Abstrak
Islam hadir ke tanah jawa dengan prinsip tasamuh yang tinggi dengan budaya lokal,
selama budaya tersebut tidak membahayakan maka Islam dapat berasimilasi
dengannya. Kalaupun ada budaya yang bertentangan dengan Islam, maka perubahan
secara perlahan dilakukan sebagai tahapan dalam rangka membumikan Islam. Di
antara bentuk tasamuh Islam atas budaya lokal adalah terjadinya sinkretisme antara
Islam dengan budaya lokal, terjadi saling mengisi antara keduanya, sehingga sebuah
tradisi tidak bisa dipisahkan lagi dengan Islam. Sebagai contoh budaya tahlilan yang
dalam sejarah telah ada sebelum Islam datang kini telah menyatu dengan budaya
Islam. Bahkan umat Islam tidak bisa membedakannya lagi dengan budaya lokal.
Di antara bentuk sinkretisme antara Islam dengan budaya lokal lainnya adalah
adanya aliran Islam Pasir di kabupaten Cilacap. Aliran ini adalah salah satu dari
varian sinkretisme Islam dan budaya lokal di Jawa bagian selatan yaitu Kabupaten
Cilacap Jawa Tengah. Ritual keagamaan Islam telah melebur ke dalam budaya
enyong-rika dalam masyarakat di Cilacap.
Karakteristik dari aliran ini adalah sifatnya yang tertutup dengan anggota masyarakat
lainnya, terutama berkaitan dengan ritual dan peribadahan mereka. Tidak semua
orang bisa masuk ke dalam aliran ini, setiap yang akan menjadi anggota harus
melalui ritual khusus. Anggota dari kelompok ini adalah bagian dari tarekat, dengan
amalan-amalan tertentu dan pertemuan-pertemuan khusus.
Ritual untuk mensucikan diri dengan puasa selama 40 hari secara terus menerus
dilakukan sebagai bentuk pensucian jiwa dari nafsu keduniaan. Selain itu cara
penghitungan hari dan bulan yang mereka miliki mengakibatkan jatuhnya hari raya
selalu berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berkaitan erat
dengan keyakinan adanya hari sial yaitu Rabu manis yang "haram" untuk dijadikan
hari raya. Bahkan beberapa tahun terakhir menunjukan selisih satu hari dengan
tanggal hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah. Penentuan hari raya baik Idhul
Adha ataupun Idul Fitri pada aliran ini didasarkan pada penghitungan jumlah hari
dalam sebulan yang harus 30 hari.
Selain itu penggunaan ritual-ritual kejawen pada momen-momen tertentu juga
menunjukan jati diri kelompok ini yang merupakan bagian dari Islam kejawen yang
berkembang di beberapa wilayah di pulau Jawa.
Makalah ini disajikan dengan menggunakan pendekatan antropologis, karakteristik
dan keyakinan aliran Islam Pasir dianalisis dengan pengamatan dan wawancara
mendalam dengan para kyai dan tetua aliran ini.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa aliran Islam Pasir adalah salah
satu varian Islam Kejawen, ia adalah bentuk sinkretisme antara kepercayaan Jawa
Kuno, Hindu-Budah dan Islam.
Kata Kunci : Islam Kejawen, budaya lokal, penghitungan penetapan bulan dengan
secara tradisi, ritual, akulturasi, dan sinkretisme
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama langit dan bumi sangat memahami keadaan manusia dan
sifat-sifat naluriah manusia, sehingga ia akan dengan mudah meresap ke dalam
berbagai sistem kebudayaan dan sosial manusia, bagaimanapun tradisi dan budaya
mereka. Islam memberikan gerak yang cukup luas bagi adat dan tradisi budaya lokal,
dalam sebuah kaidah Fiqhiyyah disebutkan :
Adat itu bisa menjadi hukum syariat.
Demikian pula yang terjadi di pulau Jawa, Cilacap khususnya. Islam masuk
ke wilayah ini melalu proses Islamisasi yang dilakukan oleh kerajaan Demak. Sifat
dari Islam yang toleran dengan budaya lokal ditambah sikap para da'i yang sangat
memahami mad'unya menjadikan Islam di wilayah ini memiliki karakter tersendiri.
Karakter keislaman di wilayah Cilacap adalah adanya sinkretisme anatara
Islam dengan budaya lokal. Sinkretisme ini menghasilkan sebuah pemahaman Islam
lokal yang unik dan tidak didapati pada wilayah lainnya. Diantaranya adalah aliran
Islam Pasir, atau dalam bahasa lokal Agama Pasir. Untuk memudahkan penulis
gunakan istilah Islam Pasir. Aliran ini berkembang di desa Ujungmanik Kecamatan
Dikatakan Pasir karena mereka menyamakan diri dengan pasir yang berada di tepi
lautan yang luas. Pasir yang berada di pantai secara filosofi berarti sesuatu yang tidak
bermakna dan hina jika dibandingkan dengan luasnya lautan di dekatnya. Maka
filosofi dari para pengikut aliran Islam Pasir adalah bahwa mereka adalah manusia
yang tidak bermakna jika dibandingkan dengan luasnya rahmat, karunia dan ilmu
Allah ta'ala.
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa Islam Pasir juga berasal dari kata
pasir yang berasal dari bahasa Sunda yaitu atas atau tinggi. Ini adalah harapan dari
para pengikut aliran ini, mereka ingin menjadi seorang manusia yang memiliki
derajat di atas, yaitu tinggi di sisi Allah.
Dari analisa sejarah yang ada menunjukan bahwa pendapat pertama yang
lebih mendekati kebenaran. Perlu catatan di sini bahwa aliran ini jarang sekali
menyebut diri mereka sebagai aliran Islam Pasir. Wawancara yang dilakukan sendiri
pada awalnya mengalami kebuntuan, karena kyai (pemimpin) awalnya tidak mau
menyebutkan tentang sejarah dan hakikat lebih jauh dari aliran ini.
C. Kyai, Tarek dan Tradisi Leluhur
Tokoh sentral pada aliran ini adalah seorang kyai. Pada awalnya kelompok ini
diketuai oleh seorang yang dianggap sebagai setengah wali, beliau bernama Mbah
Darmo. Namun pada tahun 2000-an beliau meninggal dunia, hingga kedudukannya
digantikan oleh Kyai Supandi.
Sebagaimana aliran Islam kejawen lainnya, kelompok ini juga memiliki
sebuah makam keramat yang dijadikan tempat untuk melakukan ritual pensucian
jiwa. Tempat keramat tersebut berada di tengah hutan di daerah Cikakak Purwokerto.
Pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika bulan Suro, Rajab dan Sya'ban diadakan
ziarah ke makam tersebut.
Ritual yang dilakukan adalah berupa ziarah, membakar kemenyan dan
memberikan sesaji kepada "penunggu" makam keramat tersebut. Ritual ziarah ini
sejatinya adalah peninggalan dari budaya pra Islam, bahkan pra Hindu yang menjadi
ciri khas masyarakat animisme-dinamisme di Jawa.
Selain waktu-waktu tersebut, ziarah juga dilaksanakan ketika ada anggota baru
yang menjadi bagian dari jama'ah ini. Ritual untuk masuk ke dalam anggota aliran ini
sebenarnya tidak sulit, dimulai dari "bersih diri" dengan melakukan puasa "mutih"
yaitu puasa dengan tidak makan tidak minum, lalu melakukan baiat kepada seorang
kyai untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti tarekat ini. Selanjutnya ia akan
melewati latihan-latihan jiwa yang diadakan pada malam-malam tertentu yang
dibimbing oleh seorang kyai sebagai ketuanya.
Setelah dianggap lulus melalui tahapan-tahapan tersebut selanjutnya akhir dari
peresmian keanggotaan adalah berziarah ke makam keramat tersebut. Di samping
makam ini dilakukan ritual dan do'a-do'a serta janji untuk selalu setia dengan
tarekatnya, dan tidak akan melanggar setiap kesepakatan yang telah dibuat oleh
kelompoknya. Termasuk larangan untuk membicarakan kelompok tersebut kepada
orang lain yang bukan anggota.
Keanggotaan dalam aliran ini memang seperti dalam tarekat sufi di beberapa
daerah di Indonesia. Jika seseorang telah masuk ke dalam tarekat ini maka banyak
pantangan yang tidak boleh dilanggar. Semua pantangan-pantangan tersebut telah
menjadi peraturan yang tidak tertulis, sehingga jika ada pelanggaran yang terjadi
maka tidak ada hukuman khusus yang dilaksankan. Hukuman bagi yang keluar atau
melanggar peraturan tersebut adalah pengucilan di tengah masyarakat mereka.
Selain model keanggotaan tarekat yang mereka miliki, keunikan lain dari
aliran Islam Pasir ini adalah kuatnya mereka memegang tardisi leluhur, secara
sosiologi setiap komunitas yang berada jauh dari percaturan modernitas akan
berupaya untuk mempertahankan tradisinya. Hal ini terjadi pada aliran ini, mereka
melakukan sinkretisme antara Islam, Hindu dan kepercayaan leluhur.
Di antara tradisi leluhur yang sampai saat ini masih dilakukan adalah
penyambutan ritual menjelang hari raya Idhul Fitri dan penetapannya.
D. Hari Raya : Antara budaya dan agama
Hari raya dalam pemahaman Islam Pasir adalah hari bersuka cita, sehingga
suka cita ini harus disambut oleh semua orang, baik yang sudah hidup atau yang
sudah meninggal dunia. Dalam kaitan dengan orang-orang yang sudah mati inilah,
mereka mempunyai keyakinan bahwa ketika malam hari raya tiba, para arwah
leluhur akan datang untuk mengunjungi anak cucunya yang masih hidup. Sebagai
sambutan bagi para arwah ini maka setelah matahari terbenam, dilakukan ritual
penyambutan.
Bentuk ritual ini yaitu dengan menyediakan kemenyan yang dibakar pada
sebuah genteng, lalu diletakan pada sebuah tampah (nampan yang terbuat dari
bambu), di sekitar bakaran kemenyan ini diletakan kembang tujuh rupa, dari mulai
kembang soka, melati, mawar, kenanga dan yang lainnya. Selain itu disediakan juga
rokok klobot cap sinden, kelapa hijau, bubur merah-putih dan beberapa jajan pasar.
Selain itu dibuat juga tiga buah lampu minyak yang disejajarkan pada sebuah tiang
bambu yang akan ditancapkan di depan rumah.
Ada keyakinan jika lampu minyak itu terus menyala maka "tamu-tamu"
tersebut sedang menikmati hidangannya. Sedangkan jika lampu tersebut padam
berarti arwah-arwah tersebut telah kembali ke tempatnya masing-masing. Saat ini
tradisi tersebut hanya dilakukan oleh beberapa tetua dari kelompok ini saja.
Setelah meletakan sesajen tersebut, dan melaksanakan shalat 'isya mereka
melakukan ritual selanjutnya untuk mengisi malam takbiran, untuk genarasi muda
dan anak-anak bisanya mereka memukul bedug dan kentongan sambil mengucapkan
takbir, sementara bagi golongan tua mereka mempunyai ritual tersendiri pada malam
Idhul Fitri. Ritual-ritual tersebut adalah melakukan dzikir-dzikir secara berjama'ah
dengan anggota lainnya sambil menunggu tengah malam. Lepas tengah malam
mereka akan menggantikan anak-anak dan anak muda melanjutkan takbir hingga
shubuh.
Sebagaimana umat muslim lainnya di paginya hari Idhul Fitri dilaksanakan
shalat 'Idh di masjid. Sebelum melaksanakan shalat 'Idh mereka mengucapkan pujipujian yang berisi sya'ir-sya'ir pujian kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya shalat Idhul Fitri dilaksanakan, karena ruangan masjid yang
terbatas sementara jama'ah yang datang banyak akhirnya antara shaf wanita dan pria
tiddak ada batas lagi. Setelah shalat Idhul Fitri dilaksanakan dilanjutkan dengan
saling meminta maaf dengan cara bersalam-salaman. Dimulai dari kyai dan para
tetua jama'ah dilanjutkan dengan seluruh hadirin yang hadir membuat lingkaran dan
bersalam-salaman. Ketika acara salam-salaman dilakukan mereka juga mengucapkan
puji-pujian yang sulit untuk dipahami, puji-pujian tersebut diucapkan dengan
setengah berteriak. Sebenarnya puji-pujian tersebut menggunakan bahasa Arab dan
adalah hari raya bagi para Nabi, sedangkan bagi para Abdi hari rayanya jatuh setelah
hari raya para Nabi tersebut yaitu hari kedua. Jika seorang abdi (manusia biasa)
mengikuti hari raya para Nabi maka dia telah berlaku tidak sopan. Karena itu mereka
akan selalu mengakhirkan hari raya mereka pada hari kedua.
Perhitungan dengan sistem Jawa Kuno juga menjadikan mereka mengetahui
hari raya untuk tahun depan atau tahun-tahun yang akan datang. Cara perhitungan
mereka sederhana, yaitu dengan menghitung jumlah hari. Misalnya dari Rebo pon,
kemis wage, jemu'ah kliwon, setu manis, minggu paing, senin pon, selasa wage,
rebu kliwon. Jumlah titi mangsa dalam budaya jawa hanya lima hari yaitu, manis,
paing, wage, kliwon dan pon. Sementara jumlah hari dalam hitungan masehi adalah
tujuh. Maka diurutkan terus menerus selama dengan jumlah bulan dikalikan tiga
puluh hari. Dari sini akan diketahui bahkan hari-raya-hari di tahun-tahun yang akan
datang. Jika hari raya jatuh pada hari yang diyakini mengandung banyak bencana
maka hari raya tersebut harus dialihkan ke hari berikutnya.
Demikianlah sekilas perayaan hari raya yang dilakukan oleh aliran Islam
Pasir, jika kita telisik, aliran ini sangat kentara sekali dengan kepercayaan Islam
kejawen yang banyak tersebar di wilayah-wilayah pulau Jawa.
F. Islam Pasir : Dari Sinkretisme menuju tradisi Islam Lokal
Islam Pasir saat ini masih eksis di desa Ujungmanik, Kec. Kawunganten Kab.
Cilacap Jawa Tengah. Saat ini walaupun generasi muda mereka telah banyak
meninggalkan desa dan pergi merantau ke kota, namun generasi tua di desa ini masih
tetap bersemangat untuk menghidupkan aliran ini. Hal ini terbukti dengan perayaan
Idhul Fitri dan Idhul Adha yang begitu meriah pada kelompok mereka. Bahkan
beberapa pejabat desa dan anggota legeslatif mendukung aliran ini.
Dari sini kita dapat melihat bahwa telah terjadi hubungan dan interaksi Islam
dan kebudayaan, Bassam Tibi, seorang penganut teori akulturasi Islam,
memperlakukan Islam sebagai sistem simbol untuk memahami dunia dan lingkungan
kebudayaan tertentu. Tibi selanjutnya merekomendasikan bahwa akomodasi kultural
selayaknya dilakukan oleh masyarakat Islam, yakni upaya untuk membuka diri
terhadap perubahan.
Dari konsepsi inilah, aliran Islam Pasir bisa dipahami dalam paradigma
antropologi Tibi sebagai proses akulturasi, asimilasi, difusi, dan adaptasi. Islam
dipahami sebagai kumpulan dengan variasi interpretasi berada dalam konteks
lokalitas perayaan Idhul Fitri dan ritual lainnya. Islam melakukan adaptasi dan
berdialog dengan kebudayaan setempat. Hasilnya Islam dengan ciri khas lokal,
model seperti ini akan mengakar pada sistem sosial di mana Islam tersebut berada.
Senada dengan analisa di atas, konsepsi Ignaz Kleden tentang perubahan
kebudayaan dapat membantu untuk melihat sejauh mana proses pewarisan atau
pelestarian, Ignaz Kleden memberikan lima konsepsi, seperti (1) pada tataran sistem
nilai adalah dari integrasi, disintegrasi ke reintegrasi; (2) pada tataran sistem kognitif
ialah melalui orientasi, ke disorientasi ke reorientasi; (3) dari sistem kelembagaan,
perubahannya adalah dari organisasi, ke disorganisasi ke reorganisasi; (4) dari
perubahan pada tataran interaksi adalah dari sosialisasi, dissosialisasi ke resosialisasi;
dan (5) dari tataran kelakuan, maka prosesnya adalah dari penerimaan tingkah laku,
ke penolakan tingkah laku dan penerimaan tingkah laku yang baru.
Perjalanan sejarah juga telah mengikis sebagian tradisi Islam Pasir, hingga
saat ini yang menonjol adalah perubahan dalam sistem kognitif yaitu pengetahuan
keagamaan yang dahulunya lebih kental warna kepercayaan lokalnya menjadi lebih
kearaban. Istilah warna kepercayaan lokal ini dipahami sebagai warisan budaya di
masa lampau yang juga terkonstruk dari negosiasi budaya-budaya yang berkembang
saat ini, baik dari ranah kepercayaan Hindu-Budha maupun kejawen. Sementara
istilah kearaban untuk menunjukkan makna semantik dan semiotik semata yang
digunakan dalam diskursus kedua budaya tersebut.
Munculnya warna Islam dalam tradisi ritual Islam Pasir saat ini lebih
dominan, saat ini hanya sedikit ditemukan bentuk resistensi lokal yang berarti. Inilah
yang kemudian menjadi daya tarik muslim tradisional di desa ini untuk senantiasa
melestarikan aliran yang memiliki sejarah panjang ini.
Dialog Islam dengan tradisi ritual pada Islam Pasir sebagaimana dianalisa
dengan konsepsi Bassam Tibi, menemukan relevansinya dengan antropolog lainnya
yang menitikberatkan sisi akulturasi Islam dalam budaya lokal, yaitu Mark R.
Woordward, Muhaimin, John Ryan Bartholomew. Mereka beranggapan bahwa Islam
dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang akulturatif sesuai dengan prosesnya
masing-masing, sehingga antara Islam dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang
antonim tetapi kompatibel. Bukan dipahami secara radikal, akan tetapi dipahami
adanya proses mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut dengan
agama yang bercorak khas, yaitu adaptif terhadap budaya lokal.
Demikian pula dalam konsepsi Mulder yang menggarisbawahi pentingnya
perspektif lokalitas dalam melihat relasi Islam dan budaya lokal. Meski Mulder
penganut teori sinkretisme, teori Mulder masih menyisakan dilema, terutama terkait
proses pemaduan antara banyaknya budaya yang mempengaruhi. Hal ini melahirkan
konsekuensi berupa pemilahan terhadap budaya yang berkontribusi terhadap
pelestarian tradisi Islam yang datang belakangan, dalam beberapa segi, bisa saja
dikatakan menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok.
Dari konsepsi ini, ritual yang dijalankan oleh Islam Pasir bisa dianggap
sebagai potret agama lokal atau Islam Kejawen. Meskipun demikian, perkembangan
aliran ini tampaknya terus mengalami kemunduran dan arabisasi.
Konsepsi sinkretisme Mulder jika dikorelasikan dengan Islam Pasir
memberikan dua pemahaman, yaitu (1) kedua budaya tersebut dapat dimaknai
sebagai arena kebudayaan yang memfasilitasi adanya beberapa unsur budaya yang
berfungsi sebagai pembentuk; dan (2) karena berfungsi sebagai arena kebudayaan,
bisa saja melahirkan implikasi berupa adanya ruang kontestasi atau perebutan
budaya.
Dengan mengacu pada konsepsi Mulder dan implikasi teoritisnya, sejauh
pengamatan penulis di lapangan, sinkretisme yang dipraktekan oleh Islam Pasir
hingga kini memperlihatkan tidak adanya perkelahian budaya dalam arti ekstrim dan
bentuk resistensi dari masyarakat lokal. Sebaliknya, aliran ini memberikan
sumbangan secara sosiologis berupa fungsi konsolidasi masyarakat yang
mendambakan keharmonisan. Adat atau tradisi lokal yang tumbuh pada masyarakat
Jawa Clacap mendapat panduan dari ajaran muslim tradisionalis.
G. Kesimpulan
Dari deskripsi mengenai Islam pasir ini kiranya dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Pertama,
Islam
Pasir
adalah
sebuah
aliran
dalam
Islam
yang
mengharmonikan antara Islam dan budaya lokal. Ia merupakan varian dari Islam
kejawen yang berkembang di wilayah-wilayah Jawa.
Kedua, aliran ini menganut pola tarekat sufi sebagai salah satu sarana untuk
sampai kepada kesempurnaan agama. Dalam prakteknya mereka mengamalkan
dzikir-dzikir dan sesajen-sesajen sebagai warna lokal dari kepercayaan mereka.
Ketiga, dalam menentukan hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha mereka
menggunakan perhitungan sendiri dengan berdasarkan kepada hitungan Jawa Kuno
yang menganut kepastian jumlah hari dalam satu bulan sebanyak 30 hari, dan
perhitungan weton : Pon, Wage, Kliwon, Manis, Paing. Selain itu mereka masih
meyakini adanya hari raya untuk Nabi dan untuk Abdi (orang umum).
Keempat, secara umum ritual keagamaan mereka adalah salah satu ciri dari
agama Islam lokal, yaitu agama Islam dengan kombinasi budaya lokal.
Keenam, Perjalanan aliran ini mengalami pasang surut pengikut, hingga dari
segi kualitas dan keilmuan saat ini mereka kekurangan generasi yang akan
melanjutkan estafetnya. Di era modern ini, Jama'ah Islam Pasir sudah mulai
berkurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebab utama dari penyusutan ini
adalah maraknya urbanisasi dan kurang intensnya regenerasi di kalangan mereka.
Ketujuh, Islam Pasir adalah sebuah fenomen dari tradisi Islam lokal, Islam
mengalami distorsi oleh budaya lokal. Distorsi ini semakin memperkaya khazanah
Islam dan menunjukan tasamuh Islam atas budaya lokal.
5. Tahun Dzal : Hari pertama jatuh pada Setu Legi / Manis : Idhul Fitri Setu
Paing
6. Tahun Bee : hari pertama Jatuh pada Kemis Legi / Manis : Idhul Fitri Kamis
Paing
7. Tahun Wawu : Hari Pertama jatuh pada Senen Kliwon : Idhul Fitri Senen
Manis
8. Jim Akhir : Hari pertama jatuh pada Jemuah Wage : Idhul Fitri Jemuah
Kliwon