PENDAHULUAN
Kuda Kepang atau Lumping, dan Debus di Banten, serta Gemblakan yang
merupakan aktivitas homoseksual di Ponorogo. Sedangkan yang tergolong
sebagai gangguan kejiwaan, yaitu fenomena atau sindrom yang merupakan gejala
atau nama lain gangguan jiwa spesifik, seperti kesurupan atau trance, Babairan,
Koro, kena guna-guna, dan cekik serta fenomena atau sindrom yang merupakan
suatu gangguan jiwa spesifik seperti latah5.
Kesurupan (Dissociative Trance Disorder /DTD) dalam tinjauan medis
merupakan penyakit dan bukan sesuatu yang berbau mistis seperti yang banyak
dipercayai oleh masyarakat. Dunia kedokteran, khususnya psikiatri, mengakui
fenomena kesurupan sebagai suatu kondisi yang ditandai oleh perubahan identitas
pribadi. Banyak orang mengatakan kesurupan disebabkan oleh suatu roh atau
kekuatan, namun dalam dunia medis hal-hal seperti itu tidaklah dikenal. Beberapa
pakar psikiater menyebutkan tekanan sosial dan mental yang masuk ke dalam
alam bawah sadar sebagai biang penyebab kesurupan. Banjir, tsunami, gizi buruk,
ketidakadilan, gaji kecil, kesenjangan yang sangat mencolok dan lainnya adalah
beberapa contoh tekanan tersebut6.
Kejadian trance tidak pernah dilaporkan secara lugas jelas di dunia, begitu
pula di Indonesia belum pernah dilaporkan angka kejadian yang pernah terjadi.
Namun, di India yang kultur dan budayanya mirip dengan Indonesia, kejadian
trance banyak ditemukan dimana lebih dari 1-4% dari populasi umum7.
Atas pertimbangan trance merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama
pada berbagai suku bangsa dan dikaitkan dengan ritual-ritual agama tertentu serta
semakin lama fenomenanya semakin berkembang, maka pada referat ini
difokuskan pada fenomena psikologi budaya trance.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
trance
adalah
perubahan
status
kesadaran,
dan
pasien
sebagai hipnosis pertama kali oleh Anton Mesmer (abad 18) dikenal dengan
sebutan magnetisme dan mesmerisme8.
Menurut kepercayaan masyarakat, fenomena trance terjadi bila roh orang
lain memasuki seseorang dan menguasainya. Orang itu menjadi lain dalam hal
bicara, perilaku, dan sifatnya. Perilakunya menjadi seperti kepribadian orang yang
rohnya memasukinya. Yang sebenarnya terjadi adalah disosiasi, suatu
mekanisme yang sudah lama dikenal dalam psikiatri dan yang dapat menimbulkan
kepribadian ganda8.
Di Cina, kondisi trance disebut sebagai sieh-ping yang disebut sebagai
penyakit rangkap (double sickness), dimana keadaan trance dengan individu yang
mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang sudah mati terutama keluarga dan
teman. Sieh-ping berlangsung setengah sampai beberapa jam dengan gejala
tremor, disorientasi, kesadaran berkabut, delirium, halusinasi visual, halusinasi
auditorik dan glosolalia. Fenomena sieh-ping dianggap kurangnya sesajian yang
diberikan terhadap arwah keluarga atau teman tersebut. Biasanya timbul pada
wanita dengan kepribadian histrionik yang patuh pada agama dan sedang
mengalami konflik atau tekanan sosial. Sieh-ping biasanya dilakukan pengobatan
oleh seorang pendeta yang masuk pada keadaan hipnosis dan mengusir roh-roh
itu4.
Selain itu, beberapa gejala yang sama juga dialami dari berbagai negara
lainnya, di Indonesia sendiri ada yang dikenal sebagai Amok dan Babainan.
Babainan di Bali merupakan kondisi yang sering terjadi menjelang hari raya dan
dianggap merupakan peristiwa kemasukan roh. Fenomena ini ditandai dengan
gejala berupa perubahan kesadaran, tingkah laku agitatif yang terjadi mendadak,
disertai kebingungan, halusinasi, dan gejolak emosi. Episodik ini berlangsung
cepat, menghilang, dan disertai periode amnesia. Di Amerika Latin kondisi yang
sama dikenal sebagai Ataque de nervios4.
Fenomena ini tampaknya menjadi budaya manusia secara universal, dimana
ditemukan pada setiap benua setiap saat. Sebagai contoh, Bourguignon (1973,
1976) menemukan bahwa pada satu sampel dari 488 masyarakat, 437 orang atau
90% memiliki satu atau lebih yang dilembagakan sebagai budaya yang berpola
pada bentuk kesadaran yang berubah. Dalam masyarakat ditemukan 74% yang
memiliki keyakinan, dan trance kepemilikan sebesar 52% dari kelompok yang
sama9.
Terdapat dua macam keadaan yang dinamakan kesurupan oleh masyarakat,
yaitu:
a. Orang itu merasa bahwa di dalam dirinya ada kekuatan lain yang berdiri di
samping aku-nya dan yang dapat menguasainya. Jadi, stimultan terdapat dua
kekuatan yang bekerja sendiri-sendiri dan orang itu berganti-ganti menjadi
yang satu atau yang lain. Kesadarannya tidak menurun. Perasaan ini
berlangsung kontinu. Dalam hal ini, kita melihat suatu permulaan perpecahan
kepribadian yang merupakan gejala khas skizofrenia.
b. Orang itu telah menjadi lain, ia mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain,
binatang atau benda. Jadi, pada suatu waktu tertentu tidak terdapat dua atau
lebih kekuatan di dalam dirinya, tetapi terjadi suatu metamorfosis yang
lengkap. Ia telah menjadi orang lain, binatang atau barang, dan ia juga
bertingkah laku seperti orang, binatang, atau barang itu. Sesudahnya terdapat
amnesia total atau sebagian8.
Kejadian yang kedua ini adalah disosiasi. Bila disosiasi ini terjadi karena
konflik dan stres psikologis, maka keadaan itu dinamakan reaksi disosiasi (suatu
sub-jenis dalam neurosis psikotik). Bila disosiasi itu terjadi karena pengaruh
kepercayaan dan kebudayaan, maka dinamakan kesurupan atau trance menurut
kedokteran8.
Biasanya trance didahului episodik oleh periode (meditasi) sebagai upacara
sesuai dengan kepercayaan dan kebudayaan setempat dan atas kehendak orang itu
sendiri, yaitu pada reaksi disosiasi, karena neurosis tidak demikian8.
Orang dengan trance jarang sekali di bawa ke dokter. Biasanya trance
berhenti dengan sendirinya, sering dengan upacara kepercayaan oleh dukun atau
orang lain8.
riwayat
penyakit
tambahan,
mengidentifikasi
kepribadian
BAB III
SIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
1.
Setyonegoro RK. 1995. Budaya dan Gangguan Jiwa. Jiwa, XXVIII (1): 1.
2.
Kaplan HI., Sadock BJ., Grebb JA.; Kusuma W (alih bahasa). 2010. Sinopsis
Psikiatri. Jilid 2. Binarupa Aksara Publisher, Tangerang, Indonesia, 125-132,
135-137.
3.
4.
5.
6.
7.
Basu S., Subhash C., Gupta, Akthar S. 2002. Trance and Possession Like
Symptoms in A Case of CNS Lesion: A Case Report. Indian Journal of
Psychiatry, Vol. 44 (2): 65-67.
8.
Maramis WF., Maramis AA. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. II.
Airlangga University Press, Surabaya, Indonesia, 412-414.
9.
10. Depkes RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta, Indonesia, 196-208.
11. Shann F. 2008. Drug Doses. Intensive Care Unite, Royal Childrens Hospital,
Parkville, Victoria, Australia.
12. Razali, SM. 1999. Dissociative Trance Disorder: A Case Report. Department
of Psychiatry, School of Medical Sciences, Universiti Sains Malaysia,
Malaysia. Eastern Journal of Medicine, IV (2): 83-84.
11