Anda di halaman 1dari 20

Di Laut Kita Jaya?

Jalesveva Jayamahe. Semboyan Angkatan Laut Republik Indonesia ini sungguh


menggetarkan: Di Laut Kita Jaya!
Lupakan sejenak olok-olok ataupun cerita-cerita konyol terkait berbagai kasus
ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Lupakan dulu bahwa 80 persen dari
sekitar 7.000 kapal perikanan di laut Nusantara adalah milik asing meski dipasangi
bendera Indonesia. Lupakan pula sejenak bahwa hanya 5 persen dari ekspor berbagai
komoditas kita yang dilayani kapal domestik, sedangkan 95 persen lainnya oleh kapalkapal asing.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri
Ir Djoeanda pada 13 Desember 1957 dan diterima PBB pada 1982, bukankah sudah
sepantasnya bila mimpi sebagai penguasa laut itu bisa diwujudkan? Kalaupun hari ini
belum jadi kenyataan, paling tidak impian itu bisa menjadi semacam doa.
Masih dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan RI seperti sekarang, ketika
nilai-nilai patriotisme muncul dari lorong dan sudut-sudut jalan, mendengar semboyan
bahwa Di Laut Kita Jaya seharusnya menggugah kembali semangat bahari pada anakanak bangsa ini. Ungkapan nenek moyangku orang pelaut, seperti tertuang dalam salah
satu bait lagu yang sangat terkenal itu, juga seharusnya tidak sekadar kata-kata kosong
tanpa disertai kesadaran untuk mengelola laut Nusantara sebagai sumber hidup dan
penghidupan bagi anak bangsa ini.
Namun, yang kerap dilupakan adalah kesadaran bahwa kejayaan tidak datang begitu saja
hanya lantaran kita ditakdirkan sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut begitu luas.
Kejayaan itu mesti dibangun dan direbut. Bukan cuma slogan, apalagi sekadar semboyan
yang dimitoskan.
Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini mensyukuri karunia Tuhan itu dengan memberi
perhatian lebih pada matra kelautan yang dimilikinya? Sudahkah laut ditempatkan
sebagai yang utama, sesuatu yang penting, sehingga orientasi kita pun sebagai bangsa
lebih diarahkan untuk menatap laut daripada daratan?
Tanpa harus membolak-balik statistik keuangan negara mengenai seberapa besar alokasi
dana APBN untuk pembangunan kelautan, atau mengukur komitmen negara lewat aturan
perundang- undangan yang diciptakannya sebagai pijakan bagi kebijakan kelautan,
dengan gamblang pertanyaan-pertanyaan tadi sudah menemukan jawabannya sendiri.
Bahwa, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, laut masih diabaikan. Perhatian pemerintah
masih dan bahkan cenderung akan terus tersedot ke daratan. Sejauh ini laut baru dilihat
sebatas potensi tidur.
Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Padahal, persoalan besar sebuah negeri dengan panjang pantai
1

terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) bernama Negara Kesatuan Republik


Indonesia ini adalah bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan
potensinya seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat, kata Susanto Zuhdi, guru
besar sejarah (maritim) dari Universitas Indonesia.
Ditinggalkan
Tiap tanggal 21 Agustus, kalender peringatan hari-hari bersejarah bagi bangsa ini
mencatatnya sebagai Hari Maritim. Akan tetapi, seberapa banyak warga-bangsa yang
tahu dan peduli bahwa hari itu menandai awal penguasaan laut Nusantara oleh Indonesia
yang direbut dari tangan Jepang?
Pada peringatan Hari Maritim 2008, beberapa waktu lalu, hampir tak ada berita di media
massacetak maupun elektronik nasional yang menyuarakannya. Perhatian lebih
terfokus pada kisruh dunia perpolitikan, kasus aliran dana Bank Indonesia yang kian tak
menentu ujungnya, melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, hingga gosipgosip di sekitar kehidupan para selebritas.
Peringatan Hari Maritim pun berlalu tanpa catatan berarti. Laut baru ditoleh dan
mendapat tempat dalam pemberitaan ketika ombak mengganas dan kisah tragis
tenggelamnya kapal yang menelan banyak korban terjadi. Jangankan peringatan Hari
Maritim, kisah heroik para penjelajah pulau-pulau terluar yang dimotori oleh Wanadri
pun seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk keseharian bangsa bahari yang masih
berorientasi ke daratan ini.
Ironis? Memang! Tak berlebihan bila mantan Panglima Armada Barat TNI AL Djoko
Sumaryono sampai pada kesimpulan, harus jujur kita akui bahwa budaya maritim
yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita tinggalkan.
Akibatnya bukan saja laut Nusantara kehilangan kendali sepenuhnya oleh sang pemilik,
kedaulatan bangsa pun kian terancam. Meski satu-dua kasus penangkapan kapal-kapal
ikan asing yang beroperasi di perairan Nusantara sempat mencuat, sesungguhnya jauh
lebih banyak yang bebas berkeliaran dalam aksi pencurian ikan di wilayah kedaulatan
Indonesia.
Belum lagi berbagai kasus penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah oleh
kapal asing yang melintas tanpa izin. Semua itu mengindikasikan ketidakmampuan kita
menjaga laut Nusantara. Berbagai potensi kerawanan itu secara tidak langsung ikut
meruntuhkan wibawa Indonesia sebagai penguasa laut Nusantara di mata internasional.
Dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, melingkupi pantai
sepanjang 81.000 kilometer atau setara dua kali panjang khatulistiwa, bisa dipahami jika
potensi kerawanan selalu muncul. Kondisi ini tentunya menuntut perhatian lebih,
terutama bila mimpi untuk menjadi penguasa laut Nusantara benar-benar ingin
diwujudkan.

Masalahnya, dihadapkan pada kenyataan ini, TNI AL sebagai garda terdepan


pengamanan laut Nusantara yang begitu luas hanya memiliki kurang dari 150 kapal
perang. Itu pun hanya sepertiganya yang berpatroli secara bergantian, sepertiga lagi
dalam posisi siaga, dan sisanya dalam perawatan.
Bahkan, menurut catatan peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Jaleswari Pramodhawardani
(Jalesveva Jayamahe, Cuma Tinggal Mitos?, 2007), saat ini tinggal 40 persen alat
utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI AL yang bisa dikatakan layak pakai. Dari
209 unit KAL (kapal patroli berukuran lebih kecil dibandingkan kapal perang), misalnya,
yang dalam kondisi siap operasi tinggal 76 unit. Adapun dari 435 unit kendaraan tempur
Marinir, hanya 157 unit dalam kondisi siap.
Keterbatasan itu masih dihadapkan pada kondisi di mana peralatan pertahanan yang
dimiliki TNI AL tersebut rata-rata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
teknologi. Sekadar contoh, Jaleswari menunjuk kondisi 79 buah KRI, kapal patroli, dan
kapal pendukung yang layak pakai ternyata usia pakainya 20-40 tahun.
Jaleswari bahkan menambahkan, 10 kapal pendukung (usia pakainya) telah lebih dari 40
tahun. Saat ini Marinir (malah) masih mempergunakan kendaraan tempur produksi tahun
1960-an, yang secara teknis telah sangat menurun efek penggetar dan pemukulnya.
Dari paparan singkat tersebut, jelas bahwa kekuatan TNI AL sebagai penjaga laut
Nusantara sangat tidak sebanding dengan wilayah laut yang harus mereka awasi. Itu baru
satu hal. Sudah bukan rahasia lagi bila kekayaan laut Nusantara lebih banyak dinikmati
oleh pihak asing.
Di sektor perikanan, misalnya, sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dari
sekitar 6,7 juta ton ikan hasil tangkapan dari wilayah laut Indonesia per tahun, sebagian
besar dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Di luar hasil tangkapan yang dicuri nelayannelayan asing, 80 persen lebih dari sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di
perairan Nusantara milik pemodal dari luar yang diberi bendera Indonesia.
Kehadiran nelayan-nelayan asing bukan saja bentuk pelanggaran kedaulatan bangsa, tapi
juga kian memarjinalkan posisi nelayan-nelayan domestik. Para nelayan kita terjepit.
Selain harus bersaing dengan nelayan asing yang ditopang permodalan kuat, nelayannelayan lokal juga harus menyiasati berbagai kesulitan akibat ketidakberpihakan
pemerintah atas nasib mereka, termasuk di dalamnya dampak dari kenaikan harga bahan
bakar minyak yang terus menggila sejak beberapa tahun terakhir. Kearifan lokal yang
mereka warisi juga ikut terdesak oleh penggunaan teknologi maju di bidang perikanan.
Bagaimana dengan transportasi laut untuk melayani aktivitas ekspor-impor? Ini jauh
lebih mengerikan. Berbagai sumber menyebutkan, 95 persen arus bongkar-muat
komoditas ekspor-impor dikuasai kapal-kapal asing. Bahkan, lebih dari 50 persen barang

dagangan yang diantarpulaukan pun menggunakan jasa armada pelayaran asing


berbendera Merah Putih.
Apa boleh buat! Inilah sebagian dari ironi yang melingkupi sebuah negeri yang telah
mengklaim diri sebagai negara kepulauan alias negara bahari. Keinginan untuk menjadi
penguasa laut Nusantara yang sesungguhnya, sebuah negara maritim yang berorientasi
kelautan, hingga sejauh ini tampaknya masih sebatas harapan.
Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan semacam reorientasi nilai. Paradigma
negara konsentris yang bertumpu pada daratan mesti digeserpaling tidak dilakukan
bertahapke pengembangan budaya maritim.
Jika tidak, semboyan Jalesveva Jayamahe-nya TNI AL bisa jadi hanya berhenti sebatas
slogan sebagaimana kekhawatiran Jaleswari Pramodhawardani. Cuma tinggal mitos!
(wad/ken)
ARUNG SEJARAH BAHARI

Menjadi Bangsa yang Ingkar


Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:18 WIB
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31 Mei
1945, Muhammad Yamin mengingatkan bahwa calon negara yang tengah mereka
persiapkanyang sudah disepakati bernama Indonesiaterutama berupa daerah lautan.
Oleh karena itu, kata Yamin, Membicarakan daerah negara Indonesia dengan
menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan sesungguhnya berlawanan dengan
keadaan sebenarnya.
Sejak awal pendirian republik ini, Yamin sudah menyadari kenyataan bahwa laut
Nusantara adalah sumber kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Maka, yang pertamatama perlu mendapat perhatian seharusnya adalah bagaimana memanfaatkan laut dengan
segala potensinya itu untuk kesejahteraan rakyat serta keadilan dan perdamaian.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, laut ibarat mata-telinga sekaligus sumber
pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Kesadaran ini pula yang ingin diteguhkan
Yamin. Dengan konsep Tanah Air-nya, ia mengawali pemahaman baru tentang ruang
kehidupan bagi bangsa yang baru bertumbuh: Indonesia!
Laut diyakini akan jadi tumpuan masa depan umat manusia, lebih-lebih bagi Indonesia
yang sebagian besar wilayahnya berupa laut. Di dalamnya begitu banyak sumber daya
alam yang belum tergarap dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia.
Sumber daya perikanan melimpah. Begitu banyak jenis yang tersedia di laut, kita bisa
langsung memanen tanpa terlebih dahulu harus menanam benihnya. Hanya perlu
modal serta teknologi penangkapan dan pengelolaannya.

Belum lagi sumber minyak dan gas. Dari sekitar 60 cekungan yang ada saat ini, 40
cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan di kawasan pesisir. Jumlah cekungan
yang menyimpan kandungan minyak dan gas bumi tersebut boleh jadi baru sebagian kecil
dari potensi sebenarnya yang masih tersimpan di dasar laut Nusantara.
Jangan lupa, laut berikut selat-selat yang ada berfungsi bagi pelayaran untuk
mengangkut barang dan orang dalam skala besar. Dengan kata lain, selain untuk
kesejahteraan, laut juga berperan untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian, kata
Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas Indonesia.
Negara kepulauan
Sangat boleh jadi, terkandung harapan yang besar semacam itu pula ketika pemerintah
melalui Kabinet Djoeandapada 13 Desember 1957 mendeklarasikan Indonesia sebagai
negara kepulauan (archipilagic state).
Lewat deklarasi yang bersifat unilateral tersebut, Indonesia menyatakan, demi keamanan
dan kesatuan, laut Indonesia adalah yang berada di sekitar, di antara, dan dalam
kepulauan negara RI. Diklaim juga bahwa batas laut teritorial Indonesia diperlebar dari
semula hanya 3 mil (4,82 km) menjadi 12 mil (19,3 km) diukur dari garis pantai terluar
pada saat air laut surut.
Terlepas dari kenyataan baru 35 tahun kemudian klaim Indonesia ini diterima PBB dalam
Konvensi Hukum Laut tahun 1982, semua itu memperlihatkan adanya upaya untuk
meneguhkan kembali kesadaran sebagai bangsa dan negara maritim. Bukankah sejatinya
konsepsi dari sebuah negara kepulauan adalah menempatkan laut sebagai yang utama?
Konsepsi ini sejalan dengan pemahaman tentang daerah inti (heartland) dalam suatu
negara kepulauan, sebagaimana diusung Adrian B Lapian. Nakhoda pertama sejarawan
maritim Asia Tenggara ini mengingatkan, bagi sebuah negara kepulauan seperti
Indonesia, apa yang disebut sebagai daerah inti bukanlah suatu pulau atau daratan.
Wilayah maritimlah yang memegang peran sentral, ujarnya.
Peran itu bahkan sudah diakui kebenarannya dalam sejarah peradaban bangsa ini sejak
tahun-tahun awal abad pertama Masehi. Wilayah Indonesia masa lampau, dengan laut,
selat, dan teluk yang menaunginya, menjadi jalur utama perniagaan yang
menghubungkan kawasan timur (daratan Tiongkok) dan barat (India, Persia, Eropa).
Peran ini berlangsung selama berabad-abad, dengan tuan dan nakhoda yang datang
silih berganti. Sekali masa Portugis mengendalikan perdagangan di kawasan ini. Inggris
pun sempat menikmati penguasaan Selat Melaka dan jalur pelayaran di pantai barat
Sumatera sebelum diambil alih sepenuhnya oleh pedagang-pedagang Belanda.
Begitulah bila perspektif sejarah digunakan untuk melihat peran sentral laut Nusantara,
sekaligus menengok jalinan interaksi sosial-kulturaljuga ekonomi-politik
antarpengguna kawasan ini.

Ironisnya, ketika laut jadi incaran banyak orang, ketika dunia makin percaya bahwa masa
depan umat manusia berada di laut, kita sebagai bangsa yang lebih dari dua pertiga
wilayahnya berupa laut justru masih saja berpaling ke darat. Laut diposisikan sebagai
halaman belakang, sekadar tempat leyeh-leyeh, sembari menikmati senja saat matahari
terbenam.
Deklarasi Djoeanda yang menegasikan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam
kenyataannya tak diikuti kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pada pembangunan
bermatra kelautan. Juga tidak dalam bentuk memperkuat peningkatan kapasitas angkatan
laut yang memadai untuk merealisasikan klaim sebagai negara kepulauan tersebut.
Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran
angkatan darat sebagai kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia yang
berorientasi ke darat daripada ke laut, kata Riwanto Tirtosudarmo dari Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi
di Departemen Pertahanan, akhir Mei lalu.
Sebuah fenomena menarik dari bangsa Indonesia tengah dipertontonkan, yang membuat
sejarawan Ong Hok Ham (alm) sampai geleng-geleng kepala. Ia pun berucap, Apakah
orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari
usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi oleh penguasa yang menguasai lautan
Indonesia?(KEN)
NEGERI BAHARI

Bukan Tanah Kepungan


Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:39 WIB
Oleh Muhammad Yamin
Salah satu keberhasilan pemerintahan kolonial meninggalkan jejak kekuasaan di bekas
negeri jajahannya, Indonesia, adalah sukses mereka membangun ingatan kolektif baru
bahwa anak-anak negeri ini bukanlah bangsa pelaut. Dengan satu dan lain cara, kita
sebagai bangsa diposisikan sebagai manusia daratan, di mana aktivitas pertanian adalah
yang utama. Hingga kini!
Perlahan-lahan kesadaran baru itu pun terus tertanam. Tradisi besar kelautan yang sudah
lekat pada nenek moyang bangsa ini berabad-abad lampau, jauh sebelum bangsa-bangsa
kolonialis sampai ke Nusantara, dalam kenyataannya seperti hilang tak berbekas.
Kini, yang tertinggal dan dibangga-banggakan justru sebagai bangsa agraris sekalipun
faktanya sebagian besar kebutuhan produk pertanian tanaman pangan masih harus
didatangkan dari luar. Bahkan beras sebagai makanan pokok sebagian besar anak- anak
bangsa ini pun harus diimpor. Sementara pada saat bersamaan, hasil kekayaan laut
Indonesia serta jalur perniagaan di laut Nusantara lebih banyak dimanfaatkan oleh asing.

Ironis? Memang! Akan tetapi, inilah risiko dari pilihan sebuah kebijakan yang
meminjam ungkapan Muhammad Yamin saat menyampaikan pandangan dalam sidang
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31 Mei 1945
berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Indonesia yang mestinya berbasis maritim,
kelautan, dalam praktiknya justru kian dalam terperosok mengikuti skenario kolonialis:
makin terkonstruksi menjadi negara yang lebih berorientasi ke darat.
Di tengah arus besar tarikan ke darat tersebut, menarik apa yang dilakukan Direktorat
Geografi Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata. Melalui kegiatan yang mereka namakan Arung Sejarah Bahari,
melibatkan mahasiswa terpilih dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, kita sebagai
bangsa seolah diingatkan kembali pentingnya memerhatikan matra laut.
Laut bukan saja dilihat sebagai faktor integratif bangsa, di mana pelabuhan-pelabuhan
sebagai pusat perniagaan di masa silam menjadi semacam simpul-simpul perekat
keindonesiaan, tapi yang tak kalah penting bahwa laut adalah simbol kedaulatan bangsa
sekaligus harus didayagunakan sebagai sumber penghidupan bagi anak-anak negeri ini.
Semangat dan jiwa bahari mesti ditumbuhkan di kalangan generasi muda, kata Endjat
Djaenuderadjat, Direktur Geografi Sejarah, terkait kegiatan Arung Sejarah Bahari
IV/2009, 20-26 Juli lalu di Provinsi Kepulauan Riau.
Lintasan sejarah
Jika sebelum kedatangan para kolonialis jalur perniagaan di kawasan ini dikuasai oleh
kapal-kapal Nusantara, tapi sejak paruh pertama abad ke-17 peran itu mulai diambil alih
oleh Belanda dan Portugis. Bahkan, menjelang abad ke-19, sebagaimana hasil studi
Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004), peran kesejarahan yang
gagal dipertahankan oleh raja-raja, para pelaut sekaligus saudagar Nusantaradia
menyebutnya orang kaya Asia Tenggara yang tinggal di luar lingkungan istanaikut
berperan melahirkan kemiskinan di kawasan ini.
Apa yang terjadi pada abad ke-17, orang-orang Asia Tenggara (baca: Nusantara) telah
disingkirkan dari titik-titik puncak perekonomian, di mana mereka mengendalikan
perdagangan, mengatur sumber daya kapal-kapal barang, dan memimpin pelabuhanpelabuhan niaga di pesisir yang sibuk, tulis Anthony Reid, pengkaji sejarah (maritim)
Indonesia dari Australian National University.
Adrian B Lapian, nakhoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara, menyimpulkan
bahwa pada abad ke-19 tradisi maritim Nusantara sudah berada dalam masa magrib alias
memasuki masa senja. Simpul-simpul perniagaan yang semula merupakan pusat
aktivitas perekonomian tentunya juga berimplikasi pada tatanan sosial-politik semasa
sudah menjadi wilayah pinggiran yang tak lagi memiliki arti penting.
Pasang surut sebuah kawasan dalam negara kepulauan seperti Indonesia, kata Lapian,
memang sangat bergantung pada berbagai dinamika hubungan antara pusat-pusat

perdagangan yang membentuk jaringan pelayaran. Begitu pun dinamika perdagangan dan
perkembangan kota-kota pelabuhan, diakui atau tidak, sangat ditentukan oleh perubahan
peta geopolitik negara-negara yang memiliki armada laut yang besar dan kuat.
Dalam konteks inilah peran negara-negara kolonialis ikut meredupkan jiwa dan semangat
bahari bangsa Indonesia. Setelah berhasil menguasai sebagian besar kota pelabuhan
utama di pesisir Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, serta menghalau pelaut dan
pedagang anak- anak negeri ini dari panggung perniagaan di laut Nusantara, praktis
hanya kapal-kapal merekalah yang lalu lalangdalam arti berniaga skala besardi
kawasan ini.
Sejak itu pula sejarah mencatat, tradisi besar kelautan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia runtuh. Meski hingga akhir abad ke-17 pembuatan kapal-kapal di Banten masih
berjalan hingga wilayah ini ditaklukkan Belanda pada 1684, di belahan lain Pulau Jawa
tidak lagi tampak aktivitas yang berarti dari wujud tradisi besar tersebut.
Bahkan, sebagaimana dikutip Anthony Reid, Daghregister Batavia melaporkan pada 1677
bahwa orang-orang Mataram bagian timur Jawa saat ini, di samping tidak (lagi) tahumenahu soal laut, juga tidak memiliki lagi kapal besar sendiri, bahkan untuk keperluan
yang dianggap penting.
Kini pun laut Nusantara sebagai kawasan perniagaan masih dikuasai asing. Hampir 95
persen arus bongkar muat berbagai komoditas ekspor impor dikuasai kapal-kapal niaga
asing. Bahkan lebih dari 50 persen barang yang diantarpulaukan pun menggunakan jasa
pelayaran asing yang dipasangi Merah Putih. Sementara lebih 80 persen dari sekitar
7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di perairan Indonesia berstatus milik pemodal
asing.
Jika tradisi besar kelautan sudah hilang, sebagai tradisi kecil punyang masih melekat
pada masyarakat yang tinggal di kawasan pesisirkondisinya sangat menyedihkan.
Datanglah ke kampung-kampung nelayan atau pelabuhan rakyat yang tersebar di muara
sungai, pesisir pantai, dan pulau-pulau kecil. Kemiskinan dan keterbelakangan menjadi
pemandangan umum.
Penyebabnya tak lain karena kurangnya perhatian negara terhadap upaya pemberdayaan
masyarakat pesisir. Matra laut dikesampingkan, dan laut Nusantara pun jadi jarahan
nelayan-nelayan asing, baik yang beroperasi secara legal maupun ilegal.
Bagaimana nak sejahtera bila untuk dapat modal usaha dari pemerintah saja bukan main
susahnya. Masih untung ada tauke di sini yang kasih pinjaman modal beli peralatan
menangkap ikan, sewa kapal berikut bahan bakarnya, serta untuk kebutuhan hidup
selama melaut. Tapi hasilnya Abang tahu sendirilah. Hanya cukup untuk menutup utang
sebelum akhirnya ngutang lagi, kata Atan, seorang nelayan dari Pulau Bintan.
Kembalilah ke akar

Meski lewat Deklarasi Djoeanda (1957) kita sebagai bangsa sudah sepakat menyatakan
diri sebagai negara kepulauan, di mana dalam konsep negara kepulauan lautlah yang
utama, pada kenyataannya laut masih diposisikan sebagai halaman belakang.
Kebanggaan sebagai bangsa bahari, yang terkadang muncul dalam bentuk semacam
letupan- letupan kecil, hanya sebatas kata-kata tanpa disertai keberpihakan yang jelas
oleh pemegang kekuasaan.
Usaha menggelorakan semangat kelautan itu bukan tidak ada. Hingga tahun 1970-an,
misalnya, anak-anak di sekolah masih kerap disuguhi kisah-kisah kepahlawanan pelautpelaut Nusantara. Cerita rakyat dan mitos- mitos yang berkaitan dengan kehidupan di laut
yang penuh misteri, termasuk kisah si Malin Kundang yang pergi berlayar untuk lepas
dari kemiskinan; terlepas dari sikap durhakanya di kemudian hari, masih dikisahkan di
saat-saat senggang.
Lewat lagu anak-anak yang cukup populer ketika itu, Nenek Moyangku Orang Pelaut,
anak- anak bagai diajak menjelajah selasar-selasar laut dan selat dengan penuh
keberanian. Juga lagu Rayuan Pulau Kelapa yang tak kalah populeryang
sesungguhnya lebih menegaskan status bangsa ini sebagai negara kepulauan yang
dikelilingi lautjuga kerap terdengar dan dinyanyikan dengan penuh semangat.
Namun, seiring dengan perkembangan politik yang ditandai kian kuatnya orientasi
pembangunan ke daratan, lagu-lagu penyemangat itu berangsur hilang dari peredaran.
Anak-anak negeri ini mulai terbiasa pada lagu-lagu yang dibawakan penyanyi anak- anak
macam Chicha Koeswoyo, Yoan Tanamal, dan Adi Bing Slametsekadar menyebut
beberapa namayang tak banyak bersinggungan dengan urusan kebangsaan. Apalagi
setelahnya, semisal lagu Diobok-obok-nya Joshua yang tak jelas juntrungnya itu.
Sejarah sebagai peristiwa memang tak bisa diulang, tetapi roh dan semangat yang ada di
belakangnya selalu bisa didaur ulang atau dipupuk untuk disemai kembali. Tentu saja
semua itu amat bergantung pada niatan kita sebagai bangsa untuk menempatkan
posisinya di masa sekarang.
Jika kita masih setia pada ikrar sebagai negara kepulauan, archipelagic stateyang dalam
pengertian dasarnya adalah laut utama dan bukan pulau yang berada di lautsudah
sewajarnya bila kita kembali ke akar sejarah sebagai bangsa bahari. Bukan saja fakta
memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut, berbagai kajian
pun menunjukkan bahwa masa depan umat manusia ada di laut.
Muhammad Yamin-lah yang sedari awal mengingatkan bahwa tanah air Indonesia
terutama adalah lautan. Pada masa perang, daerah ini hanya meliputi apa yang ia sebut
sebagai tanah kepungan (enclaves). Akan tetapi, setelah masa damai, status sebagai
tanah kepungan terhadap daerah yang kemudian menjadi wilayah kedaulatan negara
Republik Indonesia itu harus dihilangkan.

Karena, kata Yamin, beberapa paham pun telah mengemukakan bahwa tumpah darah
Indonesia yang akan menjadi daerah Republik Indonesia adalah bulat ke luar dan bulat
juga ke dalam. Jadi, wilayah Indonesia tanpa enclaves, katanya.
Masalahnya, akankah bangsa ini kembali sebagai bangsa bahari dengan menempatkan
laut sebagai yang utama? Ataukah tetap dengan model kekuasaan konsentris yang
menempatkan darat sebagai pusat dari segalanya sekaligus meneruskan kebanggaan semu
sebagai negara agraris yang terus mengimpor bahan pangan? (KEN)
PELABUHAN LAMA

Merajut Simpul-simpul Keindonesiaan


Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:35 WIB
Oleh SUSANTO ZUHDI
Tahun ini sudah keempat kali Arung Sejarah Bahari dilaksanakan oleh Direktorat
Geografi Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kegiatan yang diadakan pada
21-26 Juli lalu di laut Kepulauan Riau, diikuti sekitar 70 mahasiswa berbagai
jurusan/program studi dari universitas di seluruh Indonesia.
Tema utama Arung Sejarah Bahari (Ajari) adalah dari pelabuhan ke pelabuhan merajut
simpul-simpul keindonesiaan. Bertujuan untuk menumbuhkembangkan semangat dan
memperkuat orientasi generasi muda, khususnya mahasiswa, pada matra laut.
Pentingnya berfokus pada pelabuhan dalam kegiatan Ajari, pertama, karena posisinya
merupakan simpul multietnik dengan dinamika kehidupannya yang kompleks. Kedua,
posisinya yang strategis untuk memahami konsep Tanah-Air.
Orientasi ini penting bagi pembentukan pola pikir untuk membangun keindonesiaan.
Suatu ruang kehidupan yang diciptakan dari keragaman masyarakat etnik dan keunikan
bahari sebagai faktor integratif, yang merupakan tempat berbagi dan mewujudkan
kesejahteraan bersama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bahariistilah lain dari lautmemiliki
tiga arti: dahulu kala, elok sekali, dan tentang laut. Kalau ketiganya dirangkai
menjadi satu, akan didapatkan ungkapan suatu kehidupan di laut pada masa lampau
yang elok sekali.
Ungkapan elok sekali sering ditafsir sebagai masa kejayaan. Soalnya adalah mengapa
hanya pada masa lampau? Lalu bagaimana dengan masa kini dan masa depan? Jadi,
tampaknya diperlukan program untuk memompakan semangat dan orientasi kebaharian
melalui perspektif sejarah kepada generasi muda khususnya para mahasiswasebagai
kelompok strategis yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsanya ke depan.
Membaca sejarah
10

Dengan dasar pemikiran itulah, pada tahun 2006 untuk pertama kali program Ajari
digulirkan. Diikuti sekitar 70 mahasiswa, dengan menggunakan KRI Tanjung Kambani,
para peserta mengarungi Laut Jawa, dari Tanjung Priok, Jakarta, ke Tanjung Perak,
Surabaya.
Laut Jawa memiliki arti penting dan strategis sebagai faktor yang mengintegrasikan
pulau- pulau di Indonesia, termasuk dalam pengertian integrasi ekonomi nasional.
Demikian konstatasi Singgih Trisulistyono dalam paparannya di atas kapal.
Dengan mendasarkan pada pendapat AB Lapian tentang laut inti, sejarawan maritim
dari Universitas Diponegoro itu melihat bahwa Laut Jawa mirip dengan peran Laut
Tengah (The Mediterranean Sea). Sebagaimana dikemukakan Fernand Braudel, Laut
Tengah berperan sebagai wahana bagi proses integrasi daratan Eropa, Asia, dan Afrika ke
dalam sebuah peradaban, khususnya dalam masa Philip II, pada abad ke-16 dan ke-17.
Dengan perspektif ini, Jawa hendak diposisikan sebagai nama laut, yang berperan
strategis, bukan sebagaimana biasanya dilekatkan dan dipahami hanya sebagai nama
pulau atau daratan. Tampaknya, selama ini kita sudah telanjur membenarkan adanya
dikotomi Jawa dan luar Jawa. Pemerintah kolonial Belanda bahkan mempertegas
adanya Java dan uit-Java atau buitengewesten (daerah-daerah di luar Jawa). Sudah tentu
pola pikir ini didasarkan pada cara pandang daratan.
Selama di kapal, para peserta mendiskusikan makalah yang mereka buat sebagai syarat
dan dilombakan. Selain itu, mereka juga mendapat ceramah dan berdiskusi dengan pakar
sejarah maritim. Turun dari kapal, peserta mengunjungi kota-kota pelabuhan: Surabaya,
Gresik, Tuban, dan Lasem, lalu kembali lagi ke Surabaya.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, kapal singgah di Pelabuhan Tanjung Emas,
Semarang. Di sini, peserta mengunjungi berbagai situs yang berkaitan dengan
kemaritiman dan berdiskusi dengan mahasiswa dan dosen dari sejumlah perguruan
setempat.
Ajari II diadakan tahun 2007, bertema Mengarungi Laut, Menyusuri Sungai, Menguak
Peradaban. Kawasan Kalimantan Barat yang dijadikan sasaran Ajari II/2007 dianggap
tepat mewakili konsep perpaduan daratan dan lautan, atau antara daerah belakang
(hinterland) dan daerah depan (foreland).
Dalam kaitan ini, kegiatan Ajari ingin mengeksplorasi suatu peradaban yang didukung
oleh sistem persungaian, yakni Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dengan mengunjungi
situs Kesultanan Pontianak, peserta diajak membayangkan dinamika peradaban masa
lampau yang difasilitasi oleh sistem persungaian, yang mampu menghubungkannya
dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Asia.
Diikuti hampir seratus mahasiswa, Ajari III yang dilaksanakan bulan April 2008
berlangsung di Maluku Utara. Provinsi yang terbentuk tahun 2003 ini memiliki luas laut

11

lima kali dari daratannya. Tema Ajari III/2008 adalah Membangun Kembali Peradaban
Bahari dengan Menjelajahi Pusat Perdagangan Rempah- rempah Nusantara.
Ketika Ajari III dilaksanakan, Provinsi Maluku Utara sedang mengalami kekisruhan
politik akibat kontroversi seputar pemilihan gubernur. Dengan perspektif historis, Ajari
relevan untuk mengingatkan konsep Moluku Kie Raha atau empat gunung di Maluku
yang berdiri saling menopang demi keharmonisan Maluku, yang semestinya terpelihara
hingga kini.
Keempat gunung itu adalah kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Dari
wilayah inilah Dunia Maluku secara keseluruhan kemudian dikenal karena rempahrempahnya.
Bagaimana mengangkat kembali peradaban masa lampau di kawasan ini menjadi topik
utama diskusi? Ketika rempah-rempah tidak lagi menjadi komoditas primadona,
tampaknya perikanan menjadi alternatif menjanjikan. Sayangnya, sektor ini belum
digarap secara optimal, masih dikerjakan secara tradisional.
Ajari IV tahun 2009 bertema Menguak Jalur Pelayaran di Peradaban Melayu: Tajung
Pinang-Lingga-Batam. Kawasan laut ini sangat penting dan strategis bagi pelayaran
sejak milenia pertama. Prof Shaharil Talib, sejarawan terkemuka Malaysia, bahkan
pernah mengatakan bahwa globalisasi pertama dunia telah berlangsung di kawasan ini.
Di kawasan ini pula pernah berjaya suatu kesultanan yang wilayahnya terdiri atas RiauJohor-Lingga-Pahang, dengan pusat pemerintahannya secara bergantian berada di Johor,
Bintan, dan Lingga. Pertanyaannya sekarang, bagaimana tingkat kesejahteraan orang
Melayu di Kepulauan Riau dapat sebanding dengan orang di seberang parit
meminjam istilah budayawan Riau, Al azhar, untuk negeri Malaysia.
Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah ketika melepas peserta Ajari mengarungi
perairan kawasan ini memaparkan masalah yang dihadapi provinsi dengan wilayah
daratan hanya 6 persen, dengan lebih dari seribu pulau itu. Laut adalah jalan raya orang
kepulauan, sama pentingnya dengan jalan raya di darat.
Berbeda dengan transportasi di darat, penyediaan alat transportasi laut jauh lebih mahal.
Jadi, anggaran pembangunan untuk tujuh provinsi yang berkarakter laut di Tanah Air
seharusnya berbeda daripada untuk provinsi daratan. Padahal, dalam penghitungan dana
alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat, kriterianya adalah luas daratan.
Memaknai masa lalu
Melihat kondisi geografis Indonesia seperti ini, berapa kali lagi program Ajari harus
dilaksanakan. Belum lagi kalau prinsip pengertian bahari hendak dipegang, berapa
luasnya laut yang perlu diarungi.

12

Tidak itu saja, karena kebaharian tidak hanya mengenai laut, tetapi juga perairan lainnya,
maka termasuk juga sungai dan danau. Lalu, berapa banyak sungai dan danau yang
menunjukkan peradaban sejarah harus diarungi?
Selat dan teluk harus dipandang juga sebagai sistem laut. Selat berperan sebagai
penghubung pulau atau daratan. Begitu pun teluk, yang memungkinkan berlangsungnya
dinamika masyarakat dan peradaban di pesisirnya. Bagaimana pula dengan laut dan
pulau-pulaunya yang berada di wilayah perbatasan negara?
Apa yang diperoleh dari kegiatan Ajari yang hanya enam hari? Tujuan paling substansial
adalah menumbuhkembangkan semangat kebaharian, yang dapat menggerakkan
kemampuan mahasiswa merumuskan persoalan dan jawaban atas permasalahan bangsa
dalam konteks kelautan dari berbagai disiplin ilmu. Sejak dini mereka perlu diajak
memikirkan bagaimana cara mewujudkan kesejahteraan dan integrasi bangsa dengan
pendekatan kelautan.
Ajari tentu saja harus mengunjungi pelabuhan, sesuai dengan tema utamanya:
menjadikan pelabuhan sebagai simpul perekat keindonesiaan. Sejauh kapal berlayar, ada
waktunya berlabuh juga. Sebab, berapa pun lamanya di lautan, sesuai dengan pesan
nenek moyang, kita diingatkan jangan lupa daratan.
Ungkapan itu kiranya bukan hanya dalam arti sesungguhnya. Ini metafora yang
menunjukkan kearifan bangsa bahari. Ketika orang sudah mabuk dengan kekuasaan
dan keserakahan, pesan nenek moyang itu tetap berlaku: jangan lupa daratan.
SEMANGAT BAHARI

Saatnya Berpaling (Lagi) ke Laut


Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:37 WIB
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Kejayaan nenek moyang bangsa ini sebagai pelaut ulung bukanlah cerita asing di
kalangan anak-anak muda. Akan tetapi, sepertinya bangsa ini menganggap kejayaan masa
lalu itu berhenti hanya sebagai sejarah. Generasi muda sekarang pun berpaling makin
jauh sebagai cucu dari para pelaut mumpuni yang pernah disegani bangsa-bangsa di
dunia.
Kesadaran wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahnya
berupa laut, begitu jauh dari kalangan anak-anak muda. Sebut saja mahasiswa. Kenyataan
itu tidaklah mengherankan karena bangsa ini memang tidak jua berpaling pada kekuatan
sebagai negara maritim.
Saat bicara soal lautan Indonesia yang luas, yang ada di benak anak-anak muda baru
sebatas kekaguman betapa sebenarnya Indonesia ini luar biasa. Angan-angan pun
melambung, membayangkan betapa Indonesia bisa jadi negara makmur jika mampu
13

memanfaatkan sumber daya alam di laut yang belum banyak dilirik dalam
pembangunan bangsa.
Pengenalan dan pemahaman geografis Indonesia, yang mestinya juga tidak mengabaikan
laut, belum tumbuh dengan baik. Dalam realitas kehidupan masyarakat, justru terlihat
nyata betapa timpangnya pembangunan dan kemajuan antara masyarakat yang hidup di
sekitar laut dan darat.
Akibatnya, pengembangan laut bagi kesejahteraan bangsa pun semakin jauh. Kebijakan
pemerintah pusat dan daerah yang berpihak pada pengembangan potensi bahari masih
minim. Pengembangan ilmu kelautan dalam berbagai aspek juga terbatas, antara lain
karena bidang ini tak diminati banyak generasi muda sebagai pilihan studi.
Perasaan miris juga muncul saat melihat kehidupan masyarakat di wilayah kepulauan
yang lambat berkembang. Tidak sedikit yang masih terisolasi dengan pulau-pulau lain.
Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah saat menerima rombongan Arung Sejarah
Bahari IV/2009, akhir Juli lalu, mengakui memang tidak mudah mengelola sebuah
provinsi maritim. Butuh biaya besar. Namun, hingga saat ini anggaran yang dikucurkan
pusat untuk wilayah- wilayah maritim masih minim.
Sebagai contoh, untuk menyediakan alat transportasi di darat, seperti bus ber-AC dengan
kapasitas 60 tempat duduk, hanya butuh biaya dalam hitungan ratusan juta rupiah.
Namun, untuk kapal dengan kapasitas sama bisa mencapai Rp 4,5 miliar. Belum lagi
harus disediakan pelabuhan, lalu menjaga supaya laut tidak dangkal.
Pembangunan infrastrukturnya mahal. Meskipun punya banyak sumber daya alam, susah
juga memanfaatkannya karena kendala transportasi dan fasilitas lainnya. Potensi wilayahwilayah maritim diakui besar, tapi baru sebatas pengakuan, belum sampai pada dukungan
nyata untuk bisa mengoptimalkan laut dan potensinya.
Kami terus berjuang supaya pemerintah pusat memberikan perhatian yang besar untuk
pembangunan dan pengembangan infrastruktur serta hasil laut. Jika tidak ada
keberpihakan, banyak warga pulau yang terbelakang terus, kata Ismeth.
Kondisi itu jauh berbeda dengan Singapura, sebagai negara tetangga yang cukup dekat
dengan Indonesia. Peranan pulau-pulau yang tadinya penting dalam jalur perdagangan,
termasuk di Kepulauan Riau, tenggelam dengan mencuatnya Singapura. Negeri Singa itu
justru berkembang jadi negara maju dengan pelabuhan yang penting bagi dunia.
Wilayah kepulauan yang didominasi perairan membutuhkan pengembangan jaringan
pelayaran sebagai salah satu penentu dinamika ekonomi di sana. Dalam dinamika yang
tumbuh itu, memungkinkan interaksi dari banyak pihak, yang memunculkan budaya baru
bagi berkembangnya peradaban umat manusia.

14

Peranan Indonesia dalam perniagaan dan peradaban sudah terbukti pada masa lalu. Bukan
hanya maju dalam perniagaan semata. Dalam penyebaran budaya juga diakui. Sebagai
misal, bahasa Melayu yang berkembang sebagai bahasa penghubung antara pelaut dan
pedagang yang kemudian membentuk jaringan kebahasaan di bumi Nusantara hingga ke
Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Semangat kebaharian
Kecenderungan yang terus berlanjut di mana orientasi pembangunan lebih terfokus ke
darat dan mengabaikan watak dasar keindonesiaan sebagai negara kepulauan yang
berbasis maritim mestinya segera dihentikan. Di tangan generasi muda sebagai penerus
bangsa seharusnya perubahan itu disiapkan untuk mewujudkan kekuatan Indonesia
kembali sebagai negara maritim yang unggul dalam perdagangan dunia.
Tidak banyak yang saya ketahui soal sektor bahari Indonesia. Sebagai anak muda yang
besar di kota, saya senang menikmati pantai yang di sekitarnya tumbuh resor-resor bagus.
Tetapi, kini saya baru tahu bahwa pemerintah tidak seharusnya menganaktirikan
masyarakat yang tinggal di sekitar laut, kata Asrining Tyas, mahasiswa Universitas
Indonesia.
Kesadaran yang diungkapkan Tyas muncul saat dirinya bersama sekitar 100 mahasiswa
dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia mengikuti kegiatan Arung Sejarah Bahari
IV/2009 di Kepulauan Riau. Perjalanan menyusuri jejak kejayaan bangsa dalam
kebaharian seketika menyentak kesadaran mereka.
Mahasiswa lain, Diana AP Korawa, sebenarnya tidak asing dengan laut. Di masa kecilnya
di Kampung Samau, Biak Numfor, Papua, mahasiswa tingkat akhir Universitas
Cenderawasih itu menikmati mandi di pantai. Dia juga terbiasa melihat masyarakat yang
mengandalkan hidup dari hasil laut dengan mengekspor ikan ke negara tetangga.
Namun, seiring waktu karena keterbatasan fasilitas dan pengembangan laut di
wilayahnya, nasib nelayan pun lama-lama terpuruk. Kondisi itu membuat Diana sebagai
anak muda tidak tertarik untuk bisa mengeksplorasi potensi laut.
Akan tetapi, ketidakpedulian itu seketika memudar saat pengenalan kebaharian
diterimanya dalam kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Geografi Sejarah Ditjen
Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Saya baru tersadar, seharusnya kita mencintai laut. Saya baru merasa terbuka pikiran
untuk bisa menoleh kembali ke laut. Setidaknya, untuk penyusunan skripsi, saya mau
membuat penelitian yang berhubungan dengan laut, ujar Diana yang belajar di bidang
pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
Tengku Munawar, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, menekankan bangsa ini harus
berpaling kembali ke laut. Di zaman dulu lebih banyak perahu daripada jalan di darat.

15

Tetapi sekarang sangat timpang, kata mahasiswa asal Pulau Lingga, Kepulauan Riau,
itu.
Munawar juga melihat anak-anak pulau sendiri lebih tertarik untuk bekerja sebagai
pegawai negeri sipil atau lainnya daripada berkecimpung di laut. Pasalnya, kehidupan
nelayan yang ada di pulau jauh dari sejahtera karena terbatasnya peralatan dan
keterampilan memberdayakan hidup dari hasil laut.
Kesempatan untuk bisa mengarungi sejarah kejayaan kerajaan maritim Indonesia
membuat mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu itu mau berefleksi apa yang
sesungguhnya terlupakan dalam pembangunan bangsa ini. Dalam keberbedaan disiplin
ilmu, mahasiswa diajak untuk bisa bekerja sama mengembangkan potensi laut yang
masih terlupakan.
Endjat Djaenuderadjat, Direktur Sejarah Geografi, mengatakan bahwa semangat
kebaharian mesti ditumbuhkan di kalangan generasi muda. Tujuannya supaya mereka
paham tentang peradaban maritim dan potensi kelautan dalam peningkatan sumber daya
ekonomi.
Selama ini pembangunan terhadap peradaban bahari seolah-olah ditinggalkan sehingga
keberadaan pulau-pulau terluar dan pulau kecil sering diabaikan. Begitu juga dengan
penggalian sumber daya bahari yang berlimpah belum tergarap dengan baik.
Laut hendaknya tidak hanya dilihat sebagai kumpulan air yang sangat luas. Dalam
kebaharian juga menyangkut aspek-aspek kehidupan yang ada di wilayah tersebut. Oleh
karena itu, kegiatan Arung Sejarah Bahari ini sebagai kegiatan mengarungi sejarah
kehidupan manusia dalam lingkup dan tingkat peradaban yang telah dicapainya.
Dalam kegiatan itu, mahasiswa mengunjungi obyek-obyek yang berkaitan dengan
peradaban bahari. Mereka juga mengarungi laut untuk menuju pulau-pulau penting dalam
catatan sejarah kejayaan bahari Indonesia. Lalu, mereka juga berdiskusi bagaimana
seharusnya kita memandang laut dan apa yang mestinya dilakukan pada laut Indonesia
nan luas itu. Tak ada kata terlambat untuk mengajak generasi muda berpaling (lagi) ke
laut. Entah kesadaran itu hanya emosi sesaat atau sebagai pencerahan, mahasiswa yang
ikut dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari bertekad untuk melirik dan mencintai laut.
JALUR PERNIAGAAN

Selat Malaka, Hatinya Lautan


Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:37 WIB
Tidak seperti Malaysia, Singapura tidak pernah mengklaim ekspresi budaya negara
tetangganya. Namun, terkait keberadaan Selat Malaka sebagai jalur lintas perniagaan,
Singapura bukanlah teman seiring dalam upaya menjaga kedaulatan kawasan ini bersama
dua negara tetangganya, Malaysia dan Indonesia.

16

Jika Malaysia dan Indonesia sejak awal menolak tegas setiap gagasan dan upaya yang
dapat menjurus ke arah internasionalisasi Selat Malaka, Singapura cenderung sebaliknya.
Jika Malaysia dan Indonesia lebih mementingkan fungsi pemeliharaan lingkungan laut
untuk menjaga sumber-sumber perikanan, selain sebagai wadah komunikasi/pelayaran,
Singapura melihat Selat Malaka terutama sebagai wadah komunikasi/pelayaran demi dan
untuk kelangsungan hidup pelabuhan mereka yang sangat bergantung pada lalu lintas
kapal-kapal yang melalui kawasan ini.
Kondisi inilah yang oleh pengamat kelautan dan hukum laut, Hasjim Djalal, dinilai
sebagai ganjalan penyelesaian garis batas wilayah lautbahkan tak jarang memicu
munculnya persoalanantarnegara tetangga ini.
Dengan ikut meramaikan isu bajak laut dan terorisme di Selat Malaka, Singapura bahkan
terkesan ikut bermain mata dengan negara-negara pengguna selat inikhususnya
Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris. Dengan mengangkat isu bajak laut dan terorisme,
mereka beralasan seharusnya diperbolehkan melakukan berbagai hal, mulai dari
mempersenjatai kapal-kapal dagangnya hingga menempatkan angkatan laut masingmasing di perairan Selat Malaka.
Demi menjaga eksistensi pelabuhan dagangnya, Singapura memang lebih menyukai
diterapkannya konsep laut bebas atau selat internasional untuk kawasan ini. Konsep
ini jelas bertentangan dengan prinsip laut wilayah negara pantai yang diusung
Indonesia dan Malaysia yang memiliki wilayah pantai jauh lebih panjang dan dengan
kehidupan masyarakat pantainya yang sebagian besar adalah nelayan.
Dalam konsepsi laut bebas, klausul yang diutamakan adalah kepentingan pelayaran
internasional. Adapun kepentingan negara pantai dinomorduakan.
Dalam konsepsi laut bebas, campur tangan pihak luar (negara pengguna) untuk terlibat
dalam pengaturan dan pengurusan perairan Selat Malaka juga dimungkinkan. Di sinilah
titik masalahnya.
Sayangnya, kata Hasjim Djalal ketika berbicara dalam satu seminar yang diselenggarakan
Kantor Menteri Sekretariat Negara, permasalahan Selat Malaka kini telah direduksi
menjadi persoalan teknis keselamatan pelayaran semata. Isu inilah yang kemudian terus
digulirkan sehingga suara-suara untuk menginternasionalisasi kawasan ini pun terus
bergema.
Padahal, masalah yang sudah muncul di dalamnya sudah sangat rumit dan kompleks,
ujarnya.
Jalur strategis
Meski tidak memberikan perspektif baru, diskusi antarmahasiswa peserta Arung Sejarah
Bahari IV/2009 di Kepulauan Riau, akhir Juli lalu, juga menyoroti dinamika
perkembangan Selat Malaka sebagai jalur strategis perniagaan internasional.

17

Beragam topik mereka angkat. Mulai dari paparan tentang peranan Kerajaan MelayuRiau dalam alur perdagangan laut di kawasan ini, kajian tentang sistem kelautan,
hubungannya dengan bandar-bandar lain Nusantara, hingga studi kasus terkait kebijakan
China sebagai negara pengguna Selat Malaka dalam pengamanan suplai energi mereka.
Jika perspektif sejarah digunakan untuk menguak peran Selat Malaka dan perairan
Kepulauan Riau dalam aspek pelayaran dan perdagangan, maka berawal dari milenium
pertama kita sudah dapat melihat perannya dalam menghubungkan China dan India, kata
Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas Indonesia, yang bertindak sebagai
narasumber.
Selain diramaikan lalu lintas kapal-kapal dagang yang datang dari berbagai penjuru
angin, kawasan ini juga memegang peran penting dalam proses pertumbuhan peradaban
di Nusantara. Berbagai interaksi sosial-kultural, di samping ekonomi-politik, yang terjadi
di kawasan ini pada gilirannya menciptakan apa yang disebut Adrian B Lapiannakhoda
pertama sejarawan maritim Asia Tenggarasebagai jaringan maritim Nusantara.
Sejak tahun-tahun awal Masehi, kawasan ini memang telah memainkan peran pentingnya
sebagai urat nadi perniagaan Timur dan Barat. Peran itu terus dipegangnya dari waktu ke
waktu meski dengan nakhoda yang kerap berganti dari waktu ke waktu hingga
memasuki milenium ketiga pada abad ke-21 ini.
Jatuhnya Mesir ke tangan prajurit-prajurit Romawi pada sekitar 30 tahun sebelum Masehi
menandai era baru rute perdagangan dunia kala itu. Sejak itu, apa yang dikenal sebagai
Jalur Sutra, yang menghubungkan China ke daratan Eropa (baca: Romawi), mulai
ditinggalkan. Penyebab utama memang bukan lantaran kemenangan Romawi atas Mesir,
tetapi lebih karena hilangnya rasa aman di jalur perdagangan ini.
Lebih-lebih setelah Dinasti Han di China jatuh pada sekitar tahun 20 Masehidan
suasana peperangan terus berlangsung selama hampir empat abad sehingga tidak ada
periode damai yang panjang di Asia Tengahperdagangan melalui jalur maritim pun
akhirnya jadi pilihan. Mengutip catatan sejarah dan kajian arkeologi, Paul Michel Munoz
(2006) bahkan berani menyimpulkan, kala itu pengiriman barang melalui laut jauh lebih
menguntungkan para pedagang.
Jalur laut memungkinkan para pedagang membawa kargo dalam jumlah besar, hingga
200 ton, dalam sebuah perahu yang membutuhkan kru 20-50 orang saja. Juga tak ada
kebutuhan menaik-turunkan barang dagangan ke punggung binatang beban setiap
malamnya, seperti kalau melalui jalur darat, tulis Munoz.
Di tengah arus perubahan sarana angkut barang dagangan tersebut, Selat Malaka menjadi
semacam gerbang keluar-masuk yang menghubungkan daratan China di timur serta India,
Jazirah Arab, dan Eropa di belahan barat. Tidak berlebihan bila AB Lapian
menggambarkan Selat Malaka sebagai hatinya lautan yang dapat mengalirkan semua
aktivitas dari Atlantik ke kawasan Pasifik setelah melewati Samudra Hindia.

18

Penuh risiko
Jika pada awal milenium pertama saja Selat Malaka sudah memiliki peran yang begitu
besar sebagai jalur perniagaan, memasuki awal milenium ketiga kedudukannya semakin
penting. Intensitas penggunanya pun terus meningkat, tentu dengan kompleksitas
persoalan yang juga kian beragam.
Saat ini setiap hari sedikitnya 150-200 kapal yang melintas di kawasan ini. Tidak sedikit
dari jumlah itu berupa kapal-kapal tanker raksasa, berukuran di atas 180.000 DWT.
Sebagian besar dari kapal-kapal tanker itu mengangkut minyak ke sejumlah tujuan,
terutama China, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara di sabuk Pasifik.
Makin padatnya lalu lintas kapal-kapal berukuran besar di kawasan ini bukan tanpa
risiko, baik terhadap moda angkutan itu sendiri maupun bagi Indonesia dan Malaysia
sebagai pemilik wilayah pantai di kawasan ini. Tidak semua alur di sepanjang kawasan
Selat Malaka bisa dilayari dengan leluasa sehingga risiko kecelakaan cukup besar.
Di Selat Philip, misalnya, alur pelayarannya sangat sempit. Meski lebar selat yang berada
di antara Pulau Kepala Jerih dan Pulau Takung ini secara keseluruhan mencapai 3 mil
laut atau di atas 5 kilometer, alur yang bisa dilewati kapal-kapal besar hanya sekitar 800
meter.
Di sekelilingnya juga terdapat pulau-pulau kecil lainnya. Belum lagi adanya kumpulan
karang tak jauh dari Pulau Halenmar, juga dasar laut yang di beberapa tempat kurang dari
23 meter saat pasang surut. Risiko lain yang mengadang adalah perubahan arus laut yang
tidak teratur, dengan kecepatan hingga 3 mil per jam serta hujan dan angin kuat yang
sewaktu-waktu dapat terjadi.
Nelayan-nelayan setempat banyak pula yang menangkap ikan di perairan itu, selain
ramainya lalu lintas laut yang memotong antara Singapura dan Batam, kata Hasjim
Djalal.
Risiko lain tentu saja menyangkut faktor keamanan. Berbagai kasus perompakan
memang kerap terjadi. Akan tetapi, laporan yang dilansir berbagai pihaktermasuk
Inter-Governmental Maritime Consultative Organization/International Maritime
Organization (IMCO/IMO, organisasi yang menangani masalah-masalah pelayaran
dunia)terkadang bias karena mencampuradukkan kasus perompakan dan perampokan.
Banyak kasus yang oleh mereka dikategorikan sebagai perompakan, sesungguhnya kasus
pencurian biasa di atas kapal. Akibatnya, berdasarkan laporan-laporan semacam itulah
angka kasus perompakan di Selat Malaka dalam statistik mereka terlihat menjadi tinggi.
Berbagai kalangan menduga, upaya mengedepankan isu keamanan lewat
pembengkakan statistik kasus-kasus perompakan di Selat Malaka merupakan bagian
dari strategi untuk menginternasionalisasikan kawasan ini. Sebaliknya, salah satu butir
Konvensi Hukum Laut 1982 (Pasal 43) yang telah disepakati, yang menghendaki negara-

19

negara pemakai selat agar membantu meningkatkan keselamatan pelayaran dan


memelihara lingkungan laut di selat tersebutdalam hal ini Selat Malakajustru
kewajiban itu tidak mereka laksanakan.
Jadi, ada apa di balik itu semua? (ken)

20

Anda mungkin juga menyukai