CNTH Skripsi Org
CNTH Skripsi Org
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman
ortodonti dalam
pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula
orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak
teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah
bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi
temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara. 1 Pada awal konsultasi, setiap
dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang
dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti
pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. Pasien yang
diberikan informasi akurat akan menjadi konsumen yang lebih baik pada pelayanan
gigi, dengan harapan untuk hasil perawatan dan kepuasaan yang lebih besar dengan
perawatan mereka secara keseluruhan. Lembaga ortodontik inggris merekomendasikan
bahwa pasien harus menerima informasi yang cukup tentang perawatan yang dianjurkan,
termasuk perkiraan realistis mengenai skala waktu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang
bisa mempengaruhi lama perawatan ortodontik yaitu salah satunya adalah tindakan
ekstraksi gigi.2 Perawatan ortodonti terkadang memerlukan pencabutan gigi untuk
merawat susunan gigi yang tidak teratur .pada perawatan ortodonti ada dua alasan untuk
mencabut gigi . pertama: mendapatkan ruangan untuk penyusunan gigi pada kasus gigi
berjejal dengan derajat berat, kedua : untuk menggerakkan gigi pada kasus protrusi
yang memerlukan retraksi.3 Pada kasus pencabutan gigi geligi untuk medapatkan ruang
dibutuhkan waktu untuk penutupun ruang bekas pencabutan tersebut.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan
antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Maloklusi
Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga
bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian
tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan menggangu estetik
sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan.
Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat, peningkatan ini sebagian
dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas
gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras1 atau bisa juga dikatakan
Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal.2
Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa
disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang
sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi
primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan
prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah
dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama.
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi
faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal
kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer
terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1)
disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi
berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang
dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang
menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan
jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat
dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor
lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang
prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999)
berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : 1) ukuran maksila
dan mandibula termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi
maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan
morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan
pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi. Implikasi
klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus
tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun
sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor heriditer pada
maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu
menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih cepat.1
a. Etiologi maloklusi kelas 1 Angle
Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II
atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya
menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler
(insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras
tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat
berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat
menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III.
b. Etiologi maloklusi kelas II :
1. kelas II divisi 1 Angle
Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang
lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior
sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula
yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat
tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat
retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit
menjadi lebih besar.
2. Kelas II divisi 2 Angle
Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi
skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot
menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor
herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet
pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan
meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka
yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak
adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus
bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh
bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir
bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang
menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi (lapatki dkk, Mitchell, 2007)
bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak
normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus
lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan
retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang
kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi
mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral.
c. Etiologi maloklus Kelas III Angle
Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati
mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang
diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi
kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh
sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh
berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi
oleh panjang basis kranial serta sudut yang terbentuk antara basis kranial
posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior
menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu
memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens
tekanan dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga
terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik
lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang
menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih
mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang
sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang
lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat
diastema.
10
11
dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi
permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar
mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah
satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka.
d. Pengaruh jaringan lunak
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap
letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada
tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian
tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus
pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi.
Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak
benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan
lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial. Dengan
demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat mempengaruhi
letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat
menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang
telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang
mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena
bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang
lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal.
12
e. Kebiasaan buruk
Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup
tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi.
Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang
paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.
Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak
pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi
permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn
erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas
proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta
retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari
mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu
mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi
insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus
bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan
tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena
mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada
yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan
bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada
13
ortodontik
mempunyai
kemungkinan
terjadinya
kelainan
14
minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap
lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini biasa juga disebut
distoklusi.maloklusi kelas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi
insisivus atas :
Divisi 1 : insisivus atas proklinasi atau meskipun insisivus atas
inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang
bertambah.
Divisi 2: insisivus sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivus
lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit
biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah.
Tumpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivus atas retroklinasi
kals 2 divisi 2 sebesar 18%, klas 2 (tak pasti) 7%, klas 3 (sejati) 3 %, dan klas 3
(postural) sebesar 0,3%.2 Menurut winoto (1989) kasus maloklusi klas 1 sebesar 80
% yang terjadi di Indonesia.
15
16
17
stripping juga tetap mempertahankan bentuk gigi dan kontak dengan gigi
yang berdekatan. Harus diingat bahwa sesudah dilakukan enamel stripping
gigi harus diulas dengan bahan aplikasi topikal yag mengandung flour untuk
mencegah terjadinya karies pada gigi tersebut.
b. Ekspansi
Ekspansi adalah suatu prosedur untuk melebarkan lengkung gigi, dan
dapat dilakukan baik dalam arah sagital (protraksi) maupun transversal.
Gejala klinis yang terlihat pada defisiensi lengkung gigi adalah kontraksi
lengkung gigi, gigitan silang (anterior maupun posterior), gigi yang berjejal
serta koridor bukal yang lebar. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan
ekspansi pada lengkung giginya. Ekspansi dapat mengatasi kekuarangan
ruang 3-8 mm dengan melebarkan jarak intermolar lengkung gigi atas sekitar
4-10 mm dan lebar intermolar lengkung gigi bawah sekitar 4-6 mm. Adkins
dkk menyatakan bahwa tiap penambahan 1 mm lebih intermolar, akan
menambah panjang lengkung gigi sebesar 0,77 mm. Bila diperlukan
ekspansi kurang dari 4 mm, pada periode gigi bercampur, dapat digunakan
alat ekspansi lepasan dengan spring dan screw ekspansi yang diaktivasi
sebesar 1-2 putaran per minggu yang menghasilkan pergerakan 0,20-0,50
mm. Pada periode gigi permanen, alat eksoansi yang digunakan dapat berupa
quad helix, w-spring TPA atau arc-wire. Bila ekspansi diperlukan sekitar 512 mm diindikasikan alat ekspansi cekat. Aktivasi sebesar 0,5-1 mm atau 2
18
kali putaran per hari. RPE dapat mengekspansi tidak hanya pada lengkung
gigi tetapi juga lengkung rahang denga usia optimal penggunaan RPE adalah
pada puncak masa pertumbuhan. Pada kasus skeletal ekstrem, bila
diperlukan ekspansi lebih dari 12 mm diindikasikan alat ekspansi cekat
dikombinasi dengan bedah.
c. Distalisasi Gigi Molar atas
Distalisasi gigi molar aas bertujuan untuk memperoleh ruangan guna
memperbaiki susunan gigi geligi atau memperbaiki hubungan gigi molar.
Pergerakan yang diinginkan adalah pergerakan bodili semaksimal mungkin
dengan minimalnya resiko resorpsi akar dan loss of anchorage gigi anterior
ke labial. Indikasi distalisasi molar atas adalah pada kasus maloklusi klas II
ringan hingga sedang, terutama pada kasus yang disebabkan oleh prematur
loss, pada kasus gigi berjejal ringan hingga sedang, baik untuk tipe wajah
mesofacial atau brachifacial, profil wajah lurus atau flat dan masih
mempunyai potensi pertumbuhan. Alat untuk distalisasi gigi molar dapat
intraoral atau ekstraoral. Headgear merupakan alat distalisasi molar ekstra
oral yang paling sering digunakan. Kelebihan headgear selain menghasilkan
efek ortodonti juga efek ortopedik pada usia pertumbuhan, tidak
menyebabkan hilangnya penjangkaran pada gigi anterior, dapat digunakan
pada kasus asimetri, dan memiliki kontrol vertikal. Headgear mendistalisasi
gigi molar sebesar 3 mm dalam 3 bulan. Banyak macam alat distalisasi
19
molar intra oral. Hilgers pendulum adalah salah satu alat intra oral yang
sering dipakai. Alat ini terdiri atas plat palatal akrilik berdiameter 25 mm
dengan kawat distalisasi dari beta-titanium berdiameter 0,032 yang tertanam
didalamnya, kemudian ujung kawat distalisasi lainnya disolder atau
dimasukkan kelingual palatal sheath dari cincin gigi molar. 3
2. Tindakan Ekstraksi
Pencabutan gigi permanen perlu dilakukan apabila diskrepansi total menunjukan
kekurangan tempat lebih dari 8 mm. Diskrepansi total terdiri atas diskrepansi
model, diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva spee dan perkiraan banyaknya
keholangan penjangkaran. Untuk mendatarkan kurva spee yang kedalamannya
kurang dari 3 mm diperlukan tempat 1 mm, bila lebih besar daripada 5
mmdiperlukan tempat 2 mm. Sebelum dilakukan pencabutan gigi permaen pada
masa geligi pergantian perlu diperhatikan bahwa gigi permanen yang lain ada
meskipun saat itu masih belum erupsi. Pemilihan gigi yang akan dicabut
membutuhkan pertimbangan yang kompleks yang menyangkut semua aspek
perawatan ortodontik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mencabut
gigi permanen antara lain sebagai berikut :
Prognosis gigi, misalnya adanya karies yang besar disertai kelainan
patologis pada apikal yang seandainya dirawat prognosis gigi tersebut
20
tersebut.
Relasi insisivus
Kebutuhan penjangkaran
apakah
perlu
digunakan
penjangkaran
perubahan profil pasien, misalnya pasien dengan profil yang lurus dengan
21
Insisivus sentral atas jarang dicabut untuk menghilangkan susunan yang berjejal,
kecuali kondisinya merupakan faktor pengindikasi, seperti misalnya jika gigi ini fraktur
parah. Pada kasus semacam itu, insisivus lateral bisa digeser dan diberi mahkota
selubung agar mirip dengan insisivus sentral yang dicabut pada situasi yang
menguntungkan. Alasan mencabut insisivus lateral atas adalah : 1)malposisi gigi yang
parah, khususnya jika apeksnya terlalu dipalatal 2) malformasi gigi, yang paling sering
adalah mahkotanya berbentuk konus. Kadang-kadang gigi ini juga dicabut untuk gigi
kaninus, jika gigi kaninus ini berjejal ke bukal, keluar dari lengkung rahang.4
2.6.2 Insisivus bawah
Seringkali gigi insisivus bawah tampaknya seolah-olah gigi yang perlu dicabut
untuk menghilangkan susunan yang berjejal, khususnya jika keadaan berjejal ini terbatas
pada segmen anterior dari lengkung gigi. Meskipun demikian, secara umum hasil
pencabutan insisivus bawah mengecewakan, kecuali pada situasi-situasi khusus yang
tertentu. Ada kecenderungan bahwa sesudah insisivus bawah dicabut, gigi-gigi anterior
yang tersisa akan bergeser, dan meskipun susunan yang berjejal bisa diperbaiki dalam
waktu yang singkat, pergerakan ke depan dari gigi-gigi bukal akan menghasilkan kontak
dan posisi insisivus yang tidak ideal. Ada dua keadaan dimana pencabutan gigi insisvus
bawah merupakan indikasi, diluar pemikiran mengenai kondisi gigi-gigi, yaitu : 1) jika
insisivus sama sekali terletak diluar lengkung rahang 2) jika gigi kaninus bawah
22
mempunyai inklinasi distal yang besar. Pada kasus kedua ini, pencabutan gigi disebelah
mesial gigi kaninus akan memungkinkan gigi ini diperbaiki letaknya, karena
menggerakkan mahkota lebih mudah daripada menggerakkan bagian apika. Bahkan
pada situasi ini, pencabutan gigi premolar dan memperbaiki susunan gigi-gigi anterior
dengan terapi pesawat sering kali merupakan pilihan yang lebih sesuai.
2.6.3 Kaninus
Kaninus atas normalnya haya dicabut jika letaknya sangat malposisi. Keadaan ini
bisa merupakan malposisi perkembangan, atau malposisi akibat susunan gigi yang
berjejal. Posisi apeks merupakan faktor pertimbangan utama. Kaninus adalah gigi yang
besar dan pencabutan gigi ini akan meninggalkan ruangan yang lebih besar daripada
pencabutan inisisivus lateral maupun gigi premolar. Dari segi penampilan, kaninus bisa
digantikan dengan baik oleh gigi premolar pertama, asalkan gigi ini berada pada posisi
yang baik dan tidak terotasi. Pencabutan gigi kaninus bawah hanya bisa
dipertimbangkan jika gigi ini diperkirakan sangat sulit diperbaiki susunannya. Ini
biasanya terjadi jika gigi terletak sama sekali diluar lengkung gigidan apeksnya sangat
malposisi. Insisivus lateral bawah-kontak premolar pertama seringkali buruk, dan
sumber peradanagan gingiva serta penyakit periodontal.
2.6.4 Premolar pertama
23
Seperti sudah disebutkan terdahulu, premolar pertama adalah gigi yang paling
sering dicabut untuk memperbaiki susunan yang berjejal 9. Gigi ini terletak didekat
bagian tengah setiap kuadran lengkung gigi, dan karena itu, normalnya terletak didekat
daerah yang berjejal. Faktor lain yang penting adalah gigi ini bis digantikan dengan
premolar kedua, yang mempunyai bentuk sama, dan membentuk hubungan kontak yang
sama dengan kaninus. Jadi, tanggalnya gigi premolar pertama tidak akan mempengaruhi
kualitas hidup antar gigi.
2.6.5 Premolar kedua
Pencabutan gigi premolar kedua untuk menghilangkan susunan yang berjejal
biasanya dilakukan jika gigi itu sendiri malposisi selain juga berjejal. Karena gigi
premolar kedua bererupsi sesudah premolar pertama dan molar pertama permanen, gigi
ini bisa saja terletak sama sekali diluar lengkung gigi. Jika dicabut, gigi ini bisa
digantikan denga baik oleh gigi premolar pertama kecuali jika gigi molar pertama tetap
miring atau rotasi kedepan, dimana pada kasusus ini kontak antara kedua gigi akan
menjadi tidak benar.
2.6.6 Molar pertama permanen
Molar pertama permanen merupakan subyek perdebatan dan perbedaan pendapat
menyangkut kegunaan gigi ini didalam lengkung gigi, khususnya karena sejak dahulu
gigi ini merupakan gigi permanen yang paling rentan terhadap karies dimasa kanak-
24
kanak. Gigi molar pertama permanen juga dianggap sebagai kunci dari lengkung gigi,
dan tidak boleh dicabut atau dikatakan bahwa molar pertama permanen bisa dicabut
sebagai tindakan rutin, yang bermanfaat bagi lengkung gigi pada beberapa kasus. Kedua
pendapat yang berbeda tersebut tentu saja tidak bisa benar dua-duanya, dan kelihatan
karena adanya variasi kondisi oklusal yang luas, maka tidak ada satu aturan tunggal
mengenai molar pertama yang bisa diterpkan pada semua individu. Seperti halnya
dengan gigi-gigi yang lain, situasi yang ada harus dilihat secara individual. Cara yang
rasional untuk melakukannya adalah dengan memeriksa hasil yang bisa diperoleh dari
pencabutan molar pertama permanen. Meskipun demikian, gigi molar pertama sering
juga dicabut jika kondisinya buruk. Pada kasus semacam ini, ada dua aturan umum
untuk menentukan waktu pencabutan yang paling cocok, yaitu : 1) jika tidak ada
susunan yang berjejal, atau bila keadaan ini terbatas pada segmen premolar, dan tidak
dibutuhkan ruangan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Pada kondisi ini,
adalah merupakan kebiasaan untuk mencabut molar pertama sebelum molar kedua
erupsi, sehingga gigi molar kedua akan bisa bergeser kedepan selama erupsinya dan
menempati posisi molar pertama, asalkan gigi premolar yang berjejal sudah diperbaiki
terlebih dahulu. Pada praktiknya, molar pertama bawah biasanya perlu dicabut lebih
cepat daripada molar pertama atas, karena molar kedua berjalan kedepan dengan lebih
cepat pada rahang bawah. 2) jika dibutuhkan ruangan untuk mengatur susunan gigi-gigi
anterior. Pada kondisi ini, ruang yang diperoleh dengan mencabut gigi molar pertama
25
dibutuhkan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Oleh karena itu perlu
menunggu sampai molar kedua erupsi sebelum mencabut molar pertama, sehingga
penutupan ruang karena pergeseran kedepan dari molar kedua, bisa dicegah. Pada
susunan gigi geligi yang berjejal, jika gigi molar pertama kondisinya buruk, kadangkadang gigi ini perlu dicabut lebih dini, untuk memungkinkan terjadinya penutupan
ruangan, dan kemudian gigi premolar digerakkan masing-masing kuadran untuk
memperbaiki susunan gigi yag berjejal.
2.6.7 Molar kedua permanen
Gigi molar kedua permanen tidak sering dicabut untuk memperbaiki susunan
yang berjejal. Posisinya yang berada diakhir lengkung gigi pada masa kanak-kanak
membuat gigi ini biasanya terletak jauh dari daerah berjejal, dan tidakbenar-benar
malposisi meskipun ada susunan gigi yang berjejal. Meskipun demikian, Richardsno
(1983) melaporkan hasil suatu studi klinis dimana pencabutan molar kedua bawah
mengurangi berjejal-jejalnya susunan gigi-gigi anterior bawah. Gigi molar kedua bawah
kadang-kadang dicabut jika molar pertama tetap sudah bergeser kedepan, meninggalkan
ruang yang tidak memadai untuk erupsi premolar kedua. Pencabutan gigi molar kedua
memang dianjurkan untuk mencegah terjadinya impaksi molar ketiga bawah, namun
cara perawatan ini tidak bisa diterapkan untuk semua kasus. Satu-satunya kondisi
dimana pencabutan molar kedua bawah bisa menghasilkan posisi molar ketiga bawah
26
yang baik adalah : 1) jika molar ketiga letaknya lurus, tidak miring ke mesial lebih dari
30 derajat 2) jika pencabutan dilakukan hanya jika mahkota gigi molar ketiga sudah
terkalsifikasi. Pencabutan molar kedua juga menjadi alternatif perawatan pada pasien
dengan gigitan terbuka yang hanya berkontak pada gigi molar kedua dengan pembukaan
bidang oklusal yang besar.(prinsip perawatan dan pemilihan mekanik)
2.6.8 Molar ketiga permanen
Dahulu gigi ini dicabut untuk menghindari gigi berdesakan diregio anterior
tetapi sekarang banyak yang berpendapat bahwa pencabutan molar ketiga hanya untuk
mencegah gigi berdesakan diregio anterior tidak dianjurkan .
2.7 Penutupan Ruang Sesudah Pencabutan
Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai penutupan spontan dari ruangan
sesudah pencabutan gigi. Seipel ( 1946 ) menemukan bahwa pada gigi geligi susu,
penutupan ruang terjadi lebih sedikit pada regio insisivus daripada diregio molar, dan
lebih banyak dirahang atas atas daripada dirahang bawah. Ia juga menemukan bahwa
pada gigi geligi susu, penutupan ruang sesudah pencabutan berjalan progresif sampai 28
bulan sesudah pencabutan, tetapi pada gigi geligi tetap, penutupan ruang terjadi paling
cepat selama 3 bulan pertama, agak melambat sampai 9 bulan, dan kemudian makin
melambat, dan hanya sedikit penutupan sesudah bulan ke 9. Secara umum disepakati
bahwa penutupan ruang sesudah pencabutan pada lengkung gigi yang berjejal atau
27
berpotensi berjejal terjadi dari kedua sisi ruang pencabutan, yaitu baikberupa pergerakan
mesial dari gigi yang terletak dibelakangnya maupun pergerakan ke distal dari gigi-gigi
yang terletak di depan ruang tersebut ( northway dkk, 1984 ). Pergerakan ke mesial
biasanya
berlangsung
lebih
besar
daripada
pergerakan
ke
distal,
bahkan
BAB III
KERANGKA KONSEP
USIA
Maloklusi Kelas 1
28
-ekstraksi
gigi/
non ekstraksi
ETIOLOGI
MALOKLUS
I
PERGERAKAN
GIGI
PENERAPAN
MEKANIKA
PERAWATAN
ORTODONTIK
RESPON
PASIEN
Lama
perawatan
TINGKAT
KEPARAHAN
MALOKLUSI
Keterangan:
Variabel bebas
Variabel terikat
Variabel antara
Variabel terkendali
Hub.antar variabel
29
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik
4.2 Rancangan Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional
4.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dibagian RSGM Kandea
4.4 Waktu Penelitian
Maret 2012 April 2012
4.5 Populasi Penelitian
a) Populasi : pasien yang telah selesai menjalani perawatan ortodontik dengan alat
ortodontik lepasan dibagian ortodontik RSGMP Kandea.
b) Sampel : sampel penelitian ini adalah model gigi dan kartu status dari pasien
yang telah selesai menjalani perawatan ortodonti
30
4.7 Variabel
a.
b.
c.
d.
31
32
Pengambilan
sampel sesuai
kriteria penilaian
Maloklusi kelas 1
Ekstraksi /non
ekstraksi
Sampel (model
& kartu status
pasien) sesudah
perawatan
Analisis data
33
Kesimpulan
BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara ekstraksi gigi dengan
waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodontik. Lama perawatan ortodontik dalam
penelitian ini dinilai dengan menggunakan satuan bulan. Penelitian ini dilakukan pada
bulan maret 2012 di Bagian Ilmu Orthodontik Rumah Sakit Gigi Mulut Hj. Halimah
Daeng Sikati, Kandea (RSGMP Kandea). Penelitian ini mengambil 60 model studi dan
kartu status pasien yang telah berhasil menjalani perawatan ortodontik sebagai sampel
penelitian. Sampel penelitian harus memenuhi kriteria seleksi sampel yang ditetapkan
sebelumnya untuk dijadikan sebagai sampel.
Pengambilan data dilakukan melalui pemeriksaan kartu status dan model studi
pasien yang telah berhasil dalam perawatan ortodontik. Kartu status dan model studi
pasien diperiksa sebelum dan setelah menjalani perawatan. Data yang diambil berupa
status sosio-demografi pasien, seperti usia dan jenis kelamin, kelas maloklusi pasien,
tanggal awal perawatan, dan tanggal selesai perawatan. Melalui data tanggal awal dan
tanggal selesai perawatan, akan diperoleh lama perawatan ortodontik. Kelas maloklusi
dalam penelitian ini dibatasi hanya pada kelas 1 maloklusi Angle. Selanjutnya, hasil
34
penelitian akan dikumpulkan, diolah, dan dianalisis menggunakan program SPSS (versi
16), serta ditampilkan melalui tabel distribusi sebagai berikut.
35
Frekuensi (n)
Persen (%)
18
42
30,0
70,0
Mean SD
20,78 3,71
26
7
1
26
43,3
11,7
1,7
43,3
30
30
50,0
50,0
11,41 7,37
36
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
9 (50%)
9 (50%)
21 (50%)
21 (50%)
30 (100%)
30 (100%)
8 (44,4%)
2 (11,1%)
0 (0)
8 (44,4%)
18 (42,9%)
5 (11,9%)
1 (2,4%)
18 (42,9%)
26 (100%)
7 (100%)
1 (100%
26 (100%)
37
1-10 bulan
11-20 bulan
>20 bulan
Total
10 (55,6%)
5 (27,8%)
3 (16,7%)
18 (100%)
23 (54,8%)
12 (28,6%)
7 (16,7%)
42 (100%)
33 (100%)
17 (100%)
10 (100%)
60 (100%)
Kelompok Pencabutan
Ekstraksi
Non-ekstraksi
Total
9 (30%)
21 (70%)
9 (30%)
21 (70%)
18 (100%)
42 (100%)
24 (80%)
6 (20%)
0 (0)
0 (0)
2 (6,7%)
1 (3,3%)
1 (3,3%)
26 (86,7%)
25 (100%)
24 (100%)
1 (100%
26 (100%)
6 (20%)
15 (50%)
9 (30%)
30 (100%)
27 (90%)
2 (6,7%)
1 (3,3%)
30 (100%)
33 (100%)
17 (100%)
10 (100%)
60 (100%)
Tabel 2 dan tabel 3 memperlihatkan hal yang hampir sama. Pada tabel 2
terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin, sedangkan pada
tabel 3 terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan kelompok pencabutan.
Melalui tabel 2, dapat terlihat bahwa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-
38
laki baik pada kelompok ekstraksi maupun non-ekstraksi, yang terdiri dari 9 lakilaki maupun 21 perempuan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada tabel 3.
Adapun, kelas maloklusi tertinggi, baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah
kelas 1 tipe 1 dan tipe 6. Tabel 2 memperlihatkan kelas 1 tipe 3 tidak terdapat
sama sekali pada laki-laki, sedangkan pada perempuan hanya satu orang. Lama
perawatan tertinggi, baik pada laki-laki maupun perempuan adalah 1-10 bulan,
dengan jumlah 10 untuk laki-laki dan 23 untuk perempuan. Pada tabel 3 terlihat
bahwa kelas maloklusi tertinggi untuk kelompok ekstraksi adalah kelas 1 tipe 1
(24 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah kelas 1 tipe 6 (26 orang).
Tabel 3 juga menunjukkan lama perawatan tertinggi pada kelompok ekstraksi
adalah 11-20 bulan (15 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah 1-10
bulan (27 orang).
39
Usia
Mean SD
18
42
20,174,12
21,053,54
11,087,67
11,557,33
26
7
1
26
21,003,74
20,002,16
220
20,734,13
15,455,83
16,717,87
4,90
6,194,96
33
17
10
21,274,523
19,352,29
21,601,65
5,492,40
16,052,51
23,042,35
30
30
60
20,502,37
21,074,71
20,783,71
16,705,57
6,124,65
11,417,37
40
perawatan yang sama, yakni 11 bulan. Berdasarkan kelas maloklusi, kelas 1 tipe 2
memburuhkan waktu yang paling lama, yaitu 16 bulan, dan kelas 1 tipe 3 yang
paling sedikit, yaitu 5 bulan. Dari segi kelompok pencabutan, ekstraksi gigi
memerlukan waktu yang lebih lama dari non-ekstraksi.
Tabel 5. Hubungan antara ekstraksi gigi dengan lama perawatan ortodontik
Lama Perawatan
1-10 bulan 11-20 bulan
Ekstraksi
6 (18,2%)
15 (88,2%)
Non-ekstraksi
27 (81,8%)
2 (11,8%)
Total
33 (100%)
17 (100%)
*Chi-square test: p<0,001; very high significant
Kelompok Pencabutan
>20 bulan
9 (90%)
1 (10%)
10 (100%)
Total
30 (100%)
30 (100%)
60 (100%)
p value
0,000*
41
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan ekstraksi gigi
dengan lama perawatan orthodonti di RSGM kandea. Seperti yang sudah di bahas
sebelumnya, jelas bahwa jika susunan gigi yang berjejal terletak disalah satu
lengkung gigi, susunan ini akan bisa diperbaiki dengan lebih mudah jika
dilakukan pencabutan pada bagian lengkung tersebut, daripada dibagian lain yang
42
jauh letaknya dari tempat gigi yang berjejal. Meskipun demikian, prinsip ini
bukanlah sesuatu yang absolut. Susunan insisvus yang berjejal biasanya diperbaiki
dengan mencabut gigi premolar, sehingga bisa diperoleh penampilan akhir yang
lebih memuaskan dan keseimbangan oklusal daripada jika gigi insisivus yang
dicabut. Selanjutnya, posisi akhir dari gigi dan khususnya, rincian kontak
interdental, harus juga dipertimbangkan. Premolar pertama, pada kenyataannya,
adalah gigi yang paling sering dicabut untuk memperbaiki susunan berjejal.
Karena letaknya ditengah pada setiap kuadran rahang, gigi premolar pertama
biasanya terletak cukup dekat dengan daerah berjejal, baik di segmen anterior
maupun bukal. Faktor pertimbangan yang lain adalah posisi gigi itu sendiri. Gigigigi yang sangat malposisi dan sulit diperbaiki susunannya adalah gigi yang
paling sering dipilih dicabut. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada
gigi-gigi perorangan yaitu :
a. Insisivus atas dan kaninus : biasanya dicabut hanya jika kondisi gigi-gigi
ini sudah rusak atau malposisi parah.
b. Insisivus bawah dan kaninus :pencabutan biasanya dihindarkan, kecuali
jika posisi gig-gigi ini sama sekali keluar dari lengkung atau gigi kaninus
mempunyai inklinasi distal yang sangat besar.
c. Premolar pertama : gigi yang paling sering dicabut. Dapat digantikan
dengan mudah oleh premolar kedua, dan karena merupakan pusat dari tiap
kuadran, gigi ini biasanya terletak dekat dengan daerah yang berjejal.
43
44
BAB VII
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tanggal 8
maret 2012-9 maret 2012, maka dapat disimpulkan bahwa:
45
a. Perbedaan lama perawatan jelas ketika pasien ekstraksi dan non ekstraksi
dibandingkan.
b.
6.2 SARAN
a. Dalam mengambil keputusan tindakan ekstraksi maupun tindakan non
ekstraksi, seorang dokter gigi harus melakukannya dengan teliti agar tidak
terjadi kesalahan dalam melakukan perawatan.
b. Pasien yang kooperatif juga dapat membantu dlam menentukan lama
perawatan ortodonti.
DAFTAR PUSTAKA
47
10. Budianto Erly, Purbiati maria. Prinsip perawatan dan pilihan mekanik
kasus gigitan terbuka anterior. M.I. Kedokteran gigi 2007 Sept; 3 (22) :
104-108
11. Metalita murtia, pencabutan gigi molar ketiga untuk mencegah terjadinya
gigi berdesakan anterior rahang bawah. M.I. Kedokteran gigi 2007 Mar 2
(23) : 1
48