Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh. - Bughyatul
Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 201
3. Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
Adapun hukum nikah wanita hamil karena zina, terjadi khilaf yang tersebar dikalangan imam-imam kita dan lainnya. Yang sahih di sisi kita
adalah sah. Pendapat ini juga telah dikatakan oleh Abu Hanifah r.a., karena wanita itu tidak dalam nikah dan tidak juga dalam iddah orang
lain. Dari Malik ada sebuah qaul yang mengatakan sebaliknya. - al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 93-94
4. Adapun hukum bersetubuh dengannya setelah dinikahi sebelum melahirkan adalah boleh berdasarkan pendapat yang tashih oleh Imam
Nawawi dan Ar-Rafii. Berkata Ar-Rafii :
Sesungguhnya tidak ada penghormatan bagi kandungan zina, kalau terlarang menyetubuhinya, maka terlarang juga menikahinya seperti
bersetubuh dengan syubhat . - al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Berdasarkan boleh menyetubuhinya, maka hukumnya adalah makruh, karena keluar dari khilaf ulama yang mengharamkannya.
Adapun dalil yang memboleh menikahi wanita hamil, baik oleh penzinanya atau lainnya yang bukan menzinainya, antara lain :
1). Firman Allah Q.S al-Nisa : 24, berbunyi :
Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
(Q.S. al-Nisa : 24)
Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam katagori mutlaq perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, sementara
itu, tidak dalil atau illat lain yang menunjukkan kepada haram menikahinya. Apabila dikatakan perempuan hamil karena zina itu beriddah, ini
juga tidak, karena hamil karena zina tidak dihormati dalam agama, buktinya anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya
kepada laki-laki penzinanya
2). Hadits Nabi SAW :
Artinya : Perbuatan haram tidak mengharamkan yang halal.(H.R. al-Thabrany)
Al-Haitsami mengatakan, hadits ini diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Aushath, namun dalam sanadnya ada Utsman bin Abdurrahman alZahri, sedangkan dia ini matruk.- Majma al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IV, Hal. 311
Jalan pendaliliannya adalah zina yang meyebabkan hamil adalah perbuatan haram. Karena itu, zina tersebut tidak dapat mengharamkan
perbuatan halal, yakni halal dinikahi perempuan oleh seseorang laki-laki.
Imam Nawawi telah menyebut dua dalil di atas sebagai sebagian dalil boleh menikahi perempuan hamil karena zina dalam kitab beliau, Majmu Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242
3). Qaidah Fiqh berbunyi :
Artinya : Asal sesuatu adalah boleh sehingga ada dalil yang menunjukkan kepada haram - Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain,
Singapura, Hal. 43
Karena tidak ada hal-hal yang menyebabkan haram atau tidak sah, maka hukumnya adalah boleh.
Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh yang mengharamkannya adalah berdasarkan Hadits Nabi SAW :
Artinya : tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiram air pada tanaman orang lain (H. R. Abu Daud Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 654, No. Hadits : 2158)
Jawab kita :
Pendalilian dengan hadits di atas telah dibantah oleh Ibnu Hajar Haitamy, beliau mengatakan bahwa Asbabulwurud hadits tersebut untuk
menjauhi menggauli wanita tawanan perang yang hamil, karena kandungannya terhormat, maka haram menggaulinya. Tidak sama halnya
dengan kandungan karena zina, sesungguhnya tidak ada penghormatan baginya yang menghendaki kepada haram menggaulinya. - Ibnu
Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Dalam Sunan Abu Daud, hadits ini berbunyi :
[9]
Ibnu al-Mulaqan mengatakan :
Hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan al-Turmidzi dalam Sunan keduanya dari Ruwaifa bin Tsabit
al-Anshary. - Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 214
Sebagian umat Islam berbeda pendapat dengan pendapat di atas, mereka mengatakan wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh
dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat, yaitu :
a. Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. Dalilnya adalah firman Allah Taala :
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin (Q.S. an-Nur : 3)
Mereka mengatakan, ayat ini menjadi dalil tidak boleh menikah dengan orang-orang yang dhahir padanya perbuatan zina - Muhammad bin
al-Atsimaini, Tukmalah Fatawa al-Mauqa, Maktabah Syamilah, Nomor : 85335, Hal.1
Jawaban kita :
Memadai bagi kita keterangan yang disampaikan oleh Imam Syafii dalam al-Um, beliau setelah menyebut beberapa penafsiran yang
disampaikan oleh ahli tafsir mengenai tafsir ayat di atas, mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Said bin al-Musaiyab, salah
seorang ahli tafsir dari Tabiin merupakan pendapat yang didukung oleh al-Kitab dan al-Sunnah. Pendapat Said al-Musaiyab tersebut
adalah : ayat di atas sudah dinasakh oleh ayat :
Karena penzina itu termasuk dalam kelompok al-ayaamii (yang belum nikah) dari kamu muslimin.
- Imam Syafii, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 148
Karena itu, ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah penetapan suatu hukum.
b. Harus beristibra' (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haid bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan
kandungannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra'
dengan satu kali haid.(H.R. Abu Daud) - Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I I, Hal. 213, No. Hadits : 2159
Hadits ini juga diriwayat oleh Al-Hakim, beliau mengatakan :
Hadits ini shahih atas syarat Muslim - Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 142
Dalam hadits di atas Rasulullah melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan
yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Jawab kita :
Hadits ini membicarakan masalah perempuan tawanan perang yang lagi hamil menjadi budak karena merupakan rampasan perang, buktinya
ujung hadits ini menjelaskan bahwa perempuan yang tidak hamil memadai dengan istibra (menunggu masa tertentu untuk memastikan
kosong rahim seorang budak perempuan) hanya dengan satu kali haid. Sedangkan istibra hanya dengan satu kali haid hanya berlaku pada
budak, tidak berlaku pada perempuan merdeka. Perempuan-perempuan tawanan tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus seorang
perempuan yang hamil karena zina. Kehamilan pada perempuan tawanan perang berlaku istibra, karena kehamilan perempuan tersebut
adalah dikarenakan suaminya, oleh karena itu, wajib menunggu sampai melahirkan. Berbeda halnya dengan perempuan yang hamil karena
zina, kehamilannya itu tidak dihormati. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban beriddah.
Kesimpulannya
Nikah dengan dengan wanita hamil dibolehkan menurut mazhab Syafii, tetapi makruh menggaulinya, karena keluar dari khilaf yang
mengharamkannya. Keluar dari khilaf dianjurkan dalam syariat kita sesuai dengan qaidah fiqh :
Artinya : keluar dari khilaf ulama , hukumnya dianjurkan - As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Al-Haramain, Indonesia, Hal. 94
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,
Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang
sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh
baginya untuk meminta khulu (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya. (al-Mughni, 7:323).
Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan
mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa
ditutupi.
Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang
dibenarkan.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, MAKA TIDAK ADA DOSA ATAS KEDUANYA
TENTANG BAYARAN YANG DIBERIKAN OLEH ISTRI UNTUK MENEBUS DIRINYA. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Baqarah 2:229)
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam
bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami.
Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi
mendesak maka haram baginya bau surga (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa
ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Mabud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna tanpa kondisi mendesak,
Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai (Aunul Mabud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu (gugat
cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq. (HR. Nasai 3461)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan
secara syariat.
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu,
sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. (At-Taisiir bi
Syarh al-Jaami as-Shogiir, 1:607).
Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena
fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan
yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami,
maka boleh baginya untuk meminta khulu (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan
biaya/ganti untuk melepaskan dirinya. (al-Mughni, 7:323).
Berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai,
1.
Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami
sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita
yang tergantung.
2.
3.
Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi,
berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
4.
Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan
pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5.
Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan
hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya
karena condong kepada istri yang lain.
6.
Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya
sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya
meridoinya untuk khulu, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7.
Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi
sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
GUGAT CERAI OLEH ISTRI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu:
1. FASAKH
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
1.
2.
3.
Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang
batas waktunya);
Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum
terjadinya hubungan suamii istri); atau
Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan
keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara
keduanya.
2. KHULU
Khulu adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu
disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits shahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang
datang pada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan
mahar.
[Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat Baihaqi dalam Sunan al-Kubro no. 15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj no. 5275; Teks asal dari Sahih Bukhari
sebagai berikut:
DEFINISI KHULU
Definisi khuluk menurut madzhab Syafii adalah sebagai berikut:
(Khulu secara syariah adalah kata yang menunjukkan atas putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dengan tebusan [dari istri] yang memenuhi syaratsyarat tertentu. Setiap kata yang menunjukkan pada talak, baik sharih atau kinayah, maka sah khulu-nya dan terjadi talak bain.) [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala AlMadzahib Al-Arbaah, IV/185 mengutip definisi khuluk menurut madzhab Syafii].
(Khuluk adalah istri yang menebus dirinya sendiri dengan harta yang diberikan pada suami atau pisahnya istri dengan membayar sejumlah harta). [Ibnu Hajar AlAsqalani, Fathul Bari, IX/490; Mujam Al-Mustalahat al-Fiqhiyah, II/46 48)].
HUKUM KHULU
Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh. Imam Nawawi menyatakan:
(Hukum asal dari khulu adalah boleh menurut ijmak ulama. Baik tebusannya berupa seluruh mahar atau sebagian mahar atau harta lain yang lebih sedikit atau
lebih banyak. Khulu sah dalam keadaan konflik atau damai.) [ Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah at-Talibin 7/374; Al-Hashni dalam Kifayatul Akhyar,
III/40].
Al-Jaziri membagi hukum khuluk menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh:
(Khuluk itu setipe dengan talak. Karena, talak itu terkadang tanpa tebusan dan terkadang dengan tebusan. Yang kedua disebut khuluk. Seperti diketahui bahwa
talak itu boleh apabila diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi nafkah. Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan
anak. Hukum asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian yang lain selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya). [Al-Jaziri
dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arbaah, IV/186].
As-Syairazi dalam Al-Muhadzab menyatakan bahwa khuluk itu boleh secara mutlak walaupun tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela. Apalagi
kalau karena ada sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami; atau sebab yang syari seperti suami tidak shalat atau tidak
memberi nafkah.
[ 229 : } { ]
) ( ] [ : ) (
[ 4 : } { ]
(Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh
mengajukan gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran 2:229 dan hadits Nabi dalam kisab Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin
Qais. Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khuluk tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam
QS An Nisa 4:4). [As-Syairozi, Al-Muhadzab, II/289].
Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam
Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab:
(Khuluk dapat dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh
karena itu ia tidak membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli). [Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13].
Walaupun khuluk dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undangundang Indonesia, maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.[KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114]
Harus juga diingat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal suami selama 2 tahun berturut-turut, dan lain-lain. [KHI (Kompilasi Hukum
Islam) , Bab XVI Pasal 116].
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang
tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. [Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama].
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti yang menguatkan gugatan.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila
berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang
tidak bisa didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain sebagainya. [Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah,
II/290].
Dalam konteks ini, maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka
hakim dapat menceraikan keduanya.). [Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285].
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan
kewajibannya sebagai istri, maka istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada
dua pendapat ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami. Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas
ulama, termasuk madzhab Syafii.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela. Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali. AlMardawi dalam Al-Inshaf: menyatakan:
. .
(Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh melakukan gugat cerai. AlHalwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan permintaan istri.
Syekh Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi permintaan istri.) [Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382].
KESIMPULAN
Khuluk atau gugat cerai dari seorang istri pada suami hukumnya boleh dan sah dilakukan kapan saja baik dalam damai atau karena konflik rumah tangga. Karena
faktor kesalahan suami atau karena istri tidak lagi mencintai suami. Dengan syarat adanya kerelaan suami. Dan dapat dilakukan di depan pengadilan atau di luar
pengadilan.
Gugat cerai di Pengadilan Agama yang disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bertanggungjawab dapat diluluskan oleh hakim dengan sistem talak (bukan
khuluk) tanpa perlu persetujuan suami.
Adapun gugat cerai yang murni karena istri tak lagi mencintai suami, bukan karena kesalahan suami, maka suami disunnahkan untuk menerima permintaan istri.
Dalam konteks ini, maka ulama berbeda pendapat ada yang MEMBOLEHKAN dan ada yang MELARANG. Walla