Anda di halaman 1dari 59

ii

iii

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warakhmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah subhanahu wataala, karena berkat rakhmat dan
hidayah-Nya penyusunan buku ini dapat dituntaskan.
Buku ini menyajikan hasil pengujian beberapa jenis tumbuhan yang
diarahkan pada penurunan tingkat fertilitas tikus. Informasi yang tersaji
diharapkan menjadi pangkal dari upaya untuk mengendalikan hama tikus di
lapangan.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada
Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd., Rektor Universitas Muhammadi yah
Prof. DR. Hamka (UHAMKA) yang senantiasa mendorong para dosen untuk
menghasilkan berbagai karya ilmiah. Demikian pula untuk berbagai pihak,
terutama alumni Program Studi Pendidikan Biologi yang sebagian data
penelitiannya menjadi bagian dari buku ini.
Semoga Allah Subhanahu wataala berkenan membalas setimpal segala
amal baik Bapak-Ibu dan saudara sekalian. Akhirnya, dengan segala kerendahan
hati penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Jakarta, Juli 2010

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
BAB I POTENSI SENYAWA ALAMI PADA TUMBUHAN DALAM
PENGENDALIAN POPULASI HAMA TIKUS ............................. 1
BAB II KARAKTERISTIK REPRODUKSI HEWAN UJI ........................ 4
A. Gambaran Umum Hewan Uji ...................................................... 4
1. Tikus ................................................................................................ 4
2. Mencit ( Mus musculus L.) .............................................................. 6
B. Reproduksi Hewan Betina ............................................................ 7
1. Sistem Reproduksi .................................................................... 7
a. Ovarium ...................................................................................... 7
b. Oviduk ........................................................................................ 8
c. Uterus .......................................................................................... 8
d. Vagina ......................................................................................... 9
2. Siklus Reproduksi ..................................................................... 10
a. Fase proestrus ............................................................................. 10
b. Fase estrus ................................................................................... 11
c. Fase metestrus ............................................................................. 11
d. Fase diestrus ............................................................................... 12
3. Pengaturan hormonal pada siklus estrus ............................... 14
C. Reproduksi Hewan Jantan ........................................................... 15
1. Sistem Reproduksi ................................................................ 15
a. Testis ........................................................................................... 15
b. Kelenjar Asesoris ........................................................................ 17
c. Alat kelamin luar atau organ kopulatoris .................................... 18
2. Spermatogenesis ........................................................................ 18

vi

a. Spermatositogenesis .................................................................... 19
b. Meiosis ........................................................................................ 19
c. Spermiogenesis ........................................................................... 19
3. Pengendalian hormon terhadap spermatogenesis ................. 21
D. Kopulasi dan fertilisasi ................................................................. 22
E. Implantasi....................................................................................... 23
BAB III TUMBUHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA AKTIF
YANG

BERPOTENSI

SEBAGAI

BAHAN

ANTI

FERTILITAS .................................................................................... 24
A. Senyawa aktif biologi antifertilitas pada tumbuhan ................. 24
B. Tumbuhan yang mengandung senyawa aktif biologi bersifat
antifertilitas .................................................................................... 25
1. Manggis (Garcinia mangostana L.) ........................................... 25
2. Mangga (Mangifera indica L.) ................................................... 28
3. Adas (Foeniculum vulgare M.) ................................................... 32
4. Lada (Piper nigrum L) ................................................................ 35
BAB IV BEBERAPA HASIL PENELITIAN ................................................. 41
A. Penurunan Fertilitas Hewan Betina ........................................... 41
1. Persentase implantasi (IM) ......................................................... 41
2. Kematian pascaimplantasi .......................................................... 42
3. Fetus Mati ................................................................................... 42
B. Penurunan Fertilitas Hewan Jantan ........................................... 45
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 48

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8

: Tikus Putih(Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley ...............


: Mencit (Mus musculus L.)..............................................................
: Tampilan skematis apusan vagina pada daur estrus.......................
: Potongan testis, epididimis dan bagian pertama dari vas
deferens ..........................................................................................
: Sistem Urogenitalis Tikus Jantan...................................................
: Sayatan melintang tubulus seminiferus yang memperlihatkan
proses spermatogenesis ..................................................................
: Tanaman Lada Hitam.....................................................................
: Fetus hidup (FH) dan embrio teresorpsi dan Keadaan uterus
tikus perlakuan yang diberi mangostin .........................................

viii

5
7
13
16
17
21
36
43

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Perubahan pada epitel vagina selama siklus estrus ........................... 13


Tabel 2 : Kandungan dan komposisi gizi buah manggis dalam tiap 100
gram .................................................................................................... 27
Tabel 3 : Berat testis mencit yang diberi berbagai dosis serbuk daun
manggis selama 20 hari ...................................................................... 46

ix

BAB I
POTENSI SENYAWA ALAMI PADA TUMBUHAN DALAM
PENGENDALIAN POPULASI HAMA TIKUS

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di


dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Pada satu sisi fakta ini dapat
dipandang sebagai hal yang positif terkait dengan ketersediaan sumber daya
manusia untuk pembangunan. Namun pada saat sebagian besar dari sumber daya
tersebut masih memiliki kualitas yang belum sesuai dengan harapan, jumlah
penduduk yang berlimpah lebih cenderung menjadi beban. Hal ini terkait dengan
bagaimana menjamin ketersediaan bahan untuk pemenuhan kebutuhan dasar,
terutama pangan. Persaingan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup tersebut
dapat berujung pada timbulnya berbagai permasalahan sosial.
Ketersediaan pangan merupakan masalah yang mengiringi ledakan
penduduk. Karena beras merupakan bahan makanan pokok rakyat Indonesia,
maka logikanya produksi padi pun harus meningkat mengikuti semakin
berlimpahnya jumlah penduduk tersebut. Persoalannya adalah ketika luas lahan
pesawahan justru semakin hari semakin menyusut. Hal ini dikarenakan
pertambahan penduduk juga menyebabkan beralihfungsinya sebagian lahan
pesawahan menjadi pemukiman.
Dari sudut pandang ekologi, penggunaan lahan oleh manusia yang
semakin luas berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Komponen
ekosistem lain terusik kehidupannya terutama dalam upayanya mendapatkan
pakan. Oleh karenanya serangan balik pun datang terhadap kepentingan manusia.
Tanaman padi yang sangat diandalkan untuk memproduksi makanan pokok
manusia menjadi sasaran serangan hama. Tikus adalah salah satu hewan yang
menjadi pelaku utamanya.
Sebagai hama tanaman padi tikus bersama burung dapat menimbulkan
dampak yang lebih serius dibandingkan dengan semua gangguan lain yang
digabung menjadi satu (Oka & Bahagiawati, 1991). Selain itu tikus dapat pula
menjadi pembawa penyakit yang berbahaya bagi manusia. Pengendalian hama

tikus dengan menggunakan racun pembunuh, perangkap, fumigasi (gassing)


maupun dengan cara memburu secara masal, dengan cepat dapat menurunkan
lonjakan populasi tikus (Suhandono,1987). Namun cara demikian dapat
menimbulkan

risiko

berupa

musnahnya

populasi

hewan

ini,

sehingga

keseimbangan ekologis menjadi terganggu. Sebaliknya, apabila masih ada tikus


yang lolos hidup, tikus tersebut akan memanfaatkan longgarnya persaingan
mencari pakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan ini memungkinkan
terjadimya peningkatan laju kelahiran dan akhirnya melonjakkan kembali
populasi tikus.
Satu upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi
hewan adalah dengan menekan tingkat fertilitas yang tinggi dari anggotanya.
Tingkat fertilitas tersebut dapat ditekan, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan memberikan gangguan yang mengarah kepada sumbu
hipotalamus-hipofisis, ovarium, saluran Fallopii, uterus dan vagina (Farnsworth
et. al., 1975). Untuk itu dapat digunakan bahan yang bersifat sebagai antifertilitas.
Dari tumbuhan dapat diisolasi beberapa jenis senyawa aktif biologi yang
dapat digunakan sebagai bahan antifertilitas. Senyawa tersebut umumnya
termasuk golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid dan xanton
(Farnsworth et. al., 1975; Chattopadhyay et. al., 1984 dan Adnan. 1992).
Dari kulit buah manggis, Garcinia mangostana L. (Guttiferae) dapat
diisolasi satu jenis xanton, yakni mangostin (Sultanbawa, 1979), padahal selama
ini kulit buah manggis hampir tidak pernah dimanfaatkan. Pemberian mangostin
pada mencit terutama selama periode kebuntingan praimplantasi terbukti, dapat
menurunkan persentase implantasi dan meningkatkan kematian pascaimplantasi
(Adnan, 1992).
Di dalam daun dan kulit buah mangga mengandung zat mangiferin
(Soepardi, 1965). Mangiferin merupakan senyawa yang tergolong xanton
(Sultanbawa et al., 1979 dan Supiyani, 1992

lihat Akbar, 1998). Senyawa

tersebut bereaksi seperti hormon progesteron dan estrogen, dan berefek samping
menginhibisi terhadap hipopisis, merangsang pertumbuhan endometrium dan efek
estrogeniknya dapat meningkatkan kematian pascaimplantasi pada tikus putih.

Tanaman lain yang berpotensi sebagai bahan antifertilitas adalah tanaman


adas (Foeniculum vulgare M.). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa di dalam
buah adas terdapat senyawa saponin dan flavanoid yang bersifat antiestrogen.
Senyawa antiestrogen adalah senyawa yang dapat disintesis menjadi antiestrogen
di dalam tubuh. Beberapa derivat estrogen lemah juga berefek antiestrogen.
Antiestrogen menyebabkan ovarium inaktif, pertumbuhan folikel dan sekresi
estrogen-endogen terganggu karena itu ovulasi juga dapat terganggu. Pengaruh
lain kelenjar serviks menjadi sedikit dan lebih kental, keadaan ini akan
mengganggu motofitas spermatozoa. Mungkin karena keadaan tersebut, maka
tidak terjadi fertilisasi meskipun terjadi perkawinan. Efek lain antiestrogen
menyebabkan atrofi endometrium, sehingga meskipun terjadi fertilisasi proses
implantasi akan terganggu (Saroni, 2001: 58-59). Penelitian terdahulu
membuktikan adanya efek farmakologi sebagai antifertilitas di antaranya adalah
buah adas dalam sediaan infusan (Saroni, 2001: 59).
Pada buah lada hitam (Piper nigrum L.) terkandung piperine (alkaloid).
Sehingga selain bisa dimanfaatkan untuk bumbu masakan buah lada juga bisa
juga dijadikan sebagai antifertilitas atau sebagai alat kontrasepsi (Winarno &
Sundari, 1997).

BAB II
KARAKTERISTIK REPRODUKSI HEWAN UJI

A. Gambaran Umum Hewan Uji


1. Tikus
Tikus (Rattus sp) termasuk binatang pengerat yang merugikan dan
termasuk hama terhadap tanaman petani. Selain menjadi hama yang
merugikan, hewan ini juga membahayakan kehidupan manusia. Sebagai
pembawa penyakit yang berbahaya, hewan ini dapat menularkanpenyakit
seperti wabah pes dan leptospirosis. Hewan ini, hidup bergerombol dalam
sebuah lubang. Satu gerombol dapat mencapai 200 ekor. Di alam tikus ini
dijumpai di perkebunan kelapa, selokan dan padang rumput. Tikus ini
mempunyai indera pembau yang sangat tajam
Perkembangbiakan tikus sangat luar biasa. Sekali beranak tikus dapat
menghasilkan sampai 15 ekor, namun rata-rata 9 ekor. Nama lain hewan ini di
berbagai daerah di Indonesia, antara lain di Minangkabau orang menyebutnya
mencit, sedangkan orang Sunda menyebutnya beurit. Tikus yang paling
terkenal ialah tikus berwarna coklat, yang menjadi hama pada usaha-usaha
pertanian dan pangan yang disimpan di gudang. Tikus albino (tikus putih)
banyak digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium.
Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus norvegicus

Gambar 1. Tikus Putih(Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley


Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang
dikenal ada tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar.
Tikus galur Sprague-Dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh
seorang ahli Kimia dari Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan
galur ini, dia mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri pertamanya
yaitu Sprague dan namanya sendiri menjadi Sprague Dawley.
Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai
hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai
ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang
banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala
kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya
cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap
arsenik tiroksid.
Tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah mamalia yang tergolong
ovulator spontan. Pada golongan ini ovulasi terjadi pada pertengahan siklus
estrus yang dipengaruhi oleh adanya lonjakan LH (Luteinizing hormone).
Tikus termasuk hewan yang bersifat poliestrus, memiliki siklus reproduksi
yang sangat pendek. Setiap siklus lamanya berkisar antara 4-5 hari. Ovulasi
sendiri berlangsung 8-11 jam sesudah dimulainya tahap estrus. Folikel yang
sudah kehilangan telur akibat ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum
(KL), yang akan menghasilkan progesteron atas rangsangan LH. Progesteron
bertanggung jawab dalam menyiapkan endometrium uterus agar reseptif
terhadap implantasi embrio.

2. Mencit ( Mus musculus L.)


Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi
genetiknya

cukup

besar

serta

sifat

anatomisnya

dan

fisiologisnya

terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering digunakan dalam penelitian


di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus putih inbreed maupun
outbreed. Dari hasil perkawinan sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari mencit. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Phylum

: Chordata

Sub phylum : Vertebrata


Class

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Mus

Species

: Mus musculus

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering
dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga
kisarannya antara 18-19C serta kelembaban udara antara 30-70%.
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan
18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi
mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah anak
mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g.
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan
hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan
dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak
yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia.

Gambar 2. Mencit (Mus musculus L.)

B. Reproduksi Hewan Betina


Tikus dan mencit memiliki banyak kemiripan dalam sistem maupun
siklus reproduksi. Secara umum sistem reproduksi betina terdiri atas ovarium
dan sistem duktus. Sistem tersebut tidak hanya menerima telur yang
diovulasikan dan membawa ke tempat implantasi di uterus, tetapi juga
menerima sperma dan membawanya ke tempat fertilisasi yaitu oviduk.
Pertumbuhan, fungsi otot dan epitel saluran betina ada di bawah pengaruh
hormon dan ditentukan oleh pergeseran progresif dalam sekresi estrogen dan
progesteron oleh ovarium selama siklus ovarium.
1. Sistem Reproduksi
a. Ovarium
Bentuk ovarium sangat bervariasi sesuai dengan spesies dan
tergantung pada hewannya, apakah ia termasuk golongan politokus
ataupun monotokus (hewan yang melahirkan lebih dari satu).
Ovarium adalah kelenjar berbentuk biji, terletak di kanan dan kiri
uterus di bawah tuba uterin dan terikat di sebelah belakang oleh
mesovarium. Ovarium merupakan pabrik penghasil telur dan hormon
kelamin

yaitu

estrogen

dan

progesteron.

Ovarium

tempat

berkembangnya folikel telur, yaitu folikel primer, folikel sekunder,


folikel tersier, folikel de Graaf, korpus rubrum, korpus luteum dan
korpus albikan. Folikel telur adalah sel telur yang dilingkupi oleh sel-

sel granulosa (sel folikel) dengan ketebalan lapisan yang bervariasi,


sesuai dengan tingkat perkembangannya.
b. Oviduk
Saluran ini terdapat sepasang dan merupakan penghubung
antara ovarium dengan uterus. Oviduk terdiri dari bagian interstisialis,
bagian ismika, bagian ampularis dan infundibulum yang berfimbria.
Oviduk berfungsi pada saat ovulasi dimana ovum disapu ke dalam
ujung oviduk yang berfimbria. Fungsi lain dari oviduk adalah
kapasitasi sperma, fertilisasi, dan pembelahan embrio yang terjadi
dibagian ampula. Pengangkutan sperma ke tempat fertilisasi dan
pengangkutan ovum ke uterus diatur oleh kontraksi muskuler yang
dikoordinir oleh hormone ovarial, estrogen dan progesteron.
c. Uterus
Uterus adalah suatu struktur saluran muskuler yang diperlukan
untuk penerimaan ovum yang dibuahi, penyediaan nutrisi dan
perlindungan fetus, serta stadium permulaan ekspulsi fetus pada
waktu kelahiran.
Dinding uterus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran serosa
(Perimetrium), merupakan lapisan terluar yang membungkus uterus
yang terdiri dari jaringan ikat. Miometrium merupakan lapisan ke dua
yang terdiri dari otot polos yang mengandung pembuluh darah dan
limpa. Sedangkan lapisan ketiga adalah endometrium merupakan
tempat nidasi atau implantasi serta perkembangan embrio bagi mencit
yang bunting. Bagi mencit yang tidak bunting endometrium
merupakan selaput lendir yang mengandung kelenjar dan pembuluh
darah.
Ketebalan selaput lendir dan vaskularisasi pada endometrium
bervariasi sesuai dengan perubahan-perubahan hormon ovarium yaitu
estrogen, progesteron dan kehamilan. Variansi kepadatan atau jarak

satu kelenjar dengan lainnya selama siklus estrus adalah sebagai


berikut:
Pada fase Proestrus, selama pertumbuhan folikel ovarium,
terjadi pertumbuhan dan perubahan dalam endometrium, kelenjarkelenjar uterus tumbuh memanjang. Pada fase Estrus, sebagai akibat
dari perubahan di dalam ovarium yakni terjadinya ovulasi, kelenjar
uterus sederhana dan lurus. Selama fase Metestrus, progesteron
beraksi terhadap uterus, hal ini membuat endometrium bertambah
tebal secara mencolok. Diameter dan panjang kelenjar meningkat
secara cepat, menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok. Pada
permulaan fase diestrus endometrium masih memperlihatkan kegiatan
yaitu, pertumbuhan kelenjar-kelenjar dari panjang hingga berkelokkelok dan membentuk spiral. Tetapi pada akhir fase diestrus
endometrium yang tadinya tebal semakin mengkerut, dengan kelenjarkelenjar yang bertambah kecil.
Pada saat perkawinan, kerja kontraksi uterus mempermudah
pengangkutan sperma ke oviduk. Sebelum implantasi, uterus
mengandung cairan yang menjadi medium bersifat suspensi bagi
blastosis dan sesudah implantasi, uterus menjadi tempat pembentukan
plasenta dan perkembangan fetus.

d. Vagina
Vagina terbagi menjadi dua bagian yaitu vertibulum (bagian luar
vagina) dan vagina posterior (dari muara uterus sampai serviks).
Dinding vagina terdiri dari mukosa, muscularis dan serosa. Pada
betina yang memiliki siklus normal, sel-sel epithelium yang
membatasi vagina mengalami perubahan secara periodik yang
dikontrol oleh hormon yang disekresikan oleh ovarium. Vagina
merupakan saluran panjang yang terletak dorsal terhadap urethra dan
ventral terhadap rektum, sebagai tempat penumpahan semen dari
individu jantan.

10

2. Siklus Reproduksi
Pada beberapa mamalia siklus reproduksi disebut juga sebagai
siklus estrus. Estrus atau birahi adalah suatu periode secara psikologis
maupun fisiologis yang bersedia menerima pejantan untuk berkopulasi.
Periode atau masa dari permulaan periode birahi ke periode birahi
berikutnya disebut dengan siklus estrus.
Siklus estrus adalah siklus seksual pada mamalia bukan primata
yang tidak menstruasi. Siklus estrus merupakan cerminan dari berbagai
aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium.
Selama siklus estrus terjadi berbagai perubahan baik pada organ
reproduksi maupun pada perubahan tingkah laku seksual.
Seperti telah disampaikan di muka, tikus dan mencit termasuk
hewan poliestrus. Artinya, dalam periode satu tahun terjadi siklus
reproduksi yang berulang-ulang. Daur estrus kedua jenis hewan ini
dibedakan menjadi lima fase yaitu Proestrus, Estrus, Metestrus I,
Metestrus II dan Diestrus. Siklus estrus mencit berlangsung 4-5 hari,
sedangkan tikus satu siklus bisa selesai dalam 6 hari. Meskipun pemilihan
waktu siklus dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor eksteroseptif seperti
cahaya, suhu, status nutrisi dan hubungan sosial.
Setiap fase dari daur estrus dapat dikenali melalui pemeriksaan
apus vagina. Apus vagina merupakan cara yang sampai kini dianggap
relatif paling mudah dan murah untuk mempelajari kegiatan fungsional
ovarium. Melalui apus vagina dapat dipelajari berbagai tingkat diferensiasi
sel epitel vagina yang secara tidak langsung mencerminkan perubahan
fungsional ovarium. Siklus secara kasar dapat dibagi menjadi empat
stadium sebagai berikut :

a. Fase proestrus
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode dimana
folikel ovarium tumbuh menjadi folikel de graaf dibawah pengaruh

11

FSH. Fase ini berlangsung 12 jam. Setiap folikel mengalami


pertumbuhan yang cepat selama 2-3 hari sebelum estrus sistem
reproduksi memulai persiapan-persiapan untuk pelepasan ovum dari
ovarium. Akibatnya sekresi estrogen dalam darah semakin meningkat
sehingga akan menimbulkan perubahan-perubahan fisiologis dan saraf,
disertai kelakuan birahi pada hewan-hewan betina peliharaan.
Perubahan

fisiologis

tersebut

meliputi

pertumbuhan

folikel,

meningkatnya pertumbuhan endometrium, uteri dan serviks serta


peningkatan vaskularisasi dan keratinisasi epitel vagina pada beberapa
spesies. Preparat apus vagina pada fase proestrus ditandai akan tampak
jumlah sel epitel berinti dan sel darah putih berkurang, digantikan
dengan sel epitel bertanduk, dan terdapat lendir yang banyak.
b. Fase estrus
Estrus adalah fase yang ditandai oleh penerimaan pejantan oleh
hewan betina untuk berkopulasi, fase ini berlangsung selama 12 jam.
Folikel de graaf membesar dan menjadi matang serta ovum mengalami
perubahan-perubahan kearah pematangan. Pada fase ini pengaruh
kadar estrogen meningkat sehingga aktivitas hewan menjadi tinggi,
telinganya selalu bergerak-gerak dan punggung lordosis. Ovulasi
hanya terjadi pada fase ini dan terjadi menjelang akhir siklus estrus.
Pada preparat apus vagina ditandai dengan menghilangnya leukosit
dan epitel berinti, yang ada hanya epitel bertanduk dengan bentuk
tidak beraturan dan berukuran besar.
c. Fase metestrus
Metestrus adalah periode segera sesudah estrus di mana corpus
luteum bertumbuh cepat dari sel granulose folikel yang telah pecah di
bawah pengaruh LH dan adenohypophysa. Metestrus sebagian besar
berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus
luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohypophysa
sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan
mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan

12

persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan


pada embrio. Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus
menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Fase ini
berlangsung selama 21 jam. Pada preparat apus vagina ciri yang
tampak yaitu epitel berinti dan leukosit terlihat lagi dan jumlah epitel
menanduk makin lama makin sedikit.

d. Fase diestrus
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus birahi pada
ternak-ternak dan mamalia. Fase ini berlangsung selama 48 jam.
Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap
saluran reproduksi menjadi nyata. Endometrium lebih menebal dan
kelenjar-kelenjar berhypertrophy. Serviks menutup dan lendir vagina
mulai kabur dan lengket. Selaput mukosa vagina pucat dan otot uterus
mengendor. Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan
perubahan-perubahan retrogresif dan vakualisasi secara gradual.
Endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beratrofi atau beregresi ke
ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan
sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada preparat apus
vagina dijumpai banyak sel darah putih dan epitel berinti yang
letaknya tersebar dan homogen.

Pada setiap fase akan terlihat perubahan dengan ciri-ciri yang


berbeda antara fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Gambaran
apus vagina akan menunjukkan setiap fase dari siklus estrus pada mencit
(Mus musculus L.). Perubahan yang terjadi pada saluran reproduksi betina
selama siklus estrus dapat terlihat pada gambaran perubahan epitel vagina
seperti yang disajikan pada tabel 1.

13

Tabel 1.
Perubahan pada epitel vagina selama siklus estrus
Fase
siklus
estrus

Lama
fase
(jam)

Proestrus

12

Estrus

12

Metestrus

12

Diestrus

65

Gambaran ulas vagina dari berbagai sumber


Smith &
Dalal et al.
Nalbandov
Syahrum,
Mangkoewidjojo
(2001)
(1999)
et.al. (1994)
(1988)
Sel epitel,
Sel epitel berinti
Sel epitel berinti Sel epitel berinti,
leukosit sangat
leukosit sedikit
sedikit
Sel tanduk
Selepitel
Sel
Sel epitel
makin banyak mengalami
berkornifikasi
bertanduk banyak
penandukan
Sel tanduk,
Sel epitel
Sel
Sel epitel
leukosit lebih
berkornifikasi,
berkornifikasi
bertanduk, leukosit
banyak
terdapat leukosit
diantara leukosit lebih banyak
Leukosit dan sel Leukosit dan sel
Sel epitel berinti Sel epitel berinti
epitel berinti
epitel
dan leukosit
dan leukosit

Gambar 3.
Tampilan skematis apusan vagina pada daur estrus
(A) Diestrus, (B) Proestrus, (C) Estrus, (D) Metestrus
(Bognara & Donnel, 1988)

Keterangan :

14

3. Pengaturan hormonal pada siklus estrus


GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) merupakan hormon
yang disintesis di hipotalamus dan disekresikan ke hipofisis anterior
melalui vena porta hipotalamo-hipofisis. Hipofisis anterior tidak
mempunyai serabut saraf. untuk Pelepasan hormon-hormonnya dirangsang
oleh faktor-faktor hormonal melalui pembuluh darah. GnRH ini akan
mempengaruhi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
(Luitinizing Hormone) dari hipofisis anterior. FSH dan LH akan
merangsang ovarium untuk mensekresikan hormon estrogen dan
progesteron yang akan mempengaruhi siklus estrus.
Pada fase proestrus folikel-folikel ovarium masih dalam ukuran
kecil. Adanya FSH yang disintesis di hipofisa anterior menyebabkan selsel granulose yang terdapat didalam folikel akan cepat menjadi banyak.
Kemudian akan terbentuk ruangan dalam folikel. Folikel ini disebut folikel
de Graaf. Pada sel-sel granulose di dalam folikel de Graaf akan dihasilkan
estrogen.
Estrogen berperan untuk merangsang pertumbuhan epitel vagina
dan folikel ovarium sehingga menjadi matang dan siap untuk ovulasi.
Folikel yang matang akan terus memproduksi estrogen, akibatnya estrogen
dalam darah menjadi tinggi. Kadar estrogen yang tinggi dalam darah
menandakan mencit sedang dalam fase estrus dan estrogen ini akan
merangsang GnRH untuk memproduksi LH.
Pada tahap berikutnya akibat terus dihasilkannya LH akan terjadi
lonjakan LH yang penting untuk terjadinya ovulasi setelah oosit II ke luar,
maka folikel berubah menjadi korpus luteum yang mampu menghasilkan
progesteron.
Progesteron menyebabkan perubahan-perubahan endometrium
berupa perubahan lapisan endometrium. Lapisan endometrium ini
dipersiapkan untuk terjadinya implantasi. Fase pembentukkan lapisan ini
terjadi pada fase metestrus.

15

Pada fase berikutnya yaitu diestrus, jika terjadi implantasi


peningkatan kadar progesteron penting untuk pertumbuhan plasenta.
Plasenta dapat membentuk gonadotropin yang pada manusia disebut HcG
(Human Chorionic Gonadothropine) untuk mempertahankan korpus
luteum. Korpus luteum akan mampu memproduksi estrogen dan
progesteron sendiri. Jika tidak terjadi implantasi maka tidak terbentuk
plasenta sehingga kadar estrogen dan progesteron akan menurun.
Menurunnya kadar progesteron menyebabkan terjadinya pengelupasan
lapisan endometrium.

C. Reproduksi Hewan Jantan


1. Sistem Reproduksi
Sistem reproduksi pada jantan terdiri atas sepasang testis yang terdapat
dalam skrotum, sepasang kelenjar asesori dan organ kopulasi.
a. Testis
Testis berjumlah dua buah, terdapat di dalam kantong luar yang
disebut skrotum. Pada semua spesies testis berkembang di dekat ginjal,
yakni di daerah krista genitalis primitif.
Testis dibungkus oleh kapsula fibrosa tebal yang disebut tunika
albugenia. Pada bagian posterior jaringan ikat ini mengalami penebalan
yang disebut mediastinum testis. Dari mediastenum testis ini terbentuk
sekat-sekat yang membagi lobus secara radier menjadi lobuli testis. Sekat
ini disebut septula testis. Di dalam lobuli testis ini terdapat banyak saluran
yang berliku-liku, disebut tubulus seminiferus, tempat berlangsungnya
proses spermatogenesis. Saluran ini kemudian bergabung di bagian
mediastinum

testis tempat terdapatnya rete testis. Rete testis ini

berhubungan langsung dengan duktus eferen yang akan membentuk


bagian kaput epididimis.

16

Gambar 4.
Potongan testis, epididimis dan bagian pertama dari vas deferens
Testis merupakan kelenjar campuran, yakni kelenjar eksokrin juga
sekaligus sebagai kelenjar endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin testis
berfungsi menghasilkan sel sperma. Fungsi ini sesungguhnya dilakukan
oleh saluran-saluran dalam lobuli testis yang disebut tubulus seminiferus.
Di dalam tubulus seminiferus, sel-sel spermatogenik berkembang ke arah
lumen dengan bantuan inang yakni sel sertoli.
Sebagai kelenjar endokrin testis memiliki sel leydig pada jaringan
ikat di antara tubulus seminiferus. Sel ini memproduksi testoteron, hormon
yang bertanggung jawab pada proses spermiogenesis yang mengkonversi
bentuk spermatid menjadi spermatozoon. Fungsi testoteron di dalam
tubulus dibantu protein reseptor. Protein tersebut adalah Androgen Binding
Protein (ABP) yang dihasilkan sel sertoli atas stimulus hormon semacam
FSH dari hipofisa anterior.
Pada jantan yang masih muda struktur tubulus seminiferus masih
sederhana. Epitel lembaga hanya terdiri atas sel-sel spermatogonia dan sel
sertoli. Pada jantan yang sudah dewasa, spermatogenik lebih beraneka
ragam. Hal ini dikarenakan proses spermatogenesis yang mekanismenya

17

meliputi pertumbuhan, meiosis I, meiosis II dan spermiogenesis


menghasilkan spermatogenik pada tingkat perkembangan yang bervariasi.

Gambar 5. Sistem Urogenitalis Tikus Jantan


b. Kelenjar Asesoris
Kelenjar asesoris rodentia dan mamalia pada umumnya terdiri atas
epididimis, vas deferens, sepasang vesikula seminalis, prostat dan
sepasang glandula Cowper (bulbourethralis).
Epididimis adalah suatu struktur memanjang yang bertaut rapat
dari bagian bawah testis sampai bagian atas testis dan di dalamnya
terdapat duktus epididimis yang berliku-liku. Epididimis dapat dibagi atas
tiga bagian kepala, badan, dan ekor.
Saluran epididimis menghubungkan kelenjar testis dan vas
deferens. Epididimis berfungsi untuk

pematangan spermatozoa dan

sekaligus tempat penyimpanan spermatozoa yang sudah matang (dewasa).


Saluran epididimis ini kemudian berhubungan langsung dengan saluran
deferens (vas deferens)
Vas deferens atau duktus deferens mengangkut sperma dari ekor
epididimis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting
dalam mekanisasi pengangkutan semen waktu ejakulasi. Pada bagian

18

ujung vas deferens ini dikelilingi oleh suatu pembesaran kelenjar-kelenjar


yang disebut ampula. Sebelum masuk uretra vas deferens bergabung
terlebih dahulu dengan

saluran pengeluaran vesikula seminalis dan

membentuk duktus ejakulatorius. Dari duktus ejakulatoris kemudian


berlanjut ke uretra yang merupakan saluran pengangkut sperma dari vas
deferens ke penis.
Kelenjar-kelenjar lainnya selain epididimis adalah kelenjar
bulbourethra (kelenjar Cowper), kelenjar prostat dan vesika seminalis.
Kelenjar-kelenjar ini berfungsi

membuat cairan semen yang dapat

memungkinkan sperma ini berfungsi, membuat cairan semen yang dapat


memungkinkan sperma bergerak aktif dan hidup untuk waktu tertentu.
c. Alat kelamin luar atau organ kopulatoris
Organ kopulatoris tikus jantan adalah penis yang mempunyai tugas
ganda yaitu sebagai alat pengeluaran urin dan penyaluran semen ke dalam
saluran reproduksi tikus betina. Penis terdiri dari akar, badan dan ujung
bebas yang berakhir pada glans penis. Penis ditunjang oleh fascia dan
kulit. Badan penis terdiri dari korpus kovernosum penis yang relatif besar
dan diselimuti oleh suatu selubung fibrosa tebal bewarna putih, yaitu
tunika albugenia.
Di bagian ventral terdapat korpus kavernosum urethra, suatu
struktur yang relatif lebih kecil yang mengelilingi urethra. Di bagian
dorsal terdapat sporangium kavernosa yang bersifat seperti spons dan
terdiri atas rongga-rongga yang dapat dianggap sebagai kapiler-kapiler
yang sangat membesar dan bersambung dengan vena penis. Ereksi penis
pada umumnya disebabkan oleh pembesaran rongga-rongga ini oleh darah
yang berkumpul.

19

2. Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa yang
terjadi di dalam tubulus seminiferus testis. Spermatogenesis dibagi
menjadi 3 fase yaitu spermatositogenesis, meiosis dan spermiogenesis.
a. Spermatositogenesis
Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonium
(jamak:spermatogonia) yang selama hidupnya aktif membelah secara
mitosis.

Spermatogonia

dibagi

dalam

dua

populasi,

yaitu

spermatogonia tipe A dan tipe B. Spermatogonia tipe A ada yang


tergolong sel gelap (dark cell) yang tidak aktif membelah dan bersifat
stem sel (sel-sel persediaan dalam waktu panjang). Sel pucat (pale
cell) merupakan jenis spermatogonium A yang aktif membelah dan
berasal dari sel gelap.
Spermatogonium tipe B berasal dari tipe A yang membelah dan
meningggalkan kemampuannya untuk membelah secara mitosis, untuk
kemudian menyelesaikan proses spermatogenesis.
b. Meiosis
Pada fase

meiosis ini terjadi pembelahan sekunder dari

spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan diikuti dengan


terjadinya reduksi jumlah kromosom.
Setelah

menyelesaikan

duplikasi

DNA

sel

disebut

spermatosit praleptoten (spermatosit primer) yang siap untuk


melakukan pembelahan meiosis. Selama pembelahan meiosis I, setiap
spermatosit primer membelah menjadi 2 sel yang disebut spermatosit
sekunder. Masing-masing spermatosit sekunder, selanjutnya akan
melakukan pembelahan meiosis II yang akan menghasilkan 4
spermatid.
c. Spermiogenesis
Pada fase spermiogenesis ini akan terjadi perubahan morfologi
dari spermatid menjadi spermatozoa. Spermiogenesis dibagi dalam

20

empat fase yaitu fase golgi, fase cap (fase tutup), fase akrosom dan
fase pematangan (maturasi).
Pada fase golgi, terbentuk butiran proakrosom dalam alat golgi
spermatid. Butiran ini nantinya akan bersatu membentuk satu bentukan
dengan akrosom disebut granula akrosom. Granula akrosom ini
melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan
spermatozoa.
Pada fase cap, granula akrosom semakin membesar, bertambah
pipih dan menuju bagian depan inti, sehingga akhirnya terbentuk
semacam tutup (cap) sementara.
Pada fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom.
Nukleuplasma berkondensasi dan sementara itu spermatid memanjang
dengan batas kaudal menyempit dan membentuk sudut sehingga inti
kelihatan lebih pipih dan tutup (cap) mengitari bagian ventral inti.
Bahan-bahan akrosom menyebar dan berada pada bagian ventral inti,
pemanjangan dan pemipihan ini berlangsung terus sehingga bagian
anterior spermatid menjadi sempit selanjutnya terjadi perubahan ujung
kaudal spermatid dari bentuk bundar menjadi agak pipih dan pada saat
spermatid telah mencapai panjang yang maksimum, bahan-bahan
akrosom telah menutup seperempat bagian anterior spermatid.
Pada fase pematangan, bentuk spermatid sudah hampir sama
dengan spermatozoa dewasa. Terjadi perubahan bentuk spermatid
sesuai dengan ciri spesies. Spermatid yang telah berubah menjadi
spermatozoa berhubungan langsung dengan sel sertoli yang banyak
mengandung glikogen, sehingga spermatozoa mendapat makanannya,
akhirnya spermatozoa akan dilepaskan dari sel sertoli dan menuju
lumen tubulus sminiferus. Proses pelepasan spermatozoa ini disebut
spermiasi.

21

(a)

(b)

Gambar 6.
Sayatan melintang tubulus seminiferus yang memperlihatkan
proses spermatogenesis (a) H&E, 1100x (b) Gambaran skematis
3. Pengendalian hormon terhadap spermatogenesis
Proses spermatogenesis dikendalikan oleh sistem hormonal. Aksi
hipotalamus-hipofisis berperan penting dalam sekresi gonadotropin yang
mengatur aktivitas hormon dan sel spermatogenik di dalam testis.
Gonadotropic releasing hormone (GnRH) yang dikeluarkan hipotalamus
merangsang sintesis dan sekresi FSH dan LH oleh sel-sel gonadotrof
dalam hipofisis LH dan FSH berfungsi merangsang sel Leydig untuk
menghasilkan testoteron sedangkan testoteron dan FSH merangsang selsel spermatogenik untuk melakukan spermatogenesis untuk melakukan
meiosis dan berdiferensiasi menjadi sperma.
Selain itu FSH juga berfungsi merangsang sel sertoli untuk
mensekresikan ABP (Androgen Binding Protein) dan inhibin ABP
berfungsi mengangkut testoteron ke dalam lumen tubulus seminiferus.
Tanpa ABP testoteron tidak dapat memasuki lumen tubulus. Sedangkan
inhibin berfungsi menghambat pembentukan FSH. Menurut Shostak
(1991) injeksi inhibin terhadap hewan jantan dapat menghambat produksi
GnRH dan pelepasan LH. Selain menghasilkan inhibin ABP, sel sertoli

22

juga berfungsi sebagai penyedia makanan bagi sel-sel spermatogenik yang


sedang tumbuh.
Feed back negative selain dilakukan oleh inhibin juga dilakukan
oleh testoteron. Testoteron dalam kadar tertentu menghambat pengeluaran
FSH dan LH oleh hipofisis.

D. Kopulasi dan fertilisasi


Tikus termasuk hewan yang hanya melakukan kopulasi pada malam
hari. tikus betina akan mulai birahi pada pukul 16.00 sampai pukul 22.00,
pada hari ketika

oles vagina menunjukkan stadium proestrus. Kopulasi

biasanya terjadi pada tiga jam pertama stadium estrus. Pada stadium estrus ini
cairan vagina diubah oleh estrogen yang mengakibatkan berubahnya substrat
metabolik vagina, sehingga mengubah produksi asam- asam alifatik yang
mudah menguap dan menyebabkan perubahan daya tarik seksual dari tikus
betina.
Pada mencit terjadinya

kopulasi ditandai dengan adanya sumbat

vagina (vagina plug) pada liang vagina (antara pukas dan leher uterus ).
Sumbat vagina merupakan air mani yang menggumpal yang berasal dari
secret kelenjar prostat tikus jantan dan akan teramati selama 16 sampai 48
jam serta tidak mudah jatuh. Pada tikus, kopulasi berlangsung pada tahap
proestrus akhir.
Fertilisasi (pembuahan) adalah suatu proses penyatuan atau peleburan
antara gamet jantan dengan gamet betina sehingga membentuk zigot. Ketika
terjadi kopulasi maka sperma akan bergerak menuju tempat pembuahan.
Pergerakan sperma menuju tempat pembuahan dibantu oleh adanya gerak
antiperistaltik saluran kelamin dan kayuhan silia dari uterus dan oviduk.
Lama perjalanan sperma menuju pembuahan pada tikus adalah 15 menit.
Tempat pembuahan terjadi di oviduk bagian ampula. Terjadinya pembuahan
ini yang membuat sel telur mampu menyeselesaikan meiosis yang tertunda
sampai metafase II saat ovulasi.

23

Fertilisasi pada tikus akan terjadi 7-10 jam sesudah kopulasi. Setelah
itu embrio akan mencapai stadium blastula dalam waktu 3-4,5 hari,
E. Implantasi
Implantasi adalah proses tertanamnya embrio mamalia pada tahap
blastosis akhir di dalam endometrium uterus induk. Implantasi dimulai dengan
menempelnya trofoblas yang menutupi inner cell mass. Tempat blastosis
bersarang biasanya di antara dua mulut kelenjar rahim. Implantasi embrio
pada kebanyakan spesies umumnya terjadi pada endometrium uterus non
glandular yang disebut crypta.
Selama kehidupan awal di lumen uterus blastokis tidak langsung
menempel tetapi bebas mengapung. Blastokis yang mengapung mendapatkan
nutrisi dari kelenjar uterus yang disebut susu uterus. Transisi waktu yang
diperlukan blastokis yang mengapung ke embrio yang diimplantasikan adalah
5 hari.
Umur kebuntingan saat terjadinya implantasi berbeda-beda pada
berbagai hewan. Pada mencit dan tikus implantasi terjadi pada hari
kebuntingan 4 - 6 hari. Terdapat tiga macam implantasi yaitu : 1) Implantasi
superficial/ sentral yaitu blastosis melekat pada permukaan epitel selaput
lender, sehingga embrio berkembang dalam lumen rahim, contohnya pada
hewan karnivora, kelinci, dan primate tingkat rendah. 2) implantasi eksentrik
pada implantasi ini blastosis bersarang pada kripta atau lepitan selaput lender
rahim seperti pada rodentia. 3) implantasi profundal atau insterstisial, pada
implantasi ini blastosis menembus lapisan epitel selaput lender ahim, sehingga
embrio berkembang dalam endometrium, seperti pada manusia, kelelawar, dan
marmot. Pada hewan yang implantasinya bersifat eksentrik atau interstisial,
transisi dari blastosis yang bebas mengapung ke embrio yang diimplantasikan
agak jelas.
Lama kebuntingan pada tikus adalah sekitar 21-23 hari.

24

BAB III
TUMBUHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA AKTIF YANG
BERPOTENSI SEBAGAI BAHAN ANTIFERTILITAS

A. Senyawa aktif biologi antifertilitas pada tumbuhan


Dari tumbuhan dapat diisolasi beberapa jenis senyawa aktif biologi
yang dapat digunakan sebagai bahan antifertilitas. Senyawa tersebut umumnya
termasuk golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid dan xanton
(Farnsworth et al., 1975 dan Chattopadhyay et al., 1984). Xanton adalah
senyawa aktif biologis yang dapat ditemukan antara lain pada kulit buah
manggis (Garcinia mangostana L) dan kulit, batang dan daun mangga
(Mangifera indica L).
Xanton bekerja spesifik pada sistem saraf pusat. Umumnya memiliki
aktivitas kardiotonik, koleretik, diuretik, antibakteri, antijamur, inhibitor
alergi, tuberkulostatik dan antioksidatif (Beretz et al., 1979; Sultanbawa,
1979; Zusuki et al., 1980; Akbar, 1998; Ashida et al., 1994 dan Pattalung et
al., 1979). Sebagai bahan antioksidatif xanton menjadi inhibitor badi aktivitas
xanthin oksidase dan monoamin oksidase (Beretz et al., 1979; Zusuki et al.,
1980 dan Akbar, 1998). Monoamin oksidase adalah enzim pada membran luar
mitokondria yang berperan dalam inaktivasi dopamin. Dopamin adalah
transmiter kimia pada sistem saraf pusat (Montgomery et al., 1993). Neuron
dopaminergik berhubungan dengan neuron penghasil GnRH di hipotalamus.
Apabila monoamin oksidase dihambat xanton, maka dopamin pada sinapsis
antara neuron dopaminergik dan neuron GnRH kemungkinan akan berlimpah
dan menghambat pelepasan GnRH. Pemberian dopamin atau suatu senyawa
yang bekerja seperti dopamin terbukti dengan cepat menurunkan kadar LH
dalam plasma darah, yang diduga akibat menurunnya pelepasan GnRH oleh
hipotalamus (Johnson & Everitt, 1988). Padahal lonjakan LH dalam darah
yang memungkinkan terjadinya ovulasi dan terjaminnya produksi progesteron
untuk menjaga kehamilan.

24

25

Saponin atau flavanoid senyawa aktif pada tumuhan yang juga


mempunyai sifat antiesterogen atau dapat sintesis menjadi antiestrogen di
dalam tubuh. Beberapa derivat estrogen lemah juga berefek antiestrogen. Efek
antiestrogen menyebabkan ovarium inakfif, pertumbuhan folikel dan sekresi
estrogen endogen terganggu karena itu ovulasi juga dapat terganggu. Pengaruh
lain kelenjar serviks menjadi sedikit dan lebih kental, keadaan ini akan
mengganggu motofitas spermatozoa. Mungkin karena keadaan tersebut, maka
tidak terjadi fertilisasi meskipun terjadi perkawinan (Sa'roni, 2001). Efek lain
antiestrogen dapat menyebabkan atrofi endometrium, sehingga meskipun
terjadi fertilisasi proses implantasi akan terganggu.
Alkaloid ini termasuk zat aktif yang beracun, alkaloid ini bisa
menimbulkan rasa pahit dan sedikit bahaya dalam penggunaannya (Soedibyo,
2002) kareana senyawa alkaloid bisa menghambat proses terjadinya ovulasi
dan meresorpsi fetus tikus sehingga apabila diberikan pada masa kebuntingan,
zat aktif ini bisa mengurangi jumlah fetus yang ada didalam uterus tikus
(Winarno & Sundari, 1997).

B. Tumbuhan yang mengandung senyawa aktif biologi bersifat antifertilitas


1. Manggis (Garcinia mangostana L.)
Klasifikasi Garcinia mangostana L. adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermathophyta

Sub-divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Guttiferales

Famili

: Guttiferae

Genus

: Garcinia

Spesies

: Garcinia mangostana L.

(Tjitrosoepomo, 1988)

26

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan tumbuhan di dataran


rendah dengan ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. Tinggi
tanaman manggis dapat mencapai 25 meter dengan diameter pohon dapat
mencapai 45 cm (Ketut, 1991).
Manggis sudah terkenal dibeberapa negara dengan nama yang
beragam diantaranya mangosteen (Inggris), mangoustainer (Perancis),
manggistan (Belanda), dan mangostane (Jerman). Di Indonesia pun,
mempunyai beberapa nama daerah, seperti di Minangkabau disebut
manggih, dan di Jawa Barat dikenal dengan nama manggu (Rukmana,
1995).
a. Ciri Morfologi
Batang tanaman manggis berbentuk pohon berkayu, tumbuh
tegak ke atas hingga mencapai ketinggian 25 meter atau lebih. Kulit
batangnya tidak rata dan berwarna kecoklat-coklatan.Daun manggis
berbentuk oval, meruncing pendek dengan panjang 12-23 centimeter
dan lebar kira-kira 7 centimeter. Struktur helai daun tebal dengan
permukaan atas berwaran hijau mengkilap, permukaan bawah
berwarna hijau kekuning-kuningan.
Organ generatif tanaman manggis terdiri atas bunga, buah dan
biji. Struktur bunga manggis mempunyai empat kelopak yang tersusun
dalam dua pasang. Sedangkan mahkota bunga terdapat empat helai,
berwarna hijau kekuning-kuningan dengan warna merah pada
pinggirnya.Buah manggis berbentuk bulat dan berjuring (bercupat),
sewaktu masih muda permukaan kulit buah berwarana hijau, namun
setelah tua berubah menjadi ungu kemerah-merahan atau merah-muda.
Pada bagian ujung buah terdapat juring (cupat) berbentuk bintang,
jumlah juring buah ini berkisar 5-8 buah. Kulit buah manggis
ukurannya tebal mencapai bagian dari buahnya (Rukmana, 1995).

27

b. Kandungan Garcinia mangostana L.


Buah manggis mengandung nutrisi (gizi) cukup tinggi dan
komposisinya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2.
Kandungan dan komposisi gizi buah manggis dalam tiap 100 gram
Komposisi gizi
Kandungan gizi
Kalori
63.00 cal
Protein
0.60 gr
Lemak
0.60 gr
Karbohidrat
15.60 gr
Kalsium
8.00 mg
Fosfor
12.00 mg
Zat besi
0.80 mg
Vitamin B1
0.03 mg
Vitamin C
2.00 mg
Air
83.00 gr
Sumber :Direktorat Gizi Depkes R.I. dalam Rukmana (1995).

Daun

manggis

mengandung

mangostin,

tannin

serta

triterpenoid (Anonimus, dalam Ketut, 1991). Mangostin merupakan


salah satu turunan xanton yang terdapat di alam serta pertama kali
ditemukan pada kulit buah Garcinia mangostana L. dengan rumus
molekul C24H26O6 (Yates & Stout, dalam Ketut, 1991).
c. Kegunaaan Garcinia mangostana L.
Produk utama dari tanaman manggis adalah buahnya.
Masyarakat luas menggemari buah manggis untuk dikonsumsi sebagai
buah segar (Rukmana, 1995).
Buah manggis banyak digunakan untuk mengatasi diare,
radang amandel, disentri, wasir dan keputihan. Sedangkan kulit
buahnya selain berkhasiat mengobati disentri dan mencret, juga
digunakan untuk penderita peradangan saluran kemih, peradangan
usus, tonsil bengkak, tumor dalam rongga mulut dan kerongkongan,

28

serta pembentukkan air ludah yang berlebihan (Akbar, 1998). Daun


mudanya bersifat abortif, apabila digunakan untuk campuran makanan
ternak dapat mengakibatkan keguguran dan dapat diikuti oleh
kematian dari induknya (Versteegh, dalam Ketut, 1991).

2. Mangga (Mangifera indica L.)


a. Klasifikasi
Kingdom :
Divisi

Plantae
: Spermatophyta

Subdivisi :

Angiospermae

Kelas

Dicotyledoneae

Ordo

: Sapindales

Famili

: Anacardiaceae

Genus

: Mangifera

Spesies

: Mangifera indica L.
(Pracaya, 1995)

Tanaman Mangga (Mangifera indica L.) berasal dari India,


Srilanka dan Ceylon, dikenal sejak 4000 tahun yang lalu. Kemudian
tersebar luas ke seluruh daerah tropika, tetapi hanya dapat berbuah
banyak di daerah dataran rendah dan daerah perbukitan rendah yang
panas sekitar ketinggian 0-300 m diatas permukaan air laut (Kusumo,
1975).
Umur mangga mencapai lebih 50 tahun jika berasal dari bibit
biji. Ada 40 spesies mangga yang dikenal dan 26 spesies diantaranya
dapat dimakan dan enak rasanya. Salah satunya Mangifera indica L.
misalnya : Arumanis, Golek, Gadung, Madu, dan lain-lain.
b. Ciri Morfologi
1) Akar
Akar tunggang pohon mangga sangat panjang hingga bisa
mencapai 6 m, pemanjangan
akar tunggang akan berhenti bila
5

29

mencapai permukaan air tanah. Sesudah fase perpanjangan akar


tunggang berhenti, lalu terbentuk banyak akar cabang di bawah
permukaan tanah. Akar cabang makin ke bawah makin sedikit,
paling banyak akar cabang pada kedalaman lebih kurang 30 cm
sampai 60 cm (Pracaya, 1995).
2) Batang
Batang merupakan bagian tengah dari suatu tumbuh-tumbuhan
yang tumbuh lurus keatas. Bagian ini mengandung zat-zat kayu,
sehingga tanaman mangga tumbuh tagak, keras dan kuat. Bentuk
batang mangga tegak, bercabang agak kuat, daun lebat dan
membentuk tajuk yang indah berbentuk kubah, oval atau
memanjang. Kulitnya tebal dan kasar dengan banyak celah-celah
kecil dan sisik-sisik bekas tangkai daun. Warna kulit yang sudah
tua biasanya coklat keabuan sampai hampir hitam. (Wikipedia
Indonesia). Pohon mangga yang berasal dari biji pada umumnya
tegak, kuat dan tinggi, sedangkan yang berasal dari sambungan
lebih pendek dan cabangnya membentang (Pracaya, 1995).
3) Daun
Daun letaknya bergantian, tidak berdaun penumpu. Panjang
tangkai daun bervariasi dari 1,25 sampai 12,50 cm. Bentuk daun
bermacan-macam, ada yang lonjong dan ujungnya seperti mata
tombak, berbentuk segi empat tetapi ujungnya runcing, berbentuk
bulat telur ujungnya runcing dan berbentuk segi empat yang
ujungnya membulat (Wikipedia Indonesia).
Panjang helaian daun 8 sampai 40 cm dan lebarnya 2 sampai
12,5 cm, tergantung varietas dan kesuburannya. Jumlah tulang
daun yang kedua (cabang) berjumlah 18 sampai 30 pasang.
Stomata terdapat pada kedua permukaan daun tetapi yang terutama
paling banyak pada bagian bawah permukaan daun. Daun yang
masih muda biasanya berwarna kemerahan yang dikemudian hari

30

akan berubah pada bagian permukaan yang sebelah atas berubah


menjadi hijau mengkilat, sedangkan bagian permukaan bawah
berwarna hijau muda. Umur daun bisa mencapai 1 tahun atau lebih
(Pracaya, 1995).
4) Bunga
Bunga mangga adalah bunga majemuk. Dalam keadaan
normal bunga majemuk tumbuh dari tunas ujung, sedangkan tunas
yang asalnya bukan dari tunas ujung tidak menghasilkan bunga,
tetapi ranting daun biasa (Wikipedia Indonesia). Bunga majemuk
mangga berbentuk kerucut yang lebar, bagian bawah panjangnya
lebih kurang 10 sampai 60 cm.
Bunga majemuk ini terdiri dari sumbu utama yang mempunyai
cabang-cabang pertama, setiap cabang pertama mempunyai banyak
cabang-cabang yang kedua dan cabang kedua ini mungkin
mempunyai suatu kelompok tiga bunga atau mempunyai cabang
ketiga, dan cabang ketiga ini baru mempunyai suatu kelompok tiga
bunga; setiap kelompok tiga bunga terdiri dari tiga kuntum bunga
dan setiap kuntum bertangkai pendek dengan daun kecil. Jumlah
bunga pada setiap bunga majemuk bisa mencapai 1000 6000.
Setiap rangkaian bunga ada bunga jantan dan bunga
hermaprodit (bunga yang berkelamin dua yakni jantan dan betina).
Besarnya bunga lebih kurang 6 8 mm. Bunga jantan biasanya
lebih banyak dari pada bunga yang hermaprodit. Jumlah bunga
hermaprodit itu yang menentukan terbentuknya buah. Persentase
bunga

hermaprodit

itu

bermacam-macam

tergantung

dari

varietasnya, yaitu dari 1,25 sampai 77,9 % (Pracaya, 1995).


5) Buah
Buah mangga termasuk kelompok buah batu yang berdaging.
Panjang buah 2,5 cm sampai 30 cm. Bentuk buah ada yang bulat,
bulat telur atau memanjang dan ada juga yang bentuknya pipih.

31

Warnanya bermacam-macam ada yang hijau, kuning, merah atau


campuran. Pada bagian ujung buah ada bagian yang runcing yang
disebut paruh. Diatas paruh ada bagian yang membengkok yang
disebut sinus, yang dilanjutkan ke bagian perut. Bagian belakang
disebut punggung. Kulitnya tebal dan ada titik-titik kelenjar.
Dagingnya tebal dan ada juga yang kurang tebal tergantung
jenisnya. Daging buah ada yang berserat dan ada juga yang tidak
berserat, ada yang berair dan yang tidak berair, ada yang manis dan
ada juga yang kurang manis (Pracaya, 1995).
6) Biji
Biji letaknya di dalam kulit biji yang keras (endocarp),
besarnya bervariasi. Biji mangga ada dua jenis, ada yang
monoembrional

dan

polyembryonal.

Biji

mangga

yang

monoembrional mengandung hanya satu embrio, oleh karena itu


bila tumbuh akan menghasilkan hanya satu tanaman, sedangkan
mangga poliembrional bijinya mengandung beberapa embrio yang
dapat menghasilkan beberapa tanaman, dan tanaman-tanaman
tersebut dapat dipisah-pisahkan dan ditanam sendiri sebagai
tanaman yang bebas (Pracaya, 1995).

c. Kandungan Mangifera indica L.


Buah mangga banyak mengandung karbohidrat, glukosa,
mangiferin, minyak-minyak volatif, asam organik, vitamin A, B1, B2
dan vitamin C. Dari kulit dan batang Mangifera indica L. dapat
diperoleh senyawa yang tergolong xanton yang disebut mangiferin
(Akbar, 1998).
Mangiferin dapat diperoleh dari daun mangga dengan
kandungan yang bervariasi tergantung jenisnya. Menurut Padmawinata
(1991) kandungan mangiferin tertinggi (2,56%) terdapat pada mangga
bapang. Kadar mangiferin pada daun mangga golek (1,90%), mangga

32

tai kuda (1,73%), mangga cengkir (1,50%), mangga marunda (1,30%)


dan mangga kerenceng (1,10%).Mangiferin praktis berbeda dengan
semua xanton karena larut dalam air dan dapat dipisahkan dengan baik
secara kromatografi kertas.
3. Adas (Foeniculum vulgare M.)
a. Klasifikasi dan penyebaran
Klasifikasi adas (Foeniculum vulgare M.) menurut Anonimous
adalah:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Sub-Class

: Rosidae

Ordo

: Apiales

Famili

: Apiaceae

Genus

: Foeniculum P. Mill

Spesies

: Foeniculum vulgare Mill

Tanaman adas (Foeniculum vulgare M.) berasal dari Eropa


Selatan dan Asia, karena manfaatnya kemudian banyak di tanam di
Indonesia, India, Argentina, Eropa dan Jepang. Tanaman ini
dibudidayakan untuk diambil buahnya. Di Indonesia tanaman adas
digunakan untuk bumbu atau tanaman obat. Tumbuhan adas banyak
ditemukan di daerah tropika, tumbuh di dataran rendah sampai
ketinggian 1800 m di atas permukaan laut, tetapi akan tumbuh lebih
baik pada dataran tinggi (Dalimartha, 2000).

b. Ciri Morfologi
1) Akar

33

Tanaman adas berakar rimpang dan memiliki saluran-saluran


resin skizolisigen dalam gelam dari akar dan batang dan kulit
buahnya (Tjitrosoepomo, 2002).
2) Batang
Terna berumur panjang, tinggi 0,5 3 m, batang beralur,
tumbuh tegak dan merumpun . Satu rumpun biasanya terdiri dari 3
5 batang. Batang hijau kebiru - biruan, beralur, beruas,
berlubang, bila memar baunya wangi (Dalimartha, 2000) .
3) Daun
Daun berseling, majemuk menyirip ganda dua dengan siripsirip yang sempit (Tjitrosoepomo, 2002). Bentuk daun seperti
jarum, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berseludang warna
putih, seludang berselaput dengan bagian atasnya berbentuk topi
(Fauzi, 2008).
4) Bunga
Bunga kecil berwarna kuning, tersusun sebagai bunga payung
majemuk (Tjitrosoepomo, 2002). Perbungaan terdiri dari 6-40
gagang bunga, panjang ibu gagang bunga 5 10 cm, panjang
gagang bunga 2 5 mm, mahkota berwarna kuning, keluar dari
ujung batang (Fauzi, 2008) .
5) Buah
Buah lonjong, berusuk, panjang 6 10 mm, lebar 3 - 4 mm,
masih muda berwarna hijau setelah tua berwarna cokelat agak hijau
atau cokelat agak kuning sampai sepenuhnya berwarna cokelat
(Fauzi, 2008). Tetapi warna buah adas berbeda beda tergantung
negara asalnya . Buah yang sudah matang mempunyai bau khas
aromatik,

apabila

dicicipi

rasanya

relatif

seperti

kamfer

(Dalimartha, 2000).
6) Biji
Biji adas bentuknya bulat dan keras, warna cokelat kekuningan
dan dalam jumlah yang banyak (Dalimartha, 2000).

34

c. Sinonim, nama daerah, asing dan simplisia


1) Sinonim: F. officinale All., Anethum foeniculum L., Anethum
rupestre Salisb (Dalimartha, 2000).
2) Nama daerah
Sumatera :

Das pedas, Adas, Adas pedas, Adeh, Manih . Jawa:

Hades, Adas, Adas londa, Adas landi, Adhas . Sulawesi: Paapang,


Paampas, Popaas, Denggu denggu, Papaato, Porotomo, Adasa,
Rempasu, Adase, Kumpasi. Nusa Tenggara: Adas, Wala wunga
(Dalimartha, 2000).
3) Nama asing
Hsiao hui (Cina), Mellet karee (Thailand), Jintan manis (Malaysia),
Madhurika (India), Barisaunf (Pakistan). Fennel, Common fennel,
Sweet fennel, Fenkel, Spigel (Inggris) (Katzer, 2004) .
4) Nama simplisia/Foeniculi Fructus (buah adas)
(Dalimartha, 2000).
d. Kandungan Kimiawi
Komponen yang terkandung di dalam buah adas adalah minyak
atsiri (Oleum Foeniculi) 1 6 %, 50 60 % anetol, 20 % fenkon,
pinen, lemonen, dipenten, felandren, metilchavikol, anisaldehid, asam
anisat, dan 12 % minyak lemak . Kandungan anetol yang
menyebabkan adas mengeluarkan aroma yang khas dan berkhasiat
karminatif . Akar mengandung bergapten . Akar dan biji mengandung
stigmasterin (serposterin) (Sastroamidjodjo, 1994).
Hasil uji fitokimia membuktikan bahwa buah adas mengandung
senyawa alkaloid, saponin, tanin, flavanoid, triterfenoid dan glikosida
(BALITRO, 2008). Senyawa terpenting pada buah adas adalah saponin
atau flavanoid. Berdasarkan pengujian BALITRO senyawa flavanoid
yang terkandung di dalam buah adas positif kuat. Senyawa tersebut
mempunyai sifat antiesterogen atau dapat sintesis menjadi antiestrogen
di dalam tubuh. Beberapa derivat estrogen lemah juga berefek

35

antiestrogen. Efek antiestrogen menyebabkan ovarium inakfif,


pertumbuhan folikel dan sekresi estrogen endogen terganggu karena
itu ovulasi juga dapat terganggu . Pengaruh lain kelenjar serviks
menjadi sedikit dan lebih kental, keadaan ini akan mengganggu
motofitas spermatozoa. Mungkin karena keadaan tersebut, maka tidak
terjadi fertilisasi meskipun terjadi perkawinan (Sa'roni, 2001). Efek
lain antiestrogen dapat menyebabkan atrofi endometrium, sehingga
meskipun terjadi fertilisasi proses implantasi akan terganggu .
e. Manfaat adas
Adas mempunyai banyak manfaat diantaranya (Dalimartha,
2000) :
1) Buah adas bermanfaat untuk obat sakit perut, sakit kuning,
perangsang nafsu makan, sesak nafas, batuk berdahak, nyeri haid,
haid tidak teratur, menambah ASI, mengatasi susah tidur,
pembengkakan saluran sperma, penimbunan cairan dalam kantung
buah zakar, rematik gout, keracunan tumbuhan obat dan jamur.
2) Daun adas berkhasiat mengatasi batuk, perut kembung, kolik, rasa
haus, meningkatkan penglihatan.

4. Lada (Piper nigrum L)


Tanaman lada ( Piper nigrum L. ) adalah tanaman yang termasuk
kedalam famili Piperaceae (Rismunandar, 1987). Tanaman lada ini berasal
dari pantai Barat Ghats, Malabar, India. Pada tahun 100 SM 600 SM
tanaman lada ini mulai tumbuh di Indonesia. Para koloni India telah
membawa lada masuk ke Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan,
2000). Hingga saat ini perdagangan lada Indonesia terkenal dipasaran di
seluruh penjuru dunia. Indonesia mempunyai daerah penghasil lada yaitu
daerah Lampung dan Bangka. Daerah Lampung menghasilkan lada hitam
sedangkan daerah Bangka penghasil lada putih (AAK, 1980).
a. Klasifikasi
Klasifikasi dari buah lada (Dhalimi, 1996) yaitu :

36

Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Piperales

Famili

: Piperaceae

Genus

: Piper

Spesies

: Piper nigrum L.

Gambar 7. Tanaman Lada Hitam

b. Morfologi
1) Akar
Tanaman lada termasuk dalam anggota dicotil dan memiliki
akar tunggang (Dhalimi, 1996). Panjangnya terbatas 3,5 cm. dan
menempel

(melekat)

pada

tiang

pemanjat

(Dhalimi,

1996).

Berdasarkan fungsinya, tanaman lada mempunyai dua macam akar


yaitu akar yang berberada dibawah permukaan tanah yang berfungsi
menyerap unsur hara dan akar lekat yaitu akar yang terdapat pada

37

buku-buku sulur panjat, akar lekat berfungsi untuk melekatkan


tanaman pada penegak.
2) Batang
Batang berbentuk agak pipih, berdiameter 4-6 cm, berbenjolbenjol, beruas-ruas dan lekas berkayu serta berakar lekat (AAK, 1980).
Warna pada batang bervariasi antara hijau muda.

3) Daun
Daun lada bentuknya sederhana, tunggal, bentuk bulat telur
meruncing pucuknya dan tumbuh disetiap buku-buku batang
(Dhalimi,1996). Bertangkai panjang 2-5 cm dan membentuk aluran
dibagian atasnya. Ukuranya kurang lebih panjang daun 12-18 cm,
lebar 5-10 (kanisius, 1980). Berurat 5-7 helai, berwarna hijau tua,
mengkilat dibagian atasnya, bagian bawah daun berwarna pucat, dan
nampak titik-titik kelenjar (Rismunandar, 1987).
4) Bunga
Bunga

tanaman

lada

berbentuk

malai,

yang

agak

menggelantung, panjang 3-25 cm, tidak bercabang, berporos tunggal,


di mana tumbuh bunga kecil-kecil berjumblah hingga 150 buah lebih.
Bunga tumbuh berhadapan dengan daun dari cabang atau rantingranting yang plagiotropis. Bagian-bagian dari bunga lada yaitu tajuk
bunga atau dasar bunga, mahkota bunga, putik,dan benangsari. Karena
bunga lada itu mempunyai putik dan benangsari, maka bunga lada
disebut bunga sempurna atau berumah satu (AAK, 1980). Bunga lada
bisa uniseksual dalam bentuk :

Monoecious atau berumah satu, yang berarti pada satu tanaman


terbentuk bunga betina dan jantan yang terpisah.

Dioecious atau berumah dua, yang berarti bunga betina dan jantan
masing-masing

terpisap

(Rismunanadar, 1987).

pada

pohon

yang

berlainan

38

5) Buah
Buah lada merupakan produksi pokok dari hasil tanaman lada.
Buah lada mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:

bentuk dan warna buah: buah lada berbentuk bulat, berbiji keras
dan berkulit buah lunak. Kulit buah yang masih muda berwarna
hijau sedangkan yang tua berwarna kuning.

Kedudukan buah: buah lada merupakan buah duduk atau tidak


bertangkai yang melekat pada malai. Besar kulit dan bijinya 4-6
mm,

Keadaan kulit buah: kulit buah terdiri dari tiga bagian yaitu: kulit
luar, kulit tengah dan kulit dalam (AAK, 1980).

Biji: biji lada berukuran rata-rata 3-4 mm, embrionya sangat kecil.
Berat biji 100 biji lada 3-8 gram, namun berat normalnya
diperkirakan rata-rata 4,5 gram. Biji lada diliputi selapis daging
buah yang berlendir dan manis rasanya, hingga disukai burung
berkicau. Biji lada tidak umum untuk dijadikan bibit, karena
tanaman lada baru bisa berbuah 7 tahun setelah disemaikan
(Rismunandar, 1987).

c. Nama simplisia, nama daerah dan nama asing


Penaman lada hitam untuk masing-masing daerah berbeda-beda
diantaranya. Nama simplisia: Piper white nigri ( buah lada putih ),
Piper albae fructus ( buah lada hitam ) (Soedibyo, 1998).
Nama daerah: Aceh (Lada), Batak (Lada), Mentawai (Raro)
(Amin, 2008), Minangkabau (Lado), Lampung (Lada), Jawa (Merica),
Bali (Maica), Flores (Ngguru), Gorontalo (Malita lo dawa), Sulsel
(Merica atau Barica), Seram (Marisan mau, manise ahuwee), Buru
(Lada, emirisan), Halmahera (Rica jawa), Ternate (Rica jawa), Jawa
Barat (Sahang), Madura (Sakang) (Rismunandar, 1987). Bengkulu
(Lada kecik), Sunda (Pedes), Jawa Tengah (Merica) (Muhlisah &
Hening, 2002).

39

Nama Asing: Belanda (Peper), Inggris (Peper), Spanyol


(Pimienta), Prancis (Poivre), Jerman (Pfeffer), Portugis (Pimenta do
reino,pimento) (Rismunandar, 1987)

d. Jenis lada
Jenis lada yang ada di pasaran ada dua macam yaitu:
1) Lada putih : berbentuk bulat dengan warna abu-abu kekuningkuningan,

garis

tengahnya

sekitar

mm-5

mm,

pada

permukaannya terdapat 10-16 rusuk yang melintang dari pangkal


ke ujungnya. Buah lada putih mengandung minyak atsiri sebanyak
0,8%, pati 45 %, kadar air 9,9-15%, zat protein 11%, zat
karbohidrat 50-65%, dan piperin (alkaloid) sebanyak 5-7%. Untuk
mendapatkan lada putih diperoleh dari buah-buah yang hampir
masak, selanjutnya direndam. Pengelupasan kulit buah dengan cara
menggosok-gosok, setelah bersih kemudian dijemur hingga bersih
(Kartarasapoetra,1996).
2) Lada hitam: Ukurannya lebih kecil dari lada putih. Lada hitam
mengandung saponin (Amin, 2008), minyak atsiri sebanyak 1-4%,
kadar air 8-13%, zat protein 11%, zat karbohidrat 22-42%, dan
piperin (alkaloid) sebanyak 5-9% (Rismunandar, 1987).
e.

Kandungan kimia
Komposisi yang terdapat dalam buah lada adalah air, minyak
atsiri, saponin, flavonoid (Muhlisah & Hening, 2002). Selain itu buah
lada mengandung piperin (alkaloid)), oleoresin, flaponoid, zat protein,
zat karbohidrat dan zat anorganik (zat P2O, zat sulfur, zat K2O, zat
kapur CaO). Komposisi yang paling banyak adalah karbohidrat
(Rismunandar, 1987).
Alkaloid dapat dijumpai pada berbagai jenis tanaman salah
satunya tanaman lada (Piper nigrum L. ). Alkaloid ini termasuk zat
aktif yang beracun, alkaloid ini bisa menimbulkan rasa pahit dan

40

sedikit bahaya dalam penggunaannya (Soedibyo, 2002) kareana


senyawa alkaloid bisa menghambat proses terjadinya ovulasi dan
meresorpsi fetus tikus sehingga apabila diberikan pada masa
kebuntingan, zat aktif ini bisa mengurangi jumlah fetus yang ada
didalam uterus tikus (Winarno & Sundari, 1997).
Di dalam buah lada hitam (Piper nigrum L.) terdapat senyawa
dan piperin, senyawa ini adalah senyawa yang memberikan rasa pedas
pada buah lada (Amin, 2008). Senyawa piperin ini termasuk kedalam
kelompok senyawa alkaloid (Winarno & Sundari, 1997).
Minyak atsiri lada baru dikenal pada tahun 1574, kadar minyak
atsirinya bersifat tidak menguap (non volatile extract). Minyak atsiri
dapat diperoleh melalui ekstraksi, dan dapat diperoleh bahan padat
yang disebut oleoresin.
Oleresin dapat diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai oleo
(minyak) dan resin (Dhalimi,1996).

f. Manfaat
Buah lada sangat dikenal sebagai bumbu masak. Selain itu lada
juga bisa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit
diantaranya adalah penyakit disentri, kolera, kaki bengkak, nyeri haid,
reumatik (nyeri otot), salesma, sakit kepala (Soedibyo, 2002).
Mengobati sakit perut, muntah setelah makan, sakit batu empedu,
komplikasi pencernaan, diare pada anak kecil, radang ginjal kronis,
keputihan, demam, malaria disertai demam berdarah, enzim pada
scrotum, pengut syaraf pada balita dan penambah nafsu makan
(Hening & Muhlisah, 2002). Selain itu juga buah lada bisa
dimanfaatkan sebagai alat kontrasepsi alami bagi wanita karena buah
lada bisa menghambat ovulasi sehingga sel telur sulit untuk dibuahi
(Winarno & Sundari, 1997).

41

BAB IV
BEBERAPA HASIL PENELITIAN

A. Penurunan Fertilitas Hewan Betina


Beberapa penelitian pengaruh berbagai bahan yang berasal dari
manggis dan mangga terhadap fertilitas tikus atau mencit betina telah
dilakukan. Hasilnya terangkum sebagai berikut :
1. Persentase implantasi (IM)
Pemberian mangostin yang diekstraksi dari kulit buah manggis
selama tahap praimplantasi ternyata mampu menurunkan fertilitas tikus
betina. Persentase implantasi rata-rata tikus yang diberi mangostin dosis
100 mg/kg b.b. lebih rendah dari tikus yang diberi mangostin dosis 75
mg/kg b.b. (Akbar,1998). Namun persentase implantasi kedua kelompok
perlakuan tersebut secara meyakinkan jauh lebih rendah dibanding
kelompok yang tidak diberi mangostin, sehingga tampak bahwa penurunan
persentase implantasi tersebut seiring dengan meningkatnya dosis
mangostin yang diujikan.
Mangostin dosis 100 mg/kg b.b. juga menyebabkan sebagian besar
tikus bunting betina (7 dari 11 ekor) memiliki angka persentase implantasi
0%., sedangkan 4 ekor lainnya berkisar antara 11,1-35,7`%,. Tikus dengan
persentase implantasi 0%, adalah tikus yang mengalami bunting semu
(Akbar, 1998).
Penelitian yang sama terhadap mencit menunjukkan dosis
mangostin 50 mg/kg b.b. sudah cukup efektif untuk menurunkan
persentase implantasi (Adnan, 1992). Fakta ini menunjukkan mencit lebih
peka terhadap mangostin sebagai zat antifertilitas dibandingkan tikus
(Akbar, 1998)
Penelitian dengan menggunakan ekstrak daun mangga (Mangifera
indica L.) pada periode yang sama menunjukkan ekstrak daun mangga
dosis 75 mg/kg b.b. dan 100 mg/kg b.b. menyebabkan penurunan
persentase implantasi (IM). Adapun dosis 50 mg/kg b.b. baru cenderung

41

42

menurunkan

persentase

implantasi

(Peristiani,

2008).

Penurunan

persentase implantasi secara otomatis identik dengan peningkatan


kehilangan gestasi (KGE).
Astuti (2008) berhasil membuktikan bahwa pemberian esktrak
daun mangga dengan dosis 100 mg/kg b.b. pada frekuensi penyuntikan
yang berbeda selama periode praimplantasi mampu menurunkan
persentase implantasi. Hasil penelitian juga menunjukkan penurunan
persentase implantasi terjadi seiring dengan peningkatan frekuensi
penyuntikan ekstrak daun mangga.
2. Kematian pascaimplantasi
Pemberian mangostin dari berbagai dosis pada tikus bunting
selama periode praimplantasi ternyata juga berdampak pada peningkatan
persentase kematian pascaimplantasi. Persentase kematian pascaimplantasi
tikus yang diberi mangostin dosis 100 mg/kg b.b. secara nyata lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol. Dari hasil pengamatan tampak bahwa
kematian pascaimplantasi lebih disebabkan oleh embrio teresorpsi dan
bukan oleh fetus mati. Pengamatan terhadap embrio teresorpsi
menunjukkan bahwa proses tersebut terjadi pada periode pascaimplantasi
awal.
Untuk mencit Adnan (1992) menunjukkan bahwa mangostin dosis
50 mg/kg b.b. yang diberikan pada masa praimplantasi masih mampu
bekerja sampai embrio terimplantasi, sehingga terjadi peningkatan
kematian pascaimplantasi.
Hasil penelitian Ayunita (2008) juga menunjukkan pemberian
esktrak daun mangga dosis 100 mg/kg b.b. pada tikus bunting selama
periode

pascaimplantasi

awal

meningkatkan

persentase

kematian

pascaimplantasi.

3. Fetus Mati
Pemberian mangiferin selama masa pertengahan kebuntingan

43

ternyata dapat menyebabkan 100% fetus tikus putih mati (Chattopadhyay


et al., 1984).

Gambar 8
(A) Fetus hidup (FH) dan embrio teresorpsi (R) dari tikus yang
diberi mangostin dengan 100 mg/kg b.b. pada umur kebuntingan
1-4 hari (praimplantasi), (B) Keadaan uterus tikus perlakuan
yang diberi mangostin dosis 100 mg/kg b.b. pada umur
kebuntingan 1 sampai dengan 2 hari (2 kali) yang seluruh
embrionya teresorspi.
Penurunan persentase implantasi dan peningkatan kehilangan gestasi
serta kematian pascaimplantasi yang terjadi pada eksperimen mungkin
diakibatkan oleh mangostin yang bersifat estrogenik (Adnan. 1992), atau
aktivitas bahan uji yang memiliki stuktur dasar xanton, pada sistem saraf
pusat.
Kegagalan implantasi sering terjadi akibat kegagalan transpor sel telur
(Jonhson & Everitt, 1988). Transpor zigot dapat tertunda atau sebaliknya
justru dipercepat, sehingga tiba di uterus bukan pada saat yang tepat untuk
implantasi (Marcus & Shelesnyak. 1979 dalam Supyani, 1992). Pemberian
estrogen dosis 0,4 g pada umur kebuntingan 2 hari mempercepat transpor sel
telur dari saluran telur ke uterus mencit (Farnsworth et al., 1975). Demikian
pula pemberian estradiol pada umur kebuntingan 1 hari menyebabkan transpor
sel telur dipercepat 11-23 jam kemudian, dengan persentase yang makin
meningkat seiring peningkatan dosis estradiol yang diberikan (Ortiz et al.,
1979 dalam Supyani, 1992). Sebaliknya, pemberian estrogen dosis 1,6 g
pada umur kebuntingan 1 hari pada mencit membuat sel telur tetap berada di

44

saluran telur sampai umur kebuntingan 4 hari (Farnsworth et al., 1975).


Implantasi pada tikus berlangsung kira-kira pada umur kebuntingan 5-6 hari
(Smith, 1988 dan Nalbandov, 1990).
Dopamin bekerja pada sinapsis antara neuron dopaminergik dan
neuron penghasil GnRH di hipotalamus. Transmiter kimiawi ini dapat
diinaktifkan oleh monoamin oksidase (Montgomery et al., 1993). Apabila
kerja monoamin oksidase dihambat oleh molekul xanton dari mangostin, maka
dopamin akan terakumulasi pada sinapsis tersebut sehingga menghambat
pelepasan GnRH, akibatnya kandungan LH dalam darah menjadi turun.
Pemberian dopamin atau senyawa yang agonis dengan dopamin dapat
menurunkan dengan cepat kadar LH dalam darah, melalui penurunan produksi
GnRH (Johnson & Everitt, 1988). Bila penurunan LH tersebut menyebabkan
turunnya produksi progesteron, maka rasio estrogen : progesteron di saluran
reproduksi hewan betina akan meningkat Pada tikus bunting tahapan
praimplantasi, kondisi demikian dapat mengganggu embrio, transpor embrio,
maupun lingkungan uterus sehingga implantasi dapat mengalami kegagalan.
Peningkatan rasio estrogen : progesteron di uterus dapat berakibat
negatif bagi embrio yang baru terimplantasi. Estrogen yang tinggi dapat
melabilkan membran lisosom sehingga diproduksi enzim fosfolipase A yang
aktif untuk mengawali pembentukan prostaglandin dari fosfolipida di
mikrosom. Prostaglandin akan membebaskan ion Ca 2+ di dalam sel otot polos
uterus yang kemudian berikatan dengan aktin dan miosin, untuk memulai
proses kontraksi otot (Johnson & Everitt, 1988). Kondisi ini yang
kemungkinan menjadi penyebab terjadinya kematian embrio yang baru
terimplantasi.
Enzim fosfodiesterase yang berperan dalam mengubah AMP
siklik menjadi AMP (Montgomery et al., 1993) dapat dihambat oleh
xanton (Beretz et al., 1979), sehingga kandungan AMP siklik sel menjadi
berlimpah.

Keadaan

demikian

pada

sistem

saraf

menyebabkan

peningkatan permeabilitas membran neuron pascasinapsis terhadap ion


Na+, yang memacu terjadinya penjalaran impuls (Wulangi, 1993).

45

Apabila hal tersebut terjadi pada neuron dopaminergik yang berhubungan


dengan neuron penghasil GnRH di hipotalamus, maka mekanisme penurunan
produksi GnRH dengan segala akibatnva akan terjadi lagi.
Kegagalan implantasi dapat pula dikarenakan uterus tidak siap
menerima embrio pada saat seharusnya implantasi terjadi. Pada rodentia,
domba dan kelinci, estrogen yang terlalu dominan membuat uterus tidak
mampu menampung implantasi blastokista (Johnson & Everitt, 1988).
Estrogen juga dapat menyebabkan embrio tidak mampu lagi melakukan
implantasi. Pemberian etinil estradiol pada umur kebuntingan 1 hari pada
mencit menyebabkan degenerasi blastula, sedangkan degenerasi morula pada
tikus dapat terjadi akibat pemberian metoksi progesteron pada umur
kebuntingan 1 hari. ditambah dengan estron pada umur kebuntingan 3 hari
(Farnsworth et al., 1975).
B. Penurunan Fertilitas Hewan Jantan
Karena tubulus seminiferus (tempat berlangsungnya spermatogenesis)
merupakan komponen utama testis, maka jumlah sperma di dalamnya akan
terindikasi melalui berat testis. Hasil penelitian Virgiana (2007) menunjukkan
berat testis rata-rata mencit menurun secara nyata akibat pencekokan larutan
dari serbuk daun manggis dosis 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb dan 750 mg/kg
bb selama 20 hari. Di antara ketiga perlakuan tersebut rata-rata berat testis
mencit yang dicekok dosis 500 mg/kg bb. dan 750 mg/kg bb secara nyata
lebih rendah dibanding mencit kelompok kontrol.

46

Tabel 3
Berat testis mencit yang diberi berbagai dosis serbuk
daun manggis selama 20 hari
Dosis
Jumlah
Berat testis
(mg/kg bb)
Hewan uji
(mg)
0 (kontrol)
6
150a
250
6
120ab
500
6
115bc
750
6
85c
Keterangan : Angka dengan superskrip yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf
uji p>0,05.
Seperti telah diungkapkan di muka, bahwa apabila kerja monoamin
oksidase dihambat oleh molekul xanton, maka dopamin akan terakumulasi
pada sinapsis antara neuron dopaminergik dan neuron penghasil GnRH di
hipotalamus, sehingga menghambat pelepasan GnRH. Akibatnya kandungan
LH dalam darah menjadi turun. Pemberian dopamin atau senyawa yang
agonis dengan dopamin dapat menurunkan dengan cepat kadar LH dalam
darah, melalui penurunan produksi GnRH (Johnson & Everitt, 1988).
Penurunan produksi LH ini akan bermuara pada turunnya intensitas
stimulus terhadap sel leydig untuk menghasilkan hormon testoteron. Keadaan
ini akan mempengaruhi proses spermiogenesis yang dirangsang oleh
keberadaan testoteron. Akibatnya produksi spermatozoon dalam tubulus
seminiferus menurun. Karena tubulus ini merupakan struktur dasar yang
membangun testis, maka penurunan berat testis dapat mengindikasikan
turunnya produksi sperma.

47

BAB V
PENUTUP

Iklim tropis Indonesia memberi berkah dalam bentuk hadirnya


keanekaragaman hayati yang berlimpah. Beberapa jenis tumbuhan diantaranya
telah terbukti di tingkat laboratorium mempunyai efek antifertilitas. Penemuan ini
merupakan langkah awal untuk mengendalikan gangguan hama tikus, tanpa
mengabaikan kestabilan komposisi komponen ekosistem dan keamanan
lingkungan.
Beberapa bagian dari tanaman manggis dan mangga, mengandung
senyawa aktif xanton yang berdampak pada tingkat fertilitas tikus dan mencit
apabila diberikan pada hewan betina maupun jantan. Pemberian senyawa murni
xanton maupun ekstraksi bagian tanaman yang mengandung senyawa ini pada
hewan betina bunting menyebabkan penurunan jumlah embrio yang terimplantasi
di dalam uterus, dan peningkatan kematian pascaimplantasi, terutama bagi embrio
yang baru saja terimplantasi. Pada hewan jantan, hadirnya senyawa ini dalam
tubuh berpotensi mengganggu proses spermatogenesis. Muaranya adalah
penurunan jumlah sperma yang berpengaruh pada keberhasilan proses fertilisasi.
Selain xanton, senyawa aktif biologi lain yang dapat digunakan sebagai
bahan antifertilitas diantaranya golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid dan
triterpenoid. Oleh karenanya, buah lada yang mengandung flavonoid dan piperin
(alkaloid), serta buah adas yang mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, dan
triterfenoid, dapat pula dijadikan alternatif untuk menurunkan tingkat fertilitas
hama tikus, sekaligus mencegah terjadinya serangan hama.
Pekerjaan berikutnya yang sangat menantang adalah bagaimana senyawasenyawa antifertilitas tersebut dapat hadir secara alamiah di dalam tubuh hama
tikus. Tentu saja jalan panjang penelitian masih membentang untuk dapat
menjawabnya.

47

48

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1980. Bercocok Tanam Lada. Yogyakarta: Kanisius.


Adnan. 1992. Pengaruh mangostin terhadap fungsi reproduksi mencit (Mus
musculus) Swiss Webster betina. Tesis Pascasarjana Biologi ITB. p. 5-13
& 54-62.
Akbar. B. 1998. Pengaruh Mangostin Terhadap Fertilitas Tikus Wistar Betina.
Bandung: Tesis Magister, Program Pasca Sarjana ITB.
Amin, P. Tanaman-Obat. Diambil pada tanggal 14 Januari 2008. Jam 11.55 AM.
http// iptek, apjii. Or. Id/artikel/ttg-Tanaman Obat/ Depkes/Buku I? 1229.pdf.
Anonim, 2000. Petunjuk Teknik Budaya Tanaman lada (Piper nigrum linn).
Bogor: Direktorat Perkebunan/ Balai Penelitian Rempah dan Obat
(BALITRO).
Ashida. S. et al. 1994. Antioxidative component, xanthon derivates in Swertia
japonica Makino. Chem. Abstr. 21 : 716.
Astuti. Y.S. 2008. Pengaruh frekuensi pencekokan ekstrak daun mangga
(Mangifera indica L.) pada tahap praimplantasi terhadap fertilitas tikus
putih betina (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley. Skripsi Sarjana
Pendidikan Biologi, UHAMKA.
Astrini, N. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstak Buah Lada Hitam (Piper nigrum L)
Pada Tahap Pascaimplantasi Awal Terhadap Fertilitas Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Galur Sparague Dawley Betina Dewasa. Skripsi
Sarjana Pendidikan Biologi, UHAMKA.
Ayunita. E. 2008. Pengaruh ekstrak daun mangga (Mangifera indica L.) pada
tahap pascaimplantasi awal terhadap fertilitas tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Spargue Dawley. Skripsi Sarjana Pendidikan Biologi,
UHAMKA.
Bognara, J.T. & Donnel, T.C. 1988. Endokrinologi Umum. Yogyakarta:
Airlangga University Press.
Beretz, A., et al. 1979. Inhibition of 3',5'-AMP phosphodiesterase by flavonoids
and xanthones. J. Planta Med. 36 : 193-195.
Chattopadhyay, S. et al. 1984. Effect of mangiferin a naturally occuring
glucosylxanthones on reproductive function of rats. J. Pharmaceut. Sci.
41: 279-282.
Dalimartha, 2000. Atlas tumbuhan obat Indonesia (2). Jakarta : Trubus.
Dhalimi, A. 1996. Monograf Tanaman Lada. Bogor: Balai Penelitian Penelitian
Tanaman Rempah Dan Obat (BALITRO).
Farnsworth. N.R., et al. 1975. Potential value of plants as sources of new
antifertility agents I. J. Pharmaceut. Sci. 64 : 535-588.
Fauzi, 2008. Tanaman obat. Jakarta: Edsa Mahkota.
Ganong, W.F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Ganong, W.F. 2000. Review of medical phisiology. 15thed. Lange Maruzen. p.
243.
Gardenia, L. 1997. Pengaruh xanton terhadap kehamilanz awal tikus (Rattus

48

49

norvegicus) galur Wistar. Skripsi Sarjana Biologi ITB. p. 10-11 & 27.
Hafez ESE. (1970). Female reproductive organs.Dalam ESE Hafez. Eds.
Reproduction and breeding techniques for laboratory animal.
Philadelphia: Lea & Febiger
Hidayati, T. (2004). Pengaruh pencekokan jus terong (Solanum melongena L.)
terhadap berat uterus mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster. Skripsi
Sarjana Pendidikan Biologi, UHAMKA. p. 17.
Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan teknologi reproduksi hewan betina domestic.
Bandung: ITB. P. 23,
Johnson, M. & Everitt, B. 1988. Essential reproduction. Blackwell Sci. Pub.
Oxford. London, Edinburgh, Boston, Palo Alto & Melbourne. p. 9497:151-152 & 201-264.
Kartasapoetra,1996. Budidaya Tanaman Obat. Jakarta: Rineka Cipta.
Ketut, D.I. 1991. Efek antifertilitas daun manggis (Garcinia mangostana L.) pada
Mus musculus betina. Laporan Penelitian, Universitas Airlangga.,
Surabaya.
Kusumo, S. 1975. Mangga (Mangifera Indica L.). Jakarta: Lembaga Penelitian
Hortikultura.
Males, D. K. 1992. Efek antifertilitas daun manggis (Garcinia mangostana L.)
pada Mus musculus betina. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
Surabaya. p. 18
Mc Donald LE. 1989. Veterinary endocrinology and reproduction. (Ed. 4). Great
Britain London. Bailliere Tindall. p. 322
Montgomery, R., et al. 1993. Biokimia : Suatu pendekatan berorientasi kasus
(Alih bahasa Ismadi. M. & Ismadi. S.D.). Edisi keempat. Gadjah Mada
Univ. Press. Yogyakarta. p. 849-1148.
Muhlisah & Hening, 2002. Sayuran dan Bumbu Dapur berkhasiat Obat. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Nalbandov. AN. 1990. Fisiologi Reproduksi pada mamalia dan unggas (Alih
bahasa Keman, S.). Penerbit UI. Jakarta. p. 64-90: 189-203 & 317-330.
Nalbandov, AV. (1999). Fisiologi reproduksi pada mamalia dan unggas
(Reproductive, psikology of mammals and birds).(Terjemahan
Sumaryono.K). Jakarta: UI Press. p. 35, 36, 140, 146, 149, 152, 182
Oka, I. N. & Bahagiawati, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu: padi.Buku 3.
Badan Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. p. 10-12.
Pattalung, P.. et al. 1994. Xanthon of Garcinia cowa. Chem. Abstr. 21:713
Pearce, E.C. (1997). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. P. 264
Peristiani, D. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak daun mangga (Mangifera indica
L.) pada tahap praimplantasi terhadap fertilitas tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley betina dewasa. Skripsi Sarjana
Pendidikan Biologi, UHAMKA.
Pracaya, 1995. Bertanam Mangga. Jakarta: Penebar Swadaya
Rismunandar, 1987. Lada Budidaya Dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Rukmana, R. 1995. Budidaya Manggis. Yogyakarta: Kanisius

50

Saroni, 2001 Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta : Puslitbang Farmasi Badan


Litbangkes Depkes. p. 58-59
Sastroamidjodjo, S. 1994. Obat asli Indonesia. Jakarta : Trubus.
Smith, J.B. & Mangkoewijojo. 1988. Pembiakan dan penggunaan hewan
percobaan di daerah tropis (Alih bahasa Mangkoewidjojo). Penerbit Ul.
Jakarta, p.10-30.
Soepardi. 1965. Apotek Hijau. Surakarta: Puna Warna
Soedibyo, M.B.R.A. 1998. Alam Sumber Kesehatan dan Kegunaannya. Balai
Pustaka : Jakarta.
Suhandono, S. 1987. Pengujian racun tikus epibolicR pada tikus sawah (Rattus
argentiventer). Laporan Kerja Praktek ITB. p. 1-2.
Sukra, Y. (2000). Wawawsan ilmu pengetahuan embrio: benih masa depan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional.
Sultanbawa, M.U. 1979. Xanthonoids of tropical plants. J. Tetrahedron.36 :14651506.
Supyani, T. 1992. Pengaruh ekstrak buncis terhadap fertilitas mencit galur Swiss
Webster. Tesis Sarjana Biologi ITB. p. 23-25.
Syahrum et al. (1994). Reproduksi dan embriologi dari satu sel menjadi
organisme. Jakarta: Balai penerbit FK UI. p.46, 49
Syamsurizal. (1997). Pengaruh pencekokan ekstrak Tristania Sumatrana miq
(kayu kasai) terhadap fertilitas mencit betina (Mus musculus) galur Swiss
Webster. Tesis Magister Program Studi Ilmu Biomedik, UI. Jakarta. p.
27,28,
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi tumbuhan (spermatophyta). Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Toelihare, M.R. (1981). Fisiologi reproduksi pada ternak. Bandung: Penerbit
Angkasa. p. 145, 153,154,
Virgiana, R. 2007. Pengaruh Pemberian Larutan serbuk daun manggis (Gracia
mangostana L.) Terhadap Berat Testis Mencit (Mus musculus) Galur
DDY. Skripsi Sarjana Pendidikan Biologi, UHAMKA.
Widhyarti, A. (1999). Pengaruh frekuensi suara terhadap siklus estrus mencit
(Mus musculus) galur Swiss Webster. Skripsi S1 Pendidikan Biologi,
UHAMKA. Jakarta. p. 10., 11,
Wikipedia Indonesia. Mangga. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Diambil
pada tanggal 30 Juni 2008, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mangga.
wikipediaindonesia,ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Winarno & Sundari, 1997. Informasi tanaman obat untuk kontrasepsi tradisional.
Cermin Dunia Kedokteran. Diambil Pada Tanggal 20 Agustus 2007, dari
http://kalbe.co.id.
Wulangi, K. 1993. Prinsip prinsip fisiologi hewan. Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan Dirjen Dikti. Jakarta. p. 374-375.
Zusuki. O. et al. 1980. Inhibition of type A and type B monoamine oxidase by
naturally occuring xanthones. J. Planta Med. 39 : 19-23.

Anda mungkin juga menyukai