IDENTITAS MAHASISWA
Nama
NIM
406147027
Periode
Pembimbing :
Topik
Tuberkulosis
IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
: Laki - laki
: Tn. Duritno
Umur
: 37 tahun
Pekerjaan
: Kuli bangunan
Pendidikan terakhir
: SMP
Alamat
Agama
: Islam
Bangsa/ Suku
: Jawa
Nama Ibu
Umur
: 26 tahun
Pekerjaan
: Konveksi
Pendidikan terakhir
: SD
Alamat
Agama
: Islam
Bangsa/ Suku
: Jawa
ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit : 13 Juni 2015
Tanggal pemeriksaan
: 13 Juni 2015
Diambil dari
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Penolong persalinan
: Bidan
Cara persalinan
: Spontan
Masa Gestasi
: 40 minggu
Keadaan Bayi
: 3,6 kg
: Tidak tahu
: Tidak tahu
Kelainan bawaan
: Tidak ada
Riwayat Imunisasi
BCG
: 1x, bulan 1
Hepatitis B
DPT
Polio
Campak
: belum
Psikomotor
o Tengkurap
: 3 bulan
o Berbicara
Riwayat Makan
UMUR (bulan)
ASI
P.A.S.I
02
24
46
Pemeriksaan Jasmani
5
Pemeriksaan umum
Panjang badan
: 67 cm
Berat Badan
: 7,2 kg
Suhu
: 38.5C
Nadi
RR
: 45 x / menit
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Keadaan gizi
: Gizi baik.
Kesadaran
: Compos Mentis
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam terdistribusi
merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan.
Muka
Mata
mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, Reflek cahaya +/+.
Telinga
Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada serumen, membran
timpani utuh, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tarik aurikuler, kelenjar
getah bening pre- retro-infra aurikuler tidak teraba membesar.
Hidung
Bentuk normal, sekret +/+ warna bening, tidak ada septum deviasi.
Mulut
Bibir kering +, lidah kotor - dengan pinggiran hiperemis, sianosis -, faring hiperemis
(-), tonsil T1-T1 tenang.
Leher
Dada
Paru-paru
6
Perkusi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen
Inspeksi
: datar
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Tidak teraba
Limpa
Tidak teraba
: Timpani
Ektremitas
Tulang belakang
: bentuk normal, tidak ada skoliosis, tidak ada lordosis, tidak ada kifosis.
LABORATORIUM
7
HASIL
NILAI NORMAL
SATUAN
Leukosit
8,6
5,5 18,00
10^3/L
Eritrosit
3,98
3,20 5,20
Hemoglobin
10,7
10,1 12,9
g/dL
Hematokrit
32
32 44
Trombosit
211
217 497
10^3/L
M.C.V
81
73 109
fL
M.C.H
27
22 34
Pg
M.C.H.C
33
26 34
g/dL
LED
33
0 10
Mm
Basofil
01
Eosinofil
1,00 5,00
Batang
08
Segmen
50
17 60
Limfosit
44
20 70
Monosit
1 11
Natrium darah
131
135 147
mmol/L
Kalium darah
4,38
3,50 5,00
mmol/L
Chlorida
109
95 105
mmol/L
HASIL
NILAI NORMAL
SATUAN
HEMATOLOGI
HITUNG JENIS
PH
7,485
7,370 7,450
PCO2
24,7
33 44
mmHg
PO2
115,6
71 104
mmHg
HCO3
18,2
22 29
mmol/L
TOTAL CO2
18,9
21 27
mmol/L
BE (vt)
-3,3
(-2) (+3)
mmol/L
O2 Sat
98,6
94 -98
Natrium
146
135 147
mmol/L
Kalium
2,85
3,5 5
mmol/L
Chlorida
99
95 105
mmol/L
HASIL
NILAI NORMAL
SATUAN
Natrium darah
131
135 147
mmol/L
Kalium darah
4,38
3,50 5,00
mmol/L
Chlorida
109
95 105
mmol/L
RESUME
Telah diperiksa anak laki-laki berusia 5 bulan 20 hari
Dari anamnesa didapat :
Demam sejak 1 minggu SMRS, perlahan, naik turun, dan dirasakan tinggi terutama pada
malam hari.
Sudah pernah berobat 4 hari SMRS di klinik, namun tidak ada perbaikan
10
: disangkal.
- Alergi
: disangkal.
- kejang
: disangkal.
Riwayat Keluarga
Baik
Baik
Riwayat Makanan
Baik
Riwayat Imunisasi
Pemeriksaan umum
Panjang badan
: 67 cm
Berat Badan
: 7,2 kg
Suhu
: 38.5C
Nadi
RR
: 45 x / menit
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Keadaan gizi
: Gizi baik.
Kesadaran
: Compos Mentis.
Paru
8,6
M.C.H.C
33
Eritrosit
3,98
LED
33
Basofil
Hemoglobin 10,7
Hematokrit
32
Eosinofil
Trombosit
211
Batang
M.C.V
81
Segmen
50
M.C.H
27
Limfosit
44
DIAGNOSA AWAL
Bronkopneumonia
DIAGNOSA BANDING
Bronkiolitis, TB Paru
PENATALAKSANAAN
Cefotaxim 2 x 350 mg
O2 1 lpm
Test Mantoux
12
PROGNOSA
Ad vitam
: ad bonam
Ad funtionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
: Demam (-) hari ke 9, muntah (-), batuk (+), pilek (+), sesak (+), belum BAB, BAK normal
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.8C
Nadi
RR
: 40 x / menit
TD
: 100/60 mmHg
Pemeriksaan fisik :
Kepala
: Normocephal
Mata
: CA -/- SI -/13
Hidung
: sekret -/-
Mulut
Leher
Cor
Paru
: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing +/+, retraksi ICS (+) supraclavicula (+)
suprasernal (+)
Abdomen
Ekstremitas
: Bronkopneumonia
:IVFD KaEn 1B 8 tpm macro, Cefotaxim 2 x 350 mg, Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Sanmol drop 3 x 0,7 ml, O2 1 lpm, Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
: Demam (+) hari ke 10, batuk (+), pilek (+), sesak (+)
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 38.5C
Nadi
RR
: 31 x / menit
TD
: 100/60 mmHg
Pemeriksaan fisik
Paru
: Bronkopneumonia
Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Sanmol drop 3 x 0,7 ml
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
: Demam (+), batuk (+), pilek (+), sesak (+) masih sering
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 38.5C
Nadi
RR
: 31 x / menit
TD
: 100/60 mmHg
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Bronkopneumoni
Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 37C
Nadi
RR
: 58 x / menit
Dyspneu (+)
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Bronkopneumoni, hipokalemi
16
: Demam (-), batuk (+) berkurang , sesak (+), BAB BAK dbN
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.7C
Nadi
RR
: 30 x / menit
Dyspneu (+)
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Bronkopneumoni, hipokalemi
17
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.7C
Nadi
RR
: 31 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Bronkopneumonia, hipokalemi, KP
: Demam (-), batuk (-), sesak (+) berkurang, belum BAB 2hari
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.6 C
Nadi
RR
: 19 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Demam (-), batuk (-), pilek (-), sesak (+) berkurang, 3 hari belum BAB, BAK normal,
rewel, minta susu terus
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.7C
Nadi
RR
: 19 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Demam (-), sesak (+) kadang-kadang saja, BAB-BAK berwarna kemerahan, nafsu makan
baik.
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 37C
Nadi
RR
: 40 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Demam (-), sesak (-) BAB-BAK berwarna kemerahan, nafsu makan baik. Tidak ada
keluhan
: KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 37.2C
Nadi
RR
: 35 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100
: keadaan membaik, tidak ada keluhan, nafsu makan minum baik, BAB BAK wrna merah.
: KU
: baik
Kesadaran
: CM
Suhu
: 36.5C
Nadi
RR
: 25 x / menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung
Paru
: Cefotaxim 2 x 350 mg
Prednison 2x0,5
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
23
ANALISA KASUS
Pasien laki-laki berumur 5 bulan 20 hari datang dengan keluhan sesak yang sebelumnya didahului
batuk, pilek, muntah, dan demam, dapat dicurigai terinfeksi penyakit saluran napas pada anak
seperti bronkopneumonia, bronkiolitis, TB Paru, asma dan lain-lain.
Awalnya os didiagnosa bronkopneumonia melihat gejala-gejala yang dialami pasien mendukung
penegakan diagnosa tersebut, seperti batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif
dengan dahak, sesak napas, demam, kesulitan makan/ minum, tampak lemah, terdapat gejala distres
pernapasan seperti retraksi, suara napas terdengar rhonki di kedua lapang paru pasien, dan
gambaran foto thoraks menunjukan gambaran pneumonia. Tetapi demam yang dialami pasien tidak
terlalu tinggi, jumlah leukosit pasien tidak mengalami kenaikan yang sangat tinggi, dan neutrofil
segmen pada pemeriksaan hitung jenis tidak mengalami kenaikan shift to the left, mengingat
pneumonia merupakan infeksi pernapasan yang akut. Pasien diterapi antibiotik secara empiris
dengan Cefotaxim tetapi tidak menunjukkan perbaikan saat dievaluasi pada hari ketiga pengobatan.
Pasien juga diterapi dengan bronkodilator inhalasi tetapi tidak berespon baik, sehingga asma
sebagai diagnosa banding dapat disingkirkan.
Antibiotik yang menunjukkan tidak adanya perbaikan, memungkinkan bronkopneumoni yang
dialami pasien disebabkan oleh karena virus (RSV), mengingat Rerpiratory Syncytial Virus
merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun. Selain itu, tidak adanya
perbaikan setelah diberikan antibiotik juga dapat mengarahkan pada diagnosa banding bronkiolitis,
24
mengingat bronkiolitis merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada anak usia 2-6
bulan. Selain itu, gejala pilek, batuk disertai gejala nasal, sesak, kesulitan makan karena sesak (poor
feeding), demam yang tidak terlalu tinggi pada pasien, adanya retraksi dinding dada, dan adanya
rhonki pada pemeriksaan auskultasi dada pasien, dan wheezing yang tidak membaik dengan tiga
dosis bronkodilator kerja cepat, cukup mendukung diagnosa bronkiolitis pada pasien. Pada hari
rawat ke-3, pasien juga diterapi dengan Kalmethasone, tetapi tidak memberikan perbaikan yang
berarti.
Pasien dengan tidak adanya perbaikan setelah diterapi secara empiris dan memiliki riwayat batuk
lama, demam yang tidak terlalu tinggi, dan pasien memiliki riwayat kontak dengan pasien TB BTA
(+), dapat dipertimbangkan untuk dicurigai terinfeksi Tuberkulosis. Pasien ini dilakukan test
mantoux, tetapi hasilnya negatif. Hasil negatif pada pasien dapat diartikan banyak hal, seperti :
tidak sedang terinfeksi TB, malnutrisi, imunodefisiensi, immunocompromised, atau sedang
terinfeksi virus tertentu. Dan tes dapat diulang 2 minggu kemudian. Gejala nafsu makan berkurang,
berat badan menetap, demam subfebris berkepanjangan, dan batuk yang lama tak kunjung sembuh
paada pasien mendukung penegakan diagnosis Tuberkulosis pada pasien.
Sesak terlihat terutama saat os minum susu dan tidur. Sesak terlihat semakin memberat sehingga
dibawa ke RS. Keluhan disertai demam yang sudah 1 minggu SMRS, demam perlahan meningkat,
hilang timbul namun lebih sering meningkat saat malam hari, turun saat diberi obat penurun panas
namun kembali meningkat 3 jam kemudian. Os juga muntah (+) sejak 1 minggu SMRS, sehari bisa
3 kali, isi susu, lendir (+), darah (-), muntah terutama setelah minum susu. Batuk (+) 2 minggu
SMRS tetapi jarang-jarang dan memburuk seminggu terakhir SMRS, dahak (+) namun tidak dapat
dikeluarkan, darah (-), pilek (+) Sebelumnya 4 hari SMRS os sudah dibawa berobat ke klinik, di
beri obat penurun panas dan obat anti muntah namun tidak ada perbaikan. Kemudian 1 hari SMRS
os dibawa lagi ke klinik karena sesaknya, di klinik os di uap, ada perbaikan namun saat kembali di
rumah sesak kembali timbul. Nafsu makan os agak menurun sejak sakit. BAB tidak ada keluhan,
sehari 2 kali, warna kekuningan, ada ampas. BAK normal, banyak seperti biasanya . Tidak ada
riwayat timbul bintik-bintik merah pada kulit, tidak mimisan, gusinya tidak berdarah.
25
Bronkopneumoni
Kasus
TB
EPIDEMIOLOGI
-Banyak pada negara berkembang
penderita TB
anak/tahun.
7% di negara maju.
negara berkembang.
26
GEJALA
1. Demam
1.Orang
tua
mengeluhkan
berat
badan
terakhir.
2.
Demam
>1
dan/atau
sebab
terlalu tinggi.
dan
berulang
yang
tanpa
jelas
lain-lain).
(bukan
Demam
pernah
Tidak
membaik
dengan
reda/
intensitas
berdarah.
dapat disingkirkan.
3. Kesulitan makan/minum
4.Orang
tua
4. Tampak lemah
5.Orang
tua
to thrive).
pasien
mengeluhkan
pasien lesu
dan
bersemangat
kurang
DIAGNOSIS
M.Tuberculosis
karena
tidak
dimasukkan pneumonia
Gambaran
skoring
gejala
dan
pemeriksaan penunjang TB
Sistem
radiologi
dinilai
saat
pasien
pneumonia berat
di puskesmas.
Gambaran
foto
menunjukkan
mendukung
pembesaran
toraks
gambaran
TB
berupa:
kelenjar
hilus
atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar,
milier,
kalsifikasi
dengan
infiltrat, tuberkuloma.
Anak didiagnosis TB jika
jumlah
skor
(skor
maksimal 13)
29
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan
beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan informatif
menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis
dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun.
Cara Penularan:
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut
BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya
tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
Besaran masalah TB Anak
30
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak
berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050% dari jumlah seluruh populasi.
31
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak
di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama
48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit
TB. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
32
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal
paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
33
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread
34
35
mikrobiologi.
Pemeriksaan
serologi
yang
sering
digunakan
tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur
Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen
dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturutturut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
37
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di
tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan
diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test)
(misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013
menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada
anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu
yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih
terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi
sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil
Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut
pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan
hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1
sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat
masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman
38
M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan
sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen
sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan
penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang
positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang
diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke
dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum
tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup
untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila
daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB
anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh
karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan
kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan
demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
39
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun
apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji
coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO
dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama
di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi
yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada
anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis
pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
40
41
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.
Penentuan status gizi:
. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5
tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk
pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar
hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada
petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak
mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
42
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik
utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien
tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau
sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi
TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan
atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.
43
44
PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan).
Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang
kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam
obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi
ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial,
meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off
dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
45
pasien
yang
mengalami
efek
samping
OAT
KDT.
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel
tabel berikut ini:
46
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap,
dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan
saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat
Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
47
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus
bersama dan dicampur dalam satu puyer
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat,
demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian
OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil
pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak
dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan
alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap
100 mg INH.
Untuk
pencegahan
neuritis
perifer,
apabila
tersedia
piridoksin
10
mg/
hari
49
50
lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Manaajemen TB Anak
Kemenkes, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Depkes-IDAI, 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak, Kelompok Kerja TB Anak
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak,
edisi ke2 dengan revisi
WHO, 2006, Guidance for national tuberculosis programmes on yhe management of tuberculosis in
children
WHO, September 2009, Dosing instruction for the use of currently available fixed-dose
combination TB medicines for children
WHO, 2012, Rapid Advice Treatment of Tuberculosis in Children
WHO, 2012, Draft of Guidance for national tuberculosis programmes on the management of
tuberculosis in children, Second edition
52