Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mellynda Febriantini

Nim :E1A014265
Kelas : C
Hukum Perdata Internasional
Kasus:
SENGKETA KEPEMILIKAN HUTAN ANTARA WARGA KETENGER BATURADEN
DENGAN PERHUTANI
Kasus : Di Ketenger kecamatan Baturaden Purwokerto kabupaten Banyumas, terjadi
sengketa antara dua orang warga asli Ketenger Baturaden dengan polisi
hutan. Persengketaan ini terjadi diawali dengan dua warga Ketenger yang
mengambil kayu bakar dari hutan untuk keperluaan mereka sehari-hari,
kemudian mereka berdua ditangkap oleh polisi hutan yang sedang berpatroli,
kemudian kedua warga Ketenger ini di tangkap oleh polisi hutan.
1. Kedua warga Ketenger itu merupakan masyarakat hukum adat, yang beranggapan bahwa
hutan itu adalah hutan milik masyarakat hukum adat (dengan adanya hak ulayat), jadi bagi
kedua warga Ketenger mengambil hasil hutan bukanlah tindakan melawan hukum, karena
hutan tersebut merupakan hutan milik masyarakat hukum adat yang dimana masyarakat
hukum adat bisa mengambil hasil dari hutan adat untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Dan
dilihat dari sisi ekonominya kedua warga Ketenger tersebut tergolong dalam ekonomi lemah.
2. Pihak dari pemerintah yaitu polisi hutan. Mereka menganggap bahwa hutan itu adalah
hutan milik perhutani (pemerintah) dan jika ada orang yang mengambil hasil hutan tanpa ijin
merupakan tindakan melawan hukum, dan akan dikenakan Pasal 362 KUHP tentang
pencurian.
Maka :
Diketahui : Terjadi sengketa kepemilikan hutan antara warga Ketenger Baturaden dengan
Perhutani.
Ditnyakan :

1. TPP (titik pertalian primer) & TPS (titik pertalian sekunder)


2. Analisis HATAH

Jawab:
1. TPP( titik pertalian primer) dan TPS (titik pertalian sekunder)
a) TPP (titik pertalian primer)
Titik pertalian primer adalah penentu dari kasus tersebut maka TPP dari kasus ini
adalah status hukum subyek yang bersangkutan yaitu masyarakat hukum adat
(warga Ketenger) yang tunduk pada Hukum Adat ( Hak Ulayat) dengan Perhutani
yang tunduk pada KUHP. Kasus tersebut diatas termasuk HATAH intern.
b) TPS (titik pertalian sekunder)
Titik pertalian sekundernya terletak pada fakta-fakta yang menentukan hukum
manakah yang berlaku. Apakah Hukum Adat ( Hak Ulayat) atau Hukum Nasional
(KUHP Pasal 362). Jika yang diberlakukan Hak Ulayat maka warga yang
mengambil kayu di hutan dinyatakan tidak bersalah akan tetapi jika yang
diberlakukan Hukum Nasional (KUHP Pasal 362) maka warga yang mengambil
kayu di hutan dinyatakan bersalah.
c) Kualifikasi :
orang

yang

Fakta
mengambil

kayu

Yuridis
UU no. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan
Hukum Adat (hak ulayat)

dihutan tertangkap polisi hutan.

2. . Analisis HATAH
HATAH terbagi menjadi dua, yaitu Hatah Intern (nasional dalam negeri) dan
Hatah Ekstrn (unsur asing). Bidang hukum dalam Hatah Intern adalah:
Hukum antar tempat, Hukum antar waktu, Hukum antar golongan, Hukum antar
wewenang. Maka kasus tersebut diatas termasuk kedalam HATAH Intern dalam
bidang hukum anatar wewenang. Yaitu, warga masyarakat ketenger hukum adat
(hak ulayat) dengan polisi kehutanan (UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan)
adalah dari titik pertalian primer. Adapun titik pertalian sekundernya, dalam kasus
tersebut

hukum manakah yang akan diberlakukan apakah hukum adat (hak

ulayat) atau UU kehutanan?


Warga Ketenger menganggap bahwa tanah itu adalah milik masyarakat setempat
atau masyarakat hukum adat karena pada saat itu berlaku hukum adat sehingga
kepemilikan tanah tersebut atas dasar hak ulayat. Dan pengertian hak ulayat itu

sendiri adalah kewenangan dimiliki oleh masyarakat hukum sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya adat atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam
untuk kebutuhan hidupnya.

Namun bagi pihak perhutani sendiri hutan adat

menurut UU no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pasal 5 ayat (3)
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Dan
didalam ayat (4) juga disebutkan Apabila dalam perkembangannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat
kembali kepada Pemerintah. Namun polisi perhutani menjerat warga ketenger
dengan pasal 362 KUHP atas dasar pencurian kayu dihutan. Pengertian Pencurian
menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu:
"Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
sembilan ratus rupiah"

ANALISIS:
Menurut saya, Maka dalam kasus tersebut demi menjaga kepastian hukum, maka yang
diberlakukan adalah UU kehutanan No 41 tahun 1999 yang mana disebutkan diatas dalam
pasal 5 ayat 4. sehingga orang yang mengambil kayu dihutan tersebut bisa di jerat Pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. karena dalam proses perkembangan masyarakat kita terpaksa
akan menyimpang daripada peraturan Hukum Adat, hukum adat itu memang memenuhi
kebutuhan hidup bermasyarakat diwaktu yang lampau, akan tetapi mungkin sudah tidak lagi
pada waktu sekarang ini. Walaupun hukum adat masih tetap dijunjung tinggi oleh bangsa
indonesia, akan tetapi tidak secara langsung terikat pada hukum adat. Maka orang yang
mengambil kayu tersebut dapat dijerat dengan pasal 362 KUHP, dan orang tersebut harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Anda mungkin juga menyukai