Anda di halaman 1dari 3

Anak SMA Jepang

Kamis, 02 Oktober 2014, 06:00 WIB


Komentar : 1

Republika/Daan

Azyumardi Azra
A+ | Reset | AREPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Memberi ceramah di depan anak SMA? Penulis Resonansi ini hampir selalu menemukan
kesulitan dan kagok memberi ceramah pada anak-anak SMA Indonesia. Pertama, saya merasa
bahasa saya susah disederhanakan karena lazimnya memberi ceramah di depan audiens
perguruan tinggi yang biasa dengan bahasa tinggi dan formal . Kedua, sering anak-anak
SMA bising; asyik bicara sesama mereka sendiri dan tidak mengikuti apa yang disampaikan
penceramah.
Bagaimana kalau ceramah di depan anak SMA Jepang? Saya agak tercengang ketika
memberikan ceramah di depan Fukuoka Chuo High School pada 19 September lalu sebagai
bagian program Penganugerahan Fukuoka Prize. Ketika masuk ke auditorium tempat
ceramah, saya menemukan sekitar 800an anak SMA yang duduk dengan senyap, tidak ada
yang ngobrol atau mencolek temannya; semuanya kelihatan well-behaved, bertingkah laku
terlalu sopan. Mereka kemudian membungkukkan badan dalam-dalam ke arah saya sambil
mengucapkan konnichiwa gozaimasu, selamat siang, terimakasih.
Memberikan ceramah tentang Indonesia, Islam, dan Politik Multi-kulturalisme, penulis
Resonansi ini banyak bercerita tentang keragaman sosio-kultural Indonesia, dan agama. Juga
tentang Islam Indonesia yang toleran dan hidup berdampingan dengan umat-umat agama lain
secara damai.

Seperti dituturkan Kepala Sekolah, Nyonya Tsujimura Yoshie (60 tahun), ceramah tentang
Indonesia dan Islam sangat penting bagi para muridnya, karena pengetahuan mereka tentang
tentang subyek ini sangat minimal. Mereka mengetahui hanya sedikit sekali tentang
Indonesia dari matapelajaran Sejarah. Karena itu, anak-anak SMA Fukuoka Chuo High
School yang didirikan pada 1898 ini terlihat agak heran ketika saya beritahu, waktu Jepang
sama dengan Waktu Indonesia Timur; dan bahwa perlu waktu terbang sekitar tujuh jam
langsung dari ujung barat Indonesia ke ujung timur.
Anak SMA Jepang memiliki beban belajar yang hampir sama beratnya dengan anak SMA
Indonesia. Rata-rata mereka harus mengikuti sekitar delapan matapelajaran, yang kemudian
ditambah lagi dengan berbagai kegiatan ekskul. Karena itu banyak anak SMA Jepang tetap
masuk sekolah pada Sabtu. Anak SMA Jepang belajar sekitar 240 hari setahun. Bandingkan
dengan anak SMA Indonesia yang setahun belajar sekitar 220 hari, dan Amerika Serikat 190
hari.
Hari belajar anak SMA Jepang yang lebih banyak itu, nampaknya tidak lain untuk
memastikan mereka dapat lulus ujian masuk perguruan tinggi. Masyarakat dan anak SMA
Jepang sangat yakin, pendidikan menengah merupakan satu-satu cara mencapai mobilitas
sosial-ekonomi kelak. Tidak lulus SMA dan tidak diterima di perguruan tinggi berarti
lenyapnya masa depan. Karena itu, tingkat bunuh diri di kalangan murid SMA Jepang cukup
tinggi. Sejak 2002 sampai 2012, jumlah anak SMA Jepang yang bunuh diri setiap tahun
sekitar 200 orang.
Menyaksikan anak SMA Jepang yang senyap, saya mempersingkat ceramah untuk memberi
kesempatan kepada mereka bertanya, walaupun dalam rincian jadwal acara tidak ada sesi
tanya jawab. Satu kali; dua kali diminta tidak ada yang mengacungkan tangan. Baru pada
kesempatan ketiga ada yang bertanya tentang apa beda Islam Indonesia dengan ISIS. Sambil
berseloroh, penanya nampaknya suka menonton berita, saya menjelaskan Islam Indonesia
adalah Islam Jalan Tengah yang menolak kekerasan dan brutalitas.
Pancingan saya berhasil. Ada empat lagi penanya lain. Salah satunya bertanya kenapa orang
Islam sering kelihatan terlalu bersemangat dalam beragama. Sementara di Jepang sendiri
agama tidak lagi penting.
Menjawab pertanyaan itu, saya menjelaskan antusiasme beragama adalah gejala global.
Meski di Jepangseperti juga di Eropaagama kian kehilangan tempatnya, sebaliknya di
Amerika Serikat sejak paroan kedua 1980an mengalami kebangkitan agama, yang
memunculkan kembali gejala fundamentalisme Kristen. Gejala kebangkitan agama ini
kemudian juga menemukan momentum di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Meski anak SMA Jepang tadi menyatakan, agama tidak lagi penting, saya menemukan gejala
lain. Dalam kunjungan ke kuil Dazaifu Tenmangu Shrine di luar Kota Fukuoka saya
menemukan banyak sekali anak SMA Jepang. Mereka ini ternyata sedang berziarah ke kuil
yang didirikan pada 901 Masehi untuk mengenang Michizane Sugawara yang dipercayai
sebagai dewa ilmu pengetahuan. Anak-anak SMA dari berbagai tempat di Jepang datang ke
kuil itu untuk ngalap berkah agar sukses dan lulus dalam pelajaran mereka.
Hal yang sama juga saya temukan di Kuil Nijo (Nijo-Jo) Kyoto. Anak-anak SMA Jepang
mendatangi kuil ini untuk mendapat kekuatan dalam menghadapi ujian yang segera mereka
hadapi.

Sambil berseloroh, saya menyatakan kepada Profesor Yasushi Kusogi, gurubesar Universitas
Kyoto yang juga merupakan Ketua Masyarakat Muslim Kyoto, apa yang dilakukan anak
SMA Jepang itu semacam istighatsah yang lazim dilaksanakan anak sekolah di Jawa Timur,
misalnya, menjelang Ujian Nasional.
Tetapi Profesor Kosugi segera menjelaskan, apa yang dilakukan anak SMA Jepang tadi lebih
tepat disebut sebagai dinamisme, kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib. Ini jelas bukan
agama. Gejala ini seolah memberi peluang bagi agama untuk tampil. Tapi, seperti
dikemukakan Profesor Kusogi berdasar pengalamannya, tidak mudah mengajak warga
Jepang masuk ke pangkuan agama.

Anda mungkin juga menyukai