iii
iv
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
BAB I POTENSI SENYAWA ALAMI PADA TUMBUHAN DALAM
PENGENDALIAN POPULASI HAMA TIKUS ............................. 1
BAB II KARAKTERISTIK REPRODUKSI HEWAN UJI ........................ 4
A. Gambaran Umum Hewan Uji ...................................................... 4
1. Tikus ................................................................................................ 4
2. Mencit ( Mus musculus L.) .............................................................. 6
B. Reproduksi Hewan Betina ............................................................ 7
1. Sistem Reproduksi .................................................................... 7
a. Ovarium ...................................................................................... 7
b. Oviduk ........................................................................................ 8
c. Uterus .......................................................................................... 8
d. Vagina ......................................................................................... 9
2. Siklus Reproduksi ..................................................................... 10
a. Fase proestrus ............................................................................. 10
b. Fase estrus ................................................................................... 11
c. Fase metestrus ............................................................................. 11
d. Fase diestrus ............................................................................... 12
3. Pengaturan hormonal pada siklus estrus ............................... 14
C. Reproduksi Hewan Jantan ........................................................... 15
1. Sistem Reproduksi ................................................................ 15
a. Testis ........................................................................................... 15
b. Kelenjar Asesoris ........................................................................ 17
c. Alat kelamin luar atau organ kopulatoris .................................... 18
2. Spermatogenesis ........................................................................ 18
vi
a. Spermatositogenesis .................................................................... 19
b. Meiosis ........................................................................................ 19
c. Spermiogenesis ........................................................................... 19
3. Pengendalian hormon terhadap spermatogenesis ................. 21
D. Kopulasi dan fertilisasi ................................................................. 22
E. Implantasi....................................................................................... 23
BAB III TUMBUHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA AKTIF
YANG
BERPOTENSI
SEBAGAI
BAHAN
ANTI
FERTILITAS .................................................................................... 24
A. Senyawa aktif biologi antifertilitas pada tumbuhan ................. 24
B. Tumbuhan yang mengandung senyawa aktif biologi bersifat
antifertilitas .................................................................................... 25
1. Manggis (Garcinia mangostana L.) ........................................... 25
2. Mangga (Mangifera indica L.) ................................................... 28
3. Adas (Foeniculum vulgare M.) ................................................... 32
4. Lada (Piper nigrum L) ................................................................ 35
BAB IV BEBERAPA HASIL PENELITIAN ................................................. 41
A. Penurunan Fertilitas Hewan Betina ........................................... 41
1. Persentase implantasi (IM) ......................................................... 41
2. Kematian pascaimplantasi .......................................................... 42
3. Fetus Mati ................................................................................... 42
B. Penurunan Fertilitas Hewan Jantan ........................................... 45
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 48
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
viii
5
7
13
16
17
21
36
43
DAFTAR TABEL
Halaman
ix
BAB I
POTENSI SENYAWA ALAMI PADA TUMBUHAN DALAM
PENGENDALIAN POPULASI HAMA TIKUS
risiko
berupa
musnahnya
populasi
hewan
ini,
sehingga
tersebut bereaksi seperti hormon progesteron dan estrogen, dan berefek samping
menginhibisi terhadap hipopisis, merangsang pertumbuhan endometrium dan efek
estrogeniknya dapat meningkatkan kematian pascaimplantasi pada tikus putih.
BAB II
KARAKTERISTIK REPRODUKSI HEWAN UJI
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
cukup
besar
serta
sifat
anatomisnya
dan
fisiologisnya
: Chordata
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering
dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga
kisarannya antara 18-19C serta kelembaban udara antara 30-70%.
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan
18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi
mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah anak
mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g.
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan
hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan
dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak
yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia.
yaitu
estrogen
dan
progesteron.
Ovarium
tempat
d. Vagina
Vagina terbagi menjadi dua bagian yaitu vertibulum (bagian luar
vagina) dan vagina posterior (dari muara uterus sampai serviks).
Dinding vagina terdiri dari mukosa, muscularis dan serosa. Pada
betina yang memiliki siklus normal, sel-sel epithelium yang
membatasi vagina mengalami perubahan secara periodik yang
dikontrol oleh hormon yang disekresikan oleh ovarium. Vagina
merupakan saluran panjang yang terletak dorsal terhadap urethra dan
ventral terhadap rektum, sebagai tempat penumpahan semen dari
individu jantan.
10
2. Siklus Reproduksi
Pada beberapa mamalia siklus reproduksi disebut juga sebagai
siklus estrus. Estrus atau birahi adalah suatu periode secara psikologis
maupun fisiologis yang bersedia menerima pejantan untuk berkopulasi.
Periode atau masa dari permulaan periode birahi ke periode birahi
berikutnya disebut dengan siklus estrus.
Siklus estrus adalah siklus seksual pada mamalia bukan primata
yang tidak menstruasi. Siklus estrus merupakan cerminan dari berbagai
aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium.
Selama siklus estrus terjadi berbagai perubahan baik pada organ
reproduksi maupun pada perubahan tingkah laku seksual.
Seperti telah disampaikan di muka, tikus dan mencit termasuk
hewan poliestrus. Artinya, dalam periode satu tahun terjadi siklus
reproduksi yang berulang-ulang. Daur estrus kedua jenis hewan ini
dibedakan menjadi lima fase yaitu Proestrus, Estrus, Metestrus I,
Metestrus II dan Diestrus. Siklus estrus mencit berlangsung 4-5 hari,
sedangkan tikus satu siklus bisa selesai dalam 6 hari. Meskipun pemilihan
waktu siklus dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor eksteroseptif seperti
cahaya, suhu, status nutrisi dan hubungan sosial.
Setiap fase dari daur estrus dapat dikenali melalui pemeriksaan
apus vagina. Apus vagina merupakan cara yang sampai kini dianggap
relatif paling mudah dan murah untuk mempelajari kegiatan fungsional
ovarium. Melalui apus vagina dapat dipelajari berbagai tingkat diferensiasi
sel epitel vagina yang secara tidak langsung mencerminkan perubahan
fungsional ovarium. Siklus secara kasar dapat dibagi menjadi empat
stadium sebagai berikut :
a. Fase proestrus
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode dimana
folikel ovarium tumbuh menjadi folikel de graaf dibawah pengaruh
11
fisiologis
tersebut
meliputi
pertumbuhan
folikel,
12
d. Fase diestrus
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus birahi pada
ternak-ternak dan mamalia. Fase ini berlangsung selama 48 jam.
Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap
saluran reproduksi menjadi nyata. Endometrium lebih menebal dan
kelenjar-kelenjar berhypertrophy. Serviks menutup dan lendir vagina
mulai kabur dan lengket. Selaput mukosa vagina pucat dan otot uterus
mengendor. Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan
perubahan-perubahan retrogresif dan vakualisasi secara gradual.
Endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beratrofi atau beregresi ke
ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan
sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada preparat apus
vagina dijumpai banyak sel darah putih dan epitel berinti yang
letaknya tersebar dan homogen.
13
Tabel 1.
Perubahan pada epitel vagina selama siklus estrus
Fase
siklus
estrus
Lama
fase
(jam)
Proestrus
12
Estrus
12
Metestrus
12
Diestrus
65
Gambar 3.
Tampilan skematis apusan vagina pada daur estrus
(A) Diestrus, (B) Proestrus, (C) Estrus, (D) Metestrus
(Bognara & Donnel, 1988)
Keterangan :
14
15
16
Gambar 4.
Potongan testis, epididimis dan bagian pertama dari vas deferens
Testis merupakan kelenjar campuran, yakni kelenjar eksokrin juga
sekaligus sebagai kelenjar endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin testis
berfungsi menghasilkan sel sperma. Fungsi ini sesungguhnya dilakukan
oleh saluran-saluran dalam lobuli testis yang disebut tubulus seminiferus.
Di dalam tubulus seminiferus, sel-sel spermatogenik berkembang ke arah
lumen dengan bantuan inang yakni sel sertoli.
Sebagai kelenjar endokrin testis memiliki sel leydig pada jaringan
ikat di antara tubulus seminiferus. Sel ini memproduksi testoteron, hormon
yang bertanggung jawab pada proses spermiogenesis yang mengkonversi
bentuk spermatid menjadi spermatozoon. Fungsi testoteron di dalam
tubulus dibantu protein reseptor. Protein tersebut adalah Androgen Binding
Protein (ABP) yang dihasilkan sel sertoli atas stimulus hormon semacam
FSH dari hipofisa anterior.
Pada jantan yang masih muda struktur tubulus seminiferus masih
sederhana. Epitel lembaga hanya terdiri atas sel-sel spermatogonia dan sel
sertoli. Pada jantan yang sudah dewasa, spermatogenik lebih beraneka
ragam. Hal ini dikarenakan proses spermatogenesis yang mekanismenya
17
18
19
2. Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa yang
terjadi di dalam tubulus seminiferus testis. Spermatogenesis dibagi
menjadi 3 fase yaitu spermatositogenesis, meiosis dan spermiogenesis.
a. Spermatositogenesis
Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonium
(jamak:spermatogonia) yang selama hidupnya aktif membelah secara
mitosis.
Spermatogonia
dibagi
dalam
dua
populasi,
yaitu
menyelesaikan
duplikasi
DNA
sel
disebut
20
empat fase yaitu fase golgi, fase cap (fase tutup), fase akrosom dan
fase pematangan (maturasi).
Pada fase golgi, terbentuk butiran proakrosom dalam alat golgi
spermatid. Butiran ini nantinya akan bersatu membentuk satu bentukan
dengan akrosom disebut granula akrosom. Granula akrosom ini
melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan
spermatozoa.
Pada fase cap, granula akrosom semakin membesar, bertambah
pipih dan menuju bagian depan inti, sehingga akhirnya terbentuk
semacam tutup (cap) sementara.
Pada fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom.
Nukleuplasma berkondensasi dan sementara itu spermatid memanjang
dengan batas kaudal menyempit dan membentuk sudut sehingga inti
kelihatan lebih pipih dan tutup (cap) mengitari bagian ventral inti.
Bahan-bahan akrosom menyebar dan berada pada bagian ventral inti,
pemanjangan dan pemipihan ini berlangsung terus sehingga bagian
anterior spermatid menjadi sempit selanjutnya terjadi perubahan ujung
kaudal spermatid dari bentuk bundar menjadi agak pipih dan pada saat
spermatid telah mencapai panjang yang maksimum, bahan-bahan
akrosom telah menutup seperempat bagian anterior spermatid.
Pada fase pematangan, bentuk spermatid sudah hampir sama
dengan spermatozoa dewasa. Terjadi perubahan bentuk spermatid
sesuai dengan ciri spesies. Spermatid yang telah berubah menjadi
spermatozoa berhubungan langsung dengan sel sertoli yang banyak
mengandung glikogen, sehingga spermatozoa mendapat makanannya,
akhirnya spermatozoa akan dilepaskan dari sel sertoli dan menuju
lumen tubulus sminiferus. Proses pelepasan spermatozoa ini disebut
spermiasi.
21
(a)
(b)
Gambar 6.
Sayatan melintang tubulus seminiferus yang memperlihatkan
proses spermatogenesis (a) H&E, 1100x (b) Gambaran skematis
3. Pengendalian hormon terhadap spermatogenesis
Proses spermatogenesis dikendalikan oleh sistem hormonal. Aksi
hipotalamus-hipofisis berperan penting dalam sekresi gonadotropin yang
mengatur aktivitas hormon dan sel spermatogenik di dalam testis.
Gonadotropic releasing hormone (GnRH) yang dikeluarkan hipotalamus
merangsang sintesis dan sekresi FSH dan LH oleh sel-sel gonadotrof
dalam hipofisis LH dan FSH berfungsi merangsang sel Leydig untuk
menghasilkan testoteron sedangkan testoteron dan FSH merangsang selsel spermatogenik untuk melakukan spermatogenesis untuk melakukan
meiosis dan berdiferensiasi menjadi sperma.
Selain itu FSH juga berfungsi merangsang sel sertoli untuk
mensekresikan ABP (Androgen Binding Protein) dan inhibin ABP
berfungsi mengangkut testoteron ke dalam lumen tubulus seminiferus.
Tanpa ABP testoteron tidak dapat memasuki lumen tubulus. Sedangkan
inhibin berfungsi menghambat pembentukan FSH. Menurut Shostak
(1991) injeksi inhibin terhadap hewan jantan dapat menghambat produksi
GnRH dan pelepasan LH. Selain menghasilkan inhibin ABP, sel sertoli
22
biasanya terjadi pada tiga jam pertama stadium estrus. Pada stadium estrus ini
cairan vagina diubah oleh estrogen yang mengakibatkan berubahnya substrat
metabolik vagina, sehingga mengubah produksi asam- asam alifatik yang
mudah menguap dan menyebabkan perubahan daya tarik seksual dari tikus
betina.
Pada mencit terjadinya
vagina (vagina plug) pada liang vagina (antara pukas dan leher uterus ).
Sumbat vagina merupakan air mani yang menggumpal yang berasal dari
secret kelenjar prostat tikus jantan dan akan teramati selama 16 sampai 48
jam serta tidak mudah jatuh. Pada tikus, kopulasi berlangsung pada tahap
proestrus akhir.
Fertilisasi (pembuahan) adalah suatu proses penyatuan atau peleburan
antara gamet jantan dengan gamet betina sehingga membentuk zigot. Ketika
terjadi kopulasi maka sperma akan bergerak menuju tempat pembuahan.
Pergerakan sperma menuju tempat pembuahan dibantu oleh adanya gerak
antiperistaltik saluran kelamin dan kayuhan silia dari uterus dan oviduk.
Lama perjalanan sperma menuju pembuahan pada tikus adalah 15 menit.
Tempat pembuahan terjadi di oviduk bagian ampula. Terjadinya pembuahan
ini yang membuat sel telur mampu menyeselesaikan meiosis yang tertunda
sampai metafase II saat ovulasi.
23
Fertilisasi pada tikus akan terjadi 7-10 jam sesudah kopulasi. Setelah
itu embrio akan mencapai stadium blastula dalam waktu 3-4,5 hari,
E. Implantasi
Implantasi adalah proses tertanamnya embrio mamalia pada tahap
blastosis akhir di dalam endometrium uterus induk. Implantasi dimulai dengan
menempelnya trofoblas yang menutupi inner cell mass. Tempat blastosis
bersarang biasanya di antara dua mulut kelenjar rahim. Implantasi embrio
pada kebanyakan spesies umumnya terjadi pada endometrium uterus non
glandular yang disebut crypta.
Selama kehidupan awal di lumen uterus blastokis tidak langsung
menempel tetapi bebas mengapung. Blastokis yang mengapung mendapatkan
nutrisi dari kelenjar uterus yang disebut susu uterus. Transisi waktu yang
diperlukan blastokis yang mengapung ke embrio yang diimplantasikan adalah
5 hari.
Umur kebuntingan saat terjadinya implantasi berbeda-beda pada
berbagai hewan. Pada mencit dan tikus implantasi terjadi pada hari
kebuntingan 4 - 6 hari. Terdapat tiga macam implantasi yaitu : 1) Implantasi
superficial/ sentral yaitu blastosis melekat pada permukaan epitel selaput
lender, sehingga embrio berkembang dalam lumen rahim, contohnya pada
hewan karnivora, kelinci, dan primate tingkat rendah. 2) implantasi eksentrik
pada implantasi ini blastosis bersarang pada kripta atau lepitan selaput lender
rahim seperti pada rodentia. 3) implantasi profundal atau insterstisial, pada
implantasi ini blastosis menembus lapisan epitel selaput lender ahim, sehingga
embrio berkembang dalam endometrium, seperti pada manusia, kelelawar, dan
marmot. Pada hewan yang implantasinya bersifat eksentrik atau interstisial,
transisi dari blastosis yang bebas mengapung ke embrio yang diimplantasikan
agak jelas.
Lama kebuntingan pada tikus adalah sekitar 21-23 hari.
24
BAB III
TUMBUHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA AKTIF YANG
BERPOTENSI SEBAGAI BAHAN ANTIFERTILITAS
24
25
: Plantae
Divisi
: Spermathophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Guttiferales
Famili
: Guttiferae
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana L.
(Tjitrosoepomo, 1988)
26
27
Tabel 2.
Kandungan dan komposisi gizi buah manggis dalam tiap 100 gram
Komposisi gizi
Kandungan gizi
Kalori
63.00 cal
Protein
0.60 gr
Lemak
0.60 gr
Karbohidrat
15.60 gr
Kalsium
8.00 mg
Fosfor
12.00 mg
Zat besi
0.80 mg
Vitamin B1
0.03 mg
Vitamin C
2.00 mg
Air
83.00 gr
Sumber :Direktorat Gizi Depkes R.I. dalam Rukmana (1995).
Daun
manggis
mengandung
mangostin,
tannin
serta
28
Plantae
: Spermatophyta
Subdivisi :
Angiospermae
Kelas
Dicotyledoneae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Anacardiaceae
Genus
: Mangifera
Spesies
: Mangifera indica L.
(Pracaya, 1995)
29
30
hermaprodit
itu
bermacam-macam
tergantung
dari
31
dan
polyembryonal.
Biji
mangga
yang
32
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Sub-Class
: Rosidae
Ordo
: Apiales
Famili
: Apiaceae
Genus
: Foeniculum P. Mill
Spesies
b. Ciri Morfologi
1) Akar
33
apabila
dicicipi
rasanya
relatif
seperti
kamfer
(Dalimartha, 2000).
6) Biji
Biji adas bentuknya bulat dan keras, warna cokelat kekuningan
dan dalam jumlah yang banyak (Dalimartha, 2000).
34
35
36
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper nigrum L.
b. Morfologi
1) Akar
Tanaman lada termasuk dalam anggota dicotil dan memiliki
akar tunggang (Dhalimi, 1996). Panjangnya terbatas 3,5 cm. dan
menempel
(melekat)
pada
tiang
pemanjat
(Dhalimi,
1996).
37
3) Daun
Daun lada bentuknya sederhana, tunggal, bentuk bulat telur
meruncing pucuknya dan tumbuh disetiap buku-buku batang
(Dhalimi,1996). Bertangkai panjang 2-5 cm dan membentuk aluran
dibagian atasnya. Ukuranya kurang lebih panjang daun 12-18 cm,
lebar 5-10 (kanisius, 1980). Berurat 5-7 helai, berwarna hijau tua,
mengkilat dibagian atasnya, bagian bawah daun berwarna pucat, dan
nampak titik-titik kelenjar (Rismunandar, 1987).
4) Bunga
Bunga
tanaman
lada
berbentuk
malai,
yang
agak
Dioecious atau berumah dua, yang berarti bunga betina dan jantan
masing-masing
terpisap
(Rismunanadar, 1987).
pada
pohon
yang
berlainan
38
5) Buah
Buah lada merupakan produksi pokok dari hasil tanaman lada.
Buah lada mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
bentuk dan warna buah: buah lada berbentuk bulat, berbiji keras
dan berkulit buah lunak. Kulit buah yang masih muda berwarna
hijau sedangkan yang tua berwarna kuning.
Keadaan kulit buah: kulit buah terdiri dari tiga bagian yaitu: kulit
luar, kulit tengah dan kulit dalam (AAK, 1980).
Biji: biji lada berukuran rata-rata 3-4 mm, embrionya sangat kecil.
Berat biji 100 biji lada 3-8 gram, namun berat normalnya
diperkirakan rata-rata 4,5 gram. Biji lada diliputi selapis daging
buah yang berlendir dan manis rasanya, hingga disukai burung
berkicau. Biji lada tidak umum untuk dijadikan bibit, karena
tanaman lada baru bisa berbuah 7 tahun setelah disemaikan
(Rismunandar, 1987).
39
d. Jenis lada
Jenis lada yang ada di pasaran ada dua macam yaitu:
1) Lada putih : berbentuk bulat dengan warna abu-abu kekuningkuningan,
garis
tengahnya
sekitar
mm-5
mm,
pada
Kandungan kimia
Komposisi yang terdapat dalam buah lada adalah air, minyak
atsiri, saponin, flavonoid (Muhlisah & Hening, 2002). Selain itu buah
lada mengandung piperin (alkaloid)), oleoresin, flaponoid, zat protein,
zat karbohidrat dan zat anorganik (zat P2O, zat sulfur, zat K2O, zat
kapur CaO). Komposisi yang paling banyak adalah karbohidrat
(Rismunandar, 1987).
Alkaloid dapat dijumpai pada berbagai jenis tanaman salah
satunya tanaman lada (Piper nigrum L. ). Alkaloid ini termasuk zat
aktif yang beracun, alkaloid ini bisa menimbulkan rasa pahit dan
40
f. Manfaat
Buah lada sangat dikenal sebagai bumbu masak. Selain itu lada
juga bisa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit
diantaranya adalah penyakit disentri, kolera, kaki bengkak, nyeri haid,
reumatik (nyeri otot), salesma, sakit kepala (Soedibyo, 2002).
Mengobati sakit perut, muntah setelah makan, sakit batu empedu,
komplikasi pencernaan, diare pada anak kecil, radang ginjal kronis,
keputihan, demam, malaria disertai demam berdarah, enzim pada
scrotum, pengut syaraf pada balita dan penambah nafsu makan
(Hening & Muhlisah, 2002). Selain itu juga buah lada bisa
dimanfaatkan sebagai alat kontrasepsi alami bagi wanita karena buah
lada bisa menghambat ovulasi sehingga sel telur sulit untuk dibuahi
(Winarno & Sundari, 1997).
41
BAB IV
BEBERAPA HASIL PENELITIAN
41
42
menurunkan
persentase
implantasi
(Peristiani,
2008).
Penurunan
pascaimplantasi
awal
meningkatkan
persentase
kematian
pascaimplantasi.
3. Fetus Mati
Pemberian mangiferin selama masa pertengahan kebuntingan
43
Gambar 8
(A) Fetus hidup (FH) dan embrio teresorpsi (R) dari tikus yang
diberi mangostin dengan 100 mg/kg b.b. pada umur kebuntingan
1-4 hari (praimplantasi), (B) Keadaan uterus tikus perlakuan
yang diberi mangostin dosis 100 mg/kg b.b. pada umur
kebuntingan 1 sampai dengan 2 hari (2 kali) yang seluruh
embrionya teresorspi.
Penurunan persentase implantasi dan peningkatan kehilangan gestasi
serta kematian pascaimplantasi yang terjadi pada eksperimen mungkin
diakibatkan oleh mangostin yang bersifat estrogenik (Adnan. 1992), atau
aktivitas bahan uji yang memiliki stuktur dasar xanton, pada sistem saraf
pusat.
Kegagalan implantasi sering terjadi akibat kegagalan transpor sel telur
(Jonhson & Everitt, 1988). Transpor zigot dapat tertunda atau sebaliknya
justru dipercepat, sehingga tiba di uterus bukan pada saat yang tepat untuk
implantasi (Marcus & Shelesnyak. 1979 dalam Supyani, 1992). Pemberian
estrogen dosis 0,4 g pada umur kebuntingan 2 hari mempercepat transpor sel
telur dari saluran telur ke uterus mencit (Farnsworth et al., 1975). Demikian
pula pemberian estradiol pada umur kebuntingan 1 hari menyebabkan transpor
sel telur dipercepat 11-23 jam kemudian, dengan persentase yang makin
meningkat seiring peningkatan dosis estradiol yang diberikan (Ortiz et al.,
1979 dalam Supyani, 1992). Sebaliknya, pemberian estrogen dosis 1,6 g
pada umur kebuntingan 1 hari pada mencit membuat sel telur tetap berada di
44
Keadaan
demikian
pada
sistem
saraf
menyebabkan
45
46
Tabel 3
Berat testis mencit yang diberi berbagai dosis serbuk
daun manggis selama 20 hari
Dosis
Jumlah
Berat testis
(mg/kg bb)
Hewan uji
(mg)
0 (kontrol)
6
150a
250
6
120ab
500
6
115bc
750
6
85c
Keterangan : Angka dengan superskrip yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf
uji p>0,05.
Seperti telah diungkapkan di muka, bahwa apabila kerja monoamin
oksidase dihambat oleh molekul xanton, maka dopamin akan terakumulasi
pada sinapsis antara neuron dopaminergik dan neuron penghasil GnRH di
hipotalamus, sehingga menghambat pelepasan GnRH. Akibatnya kandungan
LH dalam darah menjadi turun. Pemberian dopamin atau senyawa yang
agonis dengan dopamin dapat menurunkan dengan cepat kadar LH dalam
darah, melalui penurunan produksi GnRH (Johnson & Everitt, 1988).
Penurunan produksi LH ini akan bermuara pada turunnya intensitas
stimulus terhadap sel leydig untuk menghasilkan hormon testoteron. Keadaan
ini akan mempengaruhi proses spermiogenesis yang dirangsang oleh
keberadaan testoteron. Akibatnya produksi spermatozoon dalam tubulus
seminiferus menurun. Karena tubulus ini merupakan struktur dasar yang
membangun testis, maka penurunan berat testis dapat mengindikasikan
turunnya produksi sperma.
47
BAB V
PENUTUP
47
48
DAFTAR PUSTAKA
48
49
norvegicus) galur Wistar. Skripsi Sarjana Biologi ITB. p. 10-11 & 27.
Hafez ESE. (1970). Female reproductive organs.Dalam ESE Hafez. Eds.
Reproduction and breeding techniques for laboratory animal.
Philadelphia: Lea & Febiger
Hidayati, T. (2004). Pengaruh pencekokan jus terong (Solanum melongena L.)
terhadap berat uterus mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster. Skripsi
Sarjana Pendidikan Biologi, UHAMKA. p. 17.
Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan teknologi reproduksi hewan betina domestic.
Bandung: ITB. P. 23,
Johnson, M. & Everitt, B. 1988. Essential reproduction. Blackwell Sci. Pub.
Oxford. London, Edinburgh, Boston, Palo Alto & Melbourne. p. 9497:151-152 & 201-264.
Kartasapoetra,1996. Budidaya Tanaman Obat. Jakarta: Rineka Cipta.
Ketut, D.I. 1991. Efek antifertilitas daun manggis (Garcinia mangostana L.) pada
Mus musculus betina. Laporan Penelitian, Universitas Airlangga.,
Surabaya.
Kusumo, S. 1975. Mangga (Mangifera Indica L.). Jakarta: Lembaga Penelitian
Hortikultura.
Males, D. K. 1992. Efek antifertilitas daun manggis (Garcinia mangostana L.)
pada Mus musculus betina. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
Surabaya. p. 18
Mc Donald LE. 1989. Veterinary endocrinology and reproduction. (Ed. 4). Great
Britain London. Bailliere Tindall. p. 322
Montgomery, R., et al. 1993. Biokimia : Suatu pendekatan berorientasi kasus
(Alih bahasa Ismadi. M. & Ismadi. S.D.). Edisi keempat. Gadjah Mada
Univ. Press. Yogyakarta. p. 849-1148.
Muhlisah & Hening, 2002. Sayuran dan Bumbu Dapur berkhasiat Obat. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Nalbandov. AN. 1990. Fisiologi Reproduksi pada mamalia dan unggas (Alih
bahasa Keman, S.). Penerbit UI. Jakarta. p. 64-90: 189-203 & 317-330.
Nalbandov, AV. (1999). Fisiologi reproduksi pada mamalia dan unggas
(Reproductive, psikology of mammals and birds).(Terjemahan
Sumaryono.K). Jakarta: UI Press. p. 35, 36, 140, 146, 149, 152, 182
Oka, I. N. & Bahagiawati, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu: padi.Buku 3.
Badan Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. p. 10-12.
Pattalung, P.. et al. 1994. Xanthon of Garcinia cowa. Chem. Abstr. 21:713
Pearce, E.C. (1997). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. P. 264
Peristiani, D. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak daun mangga (Mangifera indica
L.) pada tahap praimplantasi terhadap fertilitas tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley betina dewasa. Skripsi Sarjana
Pendidikan Biologi, UHAMKA.
Pracaya, 1995. Bertanam Mangga. Jakarta: Penebar Swadaya
Rismunandar, 1987. Lada Budidaya Dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Rukmana, R. 1995. Budidaya Manggis. Yogyakarta: Kanisius
50