epitel
membrana bowman
stroma
membran descemet
endotel
Sklera : merupakan lanjutan kornea ke arah posterior, terdiri dari jaringan ikat kolagen,
2. fungsi palpebra :
os frontalis
os zygomatic
os maksilaris
os etmoidalis
os sphenoidalis
os lakrimalis
os palatina
Pemeriksaan visus
o Silia
o Konjungtiva
o Sklera
o Kornea
o Camera Oculi Anterior (COA)
o Iris
o Pupil
o Lensa
o Korpus vitreum / badan kaca
o Retina
Peralatan yang dibutuhkan :
o Optotype
o Batere
o Lampu pijar 75 watt
o Lensa +20 dioptri
o Kaca pembesar /Lup
o Slit Lamp
o Cermin cekung dengan lobang ditengahnya (skiaskop)
o Keratoskop placido
o Oftalmoskop
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui visus seseorang dan memberikan
penilaian menurut ukuran baku yang ada. Visus harus diperiksa walaupun secara kasar untuk
membandingkan visus kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan
diperiksa binokuler tidak dapat diketahui adanya kekaburan pada satu mata.
Pada bayi dan anak preverbal, pemeriksaan visus sentral dapat dilakukan dengan melihat
reflek cahaya di kornea dan kemampuannya dalam fiksasi dan mengikuti obyek yang
digunakan untuk pemeriksaan. Bila reflek cahaya terletak di sentral kornea, yang berarti
terjadi fiksasi di fovea, dan ketika obyek digerakkan penderita mampu mengikuti dengan
baik, maka disebut kemampuan fiksasi dan mengikuti obyek adalah baik, yang berarti
kemungkinan anak tersebut mempunyai visus normal.
Pada umur 2 3 tahun, anak sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar
kecil (kartu Allen). Pada anak umur 3 4 tahun umumnya sudah dapat melakukan permainan
E (E games), yaitu dengan kartu Snellen konvensional dengan huruf E yang kakinya
mengarah ke berbagai arah, dan si anak diminta menunjukkan arah kaki huruf E tersebut
dengan jarinya. Pada anak umur 5 6 tahun keatas, umumnya sudah dapat dilakukan
pemeriksaan seperti pada orang dewasa.
Metode pengukuran visus yang umum adalah menggunakan optotipe Snellen (Snellen chart).
Penderita menghadap optotipe pada jarak 6 meter (20 feet). Mata diperiksa satu persatu
dimulai mata kanan lebih dulu, mata yang tidak diperiksa ditutup tanpa menekan bola mata.
Penderita diminta membaca huruf-huruf pada optotipe mulai dari huruf yang paling besar
pada deret paling atas berturut-turut ke deretan-deretan di bawahnya. Jika mampu membaca
huruf terkecil yang dipinggirnya ada angka kecil 20 atau 6, berarti visusnya adalah 20/20 atau
6/6. ini dicatat, dan dengan urutan kerja yang sama dilakukan pula pemeriksaan untuk mata
kiri.
Bila penderita mampu membaca huruf-huruf deretan paling atas tetapi tidak dapat membaca
sampai deret 6/6 (20/20), maka nilai yang tercantum dipinggir deretan huruf terkecil yang
masih dibaca dicatat. Jika huruf yang paling besarpun tidak dapat dibaca, penderita disuruh
maju sampai huruf terbesar tadi dapat dibaca dan kemudian jarak tersebut dicatat.
11. cara kerja lensa untuk membuat fokus benda yang kita lihat :
lensa berhubungan dengan badan silier melalui ligamentum suspensorium lentis (zonula
Zinn). Mencembung dan memipihnya lensa (proses akomodasi) tergantung pada kontraksi
dan relaksasi dari badan silier. Ketika badan silier relaksasi, zonula zinn akan teregang
sehingga lensa akan memipih, sedangkan pada saat badan silier kontraksi, zonula zinn
mengendor sehingga lensa akan mencembung. Pada saat memandang jauh, mata normal
tanpa akomodasi akan dapat melihat benda dengan jelas karena bayangan jatuh tepat di
retina. Sedangkan pada saat melihat dekat, mata akan melakukan akomodasi dengan
membuat lensa lebih cembung sehingga bayangan tetap dapat jatuh di retina.
12. refraksi anomali dan pengelolaannya :
Yang termasuk refraksi anomali adalah Miopia, Hipermetropia, dan Astigmatisma.
A. MIOPIA : merupakan refraksi anomali dimana sinar sejajar yang masuk ke mata tanpa
akomodasi dibiaskan di depan retina.
Kausa : a. Axis bola mata lebih panjang dari normal
b. Index refraksi media refrakta yang lebih besar dari normal
c. Kurvatura Cornea terlalu cembung ( misal pada keratokonus)
d. Posisi lensa terlalu kedepan (misal subluksasi lensa)
Pengelolaan : penggunaan lensa sferis negatif terkecil yang dapat memberi visus terbaik.
B. HIPERMETROPIA : merupakan refraksi anomali dimana sinar sejajar yang masuk
dimata tanpa akomodasi dibiaskan di belakang retina.
Kausa : a. Axis bola mata lebih pendek dari normal
b. Index refraksi media refrakta yang lebih kecil dari normal
c. Kurvatura Cornea terlalu datar
d. Posisi lensa terlalu kebelakang
Pengelolaan : penggunaan lensa sferis positif terbesar yang dapat memberi visus terbaik.
C. ASTIGMATISMA : Merupakan refraksi anomali dimana refraksi tiap bidang meridian
adalah lain. Dalam satu bidang meridian sinar-sinar sejajar dibiaskan pada satu titik, tetapi
pada bidang meridian lain tidak pada titik ini.
Kausa : Biasanya terjadi akibat kelengkunan permukaan kornea tidak sama pada semua
bidang meridian, sehingga nilai kekuatan refraksi untuk semua bidang meridian tersebut tidak
sama.
Pengelolaan : penggunaan lensa silinder.
13. Mengapa pada orang tua untuk melihat dekat perlu kaca mata baca
Karena pada orang tua kemampuan lensa untuk akomodasi sudah berkurang (presbiopia)
akibat elastisitas lensa yang sudah menurun, sehingga ketika melihat dekat bayangan akan
jatuh di belakang retina. Untuk koreksinya diperlukan lensa sferis positif. Umumnya keadaan
ini terjadi mulai usia 40 tahun, dimana saat itu kaca mata baca yang diperlukan adalah lensa
sferis +1 dioptri. Setiap penambahan umur 5 tahun diperlukan tambahan koreksi +1/2 dioptri.
Pada usia 60 tahun diperlukan lensa koreksi +3 dioptri.
m. rektus superior,
m. rektus lateral,
m. rektus inferior,
m. rektus medial,
m. oblikus inferior.
Otot ekstra okuler masing-masing memainkan peran dalam menentukan kedudukan bola mata
karena adanya 3 (tiga) sumbu rotasi (yaitu sumbu vertikal, transversal, dan sagital), dan
keseimbangan posisi tarikan keenam otot tersebut.
Pada arah pandang (direction of gaze) tertentu, otot agonis berkontraksi dan menggulir mata
kearah tersebut, sedangkan otot antagonisnya mengendor. Gerak horizontal pada sumbu
vertikal meliputi gerak adduksi dan abduksi. Gerak vertikal pada sumbu transversal meliputi
gerak elevasi dan depresi, sedangkan gerak pada sumbu sagital menyebabkan siklorotasi bola
mata berupa insikloduksi dan eksikloduksi.
Gerak bola mata berfungsi untuk menempatkan stimuli visual dari lapang pandangan perifer
(retina perifer) ke titik pusat yang mempunyai tajam penglihatan paling baik (fovea), dan juga
mempertahankan fiksasi fovea pada obyek yang bergerak. Fungsi ini bersama dengan fungsi
mempertahankan bayangan obyek di fovea serta stabilisasi bayangan di fovea selama gerakan
kepala adalah merupakan fungsi dasar gerakan mata pada manusia.
Gerak bola mata dikendalikan lewat pengaturan supranuklear yang berpusat di korteks
frontalis, korteks oksipitoparietalis, jalur dari kedua korteks tadi ke batang otak, formatio
retikularis paramedian pontis (FRPP) di batang otak, dan fasikulus longitudinalis medialis
(FLM) di batang otak. FLM menghubungkan nukleus ketiga saraf penggerak bola mata (N
III, IV dan VI) baik antara nuklei homolateral maupun kontra lateral, sehingga gerakan bola
mata dapat terkoordinasi dengan baik dan maksud gerak bola mata seperti tersebut diatas
dapat terlaksana
16. fungsi pupil dan bagaimana cara pemeriksaan reflek pupil terhadap sinar :
a. Mengatur banyaknya cahaya yang masuk mata
b. Meningkatkan kedalaman fokus (untuk penglihatan 3 dimensi)
c. Mengurangi aberasi sferis dan aberasi kromatis
Dua reflek pupil yang penting diketahui adalah reflek terhadap sinar dan reflek melihat dekat
(akomodasi).
Pemeriksaan reflek pupil terhadap sinar :
1. Reflek pupil langsung : mata disinari, perhatikan reaksi pupil pada mata tersebut,
pupil akan mengecil.
2. Reflek pupil tak langsung : mata disinari, perhatikan reaksi pupil mata yang tidak
disinari, pupil juga akan mengecil.
Pemeriksaan reflek pupil terhadap sinar sebaiknya dilakukan di kamar gelap. Pupil kecil
(miosis) dapat terjadi karena cahaya yang terang atau pengaruh obat parasimpatomimetik,
sedangkan pupil lebar (midriasis) dapat terjadi karena cahaya redup / gelap atau pengaruh
obat simpatomimetik.
Karena pemeriksaan pupil sangat penting didalam neurooftalmologi, maka pemeriksaan ini
harus telah dilakukan sebaik-baiknya sebelum merubah sifat fisiologis pupil, misalnya
melebarkannya dengan obat untuk pemeriksaan fundus.
1. Lipid, lapisan paling superficial yang dihasilkan oleh kelenjar Meibom yang terdapat
di palpebra superior dan inferior. Tebal lapisan ini 0,1 um
2. Akuos, lapisan tengah (paling tebal) yang dihasilkan oleh kelenjar Lakrimalis utama
dan kelenjar lakrimalis asesorius (kelenjar Krause dan Wolfring). Tebal lapisan ini 7
um. Selain air sebagai komponen utama, juga terdiri dari elektrolit, glukosa, oksigen,
protein (termesuk imunoglobulin A), enzim dan komponen lainnya.
3. Mucin, lapisan paling profunda yang dihasilkan oleh sel Goblet conjunctiva. Tebal
lapisan ini 0,02 0,05 um. Selain dihasilkan oleh sel Goblet, mucin juga diproduksi
oleh epitel permukaan conjunctiva dan kornea yang disebut dengan N-linked mucin.
Sedangkan mucin yang dihasilkan oleh sel Goblet disebut dengan O-linked mucin.
Tear film mempunyai fungsi utama untuk :
1. Melapisi dan melumasi permukaan kornea (sebagai sistem optik)
2. Membersihkan debris dari permukaan bola mata
3. Suplai oksigen dan nutrisi untuk epitel kornea
4. Mengandung faktor pertumbuhan dan antibakteri
3. Akibat hambatan pengeluarannya, misalnya ada sinekia posterior (oklusio / seklusio pupil),
lekoma adheren, Perifer Anterior Synaechia
pengukuran tekanan intraokuler :
a. Secara palpasi (dengan ujung jari telunjuk dua tangan)
b. Dengan tonometer Schiotz
c. Dengan tonometer aplanat
d. Dengan tonometer non kontak (NCT)
By banun ^_~ Tagged anatomi mata, astigmatisma, fisiologi mata, miopia, pemeriksaan
mata
Feb 24 2012
3. Epidemiologi
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada usia tua
dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya HZO pada populasi
Caucasian adalah 131 : 100.000. Populasi American-Afrika mempunyai insiden 50 % dari
Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO
disebabkan reaktivasi dari virus laten.6
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi VZV. Dari
hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 3, 4 kasus per 1000 orang.
Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah menyusutnya sel mediated dari
sistem imun yang berhubungan dengan perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun
ke atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan
10-20 %.5
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel mediated imun,
seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang lebih spesifik dengan
AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster sedikitnya 15x lebih besar dengan
HIV dibandingkan tanpa HIV.5
HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik pada
pasien herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan umur, jenis kelamin, atau keganasan
dari ruam kulit.5
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah:7
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
Usia tua
HIV
Kanker
Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
Trauma lokal
Demam
Sinar UV
Udara dingin
Penyakit sistemik
Menstruasi
Stres dan emosi
5. Patogenesis
Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer (varisela/ cacar air) dan
sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti dengan penyakit yang rekuren di
kemudian hari (zoster/ shingles). Infeksi primer VZV menular ketika kontak langsung dengan
lesi kulit VZV atau sekresi pernapasan melalui droplet udara. Infeksi VZV biasanya
merupakan infeksi yang self-limited pada anak-anak, dan jarang terjadi dalam waktu yang
lama, sedangkan pada orang dewasa atau imunosupresif bisa berakibat fatal. Pada anak-anak,
infeksi VZV ini ditandai dengan adanya demam, malaise, dermatitis vesikuler selama 7-10
hari, kecuali pada infeksi primer yang mengenai mata (berupa vesikel kelopak mata dan
konjungtivitis vesikuler). VZV laten mengenai ganglion saraf dan rata-rata 20 % terinfeksi
dan bereaktivasi di kemudian hari.8
HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi ini akibat reaktivasi VZV yang diperoleh selama
masa anak-anak. Varisela zoster adalah virus DNA yang termasuk dalam famili Herpes
viridae. Selama infeksi, virus varisela berreplikasi secara efisien dalam sel ganglion.
Bagaimanapun, jumlah VZV yang laten per sel terlalu sedikit untuk menentukan tipe sel apa
yang terkena. Imunitas spesifik sel mediated VZV bertindak untuk membatasi penyebaran
virus dalam ganglion dan ke kulit.6
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang menghasilkan
inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V. Hal ini terjadi sebagai
respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai jaringan. Walaupun sulit dimengerti,
penyebaran dermatom pada N. V dan daerah torak paling banyak terkena.6
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan akhirnya akan
mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda Hutchinson), yang
merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu
studi, 76 % pasien dengan tanda Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan.6
6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:7
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)
Nyeri lateral sampai mengenai mata
Demam
Malaise
Sakit kepala
Kuduk terasa kaku
Gejala-gejala di atas terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak, dan timbul 1-2 hari
sebelum terjadi erupsi.
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral
Gejala-gejala mata yang dapat dilihat yaitu:
Kelopak mata
HZO sering mengenai kelopak mata. Hal ini ditandai dengan adanya pembengkakan kelopak
mata, dan akhirnya timbul radang kelopak, yang disebut blefaritis, dan bisa timbul ptosis.
Kebanyakan pasien akan memiliki lesi vesikuler pada kelopak mata, ptosis, disertai edema
dan inflamasi. Lesi pada palpebra mirip lesi kulit di tempat lain.9
Konjungtiva
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada konjungtiva sering
terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang disertai timbulnya petechie. Ini biasanya
terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S. aureus bisa berkembang di kemudian hari.9
Sklera
Skleritis atau episkleritis mungkin berupa nodul atau difus yang biasa menetap selama
beberapa bulan.9
Kornea
Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea sering disertai dengan
keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan kekebalan tubuh pasien. Komplikasi
pada kornea bisa berakibat kehilangan penglihatan secara signifikan. Gejalanya adalah nyeri,
fotosensitif, dan gangguan visus. Hal ini terjadi jika terdapat erupsi kulit di daerah yang
disarafi cabang-cabang N. nasosiliaris.3
Berbeda dengan keratitis pada HSV yang bersifat rekuren dan biasanya hanya mengenai
epitel, keratitis HZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya, lesi epitelnya keruh
dan amorf, kecuali kadang-kadang ada pseudodendrit linear yang mirip dendrit pada HSV.
Kehilangan sensasi pada kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung
b. Pemeriksaaan serologik
c. Isolasi dan identifikasi virus
10. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah dengan tes DFA (Direct
Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody) dan PCR (jika ada), terbukti lebih
efektif dan spesifik dalam membedakan infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan
dengan kultur virus.2
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir ( 5 x 800 mg sehari)
selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian Acyclovir, terutama dalam 3 hari
setelah gejala muncul, dapat mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset
Acyclovir dalam 72 jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis,
serta uveitis anterior.1,5,10
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas yang lebih tinggi,
menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000
mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi
herpes zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi nyeri akut
pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik oral.1,5,10
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes zoster oftalmikus
disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan
konjungtivitisnya, diterapi secara paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi,
serta pada indikasi infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika
hanya mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan topikal
steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal, serta dapat digunakan
antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.1,2,9,10
DAFTAR PUSTAKA
Shaikh S. Evaluation and management of herpes zoster. Diakses dari: http://www.AAFP.org.
Last update: November 1, 2002.
Moon EJ. Herpes zoster. Diakses dari http://www.emedicine.com. Last update: November 27,
2007.
Voughan D, Tailor A. Penyakit virus: ophtalmologi umum. Edisi 14. Widya Medika. 1995:
112, 336.
Djuanda Adhi. Penyakit virus: ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi !!!. FKUI.1999: 107109
Moon CH. Herpes zoster oftalmikus.Diakses dari: http://www.emedicine.com. Last update:
April 4, 2006.
Gurwood AS. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari: http://www.optometry.co.uk. Last
update: November 16, 2001.
Moses S. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari: http://www.fpnotebook.com. Last update:
January 13,2008.
American Academy of Ophtalmology. External cornea and disease. Section 8. 2005-2006.
Wiafe B. Herpes zoster ophtalmicus in HIV/ AIDS. J. Comm Eye Health. 2003; 16(47): 3536.
UVEITIS ANTERIOR
BAB I
PENDAHULUAN
Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata,dimana dinding bola mata terdiri
atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa,uvea,badan kaca dan
retina.Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera dan tenon.Uvea
merupakan jaringan lunak,terdiri dari iris,badan siliar dan koroid.7
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan berbagai
penyebabnya.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi
biasanya juga ikut mengalami inflamasi.Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian
depan jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut
siklitis.Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan
merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis
posterior atau koroiditis.1,2
Uveitis umumnya unilateral,biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan.
Ditandai adanya riwayat sakit,fotofobia,dan penglihatan yang kabur,mata merah (merah
sirkumneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau ireguler.Berdasarkan reaksi radang,
uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis
anterior dapat bersifat eksogen dan endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi,
proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik dan idiopatik.1
Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik
pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik. Lebih dari 75% uveitis
endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan
reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang
berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis
psoriatika, penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara
uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLAB27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.1,2
Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang.Sekitar 75% merupakan uveitis anterior.Sekitar
50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait.Di Amerika Serikat,uveitis
merupakan penyebab kebutaan nomor tiga setelah Retinopati Diabetik dan Degenerasi
Macular.Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal sampai 50 tahun. 1,3
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebabnya dan dimana
kelainan itu terjadi,biasanya pasien datang mengeluh nyeri ocular,Fotofobia,penglihatan
kabur, dan mata merah.Pada pemeriksaan didapatkan tajam penglihatan menurun,terdapat
injeksi siliar,KP,flare,hipopion,sinekia posterior,tekanan intra okuler bisa meningkat hingga
sampai edema macular.1,2,3
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai definisi,
etiologi dan fisiologi anatomi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari uveitis anterior.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan berbagai
penyebabnya.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi
biasanya juga ikut mengalami inflamasi.
ETIOLOGI
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat berjalan akut maupun
kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja.
Iritis dan iridisiklitis dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat,
dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat disebabkan oleh
gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen dapat menjalar ke mata atau timbul
reaksi alergi mata.5
Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik; penyakit sistemik yang berhubungan
dengan HLA-B27 seperti; ankylosing spondilitis, sindrom Reiter, penyakit crohns, Psoriasis,
herpes zoster/ herpes simpleks, sifilis, penyakit lyme,inflammatory bowel disease; Juvenile
idiopathic arthritis; Sarcoidosis, trauma dan infeksi. 1,3, 4,5,6
ANATOMI FISIOLOGI
Uvea terdiri dari : iris, badan siliaris (corpus siliaria) dan koroid. Bagian ini adalah lapisan
vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini juga ikut memasok
darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga uvea anterior sedangkan koroid disebut
uvea posterior. 6,7
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma yang membagi
bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen anterior dan segmen posterior, di tengahtengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik mata depan (camera oculi
anterior) dan bilik mata posterior (camera oculi posterior). Iris mempunyai kemampuan
mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata. 5,6
Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya terdapat lekukan-lekukan
dipermukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripa. Didalam stroma terdapat
sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan saraf.
Dipermukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali pada kripta, dimana pembuluh darah
dalam stroma, dapat berhubungan langsung dengan cairan dicamera oculi anterior, yang
memungkinkan percepatan terjadinya pengaliran nutrisi ke coa dan sebaliknya. Dibagian
posterior dilapisi dengan 2 lapisan epitel, yang merupakan lanjutan dari epitel pigmen retina,
warna iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang
banyaknya dapat berubah-ubah, sedangkan epitel pigmen jumlahnya tetap.6
Didalam iris terdapat otot sfingter pupil (M.Sphincter pupillae), yang berjalan sirkuler,
letaknya didalam sroma dekat pupil dan dipersarafi oleh saaraf parasimpatis, N III. Selain itu
juga terdapat otot dilatator pupil (M. Dilatator pupillae), yang berjalan radier dari akar iris ke
pupil, letaknya di bagian posterior stroma dan diurus saraf simpatis. 5,6,7
Pasokan darah ke iris adalah dari circulus major iris, kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan
endotel yang tidak berlobang. Persarafan iris adalah melalui serat-serat didalam nervi
siliaris. 7
Badan Siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian yaitu: pars korona,
yang anterior bergerigi, panjangnya kira-kira 2mm dan pars plana, yang postrior tidak
bergerigi panjangnya kira-kira 4 mm. Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk humor
aquous. Badan siliar merupakan bagian terlemah dari mata. Trauma, peradangan, neoplasma
didaerah ini merupakan keadaan yang gawat. 5
Pada bagian pars korona diliputi oleh 2 lapisan epitel sebagai kelanjutan dari epitel iris.
Bagian yang menonjol (processus ciliaris) berwarna putih oleh karena tidak mengandung
pigmen, sedangkan di lekukannya berwarna hitam, karena mengandung pigmen. Didalam
badan siliaris terdapat 3 macam otot silier yang berjalan radier, sirkuler dan longitudinal. Dari
processus siliar keluar serat-serat zonula zinii yang merupakn penggantung lensa. Fungsi otot
siliar untuk akomodasi. kontraksi atau relaksasi otot-otot ini mengakibatkan kontraksi dan
relaksasi dari kapsula lentis, sehingga lensa menjadi lebih atau kurang cembung yang berguna
pada penglihatan dekat atau jauh. Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah dimana
pembuluh darah baliknya mengalirkan darah ke V.vortikosa. Pada bagian pars plana, terdiri
dari satu lapisan tipis jaringan otot dengan pembuluh darah diliputi epitel. 6,7
PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung suatu infeksi atau
merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli;
walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang
diproduksi mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang berhubungan
dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen dari luar
(antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen).Dalam banyak hal
antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius .Sehubungan dengan hal ini peradangan
uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas. 2,8
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor akuos yang tampak
pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler (aqueous flare). Fibrin dimaksudkan
untuk menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan,
misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia posterior). 2,8Sel-sel radang yang
terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel
radang yang menempel pada permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula
terjadi pada tepi pupil disebutkoeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut busacca nodules,
yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik mata depan. Pada
iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak sehingga menimbulkan
hipopion.2,8
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan miosis dan dengan
adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio pupil,
sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali
mengakibatkan tekanan dalam dalam camera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam
camera okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe
(Bombans). 2,8
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan tekanan
bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul di sudut
camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi glukoma
sekunder.Pada fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan pada sudut
bilik depan,sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya seklusio
pupil.Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin. 2,8
KLASIFIKASI UVEITIS ANTERIOR
Berdasarkan patologi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu granulomatosa dan non
granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme
patogen dan karena berespon baik terhadap terapi kortokosteroid diduga peradangan ini
semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama dibagian anterior traktus
yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel
limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuclear. Pada kasus
berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion didalam kamera okuli anterior.
Sedangkan pada uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan
oleh organisme penyebab (misal Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).
Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan dan diagnosis etiologi pasti jarang ditegakkan.
Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang traktus uvealis namun lebih sering pada
uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel raksasa yang
dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan posterior kornea
terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis etiologi spesifik dapat ditegakkan
secara histologik pada mata yang dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil
tahan asam tuberculosis, spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarcoidosis
atau oftalmia simpatika dan beberapa penyebab spesifik lainnya.
granulomatosa
Onset
Sakit
Fotofobia
Penglihatan kabur
Merah sirkumkorneal
Perisipitat keratik
Pupil
Synechia posterior
Nodul iris
Tempat
Perjalanan
Rekurens
Non granulomatosa
Akut
Nyata
Nyata
Sedang
Nyata
Putih halus
Kecil dan tak teratur
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea anterior
Akut
Sering
Granulomatosa
Tersembunyi
Tidak ada atau ringan
Ringan
Nyata
Ringan
Kelabu besar
Kecil dan tak teratur (bervariasi)
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea posterior dan posterior
Menahun
Kadang-kadang
Sedangkan berdasarkan waktu uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari 6
minggu,jika inflamasi kambuh diikuti dengan serangan inisial disebut rekuren akut dan
dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu.
Beberapa keadaan yang menyebabkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan uveitis
anterior akut, yaitu:
1. Traumatic Anterior Uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab Uveitis Anterior, biasanya terdapat riwayat truma
tumpul mata atau adneksa mata. Luka lain seperti luka bakar pada mata, benda asing, atau
abrasi kornea dapat menyebabkan terjadinya Uveitis Anterior. Visual aquity dan tekanan
intraocular mungkin terpengnaruh, dan mungkin juga terdapat darah pada anterior chamber. 9
2.Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada Uveitis Anterior dengan etiologi yang tidak diketahui
apakah merupakan kelainan sistemik atau traumatic. Diagnosis ini ditegakan sesudah
menyingkirkan penyebab lain dengan anamnesis dan pemeriksaan.9
3.HLA-B27 Associated Uveitis
HLA-B27 mengacu pada spesifik genotype atau chromosome. Mekanisme pencetus untuk
Uveitis Anterior pada pasien dengan genotype seperti ini tidak diketahui. Ada hubungan yang
kuat dengan ankylosing spondylitis, sindrom Reiter, Inflamatory bowel disease, psoariasis,
arthritis, dan Uveitis Anterior yang berulang. 9
4.Behcets Diseases/syndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa mediterania atau jepang.
Terdapat trias penyakit Behcets, yaitu akut Uveitis Anterior dan ulkus pada mulut dan genital.
Penyakit behcet yang menyebabkan Uveitis Anterior akut adalah sangat langka. 9
5.Lens Associated Anterior Uveitis
Ada beberapa keadaan yang ditemukan pada peradangan anterior chamberdan penyebab
yang disebabkan oleh keadaan lensa, yaitu : phaco-anaphylactic andhopthalmitis dan
phacogenic (phacotoksik) uveitis; phacolitic glaukoma; dan UGH syndrome ( Uveitis,
Glaukoma dan Hifema).9
6.Masquerade syndrome
Merupakan keadaan yang mengancam, seperti lymphoma, leukemia, retinoblastoma,
dan malignant melanoma dari choroid, dapat menimbulkan Uveitis Anterior.9
Beberapa keadaan yang dapat menghasilkan tanda dan gejala yang terdapat pada diagnosis
Uveitis Anterior kronik adalah :
1. Juvenile Rheumatoid Arthritis
Anterior Uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai beberapa persendian. Karena
kebanyakan dari pasien JRA adalah positif dengan test ANA ( Anti Nuklear Antibody ), yang
merupakan pemeriksaan adjuvant. JRA lebih banyak mengenai anak perempuan dibanding
anak lelaki. Merupakan suatu anjuran pada semua anak yang menderita JRA untuk diperiksa
kemungkinan terdapatnya Uveitis Anterior. 9
2. Anterior Uveitis Associated with Primary Posterior Uveitis
Penyakit sistemik, seperti sarcoidosis, toksoplamosis, sipilis, tuberculosis, herpes zoster,
cytomegalovirus, dan AIDS mungkin saja terlibat dalam Uveitis Anterior baik primer ataupun
sekunder dari uveitis posterior.9
3. Fuchs Heterochromatic Iridocyclitis
Merupakan suatu penyakit kronik, biasanya asimptomatik, terdapat 2% pasien Uveitis
Anterior.9
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan subyektif yang menyertai uveitis anterior adalah nyeri , terutama di bulbus okuli,
sakitnya spontan atau pada penekanan di daerah badan siliar, sakit kepala di kening yang
menjalar ke temporal, fotofobia, bervariasi dan dapat demikian hebat pada uveitis anterior
akut, lakrimasi yang terjadi biasanya sebanding dengan derajat fotofobia, gangguan visus dan
bersifat unilateral. 2
Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin, suku bangsa penting untuk
di catat karena dapat memberikan petunjuk ke arah diagnosis uveitis tertentu. Riwayat pribadi
tentang penderita, yang utama adalah adanya hewan peliharaan seperti anjing dan kucing,
serta kebiasaan memakan daging atau sayuran yang tidak dimasak termasuk hamburger
mentah. Hubungan seks diluar nikah untuk menduga kemungkinan terinfeksi oleh STD atau
AIDS. Penggunaan obat-obatan untuk penyakit tertentu atau narkoba (intravenous drug
induced), serta kemungkinan tertular penyakit infeksi menular (seperti Tbc) dan terdapatnya
penyakit sistemik yang pernah diderita. Riwayat tentang mata didapatkan apakah pernah
terserang uveitis sebelumnya atau pernah mengalami trauma tembus mata atau pembedahan.2
Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus umumnya normal atau berkurang sedikit.,
konjungtiva bulbi, injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, serta kornea keruh karena udem dan
keratik presipitat. Keratik presipitat merupakan kumpulan sel-sel yang menempel pada
endotel kornea, biasanya di bagian bawah. Pada uveitis non granulomatosa, keratik presipitat
berukuran kecil dan sedang berwarna putih. Pada uveitis granulomatosa, keratik presipitat
besar-besar dan lonjong dan dapat menyatu membentuk bangunan yang lebih besar, sehingga
dapat mencapai diameter 1mm. Adanya keratik presipitat dijumpai pada keratouveitis karena
herpes simpleks dan sangat spesifik pada Heterokromik Fuch.2,8
Grade Flare Cells
0 tidak ada tidak ada
1+ flare tipis atau lemah 5-10 /lapang pandang
2+ Flare tingkat sedang (Iris dan lensa secara 10-20/lapang pandang
diteil masih tampak)
3+ kekeruhan lebih berat (Iris dan lensa 20-50/lapang pandang
diselimuti kekeruhan
4+ flare sngat berat (penggumpalan fibrin pada >50/lapangpandang
humur aquos)
Adapted from Hogan MH, Kimura SJ, Thygeson P. Signs and symptoms of uveitis: I. Anterior
uveitis. Am J Ophthalmol 1959;47:162-3.
Pada kamera okuli anterior terdapat flare, terlihat sebagai peningkatan kekeruhan dalam
humor akuos dalam COA, dapat terlihat dengan menggunakanslitlamp atau lampu kecil
dengan intensitas kuat dengan arah sinar yang kecil sehingga menimbulkan fenomena Tyndal.
Pada uveitis non granulomatosa, reaksi flare sangat menonjol tapi reaksi sel biasanya terdiri
dari sel-sel kecil dan jarang sel besar seperti monosit atau sel raksasa. Sedangkan pada uveitis
granulomatosa, sel besar-besar dan reaksi flare biasanya sangat ringan. 2,8
Pada iris tampak suram, gambaran radier tak nyata, karena pembuluh darah di iris melebar,
sehingga gambaran kripta tak nyata. Warna iris dapat berubah, kelabu menjadi hijau, coklat
menjadi warna Lumpur. Terdapat nodul iris, ditandai sebagai benjolan di iris, bila pada tepi
pupil disebut nodul koeppe, bila pada permukaan depan iris disebut nodul busacca. Adanya
nodul-nodul tersebut merupakan pertanda uveitis granulomatosa dan terdapat adanya sinekia
posterior.2,8
Berat
Penyakit yang
dicurugau
berdasarkan
riwayat dan
pemeriksaan
fisik
Hasil
laboratorium
Pemeriksaan
radiologi
konsultasi
Ankylosing
spondylitis
ESR,(+)
Sacroiliac x-
Rheumatologist
Pemeriksaan
lainnya
HLA-B27
Inflammatory
bowel disease
rays
(+)HLA-B27
Internist or
gastroenterologist
Reiters
syndrome
ESR,(+)
Joint x-
Internist,
Cultures;
HLA-B27
rays
urologist,
conjunctival,
Psoriatic arthritis
(+)HLA-B27
Rheumatologist,
dermatologist
Herpes
Diagnosis klinis
Dermatologist
Behcets disease
(+)HLA-B27
Internist or
Behcets skin
puncture
Rheumatologist
test
Lyme disease
Internist,
rheumatologis
Juvenile
rheumatoid
arthritis
Sarcoidosis
ESR,(+)ANA,
Joint x- rays
(-)Rheumatoid
factor
Angiotensin
converting
Rheumatologist
or
pediatrictian
Chest x-ray
Internist
enzyme (ACE)
Syphilis
(+)RPR or VDRL
Internist
FTA-ABS or
MHATP
Tuberculosis
Chest x-ray
Internist
Purified protein
derivative (PPD)
skin test
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan.8 Tujuan penggunaan
kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior adalah mengurangi peradangan, yaitu
mengurangi produksi eksudat, menstabilkan membran sel, menghambat penglepasan lysozym
oleh granulosit, dan menekan sirkulasi limposit.9
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar
terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan
tergantung pada konsentrasi dan frekuensi pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang
dipakai, bentuk larutan. 15
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering
frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. Peradangan pada
kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan
prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon
dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea
superfisial. 15
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang
terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih
mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus
kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. 15
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi
adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum
dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma,
katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.15
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate 0,125% dan 1%,
prednisolone sodium phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%, deksamentason alcohol 0,1%,
deksamethasone sodium phospat 0,1%, fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone
1%. 12
Cycloplegics dan mydriatics
Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang bekerja
memblokade neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter iris dan otot ciliaris.
Cycloplegic mempunyai tiga tujuan dalam pengobatan uveitis anterior, yaitu untuk
mengurangi nyeri dengan memobilisasi iris, mencegah terjadinya perlengketan iris dengan
lensa anterior ( sinekia posterior ), yang akan mengarahkan terjadinya iris bombe dan
peningkatan tekanan intraocular, menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah
terjadinya protein leakage (flare) yang lebih jauh.Agent cycloplegics yang biasa dipergunakan
adalah atropine 0,5%, 1%, 2%, homatropine 2%, 5%, Scopolamine 0,25%, dan
cyclopentolate 0,5%, 1%, dan 2%. 9
Oral steroid dan Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs
Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan penggunaan steroid topical
hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin, NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen
) dapat mengurangi peradangan yang terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk
mengurang peradangan yang dihubungkan dengan cystoids macular edema yang menyertai
uveitis anterior. 9
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan
periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 12 mg/kg
BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari(alternating
single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu
pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari
dosis awal selama 2 minggu. 9
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior, Uveitis bilateral, Edema
macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi,
Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak,
hirsutisme, dan lain-lain.9
Pengobatan lainnya
Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan penggunaan topical
steroid, injects subkonjuctival steroid ( seperi celestone ) akan berguna. Depot steroid
seharusnya dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti yang diakibatkan oleh herpes atau
toksoplasmosis karena dapat memperparah. 8
Injeksi peri-okular dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun
bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi periokular adalah dicapainya efek anti
peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal. 15
Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes
mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan, Uveitis unilateral,pre operasi pada pasien
yang akan dilakukan operasi mata, anak-anak, dan komplikasi edema sistoid makula pada
pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi
(toxoplasmosis) dan skleritis. 15
Lokasi injeksi peri-okular sub-konjuctiva dan sub-tenon steroid repositoryserta Injeksi subtenon posterior dan retro-bulbar. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah
dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 24
minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian
topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg.
Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar, cara ini dipergunakan pada peradangan segmen
posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). 15
Komplikasi injeksi peri-okular adalah Perforasi bola mata, Injeksi yang berulang
menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior,
Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana
dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata, Astrofi lemak
sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.15
Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 7 hari, tergantung pada
keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual aquity, pengukuran tekanan
intraocular, pemeriksaan dengan menggunakan slitlamp, assasment cel dan flare, dan evaluasi
respon terhadap terapi. 9
Table 4 frekuensi dan komposisi terhadap penilaian dan penanganan uveitis anterior
Tingkat
Banyknya Visual
Cells
keparahan kunjungan
follow up Acuity danFlare pada
Uveitis
pemerisaan
Slit
Anterior
Lamp
Tono-
Ophthalmo-
metry
scopy
Rencana
penetalaksanaan
Ringan
Setiap 4-7
hari
Ya
Ya
Ya
Sedang
Setiap 24hari
Ya
Ya
Ya
berat
Setiap 12hari
Ya
Ya
Ya
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan berbagai
penyebab.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya
juga ikut mengalami inflamasi. Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar
bagian depan atau pars plikata, yang disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang
secara hematogen dapat menjalar ke mata atau timbul karena reaksi alergi mata. Uveitis
anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari 6 minggu dan dikatakan sebagai kronik jika
lebih dari 6 minggu. Laboratorium sangat dibutuhkan guna mendapat sedikit gambaran
mengenai penyebab uveitis. Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada
keparahannnya dan bagian organ yang terkena dan prognosis kebanyakan kasus uveitis
anterior berespon baik jika dapat didiagnosis secara awal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan wasisdi, Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akua pada HLA B27 Positif,
FKUGM, Yogyakarta
2. Ilyas Sidarta, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, ed II, FKUI, Jakarta: 2002
3. www_preventblindness. Co.id, Causes of Anterior Uveitis . Accessed. September th.
2006:1-2
4. www_nlm.nih.gov. co_id, veitis . Accessed. September th. 2006:1-2
1. Wijana Nana, Uvea, Ilmu Penyakit Mata, hal 126-127
2. K George Roger, MD, Uveitis, Nongranulomatous. www emedicine.co.id, Accessed.
June th. 2005:1-3
3. Vaughan G Daniel, anatomi dan Embriologi Mata, Oftalmologi Umum ed 14, Widya
Medika, Jakarta: 2000 hal8-9
4. www.emedicine.com
5. www.oao.com
6. www.healthatoz.com
7. Wong tien YN, Uvetis Systemic and Tumots , The Opthlmolgy Examinations
Review, Wrld Scientific, Singapura:2001. P321-323.
8. www.stlukesEye.com
9. www.allaboutvision.com
10. www.cerminduniakedokteran.com
11. www.healthline.com
12. www.medicallibrary.com