Nama
Elliyusnora Harahap
Desi Anggiat Butar Butar
Aidiya Tri Yolanda
Winda Aldriani Lubis
Rizky Pratama
Desi Monalisa Purba
Program
Kelompok/Hari
Asisten
Tanggal Percobaan
NIM
141524041
141524048
141524055
141524063
141524064
141524066
: S1 Ekstensi Farmasi
: I (satu)/ Kamis
: Muhammad Yunus
: 09 April 2015
Lembar Pengesahan
Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi
Aktivitas Obat Atau Sediaan Uji Terhadap Sistem Imun
Medan, 09 April 2015
Asisten
Praktikan
( Muhammad Yunus)
Perbaikan :
Koreksi I
Tanggal
Koreksi II
Tanggal
Koreksi III
Tanggal
Acc
Tanggal
Nilai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agen infeksi maupun non-infeksi banyak terdapat di lingkungan sekitar kita,
yang setiap saat dapat menyerang jaringan inang. Agen infeksi tersebut dapat
berupa bakteri patogen intraseluler, dalam jumlah tertentu dapat menginfeksi dan
bermultiplikasi di dalam tubuh yang akan menyebabkan penyakit serius pada
hewan maupun manusia dalam keadaan immunodeficiency (Hefni, 2013).
hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi serta
merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses
imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut, walaupun bersifat merusak,
berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh.
Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen-antibodi
berlangsung, misalnya dihidung (rhinitis allergia), di kulit (eksim, urticaria =
biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma).
Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu di berbagai tempat, misalnya
pada asma, demam merang (hay fever, pollinosis) dan eksim (Tan, 2013).
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambat
saingan) (Tan, 2013).
Sekarang lebih dari satu abad sejak penemuan histamin, lebih dari 70 tahun
sejak studi awal dari Anne Marie Staub dan Daniel Bovet yang mendapatkan
penemuan antihistamine pertama dan lebih dari 60 tahun sejak pengantar ke klinik
dari antergan di 1942, 3 diikuti oleh diphenhydramine di 19.454 dan
klorfeniramin, brompheniramine, dan promethazine dalam dekade yang sama.
Cara biasa dalam pengujian baru untuk senyawa adalah untuk mengukur kontraksi
histamin-induced potongan otot dari hewan percobaan, biasanya usus hamster,
ditangguhkan dalam organ bath. Senyawa antihistamin yang terutama modifikasi
dari mereka disintesis sebagai antagonis kolinergik dan dari entitas beragam
kimia, ethanolamines, etilena diamina, alkilamina, Piperazine, piperidin, dan
fenotiazin. karena itu, tidak mengherankan bahwa antihistamin generasi pertama
memiliki selektivitas reseptor lemah dan signifikan serta efek samping yang tidak
diinginkan (Church, 2011).
1.2 Tujuan Percobaan
- Untuk melihat pengaruh pemberian CTM terhadap efek yang ditimbulkan
- Untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak daun Kelor terhadap efek yang
-
ditimbulkan
Untuk membandingkan efek pemberian antara CTM dan ekstrak daun Kelor
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Histamin
Histamin (suatu autocoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati
(bioamin) yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1978) dan merupakan produk
normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasienzimatis. Asam amino
ini masuk ke dalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian di
jaringan (juga di usus halus) diubah secara enzimatis menjadi histamin
(dekarboksilasi) (Tan, 2013).
Histamin merupakan 2-(4-imidazol) etilamin, didapatkan pada tanaman
maupun jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan
sekret sengatan binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidin dengan
cara dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal
fosfat sebagai kofaktor (Dewoto, 2009).
Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan
terikat dan inaktif, yang terutama terdapat dalam sel-sel tertentu. Mast cells ini
(Ing. mast = menimbun) menyerupai bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh
dengan histamin dan zat-zat mediator lain. Sel-sel ini banyak ditemukan di bagian
tubuh yang bersentuhan dengan dunia luar, yakni di kulit, mukosa dari mata,
hidung, saluran napas (bronchia, paru-paru) dan usus, juga dalam lekosit basofil
darah (Tan, 2013).
Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada
sistem daya-tangkis. Kerjanya berlangsung melalui tiga jenis reseptor, yakni
reseptor-H1, -H2 dan -H3. Reseptor-H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika
(H1-blockers), reseptor-H2 oleh penghambat asam lambung (H2-blockers).
Reseptor-H2 memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus (Tan, 2013).
Aktivasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel otot polos,
menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantarai oleh
peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) di dalam sel. Histamin
juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (Dewoto,
2009).
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan
beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam
lambung. Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing.
2.2
Hipersekresi ingus dan air mata, ludah, dahak dan asam lambung
terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya. Pada prinsipnya ini dapat berupa
suatu kereaktifan yang diperkuat (hiperergi), diperlemah (hipoergi) atau tak ada
(anergi). Walaupun demikian dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang alergi
hanya digunakan dalam arti hiperergi (Mutschler, 2010).
Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen-antibodi
berlangsung, misalnya dihidung (rhinitis allergia), di kulit (eksim, urticaria =
biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma).
Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu di berbagai tempat, misalnya
pada asma, demam merang (hay fever, pollinosis) dan eksim (Tan, 2013).
Anafilaksis dalam keadaan gawat dapat timbul suatu reaksi anafilaksis
(Yun. ana = tanpa, phylaxis = perlindungan). Pada shock anafilaksis, masuknya
antigen pertama membuat tubuh tanpa perlindungan terhadap pemasukan antigen
berikutnya. Kadar histamin dapat meningkat dengan drastis, seperti pada peristiwa
kecelakaan dengan banyak kehilangan darah atau cedera bakar hebat (Tan, 2013)
Pada kelompok orang tertentu yang telah disensibilatasi terhadap satu atau
beberapa jenis alergen dapat timbul suatu reaksi anafilaksis hebat. Misalnya,
alergen dalam makanan (kacang-kacangan, buah kiwi, arbai, dll) atau obat-obat
seperti golongan penisilin (Tan, 2013).
Reaksi alergi sebagai efek samping obat berbeda dengan efek samping
toksik, kebanyakan tidak bergantung kepada dosis dan tidak khas untuk bahan
obat yang bersangkutan. Ini disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi yang tak
bergantung pada struktur alergen, selalu menimbulkan rangkaian reaksi yang
sama. Persyaratan untuk terjadinya reaksi hipersensitivitas demikian adalah
kontak pertama yang terjadi sebelumnya dengan antigen yang sama, yang disebut
sensibilisasi (Mutschler, 2010).
Berdasarkan banyak penemuan hasil eksperimen maka berlaku mekanisme
berikut: bahan obat salah satu dari metabolitnya sebagai praantigen (semiantigen,
hapten) berikatan secara kovalen dengan suatu makromolekul tubuh sendiri,
umumnya suatu protein, membentuk antigen kompleks (antigen penuh). Terhadap
antigen penuh ini dibentuk antibodi. Di sini spesifitas antibodi disiapkan untuk
melawan bahan obat dan tidak melawan makromolekul, ini berarti bahan obat atau
suatu bagian dari bahan obat merupakan gugus penentu (= kelompok yang
merumuskan antibodi) (Mutschler, 2010).
Alergi kontak kulit yang terutama dapat terjadi setelah kontak berulang
dengan kromat, garam nikel atau zat warna tertentu, serta
Reaksi penolakan terhadap transplantasi (Mutschler, 2010).
c. Bentuk Khusus
Selain bentuk alergi yang disebutkan di atas, setelah pemberian obat
kadang-kadang terlihat gejala yang sangat mungkin akibat peristiwa alergi akan
tetapi belum dijelaskan dengan pasti faktor-faktor imunologi yang terlibat.
Mereka terutama dapat dimasukkan sebagai reaksi jenis III. Di sini termasuk :
Eksantema akibat obat-obat tertentu yang ditimbulkan oleh misalnya
fenolftalein, barbiturat atau sulfonamida
Sindrom Lyeil yang ditimbulkan, misalnya oleh fenilbutazon dan
barbiturat
Sindrom Steven-Johnson yang terjadi antara lain setelah pemberian
sulfonamida
Limfadenopati setelah pemberian feniton
Sindrom Lupus-eritemalodes setelah pemakaian hidralazin, hidantoin,
prokainamida atau isoniazida (Mutschler, 2010).
Di samping reaksi alergi sesungguhnya, dikenal juga reaksi pseudoalergi,
yang tidak disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi, tetapi di sini reaksi-reaksi
yang menyangkut misalnya pembebasan mediator, pengaktifan komplemen atau
pengaruh rangkaian asam arakidonat ditimbulkan langsung oleh obat. Di sini
termasuk, misalnya reaksi anafilaktoid setelah pemberian zat kontras rontgen,
penurunan tekanan darah akibat pembebasan histamin dan bronkhospasmus
setelah penyuntikan tubokurarin atau yang disebut asma analgetika setelah
pemakaian analgetika yang menghambat sintesis prostaglandin (Mutschler, 2010).
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut
Gell & Coombs (1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yakni I-IV
a. Tipe I
Gangguan-gangguan alergi (reaksi segera, immidiate) berdasarkan reaksi
antara alergen-antibodi (IgE) dengan degranulasi mast-cells dan khusus
terjadipada orang yang berbakat genetis (keturunan). Tipe-I juga dinamakan
alergi tropis atau alergi anafilaksis dan terutama berlangsung di saluran napas
(serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis
atopis), jarang di saluran cerna (alergi makanan) dan dipemnuluh (shock
Antihistaminika
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH 1 efektif terhadap alergi yang
disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya
lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada
rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma
diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan
ekspektorasi. AH1 efektif umtuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada
urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH 1 dapat mengatasi
dermatitis atopik, dermatitis kontak dan gigitan serangga (Dewoto, 2009).
Efek samping hipnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan
untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien yang sensitif terhadap AH 1. Sifat
anastetik lokal AH1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus
diingat bahwa pada penggunaan topikal, AH1 ini bisa menyebabkan sensitivitas
kulit (Dewoto, 2009).
Dahulu antihistaminika dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi
kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap
SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
-
Natrium Kromolin
Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari
sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang diinduksi oleh antigen.
Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini berharga untuk profilaksis asma
bronkial dan kasus atopik tertentu (Dewoto, 2009).
Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga
tidak menghambat respon otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat
spasmogenik. Tetapi kromolin menghambat penglepasan histamin dan autakoid
lain termasuk leukotrin dari paru-paru manusia pada proses alergi yang
diperantarai IgE (Dewoto, 2009).
Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Hambatan penglepasan
leukotrin terutama penting pada pasien asma bronkial, karena leukotrin
merupakan penyebab utama bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada sel mast
paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin
tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel
IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respon sekresi akibat reaksi tersebut
(Dewoto, 2009) (Dewoto, 2009).
2.5
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat
-
Timbangan hewan
Spuit 1 ml, 3ml
Oral sonde
Stopwatch
Alat cukur
Vial
Serbet
Kalkulator
Pensil Warna
Koran
Kandang hewan
3.2 Bahan
-
Ovalbumin
NaCl 0,9 %
Metilen blue
CMC Na 0,5%
CTM 1 %
Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) 1 %
3.4 Perhitungan
Skor
0
2
4
6
8
Iritasi
Tidak ada
Ringan
Ringan
Moderat (>4)
Berat
= 1g/100 ml
= 1000 mg/ 100 ml
= 10 mg/ ml
Spuit skala 80
Berat tikus
Volume CMC yang diberikan
32,235 mg
10 mg/ml
= 145,9 g
145,9 g
mg
x 150
x 1 kg
1000
kgBB
= 164,6 g
= 1% x berat badan
= 1% x 164,6 g = 1,646 ml
21,885 mg
10 mg/ml
1,1376 mg
10 mg/ml
135,5 g
mg
x6
x 1 kg
1000
kgBB
0,813 mg
10 mg/ml
= 32,235 mg
= 3,2235 ml
= 21,885 mg
= 2,1885 ml
= 1,1376 mg
= 0,11376 ml
= 9,1 skala
= 0,813 mg
= 0,0813 ml
= 6,5 skala
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
No
Kelompok
CMC 0,5 %
Ekstrak Daun Kelor [1%]
2
3
mg/kgBB
Grafik : terlampir
10
0
0
0
0
0
60
6
4
4
2
4
4.2 Pembahasan
Dari percobaan yang dilakukan di dapatkan pada tikus yang di tritmen
dengan pemberian CMC Na 1% BB diperoleh skor pada menit ke 60 yaitu 6, yang
berarti tikus ini mendapat iritasi yang dapat dikategorikan agak berat, kemudian
tikus yang diberikan ekstrak daun kelor mendapatkan skor 4, yang berarti tikus
tersebut mendapat iritasi yang ringan, lalu kemudian kelompok tikus terakhir
yaitu pemberian CTM 1 % diperoleh skor 2 yang berarti mendapatkan iritasi yang
lebih ringan dibandingkan dengan tikus dengan pemberian ektrak daun kelor.
Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lam) memiliki aktivitas sebagai
imunomodulator, dengan mampu bertindak sebagai imunostimulator dan
imunosupresor terhadap sel limfosit B dan sel Th. Kelor termasuk dalam famili
Moringaceae, banyak tersebar di negara yang beriklim tropis dan sub-tropis
termasuk di Indonesia. Kandungan fitokimia daun kelor yang diekstraksi dengan
cukup ringan
Pengaruh pemberian ekstrak daun Kelor terhadap hewan percobaan
5.2 Saran
-
Sebaiknya dalam percobaan juga dilakukan pemberian obat yang lain seperti
DAFTAR PUSTAKA
Church, D.S dan Martin K.C. (2011). Pharmacology of Antihistamines. Dalam
WAO Jurnal. 4: 22-27.
Dewoto, Hedi R. (2009). Histamin dan Antialergi. Dalam Buku Farmakologi dan
Terapi. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal.
273-274, 277-278, 280, 285-286.
Hefni, M., dan Muhaimin, R., dan Widodo. (2013). Aktivitas Ekstrak Daun Kelor
terhadap Respons Imun Humoral pada Mencit yang Diinfeksi Salmonella
typhi. Dalam Jurnal Veteriner. 14 (4): 519-526.
Mutschler, Ernst. (2010). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung:
Penerbit ITB. Hal. 78-81
Tan,Tjay Hoan dan Kirana Rahardja. (2013). Obat-Obat Penting Kasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Gramedia. Hal.812-815,
819.
LAMPIRAN
Gambar 4. CTM,
CMC Na, Ekstrak
daun Kelor
Gambar 3. Spuit dan Oral Sonde