Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi HIV/AIDS

2.1.1 Definisi HIV


HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV
merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.15
Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di Los
Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk.
menemukan virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV
(Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika
menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic Virus Type III,
disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya, J.Levy
menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan
Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab AIDS
adalah Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV.3
HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili
Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang
panjang.16 Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat
permanen, seumur hidup.3

Universitas Sumatera Utara

HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri
dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi
nya lebih cepat.17 Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional
dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).16

Gambar 2.1. Anatomi Virus AIDS18

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Definisi AIDS


AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency
berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau
didapat, dalam hal ini diperoleh mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan
penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari
penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh
karena itu, AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat
hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.19
AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya
kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya.20 Dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat
infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV. 21

2.2.

Etiologi dan Patogenesis


Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus

famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.3

Universitas Sumatera Utara

Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan


seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan
makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit
T yang menjadi target utama HIV.22 HIV menyerang CD4+ baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik
akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.16
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut
semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi.22 Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV
tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan
virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).23 Kemudian
dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi
penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60
sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun,
sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 810 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/L.22

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+15
Keterangan gambar:
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm)
jumlah RNA HIV per mL plasma

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap. 21
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,

Universitas Sumatera Utara

herpes, dll. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga
akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia
di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel
pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.16

2.3.

Epidemiologi HIV/AIDS

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS


a. Berdasarkan Orang
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap
infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan
bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan, sehingga
setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS.24
Penelitian Hall, dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune Deficiency
Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras Kulit
hitam 9 kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras Kulit putih dengan Resiko
Relative (RR) 9,16 dan Ras Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi daripada
Ras Kulit Putih (RR 3,05). Risiko menderita AIDS 2 kali lebih tinggi pada orang
Indian Amerika/penduduk asli Alaska dari pada orang Asia/Kepulauan Pasifik (RR
2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih tinggi pada Ras Kulit hitam dibandingkan
pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali lebih tinggi pada orang Aborigin
dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36).25

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di SubSahara Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat pada orang
dewasa. Sebesar 6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.5
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973
jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49
tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59
tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15
tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan
adalah 3:1.10
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS
terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS
pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus,
7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus
tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49
tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59
tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan
2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.10
Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), desain case
series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada
kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2% berjenis

Universitas Sumatera Utara

kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP 33,5%, SLTA 32,3%, SD 19,5%, tidak


sekolah 12,2% dan berpendidikan Akademi/PT 2,4%.26
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak 1992 hingga April 2009 terdapat 1.680 jumlah
kumulatif HIV/AIDS, 1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus pada perempuan
(20,30%), 921 kasus pada kelompok umur 20-29 tahun (54,82%) dan 523 kasus pada
kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121 kasus pada kelompok umur 40-49 tahun
(7,20%), 46 kasus pada kelompok umur 10-19 tahun (2,74%), 41 kasus pada
kelompok umur >50 tahun (2,44%), 8 kasus pada kelompok umur 1-4 tahun (0,47%),
masing-masing 5 kasus pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun (0,29%)12
b. Berdasarkan Tempat
Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS)
tahun 2008, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4 penderita HIV/AIDS,
dengan PR pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara
terdapat 3,8 juta ODHA dengan PR pada orang dewasa sebesar 0,3%. Di Asia Timur
terdapat 850.000 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian 59.000 kasus.5
Menurut Chin (2000), dari sekitar 33,4 juta penderita HIV/AIDS di dunia
tahun 1999, 22,5 juta diantaranya terdapat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan
6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika Latin
dan 665.000 di AS.24
Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei rumah tangga yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa prevalensi HIV/AIDS 40% lebih
tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96
kasus baru yang dilaporkan di Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang merupakan
ibukota Sri Lanka.8
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973
kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk
tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau
(22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua
Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).10
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009
adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua
(14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS
terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa
Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.10
c. Berdasarkan Waktu
AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit
yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik).27 Sejak ditemukan
kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan jumlah kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak
tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus

Universitas Sumatera Utara

AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus
mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya.28
Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2009), trend kecenderungan
jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 terdapat
2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2007
meningkat menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.969
kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31 Desember 2009
secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.10

2.3.2. Determinan HIV/AIDS


a. Faktor Host
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang
mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use),
kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan
banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat
menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut
dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks
dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana dan anak-anak jalanan,
penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan
juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV. 28

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan
heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 3,3%, perinatal
2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya 3,5%.10 Risiko
penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke
suaminya adalah 8%.27
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV
menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia
muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih
tua.24
Dalam Adisasmito (2007), risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari
ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila
seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular
HIV.25 Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus
dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1%.15
Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya
yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita
HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5%.24

b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel
CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel

Universitas Sumatera Utara

efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi
HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.16
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh. 16
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal.27 Proporsi kasus AIDS
yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3%.10
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian
Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota :
pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8
kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan.5
Penelitian Silverman, dkk (2006) desain Case records di Mumbai, pada 175
orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3%
diantaranya berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh
dan 12% tidak diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan
seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra

Universitas Sumatera Utara

lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal
Barat dengan Odds Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan
Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan
korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar.29

2.4.

Transmisi HIV/AIDS
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus

HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi
terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersial dan pelanggannya, serta narapidana.21
2.4.1. Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih
berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan
seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan
seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung
umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina
yang memudahkan transmisi HIV.15

Universitas Sumatera Utara

Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko


tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya
mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan
seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi
perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah
hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV.
Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya terjadi
pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV.27
2.4.2. Transmisi Non Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan
jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV.
Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus
HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU). 27 Pada umumnya, ibukota
dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar.8
Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh
petugas kesehatan.27 Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang
mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV. 15
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%,
artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat

Universitas Sumatera Utara

dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu.27 Di negara maju
resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan
pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan.
Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang
aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama
masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.15
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan,
toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial
lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan
nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.16

2.5.

Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan

epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
(WHO) tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut
sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan
klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di
negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan
memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan
sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.15
2.5.1. Tes Diagnostik

Universitas Sumatera Utara

a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)


Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap
HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga
bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya
penyakit autoimun ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100%
dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.30

b. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western
Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6
bulan.16
c. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.16
2.5.2. Diagnosis HIV pada orang Dewasa16

Universitas Sumatera Utara

Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and
Prevention)
a. Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang
dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh
limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu :

a.1. Kategori Klinis A : CD4+ > 500 sel/ml


Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Limfadenopati generalisata
yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya
riwayat infeksi HIV akut.
a.2. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 sel/ml
Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang
dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi
paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan
infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated
immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan
klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV.

Universitas Sumatera Utara

Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis


orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster,
Neuropati perifer, penyakit radang panggul.
a.3. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/ml
Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang
mengancam

kehidupannya,

bronki/trakea/paru,

Kandidiasis

meliputi

esophagus,

Sarkoma
Kanker

Kaposi,
leher

Kandidiasis

rahim

invasif,

Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus sitomegalo,


Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Bronkitis/Esofagitis atau Pneumonia,
Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di otak, Pneumonia
Pneumocystis carinii.
b. Klasifikasi menurut WHO
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal
ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan
sebagai infeksi HIV simptomatik.
Gejala mayor terdiri dari : penurunan berat badan > 10%, demam yang
panjang atau lebih dari 1 bulan, Diare kronis, Tuberkulosis. Gejala minor terdiri dari:
Kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh,
berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, Limfadenopati

Universitas Sumatera Utara

generalisata, Herpes zoster, infeksi Herpes simplex kronis, Pneumonia, Sarcoma


Kaposi.
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium
klinis, yaitu :
b.1. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati
generalisata.
b.2. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan
kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo, Onikomikosis,
Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir,
adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis bakterialis.

b.3. Stadium III


Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%, berat
badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB paru
dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan
Piomiositis.
b.4. Stadium IV

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti
Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih
dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes
simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis
diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan
paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.
2.5.3. Diagnosis HIV pada Bayi16
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, Kandidiasis oral,
Diare kronis, atau Hepatosplenomegali. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi
infeksi HIV pada bayi adalah PCR (Polymerase chain reaction), hal ini disebabkan
karena antibodi ibu yang masih bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18
bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi
HIV.
2.5.4. Diagnosis HIV pada Anak16
Anak-anak berusia >18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan
kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi bakteri kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting,
Limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.

Universitas Sumatera Utara

Terdapat dua klasifikasi yang biasa digunakan untuk mendiagnosis anak dengan HIV
yaitu :
a. Klasifikasi menurut CDC
a.1. Kategori N : gejala ringan
Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat infeksi HIV atau
hanya mempunyai satu keadaan yang terdapat pada kategori A.
a.2. Kategori A : gejala sedang
Anak dengan 2 atau lebih kriteria seperti Limfadenopati (>0,5cm),
Hepatomegali, Splenomegali, Dermatitis, Parotitis, Infeksi pernafasan bagian atas
menetap atau berulang, Sinusitis, atau Otitis media, namun tidak menunjukkan
adanya kondisi yang tertera pada kategori B dan C :
a.3. Kategori B : gejala sedang
Anak dengan gejala selain daripada yang tertera pada kategori A atau C yang
menunjukkan adanya infeksi HIV, misalnya Anemia (<8g/dl), Neutropenia
(<1000/mm3), atau Trombositopenia (100.000/mm3) menetap >30 hari, Meningitis
bakterial, Pneumonia atau sepsis, Kandidiasis orofaringeal yang menetap (>2 bulan)
pada anak usia > 6 bulan, Diare kronis yang berulang, Hepatitis, Stomatitis virus
Herpes simplex berulang (>2 episode dalam 1 tahun), Bronkitis, Pneumonitis,
terserang Herpes zoster sampai 2 kali atau lebih, Leiomiosarkoma, Pneumonia
interstitial limfoid atau lymphoid hyperplasia complex, Nefropati, demam lebih dari
1 bulan, Varisella berat.
a.4. Kategori C : gejala berat

Universitas Sumatera Utara

Anak yang menunjukkan gejala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV,
kecuali Pneumonia interstitial limfoid (masuk kategori B). Dijumpai adanya infeksi
bakteri berat, sering atau kambuh-kambuh, Kandidiasis esophagus atau paru (trakeal,
bronkus, dan paru), Coccidiomicosis berat, Pneumonia akibat Pneumocystis carinii,
Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Ensefalopati,
Histoplasmosis berat, Sarcoma Kaposi, Limfoma terutama di otak, Tuberkulosis,
Leukoensefalopati multifocal progresif, Tuberkulosis di luar paru, HIV wasting
syndrome yaitu penurunan BB > 10%, disertai diare dan demam >30 hari terus
menerus.
b. Klasifikasi WHO
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor. Seorang
anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa didiagnosis HIV
meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lainnya. Berikut ini adalah
tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi
WHO.

b.1. Gejala mayor


Gagal tumbuh kembang atau penurunan berat badan, Diare kronis, demam
memanjang tanpa sebab serta Tuberkulosis.
b.2. Gejala minor

Universitas Sumatera Utara

Limfadenopati,

Kandidiasis

oral,

batuk

menetap,

Distress

pernapasan/Pneumonia, infeksi berulang, serta infeksi kulit generalisata.


2.6.

Metode Pengambilan Darah Tes HIV31


Terdapat beberapa metode yang biasa digunakan dalam pengambilan darah

untuk tes HIV yaitu :


2.6.1. Unlinked Anonymous
Unlinked Anonymous adalah pemeriksaan anti HIV terhadap sampel darah
yang diambil untuk pemeriksaan-pemeriksaan lain, dan setelah menghilangkan semua
identitas penderita. Hasil pemeriksaan ini tidak dapat dihubungkan kembali dengan si
penderita.
2.6.2. Voluntary Anonymous
Metode ini dilakukan dengan pemberian sampel darah secara sukarela oleh
seseorang setelah yang bersangkutan menandatangani surat persetujuan. Pada sampel
ini hanya diberikan nomor kode. Hasil pemeriksaan dapat dilihat oleh yang
bersangkutan dari pengumuman hasil tanpa seorang lainpun mengetahuinya,
termasuk petugas surveilans.

2.6.3. Voluntary Confidential

Universitas Sumatera Utara

Metode ini dilakukan dengan sukarela oleh seseorang untuk diperiksa


darahnya tetapi hasilnya hanya diketahui oleh petugas kesehatan tertentu dan petugas
ini harus merahasiakannya.
2.6.4. Mandatory
Metode ini dilakukan terhadap semua orang yang mempunyai maksud
tertentu. Pemeriksaan ini dilandasi suatu dasar hukum sehingga tidak ada yang dapat
menghindar dari pemeriksaan ini.
2.6.5. Compulsatory
Metode ini biasa dilakukan pada kelompok masyarakat yang kemerdekaannya
dibatasi, misalnya seperti narapidana, pusat rehabilitasi narkotika, para resosialisasi
PSK. Kelompok ini biasanya diwajibkan untuk mengikuti pemeriksaan anti HIV.

2.7.

Pencegahan HIV/AIDS

2.7.1. Pencegahan Primer


Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat
atau mencegah orang sehat menjadi sakit.32 Pencegahan primer merupakan hal yang
paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain : 28
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
ABC yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk
mencegah penularan HIV/AIDS

melalui hubungan seksual,

jika tidak

Universitas Sumatera Utara

memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti


pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan
berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom).
b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak
mengunakannya secara bersama-sama.
c. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan
universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui
darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat
pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat
tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan
dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.
d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan
skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan,
serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang
kurang perlu.
e. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu
kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi
HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak
terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular

Universitas Sumatera Utara

dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta
perawatan bagi ODHA dan keluarganya.16
2.7.2. Pencegahan Sekunder28
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif
sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada
kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang
efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai
berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik
dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.28 Jenis-jenis
mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis
carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes,
cytomegalovirus/CMV,

Papovirus)

dan

bakteri

(Mycobacterium

TBC,

Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll). Penanganan terhadap


infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya
dan diberikan terus-menerus.27
c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV
terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik

Universitas Sumatera Utara

menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan
mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS
ataupun membunuh HIV.
2.7.3. Pencegahan Tersier16
Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain
itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA
perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya :
a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan
perasaannya
b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau
mengenang masa lalu yang indah
c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri
dan tidak menyalahkan diri atau orang lain
e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat
disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup : pemberian
kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan
kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga),
pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi,
meditasi, maupun pengobatan antinyeri), persiapan menjelang kematian meliputi

Universitas Sumatera Utara

penjelasan

yang

memadai

tentang

keadaan

penderita,

dan

bantuan

mempersiapkan pemakaman.

2.8.

VCT (Voluntary Counseling and Testing)

2.8.1. Definisi VCT


Konseling HIV/AIDS adalah dialog antara seseorang (klien) dengan pelayan
kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut
mampu menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan stress dan sanggup
membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.16 Konseling dalam VCT
adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.33
VCT adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing
HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang
mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV
dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas isu
HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti
dan menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan.12
2.8.2. Tujuan VCT16
VCT mempunyai tujuan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

a. Upaya pencegahan HIV/AIDS.


b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan klien
tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku

klien,

sehingga secara dini

mengarahkan klien menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses


terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
2.8.3. Tahap VCT
a. Sebelum Deteksi HIV (Pra Konseling)
Pra konseling disebut juga konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang penting
dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan klien dapat
berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui HIV/AIDS dengan
benar. Tujuan konseling pra tes HIV ini adalah agar klien memahami benar kegunaan
tes HIV/AIDS, klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya, klien dapat
menurunkan rasa kecemasannya, klien dapat membuat rencana penyesuaian diri
dalam kehidupannya, klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes
darah HIV/AIDS atau tidak.16
b. Informed Consent Testing HIV
Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang
diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan
sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV dan tindakan medik lainnya) bagi
dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan
memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian. Semua klien

Universitas Sumatera Utara

sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan tertulisnya. Untuk


klien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan
dalam memahami informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif
dalam menyampaikan informasi sehingga klien memahami dengan benar dan dapat
menyatakan persetujuannya.33
Tes HIV adalah tes darah yang dilakukan untuk memastikan apakah seseorang
sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Hal ini perlu dilakukan agar seseorang bisa
mengetahui secara pasti status kesehatannya, terutama status kesehatan yang
menyangkut risiko perilaku seksualnya selama ini.16
Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Testing yang digunakan adalah testing
serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah
darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Tujuan testing HIV
ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor
(skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian.33
c. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca testing merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan
setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif, konseling pasca tes
sangat penting untuk membantu klien yang hasilnya positif agar dapat mengetahui
cara menghindarkan penularan HIV kepada orang lain. Cara mengatasinya dan
menjalani hidup secara positif. Bagi mereka yang hasil tesnya HIV negatif, maka

Universitas Sumatera Utara

konseling pasca tes bermanfaat untuk membantu tentang berbagai cara mencegah
infeksi HIV di masa mendatang.16

2.8.4. Prinsip Pelayanan VCT33


Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT), terdiri
dari:
a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa
paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan
klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi
jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak
direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja
seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua
klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks
kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak
dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien
selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

Universitas Sumatera Utara

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.


Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko.
Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing
dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.


WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti
oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang
disetujui oleh klien.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai