Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW.
diyakini menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir
dan batin dimana kehadiran agama ini dituntut agar ikut terlibat secara
aktif dalam memecahkan berbagai maslah yang dihadapi umat manusia.
Oleh sebab itu, pemahaman agama dapat dipahami dengan
berbagai pendekatan studi islam. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Ada berbagai pendekatan dalam studi islam, dua diantaranya yang
akan dibahas pada makalah ini yaitu pendekatan historis dan pendekatan
kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi
pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu, sebaga berikut :
1. Pengertian studi islam dengan pendekatan historis.
2. Pengertian studi islam dengan pendekatan kebudayaan.
C. Tujuan Masalah
Mampu memahami nilai sejarah adanya agama Islam, sehingga
terbentuk manusia yang sadar akan historitas dan kebudayaan keberadaan
Islam yang mampu memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

PEMBAHASAN
A. Pendekatan Historis : Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern

Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab
syajarah (pohon) dan dari kata history dalam bahasa Inggris yang berarti
cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut
sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history
berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejalagejala alam, khususnya manusia, yang bersifat kronologis. Sementara itu
pengetahuan serupa yang tidak kronologis diistilahkan scientia atau
science. Oleh karena itu, sejarah dalam perspektif ilmu pengetahuan
menjadi terbatas hanya mengenai kativitas manusia yang berhubungan
dengan kejadian-kejadian tertentu (unik) yang tersusun secara kronologis.
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.1 Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pengertian istilah sejarah itu juga bisa mengacu
kepada dua konsep terpisah. Pertama, sejarah yang
tersusun

dari

serangkaian

peristiwa

masa

lampau,

keseluruhan pengalaman manusia. Kedua, sejarah sebagai


suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi, diubahubah, dijabarkan dan dianalisis. Konsep sejarah dengan
pengertiannya yang pertama memberikan pemahaman
akan arti objektif tentang masa lampau, hendaknya
dipahami sebagai suatu aktualitas atau sebagai peristiwa
itu sendiri. Adapun pemahaman atas konsep kedua,
sejarah menunjukkan maknanya yang subjektif, sebab
masa

lampau

itu

telah

menjadi

kisah

atau

cerita.

Subjektivitas di dalam proses pengisahan itu, antara lain,


1 . Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), hlm.
105.

terdapat kesan yang dirasakan oleh sejarawan berdasarkan


pengalaman dan lingkungan pergaulannya yang menyatu
dengan gagasan tentang peristiwa sejarah.2
Secara lebih terinti, Hugiono dan P.K. Poerwantana
mendefinisikan

sejarah

sebagai

rekonstruksi

peristiwa

masa lampau yang dialami oleh manusia, disusun secara


ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis
kritis, sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami.3
Sejalan dengan pengertian di atas, Kuntowijoyo
membuat sebuah kiasan menarik berkaitan dengan sejarah
dan sejarawan. Kata Kuntowijoyo, sejarawan itu ibarat
orang naik kereta api dengan melihat ke belakang. Ia dapat
menoleh

ke

kanan

dan

ke

kiri.

Yang

tidak

bisa

dikerjakannya adalah melihat kedepan.4 Oleh karena itu


ada banyak hal yang dapat dilihat oleh sejarawan
berkaitan dengan objek yang dikajinya. Namun demikian,
tidak setiap pandangan atau penglihatan terhjadap masa
lalu dapat disebut sebagai sejarah.
Berkaitan dengan hal ini, Kuntowijoyo melanjutkan
bahwa ada beberapa kaidah penting berkaitan dengan
sejarah. Pertama, sejarah itu fakta. Perbedaan pokok
antara sejarah dengan fiksi ialah sejarah menyuguhkan
fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi,
atau fantasi. Kedua, sejarah itu diakronis, ideografis, dan
2 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta : TERAS, 2009), hlm. 98.
3 Ibid.,
4 Ibid., hlm. 99.

unik. Sejarah itu diakronis, sedangkan ilmu sosial itu


sinkronis. Artinya, sejarah itu memanjang dalam waktu,
sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah
berusaha melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu.
Artinya,

melihat

perubahan,

kesinambungan,

ketertinggalan, dan loncatan-loncatan. Selain itu sejarah itu


ideografis,

artinya

melukiskan

(menggambarkan,

memaparkan, menceritakan saja). Ilmu sosial itu nomotetis


(bahasa Yunani nomos berarti hukum), artinya berusaha
mengemukakan

hukum-hukum.

Misalnya

sama-sama

menulis tentang revolusi, sejarah dianggap berhasil bila ia


dapat melukiskan sebuah revolusi secara mendetil, sampai
hal-hal kecil. Sebaliknya, ilmu sosial akan menyelidiki
revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang
umum berlaku dalam revolusi. Karenanya, sejarah itu
bersifat unik, sedangkan ilmu sosial itu generik. Penelitian
sejarah akan mencarai hal-hal unik, khas hanya berlaku
pada sesuatu, di situ, dan waktu itu. Untuk itulah sejarah
juga disebut ilmu yang idiografis (bahasa Yunani idios
artinya pembawaan seseorang, kekhasannya). Sejarah
menulis hal-hal tunggal dan hanya berlangsung sekali saja.
Ketiga, sejarah itu empiris. Inilah yang membedakan
sejarah denngan ilmu agama. Sejarah itu empiris, ilmu
agama itu normatif. Empiris berasal dari kata Yunani
empiria, artinya pengalaman. Maka, sejarah itu empiris,
sebab sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang
sungguh-sungguh. Ilmu agama itu normatif tidak berarti
tidak ada unsur empirisnya, hanya saja yang normatiflah
yang menjadi rujukan.5
5 Ibid., hlm. 100.

Apabila

sejarah

digunakan

sebagai

sebuah

pendekatan untuk studi islam, maka aneka ragam peristiwa


keagamaan pada masa lampau umatnya akan dapat
dibidik. Sebab sejarah sebagai suatu pendekatan dan
metodologi

akan

dapat

mengembangkan

pemahaman

berbagai gejala dalam dimensi waktu, dalam hal ini aspek


kronologis merupakan ciri khas di dalam mengungkap
suatu

gejala

Konsekuensi

agama

atau

pendekatan

gejala

sejarah

di

keagamaan
dalam

itu.

penelitian

terhadap gejala-gejala agama haruslah dilihat segi-segi


prosesual, perubahan-perubahan (changes), dan aspek
diakronis. Lebih dari itu, pendekatan sejarah secara kritis
bukanlah sebatas dapat melihat peristiwa masa lampau
dari segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan,
melainkan

juga

mampu

memahami

gejala-gejala

strtuktural serta faktor-faktor kausal lainnya atas peristiwaperistiwa itu.6


Meninjau

objek

penelitian

dengan

pendekatan

sejarah akan lebih mudah berdasarkan periodisasi sejarah


islam. Salah seorang ilmuwan yang melakukannya adalah
Ira M. Lapidus. Menurut Lapidus, babakan sejarah islam
dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, Periode Awal
Peradaban Islam di Timur Tengah, yaitu periode asal mula
sejak

abad

VII

yang

merupakan

era

pembentukan

peradaban islam sejak masa turun Al-Quran sampai abad


XIII. Dalam periode tersebut dapat diperinci menjadi tiga
fasse besar: [1] Fase penciptaan komunitas baru yang
bercorak Islam di Arabia sebagai hasil transformasi wilayah
pinggiran dengan sebuah kemasyarakatan kekerabatan
6 Ibid.,

sebelumnya

menjadi

sebuah

tipe

monoteistik

Timur

Tengah, dan secara politik sebagai masyarakat sentralisasi;


[2] Fase penakhlukan Timur Tengah oleh masyarakat Arab
Muslim. Dalam fase ini, Islam merupakan agama dari
sebuah negara kerajaan di kalangan elite perkotaan; dan
[3] Fase keberperanan Islam dan kelompok elit Islam
mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Kedua,

Periode

Penyebaran

Global

Masyarakat

Islam, yang berlangsung pada abad XIII-XIX. Pada periode


ini, islam bukan hanya sebagai agama masyarakat Timur
Tengah, melainkan telah menjadi agama masyarakat Asia
Tengah

dan

Cina,

India,

Asia

Tenggara,

Afrika,

dan

masyarakat Balkan. Proses penyebaran Islam ditandai


dengan

interaksi

kemasyarakatan
berlangsung

nilai-nilai

Islam

setempat.

konsolidasi

dengan

Selama

sejumlah

rezim

nilai-nilai

periode

ini,

Islam

yang

mendasarkan kehidupan peradabannya pada keyakinan,


kultur, dan institusi sosial Islam di wilayah yang berbeda.
Ketiga, Perkembangan Modern Umat Islam, yaitu
berlangsung sejak abad XIX hingga abad XX Masehi. Ciri
periode

ini

adalah

berlangsungnya

modernisasi

dan

transformasi masyarakat Muslim.7


Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan
gejala-gejala agama dengan menelusuri sumber di masa
silam,

maka

pendekatan ini

bisa

didasarkan

kepada

personal historis atau atas perkembangan kebudayaan


umat pemeluknya. Pendekatan semacam ini berusaha
untuk menelusuri awal perkembangan tokoh keagamaan
7 Ibid., hlm. 101.

secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan


jejak perkembangan perilaku keagamaan sebagai dialog
dengan dunia sekitarnya, dan juga mencari pola-pola
interaksi antara dan masyarakat. Berdasarkan pendekatan
tersebut, sejarawan dapat menyajikan deskripsi detail dan
eksplanasi tentang sebab dan akibat atas sesuatu kejadian
tertentu.

Pendekatan

sejarah

pada

gilirannya

akan

membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi


agama dan perkembangan tipologi kelompok-kelompok
keagamaan.8
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam
idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini
seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami Al-Quran
secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah
turunnya Al-Quran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya AlQuran yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu
tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran) yang pada intinya berisi
sejarah turunnya ayat Al-Quran. Dengan ilmu asbab nuzul ini seseorang
akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang

8 Ibid., hlm. 102.

berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat


dari kekeliruan memahaminya.9
B. Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan
dan mengerahkan segenap potensi bati yang dimilikinya.10 Di dalam
kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat
istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai
kerangkaan acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab
berbagai masalah yang dihadapinya.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan
untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama
yang tampil dalam bentk formal yang menggejala di masyarakat.
Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh
penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya
membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nasb
Al-Quran maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan
kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau
membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang
berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui
pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat
mengamalkan ajaran agama.
Kita misalnya menjumpai

kebudayaan

berpakai,

bergaul,

bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur


agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kabaya atau lainnya dapat
dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, adanya unsur budaya,
maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta
misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala
9. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012),
hlm. 48.
10 . Ibid., hlm. 49.

Arab. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala China. Di situ


terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman
keagamaannya.

PENUTUP
9

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah segala peristiwa dapat
dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa
yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan
suatu peristiwa. Sedangkan Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengerahkan segenap potensi bati yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

10

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987.


Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai