PENDAHULUAN
karena jika kaki dibiarkan akan berisiko terjadinya ulkus. Terjadinya ulkus pada
pasien diabetes melitus berisiko untuk berlanjut pada tindakan amputasi. Risiko
amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita diabetes dibanding dengan non
diabetes (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui kesesuaian alur
penegakan serta penatalaksanaan antara teori terhadap kasus ulkus pedis pada
pasien diabetes melitus tipe II yang merupakan kompetensi standar bagi dokter
umum.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama
: Tn. S
Usia
: 42 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Pekerjaan
: Buruh
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir
: SMP
Status pernikahan
: Menikah
: 16.63.77
: 11 Desember 2014
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien pernah MRS 3 tahun lalu untuk menjalani amputasi pada digiti II pedis
sinistra karena terdapat luka yang sukar sembuh pada jari, hingga menghitam.
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya
pasien memiliki keluhan berupa sering kencing terutama pada malam hari,
merasa mudah lapar, sering haus, lemas dan kulit yang gatal. Berat badan
pasien menurun tanpa ada alasan yang jelas. Setelah mengetahui memiliki
penyakit kencing manis, pasien mengaku berobat rutin di puskesmas. Obat
yang dikonsumsi adalah glibenklamid 1 kali sehari sebelum makan. Tidak ada
pengaturan pola makan dan aktivitas fisik khusus yang dijalani pasien.
Riwayat DM tipe II pada orang tua pasien tidak diketahui, namun tiga saudara
kandung pasien juga mengalami DM tipe II.
Riwayat Psikososial
-
Pasien pernah sekolah hingga kelas 2 di STM, kemudian putus sekolah karena
pindah dari Jogja ke Penajam. Pendidikan tidak dilanjutkan oleh karena
terhalang biaya.
Pekerjaan pasien sebelum mengalami sakit adalah buruh kayu dan juga pernah
menjadi supir mobil barang. Saat menjadi buruh kayu, kaki kiri pasien pernah
terluka dan jari sampai menghitam, hingga jari kedua kaki kiri diamputasi 3
tahun yang lalu.
Anamnesis Sistem
-
Kepala : pusing (-) nyeri kepala (-) riwayat trauma kepala (-)
Mulut : karies gigi pada semua gigi seri, perdarahan gusi (-) nyeri tenggorokan
(-) suara parau (-)
Hidung dan sinus : penciuman normal, pilek (-) bersin-bersin (-) hidung
tersumbat (-) perdarahan (-)
Paru : batuk berdahak (-) batuk darah (-) nafas bunyi (-) sesak nafas (-)
Pencernaan : nyeri menelan (-) nyeri ulu hati (-) pasien mengalami penurunan
nafsu makan saat perut membengkak dan terasa kembung, mual (-) muntah (-)
muntah darah (-) konstipasi (-) diare (-) perdarahan rektum (-) BAB hitam (-)
Perkemihan : disuria (-) retensio urin (-) nyeri pinggang (-) riwayat poliuri (+)
Alat kelamin : sekret (-) nyeri testis (-) pembengkakan skrotum (+) penurunan
libido (+)
Alat gerak : bengkak (+) nyeri sendi (-) kaku sendi (-) luka (+) gangrene (-)
atrofi (+)
Sistem saraf : kejang (-) lumpuh (-) anastesia (-) parastesia (-)
Keadaan umum
Kesadaran
: komposmentis
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
Nadi
: 84x/menit
Pernafasan
: 30x/menit
Suhu
: 36,7C
Berat badan
: 70 kg
Tinggi badan
: 165 cm
IMT
: 25,7 (Obese I)
Umum
o Ekspresi
: Sakit sedang
o Rambut
o Kulit muka
Mata
o Palpebra
o Konjungtiva
: tidak anemis
o Sklera
o Pupil
Hidung
o Tidak ada deviasi septum
o Tidak ada secret
o Tidak ada pernapasan cuping hidung
Telinga
o Bentuk normal
o Lubang telinga normal, tidak ada secret
o Prosessus mastoideus tidak ada nyeri maupun pembengkakan
o Pendengaran normal
-
Mulut
o Bibir tidak pucat maupun sianosis
o Gusi tidak ada perdarahan
o Mukosa normal, tidak hiperemis maupun pigmentasi
o Lidah normal
o Faring normal, tidak hiperemis
Leher
o Simetris, tidak ada pembengkakan
o Tidak ada pembesaran kelenjar limfe
o Trakea ditengah, tidak deviasi
Thoraks
Umum
-
Pulmo anterior
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Pulmo posterior
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Cor
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: batas kanan pada ICS 3 para sternal dextra, batas kiri pada ICS 5
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, tidak ada murmur dan gallop, maupun
suara patologis lain
Abdomen
-
Inspeksi
Palpasi
: soefl (-) NTE (-), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak teraba, defans
Perkusi
Ekstremitas
Superior
-
Eritema (-/-). Sianosis (-/-). Clubbing finger (-/-). Palmar eritema (-/-)
Inferior
-
Luka pada dorsum pedis dextra, tidak adanya digiti II pedis sinistra. Digiti V
pedis dextra dan sinistra mengalami atrofi. TD kaki kanan 130/90, kiri 140/100
Status Lokalis
Look
Ulkus terletak pada dorsum pedis dextra dengan 1-2 cm. Ulkus dalam
hingga terlihat tendon. Terlihat pus yang keluar dari luka. Tidak tampak
jaringan nekrosis.
Kulit terlihat kering, kusam, kasar dan pecah-pecah. Kalus (-). Bula (-).
Kuku terlihat tebal, bulu rambut di kaki dan ibu jari normal.
Feel
Pulsasi arteri dorsalis pedis dextra menurun, pulsasi arteri dorsalis pedis
sinistra dalam batas normal. Distal pedis teraba hangat. Capillary Refill Time
Move
Lingkup gerak sendi kaki kiri dan kanan menurun, dibatasi oleh bengkak.
Tekanan darah lengan kanan: 130/90, tekanan darah lengan kiri: 140/100
Tekanan darah kaki kanan: 130/90, tekanan darah kaki kiri: 140/100
Ankle-Brachial Pressure Index = 1
Wagner derajat 2 Ulkus dalam, tanpa abses atau kelainan tulang. Ulkus dapat
disertai infeksi tanpa adanya kelainan tulang.
11/12/14
228
48,2
1,7
5.9
24,4
8,8
Plt
125
13/12/14
166
15/12/14
17/12/14
129
140
161
Cho
171
TG
HDL
LDL
Albumin
Globulin
Protein
217
38
89
1,5
1,6
18/12/14
19/12/14
22/12/14
26/12/14
105
6,0
20,3
6,9
130
169
37,0
1,8
6,9
19,3
6,9
7,4
25,8
9,0
5,8
25,4
9,2
145
194
204
172
2,1
2,0
2,6
123
126
29/12/14
2,2
1,9
163
184
2,3
2,1
4,6
Total
02/01/15 Normal
173
60-150
60-100
70-150
55,9
10-40
1,7
0,5-1,5
7,4
4-10
26,6
37-54
9,6
11-16
150167
450
150162
220
<200
>35
<190
2,2
3,2-4,5
2,9
2,3-3,5
5,1
Na
136
134
129
K
Cl
3,1
112
2,7
109
3,6
107
6,6-8,7
135155
3,6-5,5
95-108
Satuan
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg.dL
mg/dL
103 /L
%
g/dl
103 /L
mg.dl
mg.dl
mg.dl
mg.dl
g/dl
g/dl
mg.dl
mmol/L
mmol/L
mmol/L
10
Bleeding
time
Clotting
time
HbsAg
Ab HIV
3,30
1-6
menit
10
1-15
menit
NR
NR
11
Hasil
Batas Normal
n
Berat Jenis
Hb/Darah
Warna
Kejernihan
pH
Protein
Glukosa
Sel epitel
Leukosit
Eritrosit
1.005
+2
Kuning
Agak keruh
7,0
+3
+1
+2
0-1
2-7
1.003-1.30
Negatif
Jernih
4,8-7,8
Negatif
Negatif
Sedikit
<10/lpb
0-1/lbp
2.4.3 EKG
12
13
Interpretasi EKG
1. Frekuensi 122 kali per menit (takikardi)
2. Ritme: regular
3. Irama : Sinus takikardi
4. Aksis: 200
5. Gelombang patologis (-)
6. Kesimpulan: gambaran EKG normal.
7.
14
15
2.5 Follow Up
Hari/
Tanggal
Kamis,
11 Des
2014
Perjalanan Penyakit
Perencanaan Terapi
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr skin
test (d.1)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Cek GDS
Rawat luka/hari
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.2)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Rawat luka/hari
Kultur pus
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.3)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Rawat luka/hari
Tunggu hasil kultur pus
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.4)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Rawat luka/hari
16
Selasa,
16 Des
2014
Rabu, 17
Des
2014
Kamis,
18 Des
2014
A: DM tipe II dengan komplikasi Ulkus pedis dextra regio dorsum + Hipertensi st. I +
hipoalbuminemia
S: Luka kaki nyeri (+), sesak (+), perut
kembung (+)
O: TD:140/100 mmHg, N:92x/i, RR:30x/i Ane(-/-) Ikt(-/-) Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular, Gallop (-), Murmur (-) BU (+) N, NT (-)
Asites(+)Edema ekstremitas sup(+/+) inf(+/+) St. lokalis: Pus (+), NT (+),pulsasi arteri D<S GDS stick: 129
A: DM tipe II dengan komplikasi Ulkus pedis dextra regio dorsum + Hipertensi st. I +
hipoalbuminemia
S: Luka kaki nyeri (+), sesak (+), perut
kembung (+)
O: TD:150/100 mmHg, N:88x/i, RR:28x/i Ane(-/-) Ikt(-/-) Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular, Gallop (-), Murmur (-) BU (+) N, NT (-)
Asites(+) Edema ekstremitas sup(+/+) inf(+/+)St. lokalis: Pus(+), NT (+),pulsasi arteri D<S GDS stick: 155
A: DM tipe II dengan komplikasi Ulkus pedis dextra regio dorsum + Hipertensi st. II +
hipoalbuminemia
S: Luka kaki nyeri (+), sesak (+), perut
kembung (+)
O: TD:140/90 mmHg, N:82x/i, RR:30x/i
Ane(-/-) Ikt(-/-) Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular, Gallop (-), Murmur (-) BU (+) N, NT (-)
Asites(+)Edema ekstremitas sup(+/+) inf(+/+) Status lokalis: Pus(+), NT (+),pulsasi arteri D<S
A: DM tipe II dengan komplikasi Ulkus pedis dextra regio dorsum + Hipertensi st. II +
hipoalbuminemia
-
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.5)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Cek GDS
Rawat luka/hari
Tunggu hasil kultur pus
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.6)
Metronidazole 3x500mg (d.1)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Cek GDP/G2JPP
Rawat luka/hari
Tunggu hasil kultur pus
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.7)
Metronidazole 3x500mg (d.2)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Cek GDS
Rawat luka/hari
Tunggu hasil kultur pus
17
Jumat,
19 Des
2014
P:
Inf NaCl 0,9 % + KCl 50
mEq 7 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (d.8)
ganti
Meropenem 3x1gr
Metronidazole 3x500mg (d.3)
PCT 3x500 mg prn
KSR 3x1
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Tranf. PRC s.d Hb 10
Rawat luka/hari
Hasil kultur pus (+)
P:Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Meropenem 3x1gr
Metronidazole 3x500mg (d.4)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Rawat luka/hari
Tranf. PRC s.d Hb 10
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Meropenem 3x1gr ST (d.1)
Metronidazole 3x500mg (d.5)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Rawat luka/hari
Cek GDS
Tranf. PRC s.d Hb 10
18
Selasa,
23 Des
2014
Rabu, 24
Des
2014
Jumat,
26 Des
2014
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Meropenem 3x1gr (d.2)
Metronidazole 3x500mg (d.6)
PCT 3x500 mg prn
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Cek GDS
Rawat luka/hari
Tranf. PRC s.d Hb 10(stop)
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
P:
Inf NaCl 0,9 % 7 tpm+KCL
50mEq
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x4 IU SC
Meropenem 3x1gr (d.3)
Metronidazole 3x500mg (d.7)
KSR 3x1
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Furosemid 1-1-0
PCT 3x500 mg prn
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Rawat luka/hari
P:
Inf NaCl 0,9 % 14 tpm
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
Ane(-/-) Ikt(-/-) Wh(-/-) Ro(-/-)
- RI 3x4 IU SC
S1S2 tunggal, regular, Gallop (-), Murmur (-)
- Meropenem 3x1gr (d.4)
BU (+) N, NT (-)
- Metronidazole 3x500mg (d.8)
Asites(+)Edema ekstremitas sup(/) inf(+/+)- Captopril 3x12,5 mg
Status lokalis: Pus(+), NT (-),pulsasi arteri D<S- Amlodipin 10 mg 1-0-0
A: DM tipe II dengan komplikasi Ulkus pedis - KSR 3x1
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
dextra regio dorsum + Hipertensi st. II +
- Inj. Furosemid 1-1-0
hipoalbuminemia+hipokalemia+anemia
- PCT 3x500 mg prn
- Rawat luka/hari
19
Rabu, 31
Des
2014
P:
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x6 IU SC
Meropenem 3x1gr (d.8)
Metronidazole 3x500mg
(d.12)
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Furosemid 1-1-0
PCT 3x500 mg prn
Cek GDP/G2JPP
Rawat luka/hari
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Kamis,
01 Jan
2015
P:
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x6 IU SC
Meropenem 3x1gr (d.9)
Metronidazole 3x500mg
(d.13)
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Furosemid 1-1-0
PCT 3x500 mg prn
Rawat luka/hari
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
Jumat,
02 Jan
2015
P:
Diet DM 2100 kkal ekstra
putih telur
RI 3x6 IU SC
Meropenem 3x1gr (d.10)
Metronidazole 3x500mg
(d.12)
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Furosemid 1-1-0
PCT 3x500 mg prn
21
Rawat luka/hari
Tranf. Alb s.d. Alb 3,0
2.6
22
2.7 Diagnosis
Diabetes melitus tipe II dengan komplikasi ulkus pedis dextra.
2.8 Penatalaksanaan
-
2.9 Prognosis
Vitam
: dubia ad Malam
Sanationam
: dubia ad Bonam
Functionam
: dubia ad Bonam
23
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2Epidemiologi
Data dari International Diabetes Federation (IDF) (2012) menunjukkan bahwa
371 juta orang di dunia atau 8,3 persen dari penduduk dunia menderita DM. DMT2
memberi kontribusi 80-95 persen dari jumlah seluruh kasus. Jumlah penderita DMT2
mencapai 7,6 juta orang di Indonesia pada tahun 2012, dimana penderita DM terbanyak
yaitu > 50 persen merupakan kelompok usia 40-59 tahun. Penelitian pendahuluan yang
dilakukan peneliti di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda menunjukkan pasien
DMT2 rawat inap terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai jumlah 1.113 orang
pada tahun 2012.
24
3.1.4Patofisiologi
Patofisiologi dari terjadinya DMT2 merupakan interaksi dari faktor genetik dan
lingkungan, dalam hal ini gaya hidup yang lebih berefek pada menurunnya sekresi
insulin dan respon jaringan terhadap insulin (Alsahli & Gerich, 2012). Insulin adalah
salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel pulau langerhans dalam kelenjar pankreas
yang berfungsi meregulasi glukosa darah. Penurunan sekresi insulin menyebabkan
glukosa darah setelah asupan makan tidak dapat dikontrol dalam keadaan normal,
sehingga terjadi keadaan hiperglikemi, yaitu glukosa darah di atas normal. Hal ini dapat
disertai penurunan sensitifitas insulin di jaringan target, contohnya pada jaringan otot
sehingga menyebabkan ambilan glukosa untuk metabolisme di dalam sel berkurang.
Insulin juga berfungsi menginhibisi glukoneogenesis dan glikogenolisis, dimana bila
sensitifitasnya pada jaringan hepar menurun atau kadarnya di dalam darah menurun,
cadangan glukosa akan terus dipecah meskipun kadar glukosa darah telah tinggi
(Manaf, 2009).
jumlah sel
Peningkatan kerja sel pankreas
Peningkatan resistensi insulin
3.1.5Manifestasi Klinis
Keluhan klasik DM adalah poliuria atau banyak buang air kecil, polidipsia atau
banyak minum, polifagia atau banyak makan dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya (PERKENI, 2011). Sedangkan, keluhan lainnya dapat berupa
25
lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae (gatal didaerah kemaluan) pada wanita (PERKENI, 2011).
3.1.6Diagnosis
Pembagian alur diagnosis DM di Indonesia terbagi menjadi dua bagian besar
berdasarkan ada tidaknya gejala klasik DM, seperti tertera pada tabel 2.3. (PERKENI,
2011).
Tabel 3.1Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2011)
1.
3.1.7Komplikasi
Komplikasi pada penderita DMT2 diduga terjadi karena efek toksik dari
hiperglikemi dan level lipid yang abnormal sehingga menyebabkan gangguan fungsi
dan struktur pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan kecil (mikrovaskuler).
Komplikasi utama penderita DMT2 menurut International Diabetes Federation (2006)
adalah penyakit kardiovaskuler, retinopati diabetik, neuropati diabetik, nefropati
diabetik dan kaki diabetik.
3.1.8Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien DMT2 diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan usaha pengendalian terhadap
glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid pasien sesuai kriteria (Tabel
2.1) melalui pengelolaan yang holistik (PERKENI, 2011).
Pengelolaan DMT2 memilik 4 pilar utama, yaitu (PERKENI, 2011):
1. Edukasi
26
3.2.2Epidemiologi
Menurut The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
diperkirakan 16 juta orang Amerika Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan
diantaranya berisiko untuk menderita kaki diabetes. Dari keseluruhan penderita
diabetes, 15% menderita ulkus di kaki, dan 12-14% dari yang menderita ulkus di kaki
memerlukan amputasi (Frykberg, 2002; ASA, 2000).
Separuh lebih amputasi non trauma merupakan akibat dari komplikasi ulkus
diabetes, dan disertai dengan tingginya angka mortalitas, reamputasi dan amputasi kaki
kontralateral. Bahkan setelah hasil perawatan penyembuhan luka bagus, angka
kekambuhan diperkirakan sekitar 66%, dan risiko amputasi meningkat sampai 12%
(Frykberg, 2002).
Kaki diabetik dapat terjadi karena berbagai macam faktor risiko. Faktor risiko
terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes tersebut antara lain sebagai berikut neuropati
perifer, kelainan vaskuler, kontrol glikemik yang buruk, trauma berulang, perawatan
kaki dan perawatan luka yang tidak sesuai.
27
3.2.3Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh
Edmonds dari Kings College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi
Wagner, klasifikasi Texas, serta klasifikasi yang dianjurkan oleh International Working
Group On Diabetic Foot (Klasifikasi PEDIS) (Waspadji, 2010).
1. Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003
2. Klasifikasi Wagner
Klasifikasi Wagner membagi berdasarkan derajat dalamnya luka, derajat infeksi dan
derajat gangren dan merupakan klasifikasi yang terkait dengan pengelolaan kaki
diabetes. Sampai saat ini, klasifikasi Wagner masih merupakan klasifikasi yang paling
banyak digunakan karena cukup praktis dalam menilai derajat ulkus (Waspadji, 2010).
Grad
Keterangan
Karakteristik Kaki
e
Tidak ada ulserasi, tetapi berisiko tinggi
walaupun tidak ada ulserasi, untuk menjadi kaki
0
Kulit intak/utuh
Tukak Superfisial
Tukak Dalam
Tukak Dalam
tulang.
Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luas
dengan Infeksi
Tukak dengan
yang dalam.
Gangren terbatas yaitu hanya pada ibu jari kaki,
28
daerah tertentu.
Gangren seluruh kaki Biasanya oleh karena
Tukak dengan
kaki
Stage
0
Lesi pre atau
1
Lesi
post ulkus
superfisial
yang
tidak sampai
mengalami
pada tendon,
epitelisasi
kapsul atau
sempurna
B
C
D
Luka sampai
Luka sampai
pada tendon
pada tulang
atau
atau
kapsul
sendi
tulang
Stage A + adanya infeksi
Stage A + adanya iskemia
Stage A + adanya infeksi dan iskemia
Klinis Kaki
Normal Foot
High Risk
Stage 2
Foot
Keterangan
Peran pencegahan primer sangat penting, dan
semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan
kesehatan primer, baik oleh podiatrist / chiropodist
maupun oleh dokter umum
Stage 3
Stage 4
Stage 5
Stage 6
Ulcerated
Foot
Infected Foot
Necrotic Foot
Unsalvable
29
Foot
dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskular
atau ahli bedah plastik dan rekonstruksi.
5. Klasifikasi Liverpool
Tabel 2.5. Klasifikasi Liverpool (Waspadji, 2010)
Klasifikasi
Klasifikasi Primer
Klasifikasi Sekunder
Keterangan
Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Tukak sederhana tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi
3.2.4 Patogenesis
Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki. Kerentanan terhadap infeksi meluas ke jaringan
sekitar. Faktor aliran darah yang kurang membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah terjadi
ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam
sampai ke tulang. Di bawah ini adalah etiologi dari kaki diabetik (Boulton, et al., 2008;
Smeltzer & Bare, 2008; Turns, 2011).
1. Neuropati Diabetik
Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan
terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi
otot, keringat berkurang, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus
tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan menjadi ulkus kaki
diabetes (Waspadji, 2010). Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling
sering ditemukan pada pasien diabetes melitus. Angka kejadian neuropati ini meningkat
bersamaan dengan lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia
penderita (Smeltzer & Bare, 2008).
Ada tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan neuropati
otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris
30
pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan distribusi
stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan kelainan
propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada
otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut
saraf tipe C berperan dalam analisis sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini
akan menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan
menyebabkan trauma berulang pada kaki (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan stabilitas
saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah
dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar.
Jaringan di bawah kallus akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan
menyebabkan ulkus (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi kering.
Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada kallus.
Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol
distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi pada kaki.
Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki (Singh,
Armstrong, & Lipsky, 2005).
2. Kelainan Vaskular
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari
diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri banyak
menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol
dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan diabetes melitus.
PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini dan cepat mengalami perburukan.
Pembuluh darah yang sering terkena adalah arteri Tibialis dan Arteri Peroneus serta
percabangannya (Adhiarta, 2011; Turns, 2011).
31
Pasien diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah biasanya ada
gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala. Sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu
(Adhiarta, 2011):
a. Intermitten Caudication adalah nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan
dan hilang dengan berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika
Ankle-Brankhial Index < 0,75.
b. Kaki dingin
c. Nyeri terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas, dan
elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri atau kaki menggantung
d. Nyeri iskemia nokturnal : terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah
berkurang sehingga terjadi neuritis iskemik
e. Pulsasi arteri tidak teraba
f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan capillary refilling time
(CRT) yang memanjang
g. Atropi jaringan subkutan
h. Kulit terlihat licin dan berkilat
i. Rambut di kaki dan ibu jari menghilang
j. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan o leh karena kekurangan darah
dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya
proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang
ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis
dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi
nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai. Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya
arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah,
sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama
dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki
diabetes (Waspadji, 2010).
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membran basalis arteri) pada
32
pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin
keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis
jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes melitus
yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit
dan pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi
penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen
mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan
tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan
memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan
mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes melitus biasanya kadar kolesterol total,
LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan
menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan
merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan atau inflamasi pada dinding pembuluh
darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL
(highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko
lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis (Waspadji,
2010).
33
3. Infeksi
Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang
terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada
infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid
intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50% akan mengalami infeksi akibat
adanya glukosa darah yang tinggi karena merupakan media pertumbuhan bakteri yang
subur (Waspadji, 2010).
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya
monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis
bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan adalah
Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta isolation of Methicillin-resstant
Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya
atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif
34
3.2.5Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala kaki diabetik yaitu sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat,
sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal, kulit
kering (Sari, 2012). Pada umumnya, area lesi yang terjadi pada kaki diabetes adalah
akibat adanya penekanan pada area kaki atau area yang sering terkena suatu trauma
(Gambar 2.2). Trauma mungkin tidak dirasakan oleh pasien akibat hilangnya sensasi
rasa terhadap nyeri yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya infeksi yang
memperberat keadaan ulkus (Wounds International, 2013).
3.2.6Diagnosis
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki diabetik
ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang (Sari, 2012).
1. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga Riwayat kesehatan meliputi : lama diabetes;
manajemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-obatan; evaluasi
dari jantung, ginjal dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan
merokok dan minum alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang
pemakaian alas kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kallus dan
deformitas, gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian
pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman,
penampakan ulkus, temperatur dan bau (Sari, 2012).
Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia, paresthesia, disesthesia,
radicular pain dan anhidrosis. sebagian besar orang yang menderita penyakit
atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala (asimtomatik),
penderita yang menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat
istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram, kelemahan dan
rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh penderita diabetes karena
kecenderungannya menderita oklusi aterosklerosis tibioperoneal (Jones, 2007).
2. Pemeriksaan fisik
35
a. Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna,
turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; ada kalus atau
bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan
postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau charcot
joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; kekuatan kaki (Sari, 2012).
b. Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada arteri kaki
(dorsalis pedis dan tibial posterial), capillary refiling time, perubahan warna, atropi
kuit dan kuku (Sari, 2012; Adhiarta, 2011).
c. Ankle-branchial index (ABI): tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas
menggunakan manset pneumatik dan flow sensor, biasanya Doppler ultrasound
sensor. Tekanan sistolik akan meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya
tekanan diastolic akan turun. Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih
tinggi dibanding Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan turun
walaupun penyumbatan masih minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan
kaki dengan tekanan sistolik di arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan
indikator sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak (Sari, 2012).
Tabel 2.6. Interpretasi Ankle-Brachial Index (Sari, 2012)
Indeks Tekanan
> 1,2
>1
>0,9
> 0,6
d. Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman bagi
penderita, tipe sepatu dan ukurannya (Sari, 2012).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien, yaitu:
pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu, glycohemoglobin
(HbA1c), Complete blood Count (CBC), urinalisis, dan lain-lain. Pemeriksaan
penunjang lainnya meliputi X-ray, EMG dan pemeriksaan kultur untuk mengetahui
apakah ulkus diabetik menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Sari,
2012).
36
3.2.7Terapi
Pengelolaan pasien dengan ulkus diabetik pedis membutuhkan kerja sama
multidisiplin agar diperoleh hasil yang maksimal. Terdapat 6 aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu kontrol metabolik, kontrol vaskular, pengelolaan luka, kontrol
mikrobiologi, kontrol tekanan dan edukasi.
a. Kontrol metabolik
Perbaikan berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat
penyembuhan luka. Selain itu status nutrisi yang baik, fungsi ginjal, konsentrasi
albumin serum, konsentrasi Hb dan derajat oksigenasi jaringan yang baik juga perlu
diperhatikan untuk mengoptimalkan proses penymbuhan luka.
b. Kontrol vaskular
Kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui cara sederhana, seperti
melihat perubahan warna kulit, suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri
tibialis posterior dan pengukuran tekanan darah. Evaluasi lain yang bersifat invasive
berupa pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2,
ekhodopler dan pemeriksaan arteriografi. Pengelolaan kelainan pembuluh darah
perifer diawali dengan modifikasi faktor risiko, seperti menghentikan rokok, serta
perbaikan risiko terkait aterosklerosis seperti hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia.
Pemilihan terapi farmakologis yang dapat digunakan secara rutin untuk kelainan
pembuluh darah perifer belum ditunjang dengan bukti penelitian yang kuat.
Tindakan revaskularisasi dianjurkan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan luka
pada kaki untuk meningkatkan kesembuhan luka.
c. Pengelolaan luka
Perawatan luka dimulai sejak pasien pertama kali datang, lakukan evaluasi luka
secermat mungkin, kemudian klasifikasikan luka setelah debridemen adekuat.
Menjaga luka pada keadaan optimal dan tidak terinfeksi. Setelah luka tidak
mengalami inflamasi, proses penyembuhan akan beranjak ke proses granulasi
kemudian reepitelisasi.
Penggunaan balutan yang efeklif dan tepat menjadi bagian yang penting untuk
memastikan penanganan ulkus diabetes yang optimal. Pendapat mengenai
lingkungan sekitar luka yang bersih dan lembab telah diterima luas. Keuntungan
pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel, akselerasi
angiogenesis, dan memungkinkan interaksi antara faktor pertumbuhan dengan sel
37
target. Pendapat yang menyatakan bahwa keadaan yang lembab dapat meningkatkan
kejadian infeksi tidak pernah ditemukan (Doupis & Veves, 2008).
d. Kontrol mikrobiologi
Penggunaan antibiotik lini pertama untuk mengontrol mikrobiologi adalah
antibiotik spectrum luas yang mencakup kuman gram positif dan negatif,
dikombinasi dengan antibiotik untuk kuman anaerob. Kemudian selanjutnya
disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan uji resistensi terhadap antibiotik.
e. Kontrol tekanan
pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu komponen penanganan
ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada area telapak kaki yang mendapat
tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu cara yang ideal untuk mengurangi tekanan
tetapi sulit untuk dilakukan (Hariani & Perdanakusuma, 2010). Total Contact
Casting (TCC) merupakan metode offloading yang paling efektif. TCC dibuat dari
gips yang dibentuk secara khusus untuk menyebarkan beban pasien keluar dari area
ulkus. Metode ini memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan
bermanfaat untuk mengontrol adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan
luka. Meskipun sukar dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka dan itu
ditunjukkan oleh penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain membutuhkan
ketrampilan dan waktu, iritasi dari gips dapat menimbulkan luka baru, kesulitan
untuk menilai luka setiap harinya (Hariani & Perdanakusuma, 2010). Karena
beberapa kerugian TCC tersebut, lebih banyak digunakan Cam Walker, removable
cast walker, sehingga memungkinkan untuk inspeksi luka setiap hari, penggantian
balutan, dan deteksi infeksi dini (Hariani & Perdanakusuma, 2010).
Tekanan pada luka terutama luka yang terletak di bagian plantar, seperti bila
dipakai berjalan (mendapat tekanan dari menahan berat badan), menyebabkan luka
tidak sempat menyembuh. Perlu berbagai cara baik surgical maupun non surgical
untuk mengurangi tekanan pada luka.
f. Edukasi
Upaya pencegahan terjadinya dan pengendalian kaki diabetik diperlukan adanya
keterlibatan berbagai pihak terutama dari pasien dan keluarga. Hal-hal yang dapat
mencegah dan mengendalikan kaki diabetik yaitu (Adhiarta, 2011).
Mengontrol gula darah
Memperbaiki aliran darah ke kaki
Hindari merokok
Olahraga yang teratur termasuk senam kaki untuk menjaga berat badan dan
fungsi dari insulin dalam tubuh.
38
Edukasi perawatan kaki pada pasien dan keluarga yang meliputi kebersihan
kaki, perawatan kuku, pemilihan alas kaki, pencegahan dan pengelolaan cedera
awal pada kaki.
3.2.8Prognosis
Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada kaki
dan 1 diantara 100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh karena itu,
diabetes merupakan faktor penyebab utama amputasi non trauma ekstremitas bawah di
Amerika Serikat. Amputasi kontralateral akan dilakukan pada 50 % penderita ini selama
rentang 5 tahun ke depan (Stillman, 2008). Neuropati perifer yang terjadi pada 60%
penderita diabetes merupakan risiko terbesar terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan
penyakit mikrovaskuler dan regulasi glukosa darah yang buruk. Pada penderita diabetes
dengan neuropati, meskipun hasil penyembuhan ulkus tersebut baik, angka
kekambuhanrrya 66% dan angka amputasi meningkat menjadi 12% (Stillman, 2008).
39
BAB 4
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien Tn. S umur 42 tahun datang
ke Poliklinik Penyakit Dalam pada tanggal 11 Desember 2014 rujukan dari RS.
Kanujoso Balikpapan. Pasien ini memiliki keluhan awal berupa luka kaki yang tak
kunjung sembuh. Diagnosis masuk pasien ini adalah diabetes melitus tipe II dengan
ulkus diabetik region dorsum pedis dextra. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
4.1 Anamnesis
Kasus
Laki-laki
Usia 42 tahun
Luka pada kaki yang sukar sembuh
Terdapat riwayat amputasi pada digiti II
Teori
lemak.
Keluhan klasik DM adalah poliuria atau
banyak buang air kecil, polidipsia
atau banyak minum, polifagia atau
banyak makan dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lainnya berupa
lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur disfungsi ereksi pada pria, dan
luka yang sukar sembuh.
kedua kaki
40
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Merza dan Tesfaye (2003) yang didasarkan
pada studi penelitian cross-sectional pada 251 pasien diabetes melitus,dilaporkan
sebanyak 70% dari pasien yang terkena kaki diabetik adalah laki-laki. Penelitian lain
oleh Hokkam (2009) juga menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki mempunyai
faktor risiko tinggi mengalami kaki diabetik.
Pasien saat ini berusia 42 tahun dan mengetahui menderita DM tipe II sejak pasien
berusia 39 tahun. Menurut International Diabetes Federation (2012) penderita DM tipe
II lebih dari 50 % merupakan kelompok usia 40-59 tahun. Sedangkan, persentase kaki
diabetik paling tinggi pada usia 45 - 64 tahun. Hal ini lebih awal dibandingkan
penelitian yang telah dilakukan, dapat disebabkan oleh tingginya risiko yang terdapat
pada pasien. Selain itu, epidemiologi suatu penyakit dapat berbeda pada masing-masing
tempat.
Hasil anamnesis menunjukkan pasien memiliki faktor risiko berupa riwayat
keluarga yang menderita DM tipe II, hipertensi yang tidak terkontrol, tidak adanya
aktivitas fisik rutin dan tidak ada pembatasan pola makan. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyebutkan macam-macam faktor risiko terjadi DM tipe II.
Pasien mengaku sebelum mengetahui menderita DM tipe II, pasien sering merasa
haus dan sering buang air kecil hingga sering terbangun saat tidur malam hari. Selain
itu, meskipun pasien telah banyak makan, pasien tetap sering merasa lemas dan berat
badan pasien turun tanpa alasan yang jelas. Pasien mengaku mengetahui terkena DM
tipe II saat dirawat di rumah sakit sebelumnya, dengan gula darah sewaktu sekitar 300.
Hal ini sesuai dengan kriteria penegakkan diagnosis DM tipe II, yaitu adanya gejala
klasik dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL. Kontrol glikemik yang
buruk mengakibatkan gangguan makrovaskuler dan mikrovaskuler, serta gangguan pada
persarafan sehingga meningkatkan kerentanan terjadinya ulkus pedis. Faktor aliran darah
yang kurang membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah
sekali terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang.
41
TD: 160/90
RR: 30x/i, pasien tampak kesulitan
Teori
membesar
42
140/100
43
Pemeriksaan tanda vital lain yaitu frekuensi pernapasan didapatkan 30 x/i dan
pasien tampak kesulitan bernapas karena perutnya yang membesar. Saat cairan di perut
berkurang, pasien juga merasa nafas lebih lega. Pemeriksaan fisik paru menunjukkan
tidak ada suara nafas tambahan, seperti ronki. Penyebab sesak nafas diperkirakan bukan
karena paru-paru telah terisi cairan.
Pasien ini memiliki tinggi badan 165 cm dengan berat badan 70 kg. Indeks masa
tubuh didapatkan sebesar 25,7, yaitu termasuk kriteria obesitas I. Hal ini meningkatkan
risiko 4-5 kali untuk terjadinya DM tipe II, juga risiko terjadinya kelainan vaskuler
sebagai komplikasi DM tipe II. Obesitas diduga dapat menyebabkan gangguan fungsi
retikulum endoplasma pada membran sel, dimana hal ini menekan sinyal reseptor
insulin. Sehingga, terjadi resistensi insulin pada jaringan yang membutuhkan sinyal
insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Pada akhirnya terjadi DM tipe II dan
apabila keadaan hiperglikemik tidak dikontrol akan menyebabkan gangguan pada sel
saraf dan pembuluh darah.
Gangguan pembuluh darah dan sel saraf pada organ perifer dapat menyebabkan
terbentuknya ulkus kaki, dimana pada pasien DM dapat disebut kaki diabetik. Ulkus
pada pasien ini terletak pada regio dorsum pedis dextra dengan 1-2 cm. Ulkus dalam
hingga terlihat tendon. Terlihat pus yang keluar dari luka. Tidak tampak jaringan
nekrosis. Pulsasi arteri dorsalis pedis dalam batas normal. Distal pedis teraba hangat.
Tanda iskemik akibat gangguan aliran darah pada tungkai biasanya muncul, namun bisa
juga sulit dilihat. Perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut bila ingin lebih
mengetahui fungsi vaskular, seperti dengan arteriografi.
Kulit kedua tungkai tampak kering. Hal ini merupakan tanda-tanda terjadinya
neuropati otonom berupa berkurangnya keringat sehingga kulit menjadi kering. Fungsi
otonom Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol
distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi pada kaki. Keadaan
ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki (Singh, Armstrong, &
Lipsky, 2005).Pemeriksaan sensasi raba dan nyeri dengan tes pin prick dalam batas
normal. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengevaluasi fungsi saraf
sensorik dan motorik seperti menggunakan monofilamen, vibrasi, suhu.
44
Telapak kaki pasien tampak tidak memiliki sudut pada bagian medialnya, ini
menunjukkan telah terjadi neuropati sehingga tulang menjadi lemah dan sendi kolaps.
Penggunaan kaki untuk berjalan menyebabkan deformitas sehingga tampak rocker
bottom. Kondisi ini disebut dengan charcot foot.
Pemeriksaan abdomen diperoleh bunyi perkusi redup pada seluruh lapang
abdomen dengan tes fluid wave untuk asites hasilnya positif. Seluruh ekstremitas juga
membengkak, ditandai oleh pitting oedem. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar albumin
dan protein total yang rendah. Selain itu,bisa terjadi akibat penurunan fungsi ginjal untuk
ekskresi cairan. Penyebab dan mekanisme rendahnya protein serta penurunan fungsi ginjal
sehingga terjadinya bengkak akan dijelaskan pada bagian pemeriksaan penunjang.
Teori
setelah tranfusi.
Kadar kolesterol total sebesar 171
mg/dL, TG 217 mg/dL, HDL 38
mg/dL, LDL 89 mg/dL.
Kadar albumin Os selalu berada di
bawah kadar normal, berkisar 1,6 g/dl
hingga 2,2 g/dl. Protein total Os juga
rendah, yaitu sebesar 4,6 mg/dL.
Urinalisis menunjukkan glikosuri (+1),
proteinuri (+3), dan hematuri (+2).
45
Pemeriksaan GDS saat pertama kali adalah 228 mg/dL. GDP berkisar antara 123163 mg/dL dan GD2PP antara 126-184 mg/dL. Target pengendalian DM menurut
PERKENI (2011) adalah GDP <100 mg/dL dan GD2PP <140 mg/dL.
Pasien dikatakan mengalami anemia karena kadar Hb <13,0 mg/dl (WHO, 2007).
Pemeriksaan Hb saat pertama kali menunjukkan hasil 8,8 mg/dL, kemudian menjadi 6,9
mg/dL dan meningkat menjadi 9,2 mg/dL setelah tranfusi. Anemia dapat terjadi karena
berbagai sebab, yaitu penurunan atau kegagalan pembetukan sel darah merah, hilangnya
darah misalnya perdarahan, dan destruksi berlebihan. Kondisi anemia pada pasien ini
dapat disebabkan keluarnya eritrosit di urin dan menurunnya fungsi ginjal dalam
memproduksi eritropoietin yang merangsang sumsum tulang memproduksi sel darah
merah. Selain itu, keadaan inflamasi kronik yang di alami pasien mendukung terjadi
anemia melalui dihasilkannya sitokin-sitokin pro inflamasi. Sitokin tersebut turut
berperan menurunkan produksi dan aktivitas eritropoietin (Goodnough, 2005).
Kadar kolesterol total sebesar 171 mg/dL, TG 217 mg/dL, HDL 38 mg/dL, LDL
89 mg/dL. Kadar HDL 45 mg/dl dan TG >150 mg/dL dapat meningkatkan risiko
terjadinya kaki diabetes. Kadar trigliserida yang tinggi menyebabkan perubahan atau
inflamasi pada dinding pembuluh darah, dimana akan terjadi penumpukan lemak pada lumen
pembuluh darah. Sedangkan, konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) yang berfungsi
sebagai pembersih plak biasanya rendah. Bersama dengan tekanan darah tinggi dapat
meningkatkan kerentanan terjadi aterosklerosis yang mempengaruhi suplai aliran darah ke
bagian distal tungkai. Profil lipid serum yang khas pada orang dengan resistensi insulin
adalah kadar trigliserida yang tinggi, HDL yang rendah dan meningkatnya subfraksi LDL
kecil padat, hal ini dikenal dengan fenotipe lipoprotein aterogenik atau lipid triad (Waspadji,
2009).
Kadar albumin pasien selalu berada di bawah kadar normal, berkisar 1,6 g/dl
hingga 2,2 g/dl. Protein total pasien ini juga rendah, yaitu sebesar 4,6 mg/dL, dimana
normalnya adalah 6,6-8,7 mg/dl. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan
46
produksi albumin, sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan
intake protein, peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi
akut maupun kronis. Pada pasien ini kadar albumin dan protein total berada di bawah
normal, hal ini diduga karena terjadinya inflamasi kronik sehingga terjadi pelepasan
berbagasi sitokin pro inflamasi. Salah satunya TNF- yang berperan dalam penurunan
trankripsi gen albumin sehingga terjadi penurunan sintesis albumin. Selain itu, terjadi
peningkatan permeabilitas vaskuler, sehingga albumin berdifusi ke ruang interstisial.
Inflamasi juga merangsang peningkatan degradasi albumin. Selain itu, protein yang
rendah bisa disebabkan karena keluarnya protein melalui urin (Waspadji, 2009).
47
Hasil kultur pus menunjukkan antibiotik yang sensitif dengan MIC terendah
adalah meropenem. Sehingga inj Ceftriaxon kemudian diganti dengan inj. Meropenem
sesuai hasil pemeriksaan kultur pus dan uji resistensi terhadap antibiotik.
4.4 Penatalaksanaan
Kasus
Awalnya inf NaCl 0,9 % 14 tpm,
Teori
Terapi DM tipe II
Edukasi
melalui intravena untuk mengurangi Terapi gizi medis
Latihan jasmani
pembengkakan dan sesak.
Intervensi farmakologis dengan insulin
setelah itu tidak ada asupan cairan
maupun OHO
telur
RI 3x4 IU SC
Meropenem 3x1gr
Metronidazole 3x500mg
Rawat luka/hari
Captopril 3x12,5 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
7 tpm
KSR 3x1
48
Terapi Anemia
Hb < 7g/dl indikasi tranfusi PRC s.d.
Hb 10 mg/dl untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan.
Simptomatik
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Edema ditanggulangi dengan
memperbaiki peyakit dasar, restriksi
asupan natrium untuk
meminimalisasi retensi air, dan
pemberian diuretik.
Paracetamol dapat bekerja sebagai
analgesik sekaligus antipiretik,
dengan dosis untuk dewasa 500 mg
1-2 tablet, diberikan per 4-6 jam.
Intake cairan awalnya berupa NaCl 0,9 % 14 tpm, kemudian di hentikan untuk
asupan cairan melalui intravena untuk mengurangi pembengkakan dan sesak.
Terapi pasien DM tipe II diawali dengan edukasi, pada pasien ini telah dilakukan
edukasi rutin dengan tujuan promosi hidup sehat, mengenai pengertian, perjalanan,
pengendalian dan pemantauan DM tipe II serta berbagai penyulitnya baik yang akut
atau kronik. Selain itu, edukasi mencakup pentingnya latihan jasmani secara teratur,
obat-obatan hipoglikemik oral atau insulin yang digunakan serta target pengobatan yang
dijalani.
49
Terapi gizi medis pasien DM tipe II dengan menghitung kebutuhan kalori dalam
sehari. Kebutuhan kalori basal pada pasien ini dihitung dengan menggunakan berat
badan ideal, yaitu 90% x {162 (TB dalam cm) 100}x1kg, yaitu 55,8 kg. Kebutuhan
kalori basalnya adalah 30kal/kg BB yaitu 1.674 kal. Koreksi kebutuhan berdasarkan
umur >40 tahun (-5%), aktifitas bed rest (+10%), stress metabolik (+20%) dari
kebutuhan kalori basal, yaitu penambahan 418,5 kal. sehingga kebutuhan kalori total
adalah sekitar 2.100 kal per hari. Kebutuhan kalori ini dibagi menjadi 3 porsi besar
untuk makan pagi (25% = 525 kal), makan siang (30%= 630 kal), makan malam
(25%=525 kal) dan 2 porsi ringan disela porsi besar (masing-masing 10% = 210 kal).
Selain itu diet juga melihat kondisi pasien yang disertai hipertensi dan hipoalbumin,
sehingga pemberian komposisi makanan dipilih yang rendah garam dan tinggi protein,
bisa dengan ekstra putih telur.
Latihan jasmani dilakukan ketika pasien sudah tidak dalam kondisi bed rest.
Pilihan latihan yang dapat dilakukan adalah yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging dan berenang. Latihan dilakukan secara teratur sebanyak 3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Selain itu, dapat disertai dengan
mengurangi kebiasaan hidup kurang gerak dan bermalas-malasan.
Pasien mendapat terapi farmakologis berupa insulin tipe cepat RI 3x4 IU melalui
injeksi sub kutan, setiap sebelum makan. Sasarannya adalah mengendalikan glukosa
prandial hingga mencapai target kadar GD2PP <140 mg/dl. Pemberian insulin ditambah
2-4 unit bila sasaran terapi belum tercapai. Terapi insulin dipilih karena pasien ini
memiliki gangguan fungsi ginjal dan stress metabolik dari ulkus DM.
Manajemen kaki diabetik pada pasien ini telah sesuai dengan teori, dimana salah
satunya adalah kontrol metabolik dengan mempertahankan kadar glukosa darah,
tekanan darah, kolesterol, albumin dan Hb dalam kadar normal. Selain itu, kontrol
mikrobiologi pada pasien ini diawali dengan antibiotik spektrum luas dikombinasi
dengan antibiotik untuk kuman anaerob, yaitu Ceftriaxon 2x1gr dan Metronidazole
3x500 mg. Kemudian hasil kultur pus menunjukkan antibiotik yang sensitif dengan
MIC terendah adalah meropenem. Sehingga inj Ceftriaxon kemudian diganti dengan inj.
Meropenem sesuai hasil pemeriksaan kultur pus dan uji resistensi terhadap antibiotik.
Pengelolaan luka dilakukan dengan membersihkan luka, dan mengganti perban
setiap hari. Manajemen kaki diabetik disertai dengan edukasi pada pasien dan keluarga
yang meliputi kebersihan kaki, perawatan kuku, pemilihan alas kaki, pencegahan dan
50
pengelolaan cedera awal pada kaki. Berikut ini 7 elemen kunci dalam edukasi
perawatan kaki pada pasien dengan risiko tinggi terjadi kelainan kaki, yaitu:
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air. Memeriksa kaki
setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas, kemerahaan atau
luka.
2. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya. Selalu menjaga kaki dalam
keadaan bersih, tidak basah dan mengoleskan krim pelembab ke kulit yang kering.
3. Potong kuku secara teratur, keringkan kaki, sela-sela jari kaki teratur setelah dari
kamar mandi.
4. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujungujung jari kaki.
5. Bila ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur. Jika telah ada kelainan bentuk
kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
6. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi
7. Jangan gunakan bantal atau botol berisi air panas untuk kaki
Tekanan darah tinggi pada pasien ini dikontrol sesuai teori yaitu dengan merubah
pola diet, edukasi untuk modifikasi gaya hidup sedenter, meningkatkan aktivitas fisik
min. 150 mnt/minggu dan kombinasi 2 obat anti hipertensi, dimana dianjurkan untuk
memberikan golongan ACE inhibitor, pada pasien ini diberikan Captopril 3x12,5 mg
dan golongan ARB seperti valsartan. Pemberian kedua golongan obat dapat mencegah
laju penurunan fungsi ginjal. Namun pasien ini menggunakan kombinasi golongan obat
Calcium Channel Blocker (CCB) yaitu, Amlodipin 10 mg 1-0-0. Namun, kombinasi
pengobatan yang dapat dipakai pasien ini sesuai dengan kombinasi golongan obat anti
penderita hipertensi. Target tekanan darah pada pasien DM tipe II adalah < 130/80
mmHg (Waspadji, 2009).
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin dalam darah rendah, dimana nilai normal
untuk dewasa yang dipakai di RSUD Abdul Wahab Sjahranie adalah sebesar 3,2-4,5 g/dl.
Terapi hipoalbuminemia ditangani dengan merubah pola diet, konsumsi tablet suplemen
albumin, dan tranfusi Albumin 20 % sampai dengan kadar albumin serum 3,0 g/dl.
Pasien mendapat tranfusi 8 botol Albumin 20% selama menjalani rawat inap. Indikasi
pemberian transfusi telah sesuai yaitu kadar serum albumin <2,0 g/dl (University
Hospital Consortium, 2010).
Hipokalemi adalah kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 meq/L. Hal ini
dapat disebabkan oleh asupan kalium yang kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan
melalui ginjal atau keringat, dan kalium masuk ke dalam intra sel. Penyebab keadaan
51
hipokalemi yang paling mungkin pada pasien ini adalah masuknya kalium ke dalam sel
akibat pemberian insulin. Kondisi hipokalemi pasien ini merupakan indikasi kuat untuk
dilakukan koreksi kalium, karena pasien menggunakan insulin secara rutin, dan akan
digunakan diuretik kuat yang tidak hemat kalium, sehingga dapat meningkatkan
pengeluaran kalium. Pemberian terapi telah sesuai dengan teori, dapat menggunakan
secara oral yaitu KSR 3x1 tab dan KCl 50 mEq yang dilarutkan dalam NaCl 0,9 %
melalui vena perifer. Dosis maksimal adalah 60 mEq dilarutkan dalam 1000 cc NaCl,
bila lebih dari ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan sklerosis vena
(Siregar, 2009).
Indikasi tranfusi untuk terapi anemia secara umum dimulai bila Hb <7 g/dl.
Tujuan tranfusi adalah memperbaiki oksigenasi jaringan, dimana tercapai bila kadar Hb
telah di atas 10 g/dl. Hal ini sesuai dengan terapi pada pasien ini, tranfusi dilakukan saat
pemeriksaan Hb menunjukkan kadar 6,9 g/dl. Pasien mendapat transfuse PRC sebanyak
3 kantong, dan Hb terakhir 9,6 g/dl .
Penatalaksanaan untuk dislipidemia pada pasien ini belum menggunakan pengobatan
farmakologi. Perubahan gaya hidup sehat yang sejalan dengan pengobatan DM tipe II
disertai pembatasan jumlah kalori dan lemak yang dikonsumsi dengan total 20-25 % kalori
total. Pasien dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh dan meningkatkan asupan
lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono unsaturated fatty acid= MUFA dan poly
unsaturated fatty acid = PUFA). Setelah itu dilakukan evaluasi ulang setiap 3 bulan dan
mulai pengobatan farmakologis apabila profil lipid tidak sesuai target yang diinginkan.
Target kolesterol pada pasien DM adalah LDL <70 mg/dL dan kolesterol HDL >40 mg/dl,
serta kadar kolesterol total yang optimal adalah 200 mg/dl dan trigliserida <150 mg/dl. Obat
pilihan pertama adalah golongan HMG-CoA reductase inhibitor yang bekerja meningkatkan
reseptor LDL dan menurunkan sintesis kolesterol. Golongan ini dapat menurunkan LDL
hingga 25-40 %. Contoh obatnya adalah simvastatin dengan dosis 4-40 mg/dl (PERKENI,
2011; Adam, 2011).
52
paracetamol diharapkan sebagai analgesik sekaligus antipiretik, dengan dosis untuk dewasa
500 mg 1-2 tablet, diberikan per 4-6 jam.
53
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
terhadap pasien Tn. S dengan diagnosis diabetes melitus tipe II dengan ulkus diabetik
regio dorsum pedis dextra dan hipertensi st. I, disertai hipoalbuminemia, anemia,
hipokalemia. Secara umum, data yang didapat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik sesuai dengan teori yang ada. Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang
diberikan terhadap pasien hampir sesuai dengan teori. Perlu dievaluasi kemungkinan
terjadi komplikasiDM tiipe II lain pada pasien ini.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
8. Perlunya edukasi kepada pasien mengenai penyakit diabetes melitus tipe II beserta
semua komplikasinya dan pentingnya menjalani pola makan, aktivitas fisik dan
terapi anti diabetes dengan rutin.
9. Perlunya edukasi mengenai ulkus diabetik yang sering terjadi pada pasien DM
tipe II, cara perawatan kaki yang baik agar mencegah terulangnya terjadi ulkus
dan cara perawatan luka apabila telah terjadi ulkus.
54
DAFTAR PUSTAKA
Adhiarta. (2011). Penatalaksanaan Kaki Diabetik. Artikel dalam Forum Diabetes
Nasional V. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD.
Alsahli, M., & Gerich, J. E. (2012). Pathogenesis of Type 2 Diabetes. In J. S.
Skyler (Ed.), Atlas of Diabetes (4 ed.). Springer.
Armstrong, D., & Lavery, L. (2008). Diabetic Foot Ulkus: Prevention, Diagnosis,
and Classification. Am Fam Physician.
ASA. (2000). Lower Extremity Amputation Episodes Among person with
Diabetes. JAMA : 289, 1502-1503.
Boulton, A., Armstrong, D., Albert, S., Frykberg, R., Hellman, R., Kirkman, M., et
al. (2008). Comprehensive Foot Examination and Risk Assesment. Diabetes Care Vol
31 Numb 8.
Dewi, A. (2007). Hubungan Aspek-Aspek Perawatan Kaki Diabetes dengan
Kejadian Ulkus Kaki Diabetes pada Pasien Diabetes Melitus. Mutiara Medika Volume 7
No.1, 13-18.
Dorland, W. N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.
Frykberg, R. (2002). Diabetic Foot Ulcer: Pathogenesis and Management. Am
Fam Physician, Vol 66, Number 9, 1655-62.
Hariani, L., & Perdanakusuma, D. (2010). Perawatan Ulkus Diabetes. Surabaya:
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.
Hokkam, E. (2009). Assesment of Risk Factors in Diabetic Foot Ulceration and
Their Impact on the Outcome of the Disease. Primary Care Diabetes 3, 219-224.
International Diabetes Federation. (2012). Retrieved Agustus 22, 2013, from IDF
Diabetes Atlas: http://www.idf.org
Kaku, K. (2010). Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy.
Japan Medical Association Journal (JMAJ) .
Jones, R. (2007). Exploring The Complex Care of The Diabetic Foot Ulcer.
JAAPA.
Manaf, A. (2009). Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna Publishing.
55
Merza, Z., & Tesfaye, S. (2003). Review The Risk Factors for Diabetic Foot
Ulceration. The Foot 13, 125-129.
Purnamasari, D. (2010). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata K, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. Jakarta: Interna Publishing.
Sari, C. (2012). Pengaruh Program Edukasi Perawat Kaki Berbasis Keluarga
terhadap Perilaku Perawatan Kaki pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah
Kerja Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Bandung: Thesis Universitas Padjajaran.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna Publishing.
Sima, A. A., Kamiya, H., & Li, Z. G. (2004). Insulin, C-peptide, hyperglycemia,
and central nervous system complications in diabetes. European Journal of
Pharmacology .
Sudoyo, A. W., & Setiyohadi, B. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed.,
Vol. III). Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Singh, N., Armstrong, D., & Lipsky, B. (2005). Preventing Foot Ulcers in Patient
with Diabetes. American Medical Association JAMA Vol. 293 No. 2.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Stillman, R. (2008, Juni). Diabetic Ulcers. Retrieved Oktober 02, 2014, from EMedicine: http ://www.emedicine.com
Turns, M. (2011). The Diabetic foot : an overview of assessment and
complication. British Journal of Nursing 20(15).
Waspadji, S. (2009). Kaki Diabetes. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M.
S. K., & S. Setiati (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5th ed., Vol. III, pp. 19611966). Jakarta: Interna Publishing.
Waspadji, S. (2009). Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaan. In A. W. Sudoyo (Ed.), Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam (V ed., Vol. III). Interna Publishing.
56
Yunir, E., & Soebardi, S. (2009). Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus.
In A. W. Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed., Vol. III). Interna
Publishing.
57