Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi HIV/AIDS
HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri
dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi
nya lebih cepat.17 Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional
dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).16
2.2.
famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.3
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+15
Keterangan gambar:
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm)
jumlah RNA HIV per mL plasma
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap. 21
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes, dll. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga
akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia
di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel
pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.16
2.3.
Epidemiologi HIV/AIDS
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di SubSahara Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat pada orang
dewasa. Sebesar 6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.5
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973
jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49
tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59
tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15
tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan
adalah 3:1.10
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS
terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS
pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus,
7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus
tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49
tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59
tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan
2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.10
Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), desain case
series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada
kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2% berjenis
dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa prevalensi HIV/AIDS 40% lebih
tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96
kasus baru yang dilaporkan di Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang merupakan
ibukota Sri Lanka.8
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973
kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk
tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau
(22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua
Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).10
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009
adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua
(14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS
terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa
Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.10
c. Berdasarkan Waktu
AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit
yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik).27 Sejak ditemukan
kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan jumlah kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak
tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus
AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus
mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya.28
Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2009), trend kecenderungan
jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 terdapat
2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2007
meningkat menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.969
kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31 Desember 2009
secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.10
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan
heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 3,3%, perinatal
2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya 3,5%.10 Risiko
penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke
suaminya adalah 8%.27
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV
menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia
muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih
tua.24
Dalam Adisasmito (2007), risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari
ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila
seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular
HIV.25 Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus
dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1%.15
Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya
yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita
HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5%.24
b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel
CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel
efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi
HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.16
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh. 16
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal.27 Proporsi kasus AIDS
yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3%.10
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian
Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota :
pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8
kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan.5
Penelitian Silverman, dkk (2006) desain Case records di Mumbai, pada 175
orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3%
diantaranya berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh
dan 12% tidak diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan
seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra
lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal
Barat dengan Odds Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan
Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan
korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar.29
2.4.
Transmisi HIV/AIDS
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi
terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersial dan pelanggannya, serta narapidana.21
2.4.1. Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih
berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan
seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan
seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung
umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina
yang memudahkan transmisi HIV.15
dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu.27 Di negara maju
resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan
pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan.
Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang
aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama
masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.15
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan,
toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial
lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan
nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.16
2.5.
Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
(WHO) tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut
sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan
klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di
negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan
memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan
sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.15
2.5.1. Tes Diagnostik
b. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western
Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6
bulan.16
c. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.16
2.5.2. Diagnosis HIV pada orang Dewasa16
Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and
Prevention)
a. Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang
dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh
limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu :
kehidupannya,
bronki/trakea/paru,
Kandidiasis
meliputi
esophagus,
Sarkoma
Kanker
Kaposi,
leher
Kandidiasis
rahim
invasif,
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti
Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih
dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes
simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis
diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan
paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.
2.5.3. Diagnosis HIV pada Bayi16
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, Kandidiasis oral,
Diare kronis, atau Hepatosplenomegali. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi
infeksi HIV pada bayi adalah PCR (Polymerase chain reaction), hal ini disebabkan
karena antibodi ibu yang masih bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18
bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi
HIV.
2.5.4. Diagnosis HIV pada Anak16
Anak-anak berusia >18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan
kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi bakteri kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting,
Limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Terdapat dua klasifikasi yang biasa digunakan untuk mendiagnosis anak dengan HIV
yaitu :
a. Klasifikasi menurut CDC
a.1. Kategori N : gejala ringan
Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat infeksi HIV atau
hanya mempunyai satu keadaan yang terdapat pada kategori A.
a.2. Kategori A : gejala sedang
Anak dengan 2 atau lebih kriteria seperti Limfadenopati (>0,5cm),
Hepatomegali, Splenomegali, Dermatitis, Parotitis, Infeksi pernafasan bagian atas
menetap atau berulang, Sinusitis, atau Otitis media, namun tidak menunjukkan
adanya kondisi yang tertera pada kategori B dan C :
a.3. Kategori B : gejala sedang
Anak dengan gejala selain daripada yang tertera pada kategori A atau C yang
menunjukkan adanya infeksi HIV, misalnya Anemia (<8g/dl), Neutropenia
(<1000/mm3), atau Trombositopenia (100.000/mm3) menetap >30 hari, Meningitis
bakterial, Pneumonia atau sepsis, Kandidiasis orofaringeal yang menetap (>2 bulan)
pada anak usia > 6 bulan, Diare kronis yang berulang, Hepatitis, Stomatitis virus
Herpes simplex berulang (>2 episode dalam 1 tahun), Bronkitis, Pneumonitis,
terserang Herpes zoster sampai 2 kali atau lebih, Leiomiosarkoma, Pneumonia
interstitial limfoid atau lymphoid hyperplasia complex, Nefropati, demam lebih dari
1 bulan, Varisella berat.
a.4. Kategori C : gejala berat
Anak yang menunjukkan gejala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV,
kecuali Pneumonia interstitial limfoid (masuk kategori B). Dijumpai adanya infeksi
bakteri berat, sering atau kambuh-kambuh, Kandidiasis esophagus atau paru (trakeal,
bronkus, dan paru), Coccidiomicosis berat, Pneumonia akibat Pneumocystis carinii,
Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Ensefalopati,
Histoplasmosis berat, Sarcoma Kaposi, Limfoma terutama di otak, Tuberkulosis,
Leukoensefalopati multifocal progresif, Tuberkulosis di luar paru, HIV wasting
syndrome yaitu penurunan BB > 10%, disertai diare dan demam >30 hari terus
menerus.
b. Klasifikasi WHO
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor. Seorang
anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa didiagnosis HIV
meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lainnya. Berikut ini adalah
tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi
WHO.
Limfadenopati,
Kandidiasis
oral,
batuk
menetap,
Distress
2.7.
Pencegahan HIV/AIDS
jika tidak
dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta
perawatan bagi ODHA dan keluarganya.16
2.7.2. Pencegahan Sekunder28
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif
sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada
kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang
efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai
berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik
dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.28 Jenis-jenis
mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis
carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes,
cytomegalovirus/CMV,
Papovirus)
dan
bakteri
(Mycobacterium
TBC,
menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan
mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS
ataupun membunuh HIV.
2.7.3. Pencegahan Tersier16
Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain
itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA
perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya :
a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan
perasaannya
b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau
mengenang masa lalu yang indah
c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri
dan tidak menyalahkan diri atau orang lain
e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat
disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup : pemberian
kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan
kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga),
pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi,
meditasi, maupun pengobatan antinyeri), persiapan menjelang kematian meliputi
penjelasan
yang
memadai
tentang
keadaan
penderita,
dan
bantuan
mempersiapkan pemakaman.
2.8.
klien,
konseling pasca tes bermanfaat untuk membantu tentang berbagai cara mencegah
infeksi HIV di masa mendatang.16