Anda di halaman 1dari 2

Nama

: Herning Puspitarini

NIM

: 13010215410010
Periodisasi Estetika

Periodisasi perkembangan estetika meliputi beberapa tahap yakni: periode klasik,


periode kritik, positivisme, modernisme, dan postmodernisme. Menurut Ratna, estetika
terpisah dari filsafat dan mempunyai peran ilmiah terkait dengan ilmu lain pada masa
Baumgarten. Hal ini terlihat sedikit rancu, terlebih Baumgarten merupakan tokoh pada
periode kritik yaitu periode yang lebih menekankan kritik pada masa klasik, sedangkan
pemahaman estetika yang lebih empiris ilmiah terdapat pada masa positivisme. Mungkin
Ratna menganggap Baumgarten sebagai pelopor dari awal mula terbentuknya ilmu estetika,
karena penemuan nama estetika sebagai ilmu pengetahuan dimulai pada masa itu. Seharusnya
terdapat pemaparan lebih jelas mengenai batasan dimulainya estetika yang terpisah dengan
filsafat yang membentuk estetika sebagai ilmu empiris ilmiah.
Permasalahan lain yakni pada teori lama keindahan hanya bersumber pada rasio, dan
kurang memperhatikan imajinasi. Pada masa romantiklah imajinasi terhadap suatu karya seni
membuatnya terlihat lebih estetis. Imajinasi merupakan bentuk curahan jiwa, perasaan, dan
ide gagasan pengarang, sehingga sebuah karya yang tercipta akan lebih indah. Ketika seorang
pelukis membuat lukisan seorang peri yang digambarkan berwajah cantik, mempunyai
telinga runcing, dan bercahaya, tentu orang yang tidak tahu dengan wujud peri akan kagum.
Meskipun tidak pernah melihat secara langsung, namun imajinasi yang dituangkan melalui
lukisan itu adalah bentuk karya estetis.

Selain imajinasi dari seniman, menurut saya imajinasi dari penikmat pun dapat
memberikan pemaknaan estetis. Contoh lain yakni ketika saya melihat patung Diponegoro
yang baru dicat di depan kampus pascasarjana Undip. Selempang patung Diponegoro yang
berkibar dan dicat berwarna putih seolah seperti sayap dan membuat sosok Pangeran
Diponegoro seperti angel (malaikat). Hal ini didukung dengan sosoknya yang naik kuda,
membuatnya seperti terbang, hal ini terlihat lebih unik dan menarik perhatian. Pangeran
Diponegoro tentu mustahil memakai sayap, namun dari pandangan saya terhadap patung itu
demikian.
Dengan demikian, proses penikmatan pada patung Diponegoro tersebut membuat
dekonstruksi terhadap sebuah karya, sehingga pemaknaan terhadap sesuatu yang bersifat
imajinatif lebih membuat suatu karya bernilai estetis. Jadi, saya setuju dengan pendapat
Hume yang mengatakan bahwa kesenian bukan hanya sifat bawaan atau kualitaas dari bendabenda itu, namun melibatkan kesadaran manusia yang merenungkan keindahan sebagai
kesadaran penikmat.

Anda mungkin juga menyukai