Anda di halaman 1dari 3

Analisis kebijakan Fiskal

Dalam lima tahun ke depan, setidaknya terdapat lima tantangan ekonomi


yang bersifat struktural, dalam arti melekat kepada struktur perekonomian
Indonesia. Tantangan tersebut lebih berkenaan dengan tantangan kebijakan
ekonomi daripada tantangan ekonomi belaka. Karena, untuk
menyelesaikannya, diperlukan seperangkat kebijakan ekonomi yang unggul.
Pada kelima tantangan tersebut, kualitas "teori ekonomi" Presiden Jokowo
akan diuji.
Tantangan pertama, adalah kuatro defisit keuangan negara, yaitu defisit
anggaran (fiskal), defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi
berjalan, dan defisit neraca pembayaran. Tantangan ini memerlukan respon
kebijakan keuangan yang lebih dari business as usual. Sayangnya, respon
kebijakan keuangan yang dipilih Jokowi adalah melonjakkan pencapaian
pajak. Alhasil, target penerimaan pajak 2015 meningkat Rp 600 triliun, yang
menurut Presiden Jokowi pun masih separuh dari target yang
dikehendakinya.
Kebijakan mencekik si kaya untuk menolong si miskin ini tepat untuk
era Robin Hood. Saat itu tidak ada relasi kesejahteraan antara mereka yang
berpendapatan tinggi dengan rakyat biasa. Namun era itu menjadi tidak
relevan ketika pemilik modal mempunyai kepentingan untuk menambah
kekayaannya dengan membangun industri yang menciptakan lapangan kerja
bagi orang banyak sekaligus memberikan kesejahteraan bagi rakyat banyak
tersebut. Respon kebijakan ini lebih tercium didorong oleh ketidaksukaan
atau bahkan kebencian daripada keinginan membangun struktur keuangan
negara yang kokoh. Sebab sebenarnya ada banyak teori dan cara yang
dapat digunakan untuk membangun keuangan negara yang sehat.
Menggenjot pajak adalah cara terakhir.
Tantangan kedua adalah merespon bonus demografi yang diprediksi terjadi
di tahun 2020-2030. Secara demografis, jumlah usia angkatan kerja (15-64
tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya
adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65
tahun ). Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar
180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta.
Bonus demografi ini membawa dampak ekonomi, karena dengan sangat
rendahnya tingkat ketergantungan penduduk nonproduktif terhadap
penduduk produktif, akan terjadi akumulasi tabungan yang eksponensial.
Untuk itu, diperlukan respon kebijakan yang mampu menciptakan lapangan
kerja secara masif untuk merespon ledakan banjir tenaga kerja yang sangat
banyak. Jika ledakan tenaga kerja produktif tidak diimbangi terciptanya
lapangan kerja yang setara, maka yang ada adalah banjir pengangguran.
Akibatnya, Indonesia akan menjadi negara gagal.

Masalahnya respon kebijakan yang ada justru menahan investasi di sektor riil
dengan kebijakan pungutan pajak dan bukan pajak yang agresif, baik di
tingkat nasional maupun daerah. Masalah ini ditambah dengan keengganan
pemerintah untuk segera memperbaiki kebijakan ketenagakerjaan pada saat
ini, yang berintikan kebijakan upah minimum dan kebebasan total dari
pekerja untuk melakukan mogok dan telah berhasil mengubah potensi
investasi menjadi realitas investasi. Samsung yang semula berniat
membangun pabrik handphone di Indonesia, memilih Vietnam.
Saat ini diperkirakan 60-70% investasi dilakukan di pasar modal dan di
sektor yang padat modal-padat-teknologi, yaitu pertambangan, perbankankeuangan, perdagangan, telekomunikasi, dan jasa-jasa lainnya. Sisanya
mengalir ke sektor yang menyerap tenaga kerja, tetapi tenaga kerja
berpendidikan menengah dan tinggi, yang tidak sinkron dengan fakta
kualitas SDM Indonesia yang berpendidikan kelas 2 SMP (menurut data
Kemenko Kesra & SDM).

Analisis berdasar APBN


Dalam perjalanan pemerintahannya, Jokowi terbukti mampu membuat
sebuah terobosan baru yang dapat menyelesaikan permasalahan harga BBM
yang telah lama terkatung-katung dalam pemerintahan sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah ke mana income revenue BBM mengalir?
Apakah ke hulu ataukan ke hilir?
Kedua, Presiden Jokowi menyatakan pentingnya sektor pertanian,
pembangunan infrastruktur, jaringan jalan, tol laut, dan sejumlah
megaproyek lainnya. Kalau kita lihat statistik Indonesia, dalam hal nilai tukar,
maka nilai tukar yang didapat petani (NTP) dibandingkan berapa yang harus
dibayar petani hingga kini masih belum seperti yang diharapkan, karena
baru mencapai 102:100. Dengan kondisi seperti ini, maka dalam struktur
kepemerintahan ini, posisi petani selalu tertinggal. Mereka selalu menjadi
objek, bukan menjadi subyek dalam pembangunan.
Prospek bidang pertanian dalam pemerintahan Jokowi dengan demikian
dapat kita ukur dari apakah NTP-nya kelak naik ataukah malah menurun.
Yang dapat kita lihat saat ini adalah fokus APBN tertuju untuk pembangunan
infrastruktur. Jadi dapat kita simpulkan bahwa kebijakan Jokowi dalam bidang
pertanian sampai saat ini sudah berada pada jalur yang benar.
Ketiga, kebijakan peluncuran Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar,
dan Kartu Indonesia Sejahtera, merupakan hal yang patut diapresiasi. Tentu
saja mengelola 250 juta penduduk Indonesia yang tersebar dari Sabang

sampai Merauke tidaklah mudah. Pasti akan banyak permasalahan yang


menghadang dalam pelaksanaan program ini nantinya.
Tapi di luar banyaknya kelemahan-kelemahan dalam peluncuran kartu-kartu
tersebut, inisiatif dan keberanian Presiden Jokowi untuk membuat
masyarakat sehat, cerdas, dan sejahtera, dengan segala konsekuensinya
merupakan salah suatu prestasi dalam 100 hari pemerintahannya. Memang,
keputusan sulit harus diambil, untuk mencapai kesejahteraan.
Keempat adalah kedaulatan maritim. Inilah untuk pertama kalinya
pemerintahan Indonesia melihat ke laut, kawasan yang selama ini
terabaikan. Selama ini laut Indonesia yang meliputi sekitar 2/3 luas wilayah
Indonesia lebih banyak menyejahterakan bangsa lain daripada bangsa
Indonesia sendiri. Tragisnya, walaupum 2/3 luas wilayah Indonesia adalah
laut, tapi masyarakat yang termiskin di Indonesia adalah kaum nelayan.
Selama bertahun-tahun, terkesan tak pernah ada upaya pemerintah untuk
mengubah kondisi ini. Tapi kemudian di balik gencarnya usaha pemerintahan
Jokowi dalam melaksanakan program pembangunan sektor kemaritiman,
nampak ada keinginan kuat untuk mengangkat derajat kaum terbawah di
Indonesia, yaitu para nelayan. Ini sebuah langkah yang patut mendapat
apresiasi.
Kelima, adalah keselamatan. Semua hal yang terjadi setelah tragedi AirAsia
telah mengungkapkan bahwa selama ini keselamatan angkutan, baik
keselamatan penerbangan, kereta api, dan laut, sering terabaikan karena
faktor cost. Dengan tragedi AirAsia yang menelan lebih dari seratus
limapuluh nyawa tersebut, masyarakat pun disadarkan bahwa standar
keselamatan di Indonesia ternyata sangat jauh tertinggal dari tolok ukur
keselamatan internasional.

Analisis berdasarkan kebijakan desentralisasi fiskal keuangan

Anda mungkin juga menyukai