahnya diabetes
maupun toleransi gula terganggu. Dikarenakan penderita thalasemia cenderung
memiliki kadar besi darah yang tinggi maka di anjurkan pada pasien untuk
menghindari makanan yang memiliki kandungan besi yang tinggi (makanan bayi,
beberapa sayuran hijau, hati dan produk sereal). Meminum segelas teh hitam
dapat menurunkan absorpsi besi dari makanan yang berada di saluran cerna.
karena banyak faktor yang menyebabkan deplesi kalsium pada penderita
thalasemia, diet kalsium yang adekuat sangat di anjurkan. Saat penderita
thalasemia sudah tidak lama transfusi maka akan terjadi peningkatan konsumsi
asam folat sehingga akan terjadi defisiensi relatif dari asam folat. Supplementasi
sebanyak 1 mg/hari dapat diberikan. Kemudian kelebihan besi membuat vitamin
C teroksidasi sehingga tubuh akan kekurangan vitamin C. Konsumsi 50 mg
vitamin C untuk anak umur 10 tahun kebawah dan 100 mg untuk anak di atas
umur10 tahun saat pemberian deferoksamin. Vitamin C juga dapat meningkatkan
efisiensi kelasi besi pada tubuh. namun bellum ada bukti yang mendukung untuk
pemberian vitamin C pada pasien thalasemia dengan terapi kelasi besi deferiprone
maupun kombinasi.kemudian vitamin E sebanyak 200-400 IU setiap hari dapat
diberikan sebagai antioksidan yang diperkirakan dapat memperpanjang umur sel
darah merah. Pasien thalasemia juga tidak di anjurkan mengkonsumsi alkohol
dan merokok karena dapat memfasilitasikan kerusakan oksidatif dari besi.16, 18
Prognosis untuk thalasemia mayor dapat menjadi baik dengan adanya terapi
kelasi besi. Namun tubuh pasien yang bergantungan terhadap transfusi darah
akan senantiasa terjadi akumalasi besi. Hal ini dapat memicu kerusakan jaringan
hingga kematian terutama pada penyakit jantung akibat hemosiderosis.
Disebutkan bahwa sekitaar 71% penyebab kematian pada penderita thalasemia
mayor diakibatkan oleh komplikasi jantung. Maka dari itu, prognosis functionam
dan sanationam lebih ke arah prognosis malam (buruk) karena komplikasi yang
terjadi.16, 18