Anda di halaman 1dari 4

Hasil

Seratus enam belas pasien yang melakukan ekstraksi 318 gigi dengan
kondisi neutropenik diidenftifikasi.Tujuh puluh dua orang pasien adalah pria
(62,1%) dan empat puluh empat orang pasien adalah wanita (37,9%), dengan
rata-rata umur 52,2 tahun (rentang 6-93 tahun). Empat puluh dua persen dari
pasien ini adalah mereka dengan neutropenik parah (Tabel 1). Diagnosis utama
berkenaan dengan neutropenia dibedakan menjadi 8 kelompok, dengan
diagnosa yang paling sering muncul adalah leukimia myeloid (n=29; 25%),
diikuti dengan neutropenia, lympoma, leukimia lymphoid, myeloma multipel,
pancytopenia atau anemia aplastik, sindrom mielodiplastik, dan amiloidosis.
Diagnosis tidak berhubungan dengan komlikasi secara signifikan ( P =17).
Tercatat sebanyak 40 kasus (34.4%) ekstraksi sederhana, dengan kasus yang
tersisa terjadi di alam. Dari 318 gigi, 213 (67%) diantaranya merupakan gigi
posterior, dan tidak terdapat kaitan yang bermakna antara jumlah yang dihitung
dengan sisi pembedahan.
Sepuluh pasien (8,6%) sedikitnya memiliki satu komplikasi pasca operasi.
Komplikasi pasca operasi dalam data SSI (n=3), delayed healing (n=7), dan
prolonged postoperative pain (n=6). Dari seluruh pasien yang mengalami
komplikasi, 5 diantaranya mengalami neutropenik parah, 2 mengalami
neutropenik moderate, dan 3 mengalami neutropenik ringan. Tipe operasi
pembedahan berhubungan dengan seluruh komplisasi (P= 0,011), namun tidak
dengan komplikasi spesifik. Komplikasi ditemukan meningkat pada umur
pertengahan, delayed healing ( P= 0,05) dan prolonged posoperative pain ( Tabel
2).
Pengawasan minimal 50 hari diterapkan pada seluruh pasien keciali 10
orang. Delapan dari 10 pasien tersebut dibedakan karena mengalami kelainan
darah atau mengalami sepsis preoperatif sebelum 50 hari, dan 2 lainny tidak
datang lagi setelah prosedur dilakukan. Dari keseluruhan, 60 dari 116 pasien
meninggal karena penyakit bawaan mereka selama pengambilan data, dengan 9
pasien meninggal dalam 3 bulan setelah ekstaksi. Tidak ada kematian ditemukan
dalam masa 2 bulan setelah ekstraksi. Dan tak ada seorang pun dari kesembilan
pasien mengalami komplikasi pasca ektraksi, serta tak ada kaitan antara
kematian mereka dengan pelaksanaan ekstraksi, karena kebanyaak karena
kegagalan multiorgan berkenaan dengan kondisi sepsis atau karena kelainan
darah yang mereka alami. Dari mereka yang meninggal karena kondisi sepsis,
tak ada satu pun ditemukan mengalami bakterimia dengan flora oral. Myeloid
luekimia berhubungan dengan 6 dari 10 komplikasi (P = 0,17), serta 3 delayed
healings, 2 SSIs, dan 4 prolonged posoperative pain.
Dua alasan utama untuk pelaksanaan bedah oral maksiofasial
dan
konsultasi ialah evaluasi rutin pretransplantasi dan adanya gigi tak dapat
diselamatkan lagi (Tabel 3).Kebanyakan pasien dengan demam memiliki gejala
demam neutropenik, dan sangant sedikit gejala dari yang lainnya (seperti infeksi
terus menerus atau endokarditis bakterial). Temuan klinis yang menjadi alasan
dilakukannya prosedur ektraksi adalah karies dalam gambaran radiografis

(71,6%), radiolusensi radiografis periapikal (68,9%), karies dari temuan klinis


(64,7%), rasa nyeri gigi spontan (46,6%), nyeri pada gigi saat diperkusi (43,1%),
periodontitis lokal radiografis (37,1%) dan abses temuan klinis (25,9%). Dari
keseluruhan, hanya rasa nyeri yang timbul akibat perkusi yang ditemukan
memiliki keterkaitan dengan hasil yang didapat, yaitu prolonged postoperative
pain (P- 0,41).
Tidak ditemukan prediksi yang berkaitan secara spesifik dengan SSI. Tidak
ada rangkaian sepsis posoperatif tabpa sepsis preoperative; dengan kata lain,
tak ada sepsis yang diakibatkan oleh prosedur ektraksi. Tiga pasien (2,6%)
mengalami infeksi postoperative pada sisi ekstraksi. Tidak satupun dari ketiga
pasien adalah perokok.
Pada konsultasi awal, 8 pasien (6,9%) mengalami bakterimia berkenaan
dengan patogen multipel terkulturasi. Dua orang pasien dengan kulturasi yang
menumbuhkan Streptococcus viridians, 2 dengan Staphylococcus aereus, 2
dengan spesies Fusobacterium, dan 1 dengan masing-masing spesies
Enterococcus, Treponema denticola, dan spesies Prevotella. Selain itu, 2 pasien
mengalami endokarditis karena spesie
Bartonella. Dalam 6 kasus (75%),
bakterimia dapat diatasi (dengan kutur darah negatif) dalam 7 hari ekstraksi
gigi. Mereka dengan bakterimia yang tidak dapat diatasi ialah sepesis
Fusobacterium dan Enterococcus serta sepsis S viridans. Hanya 1 dari dua kasus
karena sespsi S viridans yang dapat diatasi setelah ekstraksi. Tujuh belas pasien
mengalami demam saam konsultasi ataupun ekstraksi. Dari ketujuh belas
pasien, 6 pasien dapat sembuh dalam masa 7 hari prosedur ekstraksi.
Pola penggunaan antibiotik, meskipun tidak penting, menunjukkan
kecenderungan penggunaan jangka panjang pada pasien neutropenik parah
(Tabel 4), namun tidak berhubungan dengan tipe prosedur ekstraksi yang
dilakukan. Review pada rekam medik pasien menunjukkan adanya
kecenderungan kesembuhan lebih lama pada pasien dengan terapi antibiotik,
digolongkan berdasakan kelompok hematologi dan resiko pansitopenia. Dari para
pengguna antibiotik, berbagai dosis diterapkan, bergantung pada bakterimia dan
protokol dari tim hematologi dan pelayanan penyakit infeksi. Antibiotik yang
paling sering digunakan diantaranya meropenem, cefazolin, cefepime, ampicilin
dan sulbactam, dan vancomycin, meski dengan beragam combinasi multipel.
Pasien dengan neutropenik parah biasanya mendapat medikasi rutin obat kumur
chlorhexidine 2 kali sehari di Klinik Mayo.
Peningkatan penggunaan antibiotik pasca operasi berhubungan dengan
berbagai komplikasi yang ditemukan (prolonged pain, delayed healing, infeksi
lokal, dan komplikasi total; Tabel 5). Tipe antibiotik yang digunakan bervariasi
pada pasien, dan pada pasien dengan neutropenik parah secara umum biasanya
diberikan antibiotik spektrum luas. Namun, 14 orang dari 42 pasien dengan
neutropenia parah tidak menerima medikasi dengan antibiotik spektrum luas.
Tidak ada satupun dari mereka mengalami infeksi. Rata-rata waktu antibiotik
preoperaif adalah 2,6 4,85 hari (rentang 0 30 hari). Rata-rata waktu
antibiotik postoperatif adalah 4,6-8,78 hari (rentang, 0-60 hari). Pasien dengan

prolonged pain menerima antibiotik postoperatif spektrum luas dengan masa


lebih lama (Tabel 5). Dari 19 pasien dengan demam preoperatif, 15 diantaranya
mengalami demam postoperatif dan 7 (37%) mulai sembuh dalam 7 hari. Semua
pasien dengan demam pasca operasi juga telah mengalami demam sebelum
operasi.
ANC terendah hanya berhubunngan dengan prolonged postoperative pain
(P= 0,033) dan demam posoperative (P- 0,19), namun tidak dengan healing
lanjutan ataupun infeksi lainnya (Tabel 5). Selain dengan nilai tengah umur, tidak
ada lagi hal yang berhubungan dengan delayed healing. Tidak ada satupun dari
ketujuh pasien dengan delayed healing merupakan perokok; 3 orang mengalami
infeksi lokal dan 1 mengalami diavetes mellitus tak terkontrol. Dua dari pasien ini
mengalmai osteonekrosis terkait bioposfonat pada sisi ekstraksi. Tak ada satupun
dari pasien dengan delayed healing terpapar biofosfonat. Dua pasien dengan
delayed prolonged juga mengalami prolonged postoperative pain (SSI). Lima
pasien (5,25%) mengalami prolonged post operative pain (yang tidak
berhubungan dengan komplikasi pada ketiga pasien lainnya).
Dua puluh satu pasien mendapat filgrastim (GCSF), pegfilgrastim, atau
sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor). Bagi mereka
yang tidak mendapatkan GCSF, rata-rata ANC nya adalah 691/L. Bagi mereka
yang mendapatkan GCSF, rata-rata ANCnya mendekati 628/L. Hanya 6 dari 7
pasien dengan delayed healing tidak mendapat GCSF (P= 0,78); selain itu, hanya
2 orang pasien dengan komplikasi diberikan GCSF (P= 0,51). Namun, tak
satupun hasil yang didapat signifikan secara statistik. Tak ada hasil yng secara
spesifik menunjukkan keterkaitan dengan lokasi ekstraksi, demam pre-operasi,
sepsis, ataupun beragam bakterimia.

Pembahasan
Dalam penelitian ini, para peneliti ingin menunjukkan langkah aman
melakukan prosedur ektraksi dental pada pasien neutropenik di semua
level.Peneliti mengkonfirmasi bahwa ektraksi, ketika diindikasikan, dapat
dilakukan dan resiko rendah pada pasien. Mereka mengidentifikasi tingkat SSI,
delayed healing, dan prolonged postoperative pain. Selain itu, mereka juga
mengevaluasi beberapa prediktor yang mungkin merubah hasil yang didapat,
seperti umur, ANC, penggunaan GCSF, penggunaan antibiotik, dan diagnosis
utama.
Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi hipotesis penulis bahwa ekstraksi
dental pada pasien dengan neutropenia baik dalam level ringan maupun parah
bisa dilakukan dan menyebabkan resiko kecil pada pasien. Tidak ditemukan efek
samping yang berarti, dan tidak diperlukan adanya masa istirahat atau jeda
waktu dalam kemoterapi maupun terapi lainnya. Tingkat komplikasi keseluruhan
bernilai 8.6% (n= 10), namun keseluruhan ini merupakan komplikasi minor yang
memerlukan intervensi sederhana, jika ada.

SSI mencatat adanya sedikit komplikasi (n=3; 2,6%). Dari 3 kasus ini, 1
SSI berhubungan dengan kehilangan tulang spikul dan teratasi dengan eksfolisi
spikul spontan tanpa perawatan ataupun penggunaan antibiotik. Pasien ini
berusia 34 tahun dan menderita neutropenia ringan (ANC. 1.3380/L). Pasien
kedua menerima amoxicilin salama 5 hari sebelum perawatan dan 7 hari setelah
perawatan. Setelah diagnosis SSI, pasien ini menerima meropenem selama 1
bulan dan ditempatkan di rumah sakit serta dengan penanganan cepat. Pasien
ini berusia 69 tahun dan menderita neutropenia parah (ANC, 117/L). Pasien
ketiga dengan SSI menyatakan neutropenia sedang (ANC, 1,250/L) menerima
vancomicyne dan meropenem (9hari sebelum perawatan dan 21 hari setelah
perawatan). Pasien ini menderita diabetes mellitus tak terkontrol persisten
mukomikosis dengan debridement maksilari minor yang beriringan dengan
neutropenia; meskipun hal ini merupakan kasus infeksi, hal ini tentu berbeda
dari kasus lainnya karena bukan merupakan infeksi odontogenik dan pasien
dengan kasus infeksi tidak menderita diebetes. Infeksi kemungkinan mengacu
pada ketidak mampuan pasien neutropenik untuk mempertahankan respon imun
dan memproduksi pus.
Delayed healing merupakan gejala yang jarang ditemukan pada populasi
(n=7). Namun, delayed healing tidak berhubungan dengan ANC, dan kebanyakan
dari delays ini berhubungan dengan infeksi lokal (n=3) atau osteonekrosis
rahang berkenaan dengan biofosfonat (n=2), seperti yang ditemukan oleh
American Association of Oral and Maxillofacial sirgeons Position Paper dalam
Biophosphonate-Related Osteonecrosis of The Jaw2009 Update. Delayed
healing hanya berhubungan dengan umur. Selain itu, ANC rendah hanya
berhubungan dengan prolonged postoperative pain dan demam postoperative,
namun 13 dari 15 pasien dengan demam postoperative juga mengalami demam
preoperative, yang kemungkinan bukan dipengaruhi oleh kondisi dental
melainkan neutropenik (demam preoperatif berhubungan dengan demam
postoperative; P= 0,001).

Anda mungkin juga menyukai