Anda di halaman 1dari 52

PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSPI PROF DR SULIANTI SAROSO

IDENTITAS MAHASISWA
Nama

Felicia Faustine Fajaray

NIM

406147027

Periode

22 Juni 2015 30 Agustus 2015

Pembimbing :

Dr. Dewi Murniati, SpA (K)

Topik

Tuberkulosis

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. Akrar Dinata

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Tanggal Lahir/ Umur : 23 Desember 2014/ 5 bulan 20 hari


Alamat

: Jl. Pademangan barat

IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah

: Tn. Duritno

Umur

: 37 tahun

Pekerjaan

: Kuli bangunan

Pendidikan terakhir

: SMP

Alamat

: Jl. Pademangan barat

Agama

: Islam

Bangsa/ Suku

: Jawa

Nama Ibu

: Ny. Siti Nuraini

Umur

: 26 tahun

Pekerjaan

: Konveksi

Pendidikan terakhir

: SD

Alamat

: Jl. Pademangan barat

Agama

: Islam

Bangsa/ Suku

: Jawa

Hubungan dengan orang tua : anak kandung.


2

ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit : 13 Juni 2015
Tanggal pemeriksaan

: 13 Juni 2015

Diambil dari

: Alloanamnesa (Ibu dan ayah pasien)

Keluhan Utama

: Sesak 2 hari SMRS

Keluhan Tambahan

: Demam 1 minggu SMRS, batuk berdahak, pilek, muntah.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dibawa oleh orang tua ke IGD RSPI Sulianti Saroso pada tanggal 13 Juni
2015 dengan keluahan sesak 2 hari SMRS. Sesak terlihat terutama saat os minum susu dan tidur.
Sesak terlihat semakin memberat sehingga dibawa ke RS. Keluhan disertai demam yang sudah 1
minggu SMRS, demam perlahan meningkat, hilang timbul namun lebih sering meningkat saat
malam hari, turun saat diberi obat penurun panas namun kembali meningkat 3 jam kemudian. Os
juga muntah (+) sejak 1 minggu SMRS, sehari bisa 3 kali, isi susu, lendir (+), darah (-), muntah
terutama setelah minum susu. Batuk (+) 2 minggu SMRS tetapi jarang-jarang dan memburuk
seminggu terakhir SMRS, dahak (+) namun tidak dapat dikeluarkan, darah (-), pilek (+)
Sebelumnya 4 hari SMRS os sudah dibawa berobat ke klinik, di beri obat penurun panas dan obat
anti muntah namun tidak ada perbaikan. Kemudian 1 hari SMRS os dibawa lagi ke klinik karena
sesaknya, di klinik os di uap, ada perbaikan namun saat kembali di rumah sesak kembali timbul.
Nafsu makan os agak menurun sejak sakit. BAB tidak ada keluhan, sehari 2 kali, warna
kekuningan, ada ampas. BAK normal, banyak seperti biasanya . Tidak ada riwayat timbul bintikbintik merah pada kulit, tidak mimisan, gusinya tidak berdarah.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat sesak sebelumnya disangkal, riwayat perawatan di RS sebelumnya tidak pernah, riwayat
kejang (-), riwayat alergi (-).

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA/ RIWAYAT KONTAK


Tidak ada riwayat penyakit untuk ibu dan ayah os. Kakek os (dari ibu) menderita Hipertensi,
jantung, dan DM.
3

Riwayat kontak dengan tetangga yang menderita TBC.

RIWAYAT KEHAMILAN DAN PEMERIKSAAN PRENATAL


Kehamilan : Perawatan antenatal
Ibu pasien memeriksa secara teratur ke bidan dekat rumah, 1 bulan 1 kali.
Penyakit kehamilan tidak ada.
Kelahiran : Tempat kelahiran

: Rumah Praktek Bidan

Penolong persalinan

: Bidan

Cara persalinan

: Spontan

Masa Gestasi

: 40 minggu

Keadaan Bayi

: Berat badan lahir

: 3,6 kg

Panjang badan lahir : 49 cm


Lingkar kepala

: Tidak tahu

Tidak langsung menangis, warna kebiruan


Nilai Apgar

: Tidak tahu

Kelainan bawaan

: Tidak ada

Riwayat Imunisasi
BCG

: 1x, bulan 1

Hepatitis B

: 4x, bulan 0-2-3-4

DPT

: 3x, bulan 2-3-4.

Polio

: 4x, bulan 1-2-3-4

Campak

: belum

Riwayat Tumbuh Kembang


Riwayat Pertumbuhan
Berat badan dan panjang badan pasien bertambah sejak lahir, tapi ibu tidak ingat berapa
kenaikannya, tetapi menurut ibu pasien, pertumbuhan anak cukup baik. Berat badan dan tinggi
badan pasien bertambah seiring pertambahan usia dan sering dikontrol di puskesmas saat imunisasi.
Riwayat Perkembangan

Psikomotor

o Tengkurap

: 3 bulan

o Berbicara

: 5 bulan (menyebut ma, pa, nen)

Riwayat Makan
UMUR (bulan)

ASI

P.A.S.I

02

24

46

Susu Formula (SGM)

RIWAYAT SOSIAL DAN PERUMAHAN


Os merupakan anak tunggal, dan menurut pengakuan ibu os bahwa os sangat diperhatikan
kebersihan makan dan minumnya. Kebutuhan os sehari-hari juga cukup terpenuhi. Os tinggal di
rumah yang berukuran 5 x 10 m2 , berisikan 7 orang dengan 3 kamar tidur, 1 dapur, 1 kamar mandi.
Os tidur bersama kedua orang tuanya dikamar yang ukurannya berkisar 3 x 4 m2 . Keadaan
perumahan padat, sirkulasi udara tidak bagus karena kurangnya ventilasi, cahaya matahari hanya
mengenai bagian depan rumah. Pepohonan di lingkungan rumah sangat kurang karena padat dengan
rumah. Ayah pasien terkadang merokok di dalam rumah.

Pemeriksaan Jasmani
5

Pemeriksaan umum
Panjang badan

: 67 cm

Berat Badan

: 7,2 kg

Suhu

: 38.5C

Nadi

: 150 x / menit, isi cukup, regular

RR

: 45 x / menit

Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

Keadaan gizi

: Gizi baik.

Kesadaran

: Compos Mentis

Pemeriksaan Fisik
Kepala

Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam terdistribusi
merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan.

Muka

Simetris, tidak terdapat flushed face

Mata

mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, Reflek cahaya +/+.

Telinga

Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada serumen, membran
timpani utuh, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tarik aurikuler, kelenjar
getah bening pre- retro-infra aurikuler tidak teraba membesar.

Hidung

Bentuk normal, sekret +/+ warna bening, tidak ada septum deviasi.

Mulut

Bibir kering +, lidah kotor - dengan pinggiran hiperemis, sianosis -, faring hiperemis
(-), tonsil T1-T1 tenang.

Leher

Trachea di tengah, kelenjar getah bening tidak teraba membesar

Dada

Bentuk normal, tampak retraksi otot-otot interkostalis, supraclavicula, subcosta.

Paru-paru
6

Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas


Palpasi

: Stem fremitus kanan-kiri, depan belakang sama kuat

Perkusi

: Sonor, batas paru - hepar di ICS VI midclavicula line dextra

Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronchi +/+, wheezing +/+


Jantung
Inspeksi

: Tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi

: Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra

Perkusi

: Redup, batas jantung atas ICS III midclavicula line sinistra


batas jantung kanan midsternum ICS IV
batas jantung kiri ICS IV midclavicula line sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen
Inspeksi

: datar

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

Dinding perut : supel


Hati

Perkusi

Tidak teraba

Limpa

Tidak teraba

: Timpani

Ektremitas

: akral hangat, tidak edema, tidak sianosis, CRT < 2 detik.

Tulang belakang

: bentuk normal, tidak ada skoliosis, tidak ada lordosis, tidak ada kifosis.

LABORATORIUM
7

Tanggal 13 juni 2015


PEMERIKSAAN

HASIL

NILAI NORMAL

SATUAN

Leukosit

8,6

5,5 18,00

10^3/L

Eritrosit

3,98

3,20 5,20

Hemoglobin

10,7

10,1 12,9

g/dL

Hematokrit

32

32 44

Trombosit

211

217 497

10^3/L

M.C.V

81

73 109

fL

M.C.H

27

22 34

Pg

M.C.H.C

33

26 34

g/dL

LED

33

0 10

Mm

Basofil

01

Eosinofil

1,00 5,00

Batang

08

Segmen

50

17 60

Limfosit

44

20 70

Monosit

1 11

Natrium darah

131

135 147

mmol/L

Kalium darah

4,38

3,50 5,00

mmol/L

Chlorida

109

95 105

mmol/L

HASIL

NILAI NORMAL

SATUAN

HEMATOLOGI

HITUNG JENIS

Tanggal 17 Juni 2015


PEMERIKSAAN
KIMIA LAIN
8

PH

7,485

7,370 7,450

PCO2

24,7

33 44

mmHg

PO2

115,6

71 104

mmHg

HCO3

18,2

22 29

mmol/L

TOTAL CO2

18,9

21 27

mmol/L

BE (vt)

-3,3

(-2) (+3)

mmol/L

O2 Sat

98,6

94 -98

Natrium

146

135 147

mmol/L

Kalium

2,85

3,5 5

mmol/L

Chlorida

99

95 105

mmol/L

HASIL

NILAI NORMAL

SATUAN

Natrium darah

131

135 147

mmol/L

Kalium darah

4,38

3,50 5,00

mmol/L

Chlorida

109

95 105

mmol/L

Tanggal 20 Juni 2015


PEMERIKSAAN
KIMIA LAIN

Bacaan hasil radiologi Ro Thorax AP (13 Juni 2015)


Cor

: bentuk besar normal

Infiltrat perihilar, paracardial kanan, kiri


Hilus kasar
Corakan bronkovaskular kasar
9

Sinus, diafragma baik


Kesan : Pneumonia

RESUME
Telah diperiksa anak laki-laki berusia 5 bulan 20 hari
Dari anamnesa didapat :

Demam sejak 1 minggu SMRS, perlahan, naik turun, dan dirasakan tinggi terutama pada
malam hari.

Muntah sejak 1 minggu SMRS terutama setelah minum susu

Batuk (+) , sejak 2 minggu SMRS, berdahak + pilek

Sesak (+), sejak 2 hari SMRS

Tidak ada penurunan berat badan secara signifikan

Nafsu makan dan minum menurun sejak sakit

Sudah pernah berobat 4 hari SMRS di klinik, namun tidak ada perbaikan

Riwayat kontak dengan penderita TB BTA (+)

Riwayat perumahan dengan sirkulasi udara yang kurang baik

Ayah pasien perokok

10

Riwayat Penyakit Dahulu


- Sesak / asma

: disangkal.

- Alergi

: disangkal.

- kejang

: disangkal.

Riwayat Keluarga

Kakek os menderita HT, penyakit jantung, DM

Riwayat Kehamilan dan kelahiran

Baik

Riwayat Tumbuh Kembang

Baik

Riwayat Makanan

Baik

Riwayat Imunisasi

Lengkap sesuai usia

Pemeriksaan umum
Panjang badan

: 67 cm

Berat Badan

: 7,2 kg

Suhu

: 38.5C

Nadi

: 150 x / menit, isi cukup, regular

RR

: 45 x / menit

Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

Keadaan gizi

: Gizi baik.

Kesadaran

: Compos Mentis.

Pemeriksaan Fisik yang Berarti (saat datang ke IGD RSPI)


Mulut

: bibir kering (+)

Paru

: SDV +/+, Rh +/+, Wh +/+


Tampak retraksi otot-otot interkostalis, supraclavicula, subcosta
11

Pemeriksaan Penunjang (13 Juni 2015)


Foto Thoraks AP kesan : Pneumonia
Leukosit

8,6

M.C.H.C

33

Eritrosit

3,98

LED

33

Basofil

Hemoglobin 10,7
Hematokrit

32

Eosinofil

Trombosit

211

Batang

M.C.V

81

Segmen

50

M.C.H

27

Limfosit

44

DIAGNOSA AWAL
Bronkopneumonia
DIAGNOSA BANDING
Bronkiolitis, TB Paru
PENATALAKSANAAN

IVFD KaEn IB 8 tpm macro

Cefotaxim 2 x 350 mg

Ambroxol drop 3 x 5 tetes

Sanmol drop 3 x 0,7 ml

O2 1 lpm

Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari

Test Mantoux

12

PROGNOSA
Ad vitam

: ad bonam

Ad funtionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

RIWAYAT RAWAT INAP


14 Juni 2015 (rawat hari ke-1)
S

: Demam (-) hari ke 9, muntah (-), batuk (+), pilek (+), sesak (+), belum BAB, BAK normal

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.8C

Nadi

: 160 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 40 x / menit

TD

: 100/60 mmHg

Pemeriksaan fisik :
Kepala

: Normocephal

Mata

: CA -/- SI -/13

Hidung

: sekret -/-

Mulut

: bibir kering (-)

Leher

: KGB tidak teraba membesar

Cor

: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing +/+, retraksi ICS (+) supraclavicula (+)
suprasernal (+)

Abdomen

: datar, supel, tympani, BU (+) normal

Ekstremitas

: akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik.

: Bronkopneumonia

:IVFD KaEn 1B 8 tpm macro, Cefotaxim 2 x 350 mg, Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Sanmol drop 3 x 0,7 ml, O2 1 lpm, Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari

15 Juni 2015 (rawat hari ke-2)


S

: Demam (+) hari ke 10, batuk (+), pilek (+), sesak (+)

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 38.5C

Nadi

: 120 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 31 x / menit

TD

: 100/60 mmHg

Pemeriksaan fisik
Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing +/+


retraksi ICS (+) supraclavicula (+) suprasernal (+)

: Bronkopneumonia

: IVFD KaEn 1B 8 tpm macro


14

Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Sanmol drop 3 x 0,7 ml
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari

16 Juni 2015 (rawat hari ke-3)


S

: Demam (+), batuk (+), pilek (+), sesak (+) masih sering

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 38.5C

Nadi

: 108 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 31 x / menit

TD

: 100/60 mmHg

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (+)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumoni

: IVFD KaEn 1B 8 tpm macro


15

Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari

17 Juni 2015 (rawat hari ke-4)


S

: Demam (-), batuk (+) semakin sering, sesak (+)

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 37C

Nadi

: 147 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 58 x / menit

Dyspneu (+)
Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (+)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing +/+


Retraksi IC (+)

: Bronkopneumoni, hipokalemi
16

: IVFD KaEn 1B 6 tpm macro


Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,0 cc) 3x/hari
Diet MC/ngt 6 x 60cc

18 Juni 2015 (rawat hari ke-5)


S

: Demam (-), batuk (+) berkurang , sesak (+), BAB BAK dbN

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.7C

Nadi

: 120 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 30 x / menit

Dyspneu (+)
Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (+)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing +/Retraksi IC-SC (+)

: Bronkopneumoni, hipokalemi
17

: IVFD KaEn 1B 600cc/24 jam, KCl 15 meq/kolf


Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (3.0 cc) 3x/hari
Diet mc/ngt 6x60cc

19 Juni 2015 (rawat hari ke-6)


S

: Demam (-), batuk (+) berkurang, sesak (+)

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.7C

Nadi

: 112 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 31 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumonia, hipokalemi, KP

: IVFD KaEn 1B 600cc/24jam


KCl 15meq/100cc
Cefotaxim 2 x 350 mg
18

Ambroxol drop 3 x 5 tetes


Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,0 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100
Diet mc/ngt 6x60cc

20 Juni 2015 (rawat hari ke-7)


S

: Demam (-), batuk (-), sesak (+) berkurang, belum BAB 2hari

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.6 C

Nadi

: 158 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 19 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-, slam +/+

: Bronkopneumoni, KP, hipokalemi

: IVFD KaEn 1B 600cc/24jam


KCl 15meq/100cc
Cefotaxim 2 x 350 mg
19

Ambroxol drop 3 x 5 tetes


Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,0 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100
Diet mc/ngt 6x60cc

21 Juni 2015 (rawat hari ke-8)


S

: Demam (-), batuk (-), pilek (-), sesak (+) berkurang, 3 hari belum BAB, BAK normal,
rewel, minta susu terus

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.7C

Nadi

: 158 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 19 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumoni, KP, hipokalemi

: IVFD KaEn 1B + KCl 15meq 25cc/jam


Cefotaxim 2 x 350 mg
20

Ambroxol drop 3 x 5 tetes


Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,0 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100
Diet ML 6x60cc

22 Juni 2015 (rawat hari ke-9)


S

: Demam (-), sesak (+) kadang-kadang saja, BAB-BAK berwarna kemerahan, nafsu makan
baik.

: KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CM

Suhu

: 37C

Nadi

: 130 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 40 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumoni, KP, hipokalemi (sudah dikoreksi)

: IVFD KaEn 1B 600cc/24 jam


Cefotaxim 2 x 350 mg
21

Ambroxol drop 3 x 5 tetes


Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100
Diet oral, ngt lepas

23 Juni 2015 (rawat hari ke-10)


S

: Demam (-), sesak (-) BAB-BAK berwarna kemerahan, nafsu makan baik. Tidak ada
keluhan

: KU

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: CM

Suhu

: 37.2C

Nadi

: 130 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 35 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumoni perbaikan, KP perbaikan, hipokalemi (sudah dikoreksi)

: IVFD KaEn 1B 600cc/24 jam


22

Cefotaxim 2 x 350 mg
Ambroxol drop 3 x 5 tetes
Kalmet 3 x 1 mg
Aminofilin 3 x 7 mg (IV)
O2 1 lpm
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100

24 Juni 2015 (rawat hari ke-11)


S

: keadaan membaik, tidak ada keluhan, nafsu makan minum baik, BAB BAK wrna merah.

: KU

: baik

Kesadaran

: CM

Suhu

: 36.5C

Nadi

: 100 x / menit, isi cukup, kuat angkat, regular

RR

: 25 x / menit

Pemeriksaan fisik :
Hidung

: Pernafasan cuping hidung (-)

Paru

: vesikuler +/+, rh +/+, wheezing -/-

: Bronkopneumoni perbaikan, KP perbaikan, hipokalemi (sudah dikoreksi)

: Cefotaxim 2 x 350 mg
Prednison 2x0,5
Inhalasi Ventolin (I) : NaCl 0,9% (2,5 cc) 3x/hari
23

Rifampisin 1x100, INH/B6 1x75, Pirazinamid 2x100


Diet oral

ANALISA KASUS
Pasien laki-laki berumur 5 bulan 20 hari datang dengan keluhan sesak yang sebelumnya didahului
batuk, pilek, muntah, dan demam, dapat dicurigai terinfeksi penyakit saluran napas pada anak
seperti bronkopneumonia, bronkiolitis, TB Paru, asma dan lain-lain.
Awalnya os didiagnosa bronkopneumonia melihat gejala-gejala yang dialami pasien mendukung
penegakan diagnosa tersebut, seperti batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif
dengan dahak, sesak napas, demam, kesulitan makan/ minum, tampak lemah, terdapat gejala distres
pernapasan seperti retraksi, suara napas terdengar rhonki di kedua lapang paru pasien, dan
gambaran foto thoraks menunjukan gambaran pneumonia. Tetapi demam yang dialami pasien tidak
terlalu tinggi, jumlah leukosit pasien tidak mengalami kenaikan yang sangat tinggi, dan neutrofil
segmen pada pemeriksaan hitung jenis tidak mengalami kenaikan shift to the left, mengingat
pneumonia merupakan infeksi pernapasan yang akut. Pasien diterapi antibiotik secara empiris
dengan Cefotaxim tetapi tidak menunjukkan perbaikan saat dievaluasi pada hari ketiga pengobatan.
Pasien juga diterapi dengan bronkodilator inhalasi tetapi tidak berespon baik, sehingga asma
sebagai diagnosa banding dapat disingkirkan.
Antibiotik yang menunjukkan tidak adanya perbaikan, memungkinkan bronkopneumoni yang
dialami pasien disebabkan oleh karena virus (RSV), mengingat Rerpiratory Syncytial Virus
merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun. Selain itu, tidak adanya
perbaikan setelah diberikan antibiotik juga dapat mengarahkan pada diagnosa banding bronkiolitis,
24

mengingat bronkiolitis merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada anak usia 2-6
bulan. Selain itu, gejala pilek, batuk disertai gejala nasal, sesak, kesulitan makan karena sesak (poor
feeding), demam yang tidak terlalu tinggi pada pasien, adanya retraksi dinding dada, dan adanya
rhonki pada pemeriksaan auskultasi dada pasien, dan wheezing yang tidak membaik dengan tiga
dosis bronkodilator kerja cepat, cukup mendukung diagnosa bronkiolitis pada pasien. Pada hari
rawat ke-3, pasien juga diterapi dengan Kalmethasone, tetapi tidak memberikan perbaikan yang
berarti.
Pasien dengan tidak adanya perbaikan setelah diterapi secara empiris dan memiliki riwayat batuk
lama, demam yang tidak terlalu tinggi, dan pasien memiliki riwayat kontak dengan pasien TB BTA
(+), dapat dipertimbangkan untuk dicurigai terinfeksi Tuberkulosis. Pasien ini dilakukan test
mantoux, tetapi hasilnya negatif. Hasil negatif pada pasien dapat diartikan banyak hal, seperti :
tidak sedang terinfeksi TB, malnutrisi, imunodefisiensi, immunocompromised, atau sedang
terinfeksi virus tertentu. Dan tes dapat diulang 2 minggu kemudian. Gejala nafsu makan berkurang,
berat badan menetap, demam subfebris berkepanjangan, dan batuk yang lama tak kunjung sembuh
paada pasien mendukung penegakan diagnosis Tuberkulosis pada pasien.

Sesak terlihat terutama saat os minum susu dan tidur. Sesak terlihat semakin memberat sehingga
dibawa ke RS. Keluhan disertai demam yang sudah 1 minggu SMRS, demam perlahan meningkat,
hilang timbul namun lebih sering meningkat saat malam hari, turun saat diberi obat penurun panas
namun kembali meningkat 3 jam kemudian. Os juga muntah (+) sejak 1 minggu SMRS, sehari bisa
3 kali, isi susu, lendir (+), darah (-), muntah terutama setelah minum susu. Batuk (+) 2 minggu
SMRS tetapi jarang-jarang dan memburuk seminggu terakhir SMRS, dahak (+) namun tidak dapat
dikeluarkan, darah (-), pilek (+) Sebelumnya 4 hari SMRS os sudah dibawa berobat ke klinik, di
beri obat penurun panas dan obat anti muntah namun tidak ada perbaikan. Kemudian 1 hari SMRS
os dibawa lagi ke klinik karena sesaknya, di klinik os di uap, ada perbaikan namun saat kembali di
rumah sesak kembali timbul. Nafsu makan os agak menurun sejak sakit. BAB tidak ada keluhan,
sehari 2 kali, warna kekuningan, ada ampas. BAK normal, banyak seperti biasanya . Tidak ada
riwayat timbul bintik-bintik merah pada kulit, tidak mimisan, gusinya tidak berdarah.

25

Bronkopneumoni

Kasus

TB

EPIDEMIOLOGI
-Banyak pada negara berkembang

-Anak tinggal di Indonesia

-Menurut penelitian, insiden

-Tinggal di lingkungan yang tidak

pneumonia pada anak <5 tahun di

sehat, terpapar kontak dengan

negara maju 2-4 kasus/100

penderita TB

anak/tahun, sedangakan di negara


berkembang 10-20 kasus/100

-Usia pasien 6 bulan

Banyak terdapat di negara


berkembang dibandingan negara
maju
Pada penelitian didapatkan kasus
TB < 15 tahun adalah 15% di
negara bekembang, sedangkan 5-

anak/tahun.

7% di negara maju.

-menyebabkan 5 juta kematian

Di Indonesia, TB anak terbanyak

per tahun pada anak balita di

pada usia 12-60 bulan (42,9%),

negara berkembang.

sedangkan untuk bayi < 12 bulan


16,5%.

26

GEJALA

1. Demam

1.Orang

tua

mengeluhkan

pasien 1. Berat badan turun tanpa sebab

berat

badan

yang jelas atau BB tidak naik

tidak naik dalam satu bulan

dengan adekuat atau tidak

terakhir.

naik dalam 1bulan setelah


diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik.

2.

Demam

>1

minggu, 2. Demam lama (2 minggu)

perlahan meningkat, hilang

dan/atau

timbul, sering meningkat saat

sebab

malam hari, demam tidak

demam tifoid, ISK, malaria,

terlalu tinggi.

dan

berulang

yang

tanpa

jelas

lain-lain).

(bukan
Demam

umumnya tidak tinggi.


3. Batuk lama 3 minggu, batuk
2. Batuk yang awalnya
kering, kemudian menjadi
prodiktif dengan dahak
purulen bahkan bisa

3.Batuk >2minggu, intensitas

bersifat non-remitting (tidak

semakin lama semakin parah.

pernah

Tidak

semakin lama semakin parah)

membaik

dengan

antibiotik dan obat batuk.

reda/

intensitas

dan sebab lain batuk telah


27

berdarah.

dapat disingkirkan.

3. Kesulitan makan/minum

4.Orang

tua

pasien 4. Nafsu makan tidak ada


mengeluhkan nafsu makan
(anoreksia) atau berkurang,
pasien berkurang sejak sakit
disertai gagal tumbuh (failure
dan muntah (1minggu)

4. Tampak lemah

5.Orang

tua

to thrive).
pasien

mengeluhkan

pasien lesu

dan

bersemangat

kurang

5. Lesu/ malaise, kurang aktif


bermain.

sejak sakit (1minggu)


5. Sesak nafas

6. Pasien tampak sesak dan 6. Diare persisten/menetap (>2


sulit napas

minggu) tidak sembuh dengan


pengobatan baku diare.

DIAGNOSIS

Ditegakkan dari gejala klinis


pneumonia.

lain virus, jamur dan bakteri.


bakteri

M.Tuberculosis

karena
tidak

dimasukkan pneumonia
Gambaran

skoring

gejala

dan

pemeriksaan penunjang TB

Penyebab pneumonia antara


Jika

Sistem

radiologi

Kontak dengan pasien pasien


TB BTA positif diberi skor 3
Penentuan status gizi:
. Berat badan dan panjang/ tinggi
badan

dinilai

saat

pasien

datang (moment opname).


tidak

. Dilakukan dengan parameter

khas, kecuali pada komplikasi

BB/TB atau BB/U. Penentuan

pneumonia berat

status gizi untuk anak usia <5


tahun merujuk pada buku
KIA Kemenkes, sedangkan
untuk anak usia >5 tahun
merujuk pada kurva CDC.
Demam (2 minggu) dan

Pemeriksaan kultur dilakukan

batuk (3 minggu) yang tidak

pada anak dengan pneumonia

membaik setelah diberikan

berat. Pada fase akut sulit

pengobatan sesuai baku terapi


28

dapat membedakan penyebab


virus atau bakteri

di puskesmas.

Gambaran

foto

menunjukkan
mendukung
pembesaran

toraks

gambaran
TB

berupa:

kelenjar

hilus

atau paratrakeal dengan/tanpa


infiltrat,

atelektasis,

konsolidasi segmental/lobar,
milier,

kalsifikasi

dengan

infiltrat, tuberkuloma.
Anak didiagnosis TB jika
jumlah

skor

(skor

maksimal 13)

29

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan
beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan informatif
menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis
dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun.
Cara Penularan:
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut
BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya
tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
Besaran masalah TB Anak

30

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak
berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050% dari jumlah seluruh populasi.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun


200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat
TB
Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang childfriendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.
Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan
benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan
dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada
tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8%
sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14
tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari
kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari
semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi
6%.
B. Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus..
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

31

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak
di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama
48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit
TB. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

32

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal
paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
33

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread

34

35

DIAGNOSIS TB PADA ANAK


A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu
dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil
pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab
profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa
juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ


Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
36

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:


Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai
kecurigaan adanya infeksi TB.
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di
Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis
pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara,
yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA
dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan

mikrobiologi.

Pemeriksaan

serologi

yang

sering

digunakan

tidak

direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur
Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen
dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturutturut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
37

pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di
tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan
diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test)
(misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013
menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada
anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu
yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih
terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi
sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil
Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut
pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan
hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1
sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat
masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman
38

M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan
sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen
sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan
penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang
positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang
diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke
dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum
tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup
untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila
daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB
anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh
karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan
kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan
demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
39

b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun
apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji
coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO
dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama
di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi
yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada
anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis
pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

40

41

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.
Penentuan status gizi:
. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5
tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk
pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar
hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada
petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak
mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)

42

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik
utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien
tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau
sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi
TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan
atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.

43

44

PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan).
Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang
kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam
obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi
ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial,
meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off
dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
45

o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR


Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam
pengobatan

pasien

yang

mengalami

efek

samping

OAT

KDT.

Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel
tabel berikut ini:

46

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu
masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH
(H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam
satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap,
dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan
saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat
Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
47

OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus
bersama dan dicampur dalam satu puyer
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat,
demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian
OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil
pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak
dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan
alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap
100 mg INH.
Untuk

pencegahan

neuritis

perifer,

apabila

tersedia

piridoksin

10

mg/

hari

direkomendasikan diberikan pada


48

bayi yang mendapat ASI eksklusif,


pasien gizi buruk,
anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional
Pengendalian TB.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan DAN
menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan DAN
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB
kebal obat.
Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB,
perlu dievaluasi apakah anak tersebut benarbenar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring.
Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh.
Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
tuberkulin ulang.

49

PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK


Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis.
Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi
0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi
Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB
berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan
tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3 kehamilan
berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan
bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular
ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan diberikan
imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah bayi sudah
terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi paling
sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid
lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi

50

lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.

Skrining dan Manajemen Kontak


Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif dan
intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA
positif, dan (2) orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya Investigasi Kontak:
1. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi TB
dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4 69.2%.
3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya sakit
TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB
dalam beberapa minggu.
4. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan
berkembangnya sakit TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang berisiko untuk
berkembang jadi sakit TB
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia < 5 tahun
dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan
semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan secara sentripetal dan
sentrifugal.

51

DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Manaajemen TB Anak
Kemenkes, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Depkes-IDAI, 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak, Kelompok Kerja TB Anak
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak,
edisi ke2 dengan revisi
WHO, 2006, Guidance for national tuberculosis programmes on yhe management of tuberculosis in
children
WHO, September 2009, Dosing instruction for the use of currently available fixed-dose
combination TB medicines for children
WHO, 2012, Rapid Advice Treatment of Tuberculosis in Children
WHO, 2012, Draft of Guidance for national tuberculosis programmes on the management of
tuberculosis in children, Second edition

52

Anda mungkin juga menyukai