Genap/2014
Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan industri di indonesia khususnya industri kimia
berkembang pesat. Hal ini menyebabkan kebutuhan asetanilida yang merupakan
bahan baku serta bahan penunjang industri kimia akan semakin meningkat pula.
Mengingat kebutuhan asetanilida yang sangat tinggi maka sangat perlu untuk
membuat asetanilida ini dan juga kebutuhan asetanilida di indoneia masih
mengandalkan impor. Nilai impor asetanilida sampai tahun 2001 terus meningkat.
Asetanilida adalah senyawa turunan yang berasal dari asetil amina aromatis
yang termasuk ke dalam amida primer karenba satu atom hidrogen pada anilin
digantikan dengan satu gugus asetil. Asetanilida berbentuk butiran berwarna putih
yang tidak larut dalam minyak paraffin dan larut dalam air dengan bantuan kloral
anhidrat. Saat ini, asetanilida digunakan sebagai bahan baku pembuatan obatobatan. Selain itu juga digunakan sebagai zat pembuatan penicilium dan bahan
pembantu dalam pembuatan cat dan karet serta bahan intermidiet pada sulfon dan
asetanil klorida (Pramushinta, 2010).
Dalam praktikum ini akan dilakukan proses pembuatan asetanilida, adapun
asetanilida dapat dibuat dengan cara mereaksikan turunan asam karboksilat
dengan anilin.
1.1 Tujuan Praktikum
Mempelajari dan memahami pembuatan turunan amida aromatik melalui
reaksi amina aromatik dengan turunan asam karboksilat, yaitu anhidrida
asam.
C6H5NH2
93,12 g/gmol
184,4 oC
426 oC
54,4 atm
Cair
Jernih
1,024 g/cm3
Sifat-sifat Kimia :
senyawa ini adalah asam lemah dalam pelarut air, sebagian molekulnya
terioniasasi dengan melepaskan proton H+. Asam karboksilat yang memiliki dua
gugus karboksilat (alkanadioat), jika tiga disebut asam dikanadioat atau asam
trikarbokasilat dan seterusnya (Zulfikar, 2010).
Asam asetat yang jelas, cairan tak berwarna dengan rumus kimia C 2H4O2.
Memiliki titik leleh 62,06F (16,7C) dan mendidih pada 244,4F (118C),
kerapatan 1,049g/ml pada 25oC dan flash point 390C. Dalam konsentrasi tinggi,
asam asetat bersifat korosif, memiliki bau tajam dan dapat menyebabkan luka
bakar pada kulit.
Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (COOH) dalam asam karboksilat
seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H + (proton), sehingga
memberikan sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai
pKa = 4.8. Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO). Sebuah larutan 1.0 M
asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH
sekitar 2.4 (Shakhashiri, 2008).
asetat murni dimer dirusak dengan adanya pelarut berikatan hidrogen (misalnya
air). Entalpih disosiasi dimer tersebut diperkirakan 65.066.0 kJ/mol, entropi
disosiasi sekitar 154157 J mol1 K1.
Asam asetat bersifat korosif terhadap banyak logam seperti besi,
magnesium, dan seng, membentuk gas hidrogen dan garam-garam asetat (disebut
logam asetat). Logam asetat juga dapat diperoleh dengan reaksi asam asetat
dengan suatu basa.
Contohnya adalah soda kue (Natrium bikarbonat) bereaksi dengan cuka.
Hampir semua garam asetat larut dengan baik dalam air. Contoh reaksi
pembentukan garam asetat:
asetat
mengalami
reaksi-reaksi
asam
karboksilat,
misalnya
senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan
sebagai bahan untuk memproduksi monomervinil asetat (Vinyl Acetate Monomer,
VAM).
Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan
juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka
relatif kecil (Shakhashiri, 2008).
2.3. Asetat Anhidrat
Asetat anhidrat merupakan senyawa diasetat, tidak berwarna, dan berbentuk
cair. Massa jenisnya1,081 gram/ml, titik lebur -73C, titik didih 140C, berat
molekul 102,09 gram/mol. Bila dilarutkan dalam air akan langsung bereaksi
membentuk asam asetat, dan sangat larut dalam alcohol dan eter. Merupakan asam
yang kuat, sehingga uapnya menyebabkan iritasi pada mata dan apabila terhirup
akan menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan. Mudah terbakar pada flash
point 54C Apabila asetat anhidrat direaksikan dengan anilin akan membentuk
asetanilida dengan asam asetat sebagai hasil samping (Science Lab Inc, 2005).
asam asetat
Gambar 2.5. Reaksi Anilin dan Asam Asetat Anhidrat (Kirk & Othmer, 1981).
Campuran reaksi disaring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya
dengan pendinginan, sedangkan filtratnya di recycle kembali. Pemakaian asam
asetat anhidrad dapat diganti dengan asetil klorida ( Kirk & Othmer, 1981 ).
2.4.2. Pembuatan Asetanilida dari Anilin dan Asam Asetat
Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena lebih
ekonomis jira dibandingkan dengan semua proses pembuatan asetanilida. Anilin
dan asam asetat direaksikan dalam sebuah tangki yang dilengkapi dengan
pengaduk.
C6H5NH2(l) + CH3COOH(l) C6H5NHCOCH3(s) + H2O (l)
Anilin
Asam Asetat
Asetanilida
Air
Gambar 2.6. Reaksi Anilin dengan Asam Asetat (Faith dkk, 1975).
Reaksi berlangsung selama 8 jam pada suhu 150 oC-160oC dan tekanan 2,5
atm dengan yield mencapai 98 % dan konversi mencapai 99,5%. Produk dalam
keadaan panas dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer untuk membentuk
butiran (kristal) asetanilida (Faith dkk, 1975).
Ketena
Asetanilida
Gambar 2.7. Reaksi Anilin dengan Ketena (Kirk & Othmer, 1981).
2.4.4. Pembuatan Asetanilida dari Asam Thioasetat dan Anilin
Asam tioasetat direaksikan dengan anilin dalam keadaan dingin akan
menghasilkan asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2 + CH3COSH C6H5NHCOCH3 + H2S
Anilin
Gambar 2.8. Reaksi Anilin dengan Asam Thioasetat (Kirk & Othmer, 1981).
2.5. Asetanilida
Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang
digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin
digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida berbentuk butiran berwarna putih
(kristal) tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam air dengan bantuan
kloral anhidrat. Asetanilida atau phenilasetamida mempunyai rumus molekul
C6H5NHCOCH3 dan berat molekul 135,16 g/gmol (Irdoni, 2014).
Asetanilida pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872
dengan cara mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk
asetophenon oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi
asetanilida. Pada tahun 1899, Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara
benzilsianida dan H2O dengan katalis HCl. Lalu, pada tahun 1905 Weaker
menemukan asetanilida dari anilin dan asam asetat (Irdoni, 2014).
2.5.1. Sifat Fisis dan Kimia Asetanilida
C6H5NHCOCH3
135,16 g/gmol
305 oC
114,16 oC
1,21 gr/ml
843,5 oC
114 oC
Padat
Putih
Butiran/kristal
2.6. Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan proses pengulangan kristalisasi agar diperoleh zat
murni atau kristal yang lebih teratur/murni. Senyawa organik berbentuk kristal
yang diperoleh dari suatu reaksi biasanya tidak murni. Mereka masih
terkontaminasi sejumlah kecil senyawa yang terjadi selama reaksi. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengkristalan kembali dengan mengurangi kadar pengotor.
Rekristalisasi didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa dalam suatu pelarut
tunggal atau campuran. Senyawa ini dapat dimurnikan dengan cara rekristalisasi
menggunakan pelarut yang sesuai. Ada dua kemungkinan keadaan dalam
rekristalisasi yaitu pengotor lebih larut daripada senyawa yang dimurnikan, atau
kelarutan pengotor lebih kecil daripada senyawa yang dimurnikan. Pada dasarnya
proses rekristalisasi adalah:
10
Pipet tetes
Waterbatch
3.2 Bahan-bahan yang digunakan
Anilin
Asam asetat anhidrat
Asam asetat glasial
Aquades
Etanol
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pembuatan Asetanilida dari Asam Asetat Anhidrat dan Anilin
Masukkan 4 ml asam asetat anhidrat dan 3 ml anilin kedalam Erlenmeyer,
saring.
Jika kristal yang didapat masih kotor maka kristal direkristalisasi dengan
menambahkan larutan dari 40 ml aquades dan 40 ml etanol yang telah
kristal terbentuk.
Kristal yang terbentuk disaring lagi dengan vakum hingga tidak ada lagi air
30 menit.
Direndam didalam wadah yang berisi air + es.
Biarkan hingga terbentuk kristal, apabila sulit terbentuk, gores bagian dalam
gelas kimia dengan pengaduk kaca untuk mempercepat terbentuknya kristal,
11
Jika kristal yang didapat masih kotor maka kristal direkristalisasi dengan
menambahkan larutan dari 40 ml aquades dan 40 ml etanol yang telah
kristal terbentuk.
Kristal yang terbentuk disaring lagi dengan vakum hingga tidak ada lagi air
3.4
Rangkaian alat
12
Pompa Vakum
Selang Pembuangan Gas
Corong Buchner
Erlenmeyer Vakum
Perlakuan
Pengamatan
batu
didih
dipanaskan
dan
didihkan
2.
yang
saling
tidak
No
1.
Perlakuan
13
Pengamatan
2.
3.
hangat)
serbuk
kristal
= 2, 21 gram 1, 06 gram
= 1, 15 gram
4. 2 Pembahasan
Pada percobaan ini, dilakukan 2 perlakuan yang berbeda untuk
mendapatkan senyawa asetanilida. Perlakuan I, yaitu dengan mereaksikan 3 ml
anilin dan 4 ml asam asetat glasial. Campuran larutan dipanaskan lalu didinginkan
menggunakan wadah es. Tidak didapatkan kristal asetanilida dan hanya terbentuk
larutan berwarna bening dan cokelat yang saling tidak menyatu. Selanjutnya,
dilakukan perlakuan II, yaitu dengan mereaksikan 3 ml anilin dan 4 ml asam
asetat anhidrat tanpa menggunakan pemanasan. Larutan diaduk beberapa saat dan
dimasukkan ke dalam wadah berisi es, lalu terbentuk kristal. Dari dua perlakuan
ini, produk yang dihasilkan berbeda. Pada perlakuan I, tidak dihasilkan produk
asetanilida dikarenakan ketika pemanasan, suhu air sekitar 60-70OC sedangkan
bahan yang hendak di didihkan suhunya lebih tinggi dari suhu didih air. Suhu
optimum reaksi pembetukan asetanilida seharusnya sebesar 110OC. Besarnya
peningkatan suhu dalam sistem tumbukan antara molekul menyebabkan reaksi
berlangsung cepat (Fessenden, 1999).
Perlakuan II menghasilkan asetanilida karena anilin bereaksi dengan asam
asetat anhidrat. Dimana anilin dan asetat anhidrat berperan sebagai reaktan atau
14
pereaksi. Hasil yang didapat pada perlakuan II, merupakan kristal bewarna putih
kecoklatan. Seharusnya, kristal yang didapat merupakan kristal putih. Hal ini
dikarenakan, setelah kristal terbentuk masih terdapat zat pengotor yang harus
dipisahkan dari kristal tersebut. Ada beberapa cara memisahkan pengotor dari
kristal asetanilida yaitu dengan melakukan proses rekristalisasi etanol maupun
karbon aktif. Pelarut yang ideal digunakan pada tahap rekristalisasi harus tidak
bereaksi dengan senyawa yang akan dikristalkan, harus mempunyai titik didih
yang lebih rendah daripada titik didih senyawa yang dikristalkan. Selain itu,
pelarut juga tidak beracun dan yang paling penting senyawa yang dikristalkan
harus dapat larut dalam pelarut yang dipanaskan dan tidak larut pada pelarut yang
dingin.
Berat asetanilida yang dihasilkan sebesar 1,15 gram. Dari hasil perhitungan
praktikum yang telah dilakukan, diperoleh 13 % rendemen. Dengan nilai konversi
sebesar 8 %. Hasil ini lebih kecil dari rendemen dan konversi teoritis dimana nilai
rendemen teoritis yang diperoleh adalah 65 % dan nilai konversi teoritis sebesar
90 %, hasil yang kami peroleh lebih kecil dari teoritis di karenakan beberapa
faktor, yaitu ( Kirk & Othmer, 1981 ):
1.
Suhu Reaksi
Suhu optimum reaksi pembetukan asetanilida sebesar 110OC, sementara suhu
pemanasan pada percoban yang dilakukan sekitar 60-70OC.
2.
3.
Perbandingan Reaksi
Perbandingan jumlah reaktan optimum adalah 1:4 dengan kadar asam asetat
anhidrat 150 % lebih banyak, di reaksikan sampai tidak ada anilin tersisa.
Daur Ulang
Tidak dilakukannya proses daur ulang, pada filtrat hasil reaksi masih terdapat
asetanilida.
15
Kesimpulan
5.2
Saran