Anda di halaman 1dari 5

Nama

Djafar

: M. Rasydin Sjatry

NIM

: D411 12 287

Subprodi

: Teknik Energi Listrik

PROSPEK PENGEMBANGAN PLTN DI INDONESIA


Saat ini sumber energi listrik yang berasal dari fosil dikhawatirkan akan semakin langka mengingat
terbatasnya sumber daya alam minyak bumi dan batu bara yang merupakan salah satu bahan utama
untuk terbentuknya energi listrik, sedangkan kebutuhan akan listrik semakin meningkat. Oleh sebab
itu dibutuhkannya sumber energi listrik alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang
semakin hari semakin pesat. Salah satu alternatif sumber energi listrik yang akan dikembangkan ialah
tenaga nuklir.
Pada tahun 1984, di seluruh Indonesia, baru sekitar 14% rumah tangga yang menikmati listrik PLN.
Pada saat itu, konsumsi perkapita baru mencapai 70 kWh per tahun. kebutuhan listrik telah meningkat
dengan pesat dengan laju pertumbuhan 11.7% selama kurun waktu 1984 s.d. 2004. Pada tahun 2004,
rasio elektrifikasi telah menjadi 53% dengan konsumsi perkapita mencapai 461 kWh per tahun. Pada
tahun 1999, rasio elektrifikasi sebenarnya telah mencapai 52%, namun dengan adanya krisis moneter
pertumbuhannya terhambat.
Walaupun telah tumbuh dengan pesat, tingkat konsumsi listrik kita masih relative rendah sehingga
diperkirakan kebutuhan akan tetap meningkat pesat dimasa depan. Selain itu, konsumsi listrik belum
merata. Mayoritas konsumsi listrik terjadi di Jawa bagian barat, yaitu di Provinsi-provinsi Banten,
DKI dan Jabar. Pada tahun 2004, 50% konsumsi terjadi di Jawa bagian barat, 28% di Jawa Tengah
dan Timur dan sisanya sebesar 22% tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan
lainnya.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2006-2015, diprakirakan pertumbuhan
beban di Jawa-Bali dalam kurun 2005 sampai dengan 2015 adalah sekitar 7.3% per tahun.
Pertumbuhan ini diasumsikan akan sedikit menurun menjadi rata-rata sekitar 5.8% per tahun untuk
kurun waktu 2016 sampai 2025.
Pada tahun 2015, beban puncak diproyeksikan akan mencapai 31 GW dan pada tahun 2025 mencapai
55 GW. Pertumbuhan beban ini dengan sendirinya menuntut penambahan-penambahan kapasitas
pembangkit baru dalam sistem ketenagalistrikan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, sampai dengan
2025 diperkirakan diperlukan penambahan 51 GW kapasitas pembangkit baru. Dengan tingginya
faktor beban di sistem Jawa-Bali, maka penambahan ini akan di dominasi oleh pembangkit pemikul
beban dasar, seperti PLTU Batubara dan PLTN.
Dari analisis, didapat bahwa apabila PLTN tidak dikembangkan maka hingga tahun 2025 diperlukan
tambahan PLTU Batubara sebesar 39 GW atau 65 unit pembangkit kelas 600 MW. Sehingga pada
tahun 2025, akan dibakar sebanyak 125 juta ton batubara di PLTU-PLTU, ini adalah sekitar 5 kali
jumlah batubara yang dibakar selama tahun 2005.
Penggunaan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik didunia pada tahun 2002 mencapai 19.7% dari
total energi yang digunakan. dengan jumlah energi primer yang digunakan sebesar 694 Mtoe [million
ton oil equivalent]. Penggunaannya menempati urutan ketiga sesudah batubara dan gas. Negara yang
terbanyak menggunakan nuklir sebagai pembangkit listrik adalah USA, Perancis, Jepang, Rusia,
Jerman, Korea Selatan, Inggris dan Canada. Beberapa negara lain yang juga sudah mulai
menggunakan PLTN adalah Taiwan, Cina, India dan Mexico. Menilik kepada negara-negara
pengguna nuklir tersebut tampak ada 2 ciri yaitu perkonomian dan penguasaan teknologinya kuat atau
jumlah penduduknya besar.
Di PLN, PLTN sudah dianggap sebagai salah satu kandidat dalam perencanaan perluasan sistem
pembangkit sejak 1980an. Akan tetapi, karena tingginya biaya investasi PLTN dan tersedianya

batubara dalam jumlah yang relative besar, pada saat itu PLTN tidak terpilih dalam rencana perluasan
yang optimum. Seiring dengan pertumbuhan perekonomian nasional yang membutuhkan pembangkit
berskala besar dan terjadi perkembangan dalam metode pengembangan PLTN, maka opsi nuklir
menjadi menarik untuk dipertimbangkan kembali.
Terdapat, setidaknya, dua stigma yang melekat pada PLTN sejak tahun 1970an, yaitu beresiko tinggi
dan berbiaya investasi tinggi. Stigma PLTN beresiko yang tinggi adalah sebagai akibat berbagai
kecelakaan-kecelakaan nuklir yang pernah terjadi. Resiko kecelakaan nuklir, yang sebenarnya sangat
kecil, namun efeknya bila terjadi akan sangat serius dan akan menjadi isu yang panas yang mampu
mendistorsi opini public akan PLTN. Kecelakaan-kecelakaan nuklir terjadi karena penerapan
teknologi yang belum terbukti [proven], penghematan biaya investasi yang tidak bijak dan kurangnya
pengawasan standar keamanan.
Pada tahun1970an dan 1980an, di Amerika Serikat telah terjadi banyak keterlambatan penyelesaian
pembangunan PLTN karena perubahan-perubahan dalam peraturan yang dibuat oleh regulator.
Perubahan dalam peraturan ini menuntut pula redesign beberapa komponen. Ditambah dengan inflasi
yang tinggi pada era tersebut, maka biaya investasi PLTN menjadi sangat tinggi. Disamping itu,
karena tingkat keamanan [safety] PLTN mutlak harus sangat tinggi, maka biaya investasi PLTN jauh
lebih mahal dari jenis pembangkit lainnya. Hal ini lah yang menimbulakan stigma PLTN itu berbiaya
invesatasi sangat tinggi dan tidak ekonomis.
Untuk keberhasilan pemanfaatan PLTN, dituntut adanya metode pengembangan yang mampu
menjawab kedua hal tersebut diatas. Telah lama diyakini, bahwa pembangunan PLTN tidak dapat
dianggap seperti membangun pembangkit listrik biasa. Pemahaman ini yang akhirnya menghasilakn
sebuah metode pengembangan PLTN, yaitu pengembangan PLTN melalui program nuklir nasional
dengan strategi yang tepat. Metode pengembangan PLTN ini, pertama di kembangkan di Perancis,
mulai diterapkan diberbagai negara seperti Korea Selatan dan Cina. Metode pengembangan PLTN ini
dapat diringkaskan sebagai berikut:

Menerapkan satu [saja] desain standar PLTN untuk dibangun secara serial [berturut-turut]
dalam jumlah yang banyak.
Harus dipilih PLTN yang disainnya telah proven dan mendapat lisensi dari regulator di negara
asalnya.
PLTN dibangun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya atau tepat waktu. Oleh karena itu,
kepastian [predictable] dan kelancaran proses linsensi oleh regulator akan sangat menentukan.
Mengikut sertakan sektor industri/pabrikan, rekayasa teknik, badan-badan penelitian dan
perguruan tinggi untuk menguasai teknologi PLTN standar tersebut dengan tujuan jangka
pendek meningkatkan kandungan lokal dalam pembangunan PLTN dan tujuan jangka panjang
mengembangkan sendiri generasi PLTN standar berikutnya.
Dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DPR dan DPRD.

Dengan memprogramkan pembangunan PLTN yang sama dalam jumlah yang banyak, misalkan
dengan target menyelesaikan 1 unit pertahun sejak tahun 2016, maka biaya investasi akan dapat
ditekan karena:

Menekan biaya pembuatan desain untuk unit-unit ke 3 dan seterusnya karena menggunakan
desain yang sama dengan 2 unit pertama dengan modifikasi seperlunya sesuai kondisi site.
Menekan biaya pembuatan dan pemasangan karena terjadinya pengulangan sehingga terjadi
efisiensi waktu, peralatan dan tenaga kerja. Juga, diharapkan kandungan lokal akan
meningkat pada unit-unit berikutnya.
Terjadi perbaikan dalam manajemen konstruksi untuk unit-unit berikutnya.

Pembangunan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan menghemat biaya financial [bunga
pinjaman]. Peningkatan kandungan lokal [komponen, material dan tenaga kerja] akan mengurangi
resiko perubahan kurs mata uang asing disamping membuka lapangan kerja. Terakhir, pemakaian

standar desain yang telah proven dan memperoleh lisensi dari regulator di negara asalnya, dapat
menekan serendah-rendahnya resiko kecelakaan nuklir.
Oleh karena itu, kiranya kita di Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengikuti jejak negaranegara yang telah sukses memanfaatkan PLTN, yaitu menerapkan metode pengembangan PLTN
seperti yang diuraikan diatas.
Rencana pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir [PLTN] di Indonesia, telah dinyatakan
dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional [RUKN] Tahun 2005. Hal ini sejalan dengan
perkembangan dalam hal keamanan dan keekonomian PLTN akhir-akhir ini, terutama sebagai akibat
penerapan metode pengembangan PLTN yang tepat. Disamping itu, sistem ketenagalistrikan JawaBali telah berkembang menjadi cukup besar dimana diperkirakan, 10 tahun yang akan datang, setiap
tahun diperlukan penambahan sekitar 2000 hingga 3000 MW kapasitas pembangkit baru. Tanpa
pemanfaatan pembangkit selain PLTGU gas dan PLTU batubara [PLTN], diperkirakan dimasa depan
sistem Jawa-Bali akan secara tidak realistis didominasi pembangkit berbahan bakar batubara yang
rentan akan gejolak harga batubara dan masalah-masalah transportasi batubara dan lingkungan.

KENDALA PENGEMBANGAN PLTN DI INDONESIA


Pembangunan PLTN di Indonesia telah berubah tidak hanya menjadi masalah energy tapi juga
menjadi masalah social. Hal ini di akibatkan adanya ketidak percayaan dari masyarakat kepada
pemerintah mengenai keamanan PLTN.
Harapan Dan Kecemasan
Pengembangan energi nuklir bukan lagi menjadi wacana namun sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, energi
nuklir masuk ke dalam kelompok energi yang dapat dikembangkan. Selanjutnya dalam Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, energi nuklir masuk ke dalam jenis energi alternatif yang
akan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik (PLTN). Langkah pemerintah juga semakin mantap
dengan memasukkan energi nuklir sebagai salah satu komponen di dalam Agenda Riset Nasional
(ARN) 2005-2009.
Perlu diakui bahwa dalam hal implementasi program ataupun kebijakan energi nuklir Indonesia relatif
lambat dan tertinggal dibandingkan negara lain seperti Cina, India dan Brasil. Hal ini tentu tidak
telepas dari tingginya tingkat resistensi masyarakat setelah belajar dari berbagai tragedi nuklir
katakanlah peristiwa Chernobyl di tahun 1986. Dalam konteks sumber pasokan energi primer di
dunia, di tahun 2004 energi nuklir berada dalam posisi keempat dengan porsi sekitar 6,5% yaitu
setelah minyak bumi, batu bara, dan gas. Di Indonesia hingga saat ini, pemanfaatan energi nuklir
masih dilakukan secara terbatas untuk keperluan penelitian yang dalam tingkatan aplikasi banyak
gunakan untuk keperluan kedokteran, industri dan pertanian.
Nuklir Sebagai Energi Baru
Upaya nyata untuk mengembangkan energi nuklir bagi pembangkit listrik tentu tidak terlepas dari
semakin terbatasnya pasokan energi yang bersumber dari bahan bakar minyak, dimana lebih dari 50%
pembangkit listrik menggunakan BBM. Pada sisi lain Indonesia menghadapi turunnya pasokan BBM
sebagaimana terlihat dari semakin berkurangnya produksi minyak, semakin tingginya impor BBM
yang tentu saja diikuti oleh kian berkurangnya ekspor BBM. Bahkan studi menunjukkan bahwa rasio
cadangan minyak terhadap produksi hanya mampu bertahan selama 18 tahun jika tidak dilakukan
eksplorasi baru. Hal ini tentu saja akan mengancam posisi keamanan pasokan energi nasional. Yang
pada gilirannya akan meningkatkan biaya produksi listrik yang berbasis BBM.
Sebagai alternatif pemerintah bermaksud mengembangkan lebih lanjut peranan gas bumi dan batubara
sebagai sumber alternatif energi primer di samping energi baru dan terbarukan lainnya. Jika

diperhatikan sasaran energi mix nasional di tahun 2025 sekitar 4,4% berasal dari energi baru dan
terbarukan yang secara dominan akan disumbangkan oleh energi nuklir sekitar 2% dan biofuel sekitar
1,3%. Dengan demikian dalam konteks asupan energi alternatif maka energy nuklir menempati skala
paling tinggi dibandingkan sumber lainnya seperti biofuel, tenaga surya, angin, biomass, dll.
Dilihat dari sumber bahan baku energi nuklir, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar.
Menurut perkiraan yang diberikan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sekitar 25%
luas daratan Indonesia mengandung deposit mineral radioaktif terutama dalam bentuk Uranium. Hasil
kalkulasi lainnya juga menunjukkan bahwa penggunaan energi nuklir sebagai pembangkit tenaga
listrik dapat memberikan biaya produksi yang lebih rendah sekitar 275% dibandingkan dengan
pembangkit PLN saat ini. Hal ini kirannya cukup beralasan dengan melihat kajian sebelumnya yang
menyatakan bahwa satu kilogram uranium setara dengan 1.000-3.000 ton batu bara, atau setara 160
truk tangki minyak diesel yang berkapasitas 6.500 liter. Energi nuklir juga paling murah dalam hal
biaya yang dikeluarkan menghasilkan satu unit energi listrik dibandingkan dengan sumber baru dan
terbarukan lainnya lainnya seperti energi angin dan surya.
Namun demikian pengembangan lebih lanjut energi nuklir tidak hanya harus memenuhi kelayakan
ekonomis, namun juga kelayakan teknis dan keamanan. Sesungguhnya kedua hal terakhir masih
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Aspek Kelayakan Teknis
Sejak tahun 1957 Indonesia sudah masuk dalam keanggotaan Badan Tenaga Atom Nasional. Dengan
demikian dalam aspek membangun kelembagaan (capacity building) Indonesia mendapatkan bantuan
dari badan dunia tersebut baik dalam bentuk pendanaan , peningkatan kapasitas SDM, penguatan
aspek regulasi dan pengawasan. Bahkan di tahun 1997 pemerintah juga telah mengeluarkan UndangUndang Energi Nukir. Di samping itu berbagai bentuk perjanjian bilateral seperti dengan Jepang turut
memperkuat posisi Indonesia untuk mampu berbuat lebih banyak dalam pengembangan PLTN.
Pengembangan PLTN bukan berarti tanpa resiko, namun perlu diingat juga pemakaian energi berbasis
fosil juga memegang andil yang besar bagi terjadinya pemanasan global (global warming) yang juga
telah menelan banyak korban akibat perubahan iklim global secara drastis. Demikian juga dengan
pengembangan energi alternatif biofuel yang dapat mengancam kelestarian hutan. Menyikapi prokontra nuklir belakangan ini, salah satu Deputi Menristek dalam opininya di salah satu harian nasional
melakukan pembelaan yang terkesan babi-buta; dengan pernyataan ;sekarang atau tidak sama sekali
untuk PLTN.
Ketakutan Masyarakat Akan Bahaya Pltn
Seperti telah disampaikan diatas PLTN merupakan salah satu bentuk sumber penghasil tenaga listrik
yang menggunakan bahan bakar nuklir sebagai pemanas air, dimana air tersebut akan dijadikan uap
yang nantinya digunakan sebagai pendorong turbin. Jika dihitung secara matematis, tingkat efisiensi
biaya pengoprasian dari PLTN itu sendiri merupakan yang paling murah jika dibandingkan dengan
pembangkit-pembangkit listrik yang lain.
Namun selain itu jika dilihat dari sisi lain, PLTN dapat diibaratkan tombak bermata dua, Sisi yang
didepan mampu untuk menyelesaikan masalah, namun sisi yang lain dapat membunuh sang pemilik
tombak tersebut. Masyarakat banyak yang berpendapat bahwa nuklir merupakan sesuatu yang
berbahaya, dan itu memang benar apa adanya. Bahan bakar nuklir dapat mengeluarkan radiasi yang
dapat mengionisasi tubuh manusia, tentu saja efek ionisasi tersebut dapat menimbulkan suatu masalah
bagi keberadaan manusia itu sendiri. Contohnya seperti kangker, disfungsi organ, perubahan DNA,
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, PLTN yang baik adalah PLTN yang mampu meminimalisasikan efek-efek negatif
dari bahaya nuklir itu sendiri. Di dalam PLTN yang baik terdapat sistem pengamanan berlapis-lapis
yang dapat digunakan untuk menghindari adanya kebocoran radiasi nuklir ke area luar dari PLTN.

Jika pengaman yang pertama gagal, maka masi ada pengaman berikutnya, jika yang berikutnya gagal,
masi ada pengaman selanjutnya.
Rencana pembuatan PLTN di Indonesia berlangsung penuh kontroversi. Ada yang pro-nuklir ataupun
kontra-nuklir. Atau mungkin netral, bahkan ada juga yang bersifat acuh. Adanya ketakutan-ketakutan
terhadap nuklir harusnya menjadi alasan untuk memperbaiki diri. Adanya pendukung pro nuklir
harusnya menjadi motivasi untuk tetap optimis melangkah ke depan. Dan jika masih ada yang bersifat
netral ataupun acuh, hal tersebut mengindikasikan perlunya pendekatan sosialisasi.
Sebagai masyarakat Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat
korupsi tinggi. Indonesia kaya akan SDA . Walaupun masih banyak masyarakat yang putus sekolah,
namun ada juga orang-orang cerdas seperti BJ Habibie ataupun juga pemenang olimpiade-olimpiade
sains tingkat internasional.
Namun mencuri bukan karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Kesempatan untuk melakukan
korupsi di negeri ini sangat tebuka lebar. Niat awal ingin memperbaiki sistem, tapi apa daya setelah
masuk ke sistem tersebut malah terjerumus ke jalan yang salah. Apa jadinya jika PLTN diurus oleh
orang-orang seperti itu? Akan banyak nyawa menjadi taruhan. Masyarakat Indonesia adalah manusia,
dan manusia bukan makhluk yang sempurna. Begitu pula dengan bangunan ciptaan manusia.
Untuk sekarang ini, kualitas hard skill SDM Indonesia cukup memadai. Namun ditinjau dari sisi soft
skill masih banyak SDM yang kurang dapat dipercaya. Ruang penyimpanan limbah radio aktif yang
seharusnya sangatlah kuat. Hanya karena ulah koruptor, ruang tersebut bisa saja menjadi sangat rapuh
sehingga nyawa manusialah yang akan menjadi taruhannya.

Anda mungkin juga menyukai