Anda di halaman 1dari 11

Polimorfisme Genetik pada Pasien TBC Pengguna INH

Agusdianto Bello Chrisdarmanta A.Putra


102012222
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 Telp : 021-56942061 Fax : 021-5631731
Email: agusdianto.putra@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan keranekaragam
(bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab, baik
yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Farmakogenetik merupakan
salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman (respons) obat
yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan
studi pengaruh genetik terhadap respons obat.
Kepentingan dari studi farmakogenetik ini yang paling penting adalah untuk mengetahui
atau mengenali individu individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri
genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya
dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan dapat dilakukan upayaupaya pencegahan agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan
menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada individu
tertentu.
Rumusan Masalah
Perempuan 30 tahun menderita neuropati perifer karena INH.
Definisi
Neuropati perifer adalah gangguan neurologis umum akibat kerusakan pada saraf perifer
yang bisa disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti penyakit, cedera fisik, keracunan,
malnutrisi atau obat-obatan.1

Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan gatal-gatal di lengan dan kaki. Kesemutan atau
parestesia adalah sensasi sentuh abnormal seperti rasa terbakar, tertusuk, atau kesemutan,
seringkali tanpa adanya rangsangan luar. Kesemutan/parestesia merupakan salah satu gejala
neuropati. Neuropati dapat disebabkan banyak penyebab. Pertanyaan yang harus diajukan pada
pasien untuk mengetahui penyebab dari neuropati adalah :2

Apa gejalanya : baal,paku dan jarum, lemah, kaki diseret, kerusakan karena ceroboh

(misalnya luka bakar karena defisit sensoris), atau pengecilan otot?


Kapan gejala mulai timbul? Apakah progresif?
Apa akibat fungsionalnya? (misalnya susah berjalan, memegang pisau, dan sebagainya)
Adakah gejala kondisi terkait?
Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kondisi medis yang signifikan, khususnya diabetes melitus, keganasan,
tuberculosis, atau kondisi medis lain.
Obat-obatan
Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat (misalnya vinkristin, INH)?
Riwayat keluarga
Adakah riwayat neuropati dalam keluarga?
Riwayat soaial3
Pernahkan ada pajanan neurotoksin potensial yang tidak biasa di tempat kerja (misalnya

timah)?
Adakah adaptasi di rumah menggunakan alat bantu untuk berjalan, dan sebagainya?

Pemeriksaan Fisik1

Lakukan Inspeksi

: adakah pengecilan otot, postur abnormal, perubahan kulit trofik,

fasikulasi, atau parut?

Periksa tonus otot

: normal atau berkurang

Adakah penurunan kekuatan? Jika ya, pada kelompok otot mana? Apakah terbatas pada
distribusi saraf perifer tertentu atau terdapat kelemahan perifer umum pada tangan dan

kaki?
Adakah gangguan koordinasi?
Periksa refleks: normal atau menurun?
Periksa sensasi:
o Raba halus. Adakah gangguan? Jika ya, bagaimana distribusinya: sarung tangan
dan kaus kaki, mengikuti dermatom, saraf perifer, atau distribusi radix saraf?
2

o
o
o
o
o
o

Tusuk jarum
Rasa getar
Rasa posisi sendi
Nyeri dalam
Panas/dingin
Benang halus (10G)

Pemeriksaan Penunjang
Riwayat klinis yang merupakan kunci untuk mendiagnosis neuropati, tapi harus ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan laboratorium bertujuan membedakan
neuropati et causa defisiensi vitamin B6 dan neuropati jenis lain :3
1. Pemeriksaan CBC dan serum piridoksin
Defisiensi Piridoksin (vitamin B 6) : CBC ( complete blood count ) menunjukkan anemia,
mikrositik hipokrom dengan tingkat zat besi yang normal. Kadar piridoksin serum adalah
<25 mg / mL
Alkoholik neuropati : low platelet count dan anemia megaloblastik
2. Hemoglobin A1C
Hemoglobin A1C dan glukosa plasma puasa adalah tes skrining penting laboratorium
pada neuropati diabetik. Hemoglobin A1C pengukuran yang berguna untuk menilai
kecukupan kontrol diabetes terakhir, tingkat kemungkinan akan meningkat pada pasien
dengan neuropati diabetes. Hemoglobin A terdiri dari 91-95 % dari jumlah hemoglobin
total. Molekul glukosa berikatan dengan Hb A1 yang merupakan bagian dari hemoglobin
A. Hb A1C merupakan indicator yang baik untuk pengendalian Diabetes Mellitus.
Peningkatan kadar HbA1C >8 % mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali
dan pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti nefropati,
neuropati, retinopati, dan / atau kardiomiopati. Nilai normal HbA1C : non diabetic : 2-5
%.
3. Serum folat
Pada neuropati et causa defisiensi folat, kadar serum folat akan menurun. Nilai rujukan :
3-16 ng / mL.
4. Studi Konduksi Saraf ( Nerve Conduction Study )
Studi konduksi saraf (NCS) atau lebih dikenal dengan pemeriksaan kecepatan hantar
saraf dan elektromiografi (EMG) dapat menampilkan karakteristik neuropati (misalnya,
aksonal,

demielinasi)

dan

lokalisasi

(misalnya,

mononeuropati

dibandingkan

radiculopathy atau neuropati distal) dan, mungkin, tingkat keparahan dan bahkan
3

prognosis Studi konduksi saraf (Nerve Conduction Study) tergantung pada pola
kerusakan serabut saraf. Pada neuropati perifer terjadi penurunan NCS.
Diagnosis Kerja
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien seorang perempuan 30 tahun berasal dari ras
Kaukasian dengan riwayat penyakit tuberkulosis kembali ke dokter dengan keluhan gatal-gatal di
lengan dan kaki. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan gejala klinik yang
ditunjukkan, diagnosis kerja bagi kasus ini adalah neuropati perifer et causa INH.
Individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan
bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota populasi
lain pada umumnya. Sehingga dengan demikian dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan agar
pengaruh buruk yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan
besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada individu tertentu.4,5
Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik
mempengaruhi kerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan individu
lainnya karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam keadaan normal,
variasi dalam respon terhadap obat yang paling sering ditemukan dalam observasi ialah yang
mempunyai distribusi normal atau distribusi Gaussian, atau normal error curve. Variasi respon
obat sering diobservasi pada orang Caucasia. Hasil observasi menunjukkan bahwa dalam satu
populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan distribusi kontinu, dan populasi
tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok (dengan variasi kontinu pada tiap kelompok) yang
menunjukkan adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.6
Distribusi variasi respon yang berbentuk diskontinu ini disebut polimodal (bimodal dan
trimodal) dan karena dipengaruhi oleh faktor genetik, maka disebut polimorfisme genetik yang
menunjukkan adanya polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu gen tunggal
(monogenik) dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu populasi terbagi
menjadi 2 atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang ditunjukkan oleh respon obat
Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan fenotip asetilator lambat.
Keragaman genetik umumnya, dan khususnya polimorfisme genetik dalam pengaruh atau
respons individu terhadap obat terjadi melalui 2 proses utama dalam tubuh, yaitu :6
4

Proses farmakodinamik, yaitu dengan terjadinya proses interaksi antara molekul obat
dengan reseptornya, dan terdapat kepekaan yang abnormal dari reseptor obat terhadap
molekul obat.

Proses farmakokinetik, yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi


obat. Proses ini paling banyak ditemukan pada polimorfisme klinik dalam proses
metabolisme obat, sedangkan polimorfisme genetik yang ditemukan pada proses
absorbsi, distribusi, dan ekskresi obat tidak banyak dijumpai dan diketahui.

Etiologi
Isoniazid merupakan contoh popular dari keragaman efek obat yang disebabkan oleh
faktor genetic. Isoniazid (INH) adalah suatu obat anti-tuberkulosis yang diperkenalkan pada
tahun 1952. Pada kira-kira separuh (50%) dari pasien (orang-orang Kaukasia) yang diobati
dengan INH, diketahui bahwa INH mengalami metabolisme (asetilasi) secara lambat dan kadar
INH dalam plasma tinggi setelah pemberian suatu dosis INH. Metabolisme INH pada 50%
lainnya berlangsung dengan cepat dan kadar INH dalam plasma rendah setelah pemberian dosis
yang sama. Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisis oleh enzim Nasetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik (enzim ini tidak dapat
diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara individu bukan disebabkan oleh
perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini berfungsi memindahkan gugus
asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor sehingga terbentuk metabolit Nasetilisoniazid.7
Analisis keturunan dari 2 fenotip metabolisasi S (slow) dan R (rapid), menunjukkan
bahwa sifat asetilator cepat pada seseorang individu ternyata ditentukan oleh gen autosom
dengan sifat asetilatornya dipercepat oleh gen dominan(R) dan asetilator diperlambat oleh gen
resesif (r). Dengan demikian, genotype seorang asetilator cepat mungkin homozigot dominan
(RR) atau heterozigot (Rr), sedangkan asetilator lambat adalah homozigot resesif (rr). Perbedaan
antara kedua fenotipe (asetilator cepat dan asetilator lambat) tersebut terletak pada aktivitas
(kuantitas, jumlah ezim) dari enzim N-asetil transferase tersebut dalam hepar. Dibandingkan
asetilator cepat, asetilator lambat lebih mudah mengalami neuropati perifer yang merupakan
salah satu penyulit utama yang mungkin terjadi pada pengobatan isoniazid jangka panjang, dan
yang jelas disebabkan karena pengaruh samping toksik obat tersebut.7
5

Epidemiologi
Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan distribusi obat serta kecepatan metabolisme obat
dan eliminasi obat dipengaruhi oleh faktor genetik dan variabel non-genetik seperti umur, jenis
kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme carcadian, suhu tubuh, faktor-faktor lingkungan dan
nutrisi Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit hitam dan kulit putih
di Amerika Serikat, 40-70% pada orang Caucasian, lebih sering pada orang Eropa serta jauh
lebih sedikit orang Asia (10-20%) dan Eskimo. Distribusi INH pada asetilator lambat dan cepat
(kira-kira 50% pada tiap kelompok etnik) nilainya sama pada kebanyakan kelompok (etnik)
manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih 90% populasi Jepang adalah asetilasi
(inaktivator) cepat.8
Patofisiologi
Pada beberapa kasus, perbedaan yang ditentukan secara genetis dalam aktivitas enzim
tertentu dapat mengakibatkan perbedaan mencolok antar individu dalam sifatnya untuk
memetabolisis obat tertentu, meskipun hal ini mungkin tidak dihubungkan dengan akibat klinis
akut manapun. Ilustrasi mengenai hai ini diberikan oleh perbedaan dalam asetilasi obat isoniazid
yang diberikan secara luas dalam pengobatan tuberculosis. Dalam bentuk terasetilasi, isoniazid
untuk pengobatan jauh kurang aktif dan kurang toksik, sehingga obat tersebut secara efektif
ditidakaktifkan dengan asetilasi.5
Individu dapat mudah digolongkan ke dalam 2 macam kelompok; penidakaktif cepat
yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative rendah beberapa jam setelah minum obat, dan
penidakaktif lambat yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative tinggi. Pada
penidakaktif cepat, obat dengan proporsi yang jauh lebih besar dikeluarkan dalam bentuk
terasetilasi lewat air seni dibandingkan pada penidakaktif lambat yang terutama mengeluarkan
obat tak terasetilasi.5
Kajian keluarga menunjukkan bahwa perbedaan ini ditentukan secara genetis, dan
hasilnya sebagian besar dapat diterangkan berkenaan dengan 2 alel umum. Dengan 2 alel ini,
penidakaktif lambat menggambarkan homozigot untuk 1 alel, dan penidakatif cepat
menggambarkan baik heterozigot maupun homozigot untuk alel lainnya. Mungkin saja bahwa
laju penidakatifan obat agak lebih cepat pada penidakaktif cepat homozigot daripada
heterozigot.5
6

Asetilasi isoniazid dihasilkan dengan enzim asetiltransferase yang terdapat dalam hati
yang terlibat dalam suatu reaksi pemindahan gugus asetil dari asetil-koenzim A ke isoniazid.
Pengujian aktivitas asetil transferase dalam sampel hati yang diperoleh dengan biopsy
menunjukkan perbedaan menyolok antara tingkat aktivitasnya pada penidakatif cepat dan
lambat. Rata-rata, aktivitasnya jauh lebih tinggi pada kelompok cepat daripada kelompok
lambat. Hasil serupa juga telah diperoleh dengan contoh otopsi. Sediaan enzim setengah murni
diperoleh dari penidakaktif cepat dan lambat tampaknya sangat serupa dalam sejumlah sifat
seperti tetapan Michaelis dan kekhususan substrat, yang memberi kesan bahwa perbedaan antara
kedua jenis mungkin tergantung pada jumlah protein enzim yang sesungguhnya ada dalam sel
hati, dan bukan pada perbedaan aktivitas khususnya.5
Adanya masing-masing perbedaan menyolok dalam penidakaktifan isoniazid ini
menimbulkan pertanyaan tentang maknanya dalam penggunaan obat tersebut untuk pengobatan
Tuberkulosis.

Dalam

membandingkan

kelompok

besar

penderita

pada

pengobatan

antituberkulosis terbaku termasuk isoniazid, biasanya tidak dijumpai perbedaan nyata antara
hasil pengobatan pada penidakaktif cepat dan lambat. Tetapi, sementara mungkin ada
perbedaan sedikit atau tidak ada perbedaan bila skema dosis obatnya optimal, rupanya dosis ini
suboptimal, misalnya bila isoniazid diberikan terlalu sering, maka mungkin terjadi perbedaan
dalam tanggapan.5
Dibandingkan penidakaktif cepat, penidakaktif isoniazid lambat tampaknya agak lebih
mudah mengalami neuropati tepi yang merupakan salah satu penyulit utama yang mungkin
terjadi pada pengobatan isoniazid jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karena pengaruh
samping toksik obat tersebut. Tetapi, timbulnya neuropati perifer sebagai penyulit pengobatan
isoniazid sekarang jarang, karena dapat dicegah dengan pemberian piridoksin bersama-sama.5
Manifestasi Klinik
Defisiensi/kekurangan vitamin B6 menimbulkan keluhan dan gejala seperti, gangguan
neurologis/system saraf, seperti kesemutan atau rasa baal pada ektremitas atas ataupun bawah. 4
Pada tingkat yang lebih parah dapat menyebabkan koordinasi tubuh terganggu, gugup, gelisah,
cemas, emosi-marah, lekas marah, insomnia, depresi, kelelahan, tekanan darah rendah, pusing,
gangguan kulit seperti jerawat, rambut rontok, cheilosis (retak di sudut mulut), lidah sakit,
anoreksia dan mual, anemia, gangguan penyembuhan luka, arithitis.5

Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi dan
lebih jelas memperlihatkan efek toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam regimen dosis
yang sama. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah menderita efek
samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH akan menghambat
pemakaian vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi vitamin B-6.9
Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat akan
memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk
mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.9
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila pasien
tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada sekitar
10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.10 Pemberian vitamin B-6 pada pasien dengan
pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai profilaksis. Atau saat
ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6.11

Gambar 1. Contoh sediaan obat INH yang dikombinasikan dengan Vitamin B6


Sumber : http://medicastore.com/tbc/image/tb_vit_6.jpg
Komplikasi
Efek samping obat lebih sering ditemukan pada:9
8

1) Asetilator lambat :
(a) Bila obat induk toksik misalnya,

Polineuritis yang diinduksi oleh INH.

Sindrom mirip SLE yang diinduksi oleh prokainamid.

(b) Bila suatu metabolit non-asetilasi merupakan zat toksik dan dibentuk dalam jumlah
besar dan bila jalur asetilasi penuh dengan konsentrasi obat yang tinggi, misalnya
sindrom mirip SLE yang diinduksi oleh hidralazin.
2) Asetilator cepat, bila metabolit asetilasinya merupakan zat toksik, misalnya hepatitis yang
dapat diinduksi oleh asetilhidrazin yang dibentuk dari isoniazid.
Prognosis
Prognosis penyakit ini baik apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi
komplikasi kronik dari penggunaan INH jangka panjang.9

Kesimpulan
Farmakogenetika ialah keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor
genetik, Hal ini menjelaskan bahwa metabolisme obat setiap individu berbeda. Pengetahuan
mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya keanekaragaman pengaruh obat
yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pengaruh
buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada orang-orang dengan ciri-ciri
genetik tertentu.
Sayangnya, tidak semua bentuk keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui
dan relatif mudah didiagnosis tidak selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam
praktek. Di luar ini semua masih banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui secara
jelas, baik mekanisme terjadinya, cara pewarisannya serta makna kliniknya.
Pada pasien dengan asetilator lambat, pemberian INH dapat menyebabkan gangguan
penyerapan Vitamin B6 dan peningkatan ekresi vitamin B6. Hal ini menyebabkan defisiensi
Vitamin B6 pada tubuh pasien. Pada akhirnya defisiensi vitamin B6 pada tingkat ringan ini
9

menyebabkan manifestasi rasa baal atau kesemutan pada pasien. Dapat dilakukan profilaksis
pada pasien dengan asetilator lambat yang mendapat terapi INH dengan pemberian vitamin B6.
Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6.

10

Daftar Pustaka
1. Jonathan G, Annisa R. Neuropati perifer. At a glance anamnesis: Erlangga medical series;
2007.h.182.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h. 182.
3. Hemoglobin A1C. Dalam : Joyce LK. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan
Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.237.
4. Syamsuir M, Rio R. Prinsip farmakogenetik. Jakarta: Staf pengajar departemen
farmakologi FK universitas sriwijaya; 2009.h.305-6.
5. Harris H. Kesalahan bawaan metabolisme obat - Dasar-dasar genetika biokemis manusia.
Edisi ke-3. Yogyakarta: Universitas gajah mada; 1995.h.56-63.
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat,2008.h.104-5.
7. Subekti I. Neuropati Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S. Buku Ajar ilmu Penyaki Dalam, Edisi ke-4. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2007.h.1902-3.
8. Katzung, Bertram G. 1998. Farmokologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: EGC. h.5961.
9. Rio Rahardjo. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: penerbit buku
kedokteran; 2009.h.311-3.
10. Fakultas kedokteran Indonesia. Farmakologi dan terapi tuberkulostatik dan leprostatik.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia;
2003.h.613-5.
11. Phee, Stephen J. Mc, Maxine A. P. Current Medical Diagnosis & Treatment 46th ed.

Sanfrancisco: McGrawhill; 2007.p.209-211.

11

Anda mungkin juga menyukai