Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman

ortodonti dalam

pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula
orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak
teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah
bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi
temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara. 1 Pada awal konsultasi, setiap
dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang
dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti
pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. Pasien yang
diberikan informasi akurat akan menjadi konsumen yang lebih baik pada pelayanan
gigi, dengan harapan untuk hasil perawatan dan kepuasaan yang lebih besar dengan
perawatan mereka secara keseluruhan. Lembaga ortodontik inggris merekomendasikan
bahwa pasien harus menerima informasi yang cukup tentang perawatan yang dianjurkan,
termasuk perkiraan realistis mengenai skala waktu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang
bisa mempengaruhi lama perawatan ortodontik yaitu salah satunya adalah tindakan
ekstraksi gigi.2 Perawatan ortodonti terkadang memerlukan pencabutan gigi untuk

merawat susunan gigi yang tidak teratur .pada perawatan ortodonti ada dua alasan untuk
mencabut gigi . pertama: mendapatkan ruangan untuk penyusunan gigi pada kasus gigi
berjejal dengan derajat berat, kedua : untuk menggerakkan gigi pada kasus protrusi
yang memerlukan retraksi.3 Pada kasus pencabutan gigi geligi untuk medapatkan ruang
dibutuhkan waktu untuk penutupun ruang bekas pencabutan tersebut.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan
antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah

ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan

dalam perawatan ortodonti?


1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan ekstraksi gigi dengan

waktu yang diperlukan

dalam perawatan ortodonti.


1.4 Hipotesis
Ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam
perawatan ortodonti.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Menambah pengetahuan dalam melakukan rencana perawatan.
2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi dalam perawatan
ortodonti.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Maloklusi
Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga
bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian
tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan menggangu estetik
sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan.
Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat, peningkatan ini sebagian
dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas
gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras1 atau bisa juga dikatakan
Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal.2

2.2 Etiologi Maloklusi


Kondisi maloklusi lebih banyak diakibatkan oleh faktor genetik yang
mengakibatkan ketidakseimbangan antara ukuran rahang dengan ukuran gigi secara
keselurahan.2 Namun dalam hal ini faktor lokal juga mempengaruhi etiologi dari
maloklusi.1
2.2.1. Faktor herediter

Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa
disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang
sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi
primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan
prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah
dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama.
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi
faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal
kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer
terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1)
disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi
berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang
dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang
menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan
jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat
dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor
lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang
prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999)
berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : 1) ukuran maksila
dan mandibula termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi

maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan
morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan
pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi. Implikasi
klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus
tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun
sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor heriditer pada
maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu
menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih cepat.1
a. Etiologi maloklusi kelas 1 Angle
Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II
atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya
menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler
(insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras
tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat
berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat
menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III.
b. Etiologi maloklusi kelas II :
1. kelas II divisi 1 Angle
Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang
lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior
sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula
yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat

korelasi yang tinggi antara pasien dengan keluarga langsungnya sehingga


beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pewarisan maloklusi kelas II divisi I
dari faktor poligenik. Selain faktor genetik maloklusi kelas II divisi I juga
disebabkan faktor lingkungan. Jaringan lunak, misalnya bibir yang tidak
kompeten dapat mempengaruhi posisi insisivus atas karena hilagnya
keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisivus atas
protrusi. Kebiasaan menghisap jari dapat menghasilkan maloklusi kelas II
divisi I meskipun relasi rahang atas dan bawah kelas I sehingga ada yag
menyebut maloklusi ini sebagai maloklusi kelas II divis I tipe dental. Pada
maloklusi kelas II divisi I insisivus atas dalam keadaan proklinasi sehingga
jarak gigit menjadi besar. Adanya diskrepansi skeletal dalam jurusan sagital
juga dapat menyebabkan jarak gigit yang besar. Dengan adanya jarak gigit
yang besar biasanya tidak terdapat stop bagi insisivus bawah sehingga terjadi
supra erupsi insisivus bawah dengan akibat terjadi gigitan dalam dan kurva
spee menjadi positif. Posisi bibir iku berperan pada maloklusi kelas II divisi
I. Pada bibir yang tidak kompeten pasien berusaha mendapatkan anterior oral
seal dengan cara muskulus sirkum oral berkontraksi dengan mengajukan
mandibula sehingga bibir atas dan bawah dapat berkontak pada saat isitrahat,
lidah berkontak dengan bibir bawah atau kombinasi keadaan-keadaan ini.
Bila mandibula diajukan kelainan relasi skeletal nampak tidak terlalu parah

tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat
retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit
menjadi lebih besar.
2. Kelas II divisi 2 Angle
Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi
skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot
menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor
herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet
pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan
meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka
yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak
adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus
bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh
bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir
bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang
menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi (lapatki dkk, Mitchell, 2007)
bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak
normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus
lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan
retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang

kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi
mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral.
c. Etiologi maloklus Kelas III Angle
Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati
mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang
diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi
kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh
sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh
berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi
oleh panjang basis kranial serta sudut yang terbentuk antara basis kranial
posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior
menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu
memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens
tekanan dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga
terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik
lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang
menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih
mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang
sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang
lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat
diastema.

2.2.2. Faktor lokal


a. Gigi sulung tanggal prematur
Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi
permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur
gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus sentral
dan lateral sulung yang taggal prematur tidak begitu berdampak tetapi
kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu
diusahakan agar kaninus sulung tidak tidak tanggal prematur. Sebagian
peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal prematur kaninus sulung
karena resobsi insisivus lateral atau karena karies disarankan dilakukan
balancing ekstraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar
tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space
mentainer. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat
menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya dilakukan balancing
ekstraction harus dilakukan terlebih dahulu. Molar kedua sulung terutama
rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur
karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kearah diastema
sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua
tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal
prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan
serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis. Bila kolar kedua

10

sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke


mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjil gigi (bila tonjol gigi tinggi pergeseran
makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila
molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi).
b. Persistensi gigi
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti
gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu
diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang
jelas menunjukan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen
pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi
persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada dirongga mulut, perlu
diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada
orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk diregio
tersebut.
c. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen.
Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat
terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi gigi
permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang
mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami
dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau
parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali

11

dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi
permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar
mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah
satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka.
d. Pengaruh jaringan lunak
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap
letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada
tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian
tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus
pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi.
Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak
benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan
lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial. Dengan
demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat mempengaruhi
letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat
menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang
telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang
mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena
bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang
lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal.

12

e. Kebiasaan buruk
Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup
tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi.
Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang
paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.
Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak
pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi
permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn
erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas
proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta
retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari
mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu
mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi
insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus
bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan
tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena
mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada
yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan
bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada

13

saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi


tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.
f. Faktor iatrogenik
Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional.
Perawatan

ortodontik

mempunyai

kemungkinan

terjadinya

kelainan

iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan


peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat
menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal
dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk
menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan,
resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi.
Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan
ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.1
2.3 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angel
a. Kelas 1 : maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar tonjol
mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi semacam ini
biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang menyertai dapat
berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior dan lain-lain.
b. Kelas II : maloklusi angle kelas II adalah hasil kelainan skeletal dan
dentoalveolar yaitu malrelasi antara maksila dan mandibula. 7 lengkung bawah

14

minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap
lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini biasa juga disebut
distoklusi.maloklusi kelas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi
insisivus atas :
Divisi 1 : insisivus atas proklinasi atau meskipun insisivus atas
inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang

bertambah.
Divisi 2: insisivus sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivus
lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit
biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah.
Tumpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivus atas retroklinasi

dan kaninus terletak dibukal.


c. Kelas III : lengkung bwah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial
daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relai molar pertama permanen.
Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior
menunjukan adanya gigitan terbalik. 1
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh foster dan day (1974) menemukan
bahwa penderita maloklusi klas 1

sebesar 44%, klas 2 divisi 1 sebesar 27%,

kals 2 divisi 2 sebesar 18%, klas 2 (tak pasti) 7%, klas 3 (sejati) 3 %, dan klas 3
(postural) sebesar 0,3%.2 Menurut winoto (1989) kasus maloklusi klas 1 sebesar 80
% yang terjadi di Indonesia.

15

2.4 Tujuan Perawatan Ortodontik


Tujuan perawatan ortodontik adalah :
a.
b.
c.
d.

Kesehatan gigi dan mulut


Estetik muka dan geligi
Fungsi kunyah dan bicara yang baik
Stabilitas hasil perawatan
Sebagian besar integral dari upaya mencapai kesehatan secara menyeluruhmakan

perawatan ortodontik harus dapat mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan


gigi dan mulut. Kebanyakan pasien memerlukan perawatan orotodontik harus dapat
mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan pasien
memerlukan perawatan orotodontik untuk memperbaiki estetik muka dan geligi yang
bisa diperoleh bila gigi-gigi terletak teratur dalam lengkung geligi yang menjadikan
muka pasien menyenangkan. Susunan geligi yang teratur dalam lengkung geligi tetapi
bila insisivus atas maupun bawah dalam keadaan proklinasi menyebabkan muka yang
tidak menyenangkan. Dengan adanya gigi-gigi yang terletak baik dalam lengkung dan
juga hubungannya dengan lengkung geligi antagonis memberikan fungsi yang lebih baik
daripada gigi yang tidak teratur. Hasil perawatan ortodontik harus menjamin bahwa letak
gigi-gigi sesudah perawatan ortodontik akan stabil dan tidak cenderung terjadi relaps.
Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan gigi-gigi sesuai dengan ketentuan dan
mempunyai hubungan yang baik dengan gigi antogonisnya. 1

16

2.5 Indikasi Ekstraksi atau Non Ekstraksi Pada Perawatan Ortodonti


Penyedian tempat untuk koreksi letak gigi gigi yang berdesakan dapat diperoleh dari
enamel stripping, ekspansi lengkung geligi, distalisasi molar, memproklinasikan
insisivus dan pencabutan gigi permanen. 3
1. Tindakan Non ekstraksi
a. Enamel stripping
Pengurangan enamel dapat dilakukan pada sisi distal/mesial gigi sulung
atau permanen. Enamel stripping selain menyediakan ruangan juga dapat
membentuk gigi permanen ke bentuk yang lebih baik atau memperbaiki titik
kontak. Enamel stripping dilakukan dengan menggunakan metal abrasive
strip atau dengan menggunakan bur yang dipasang pada high speed airturbine handpiece. Untuk memudahkan pengurangan enamel didaerah
posterior dapat dipasang separator diantara molar dan premolar selama 3-5
hari sehingga didapatkan diastema diantara gigi-gigi tersebut. Banyaknya
enamel yang dibuang tanpa membahayakan gigi tersebut adalah 0,25 mm
tiap sisi gigi. Enamel stripping bila dilakukan dengan baik tidak memberikan
efek negatif pada gigi yang dikurangi enamelnya. Bila enamel stripping
dilakukan pada semua gigi insisivus maka akan didapat ruangan 2 mm di
regio anterior sedangkan bila dilakukan pada seluruh rahang akan didapat
ruagan sebesar 5-6 mm di rahang tersebut. Perlu diupayakan bahwa enamel

17

stripping juga tetap mempertahankan bentuk gigi dan kontak dengan gigi
yang berdekatan. Harus diingat bahwa sesudah dilakukan enamel stripping
gigi harus diulas dengan bahan aplikasi topikal yag mengandung flour untuk
mencegah terjadinya karies pada gigi tersebut.
b. Ekspansi
Ekspansi adalah suatu prosedur untuk melebarkan lengkung gigi, dan
dapat dilakukan baik dalam arah sagital (protraksi) maupun transversal.
Gejala klinis yang terlihat pada defisiensi lengkung gigi adalah kontraksi
lengkung gigi, gigitan silang (anterior maupun posterior), gigi yang berjejal
serta koridor bukal yang lebar. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan
ekspansi pada lengkung giginya. Ekspansi dapat mengatasi kekuarangan
ruang 3-8 mm dengan melebarkan jarak intermolar lengkung gigi atas sekitar
4-10 mm dan lebar intermolar lengkung gigi bawah sekitar 4-6 mm. Adkins
dkk menyatakan bahwa tiap penambahan 1 mm lebih intermolar, akan
menambah panjang lengkung gigi sebesar 0,77 mm. Bila diperlukan
ekspansi kurang dari 4 mm, pada periode gigi bercampur, dapat digunakan
alat ekspansi lepasan dengan spring dan screw ekspansi yang diaktivasi
sebesar 1-2 putaran per minggu yang menghasilkan pergerakan 0,20-0,50
mm. Pada periode gigi permanen, alat eksoansi yang digunakan dapat berupa
quad helix, w-spring TPA atau arc-wire. Bila ekspansi diperlukan sekitar 512 mm diindikasikan alat ekspansi cekat. Aktivasi sebesar 0,5-1 mm atau 2

18

kali putaran per hari. RPE dapat mengekspansi tidak hanya pada lengkung
gigi tetapi juga lengkung rahang denga usia optimal penggunaan RPE adalah
pada puncak masa pertumbuhan. Pada kasus skeletal ekstrem, bila
diperlukan ekspansi lebih dari 12 mm diindikasikan alat ekspansi cekat
dikombinasi dengan bedah.
c. Distalisasi Gigi Molar atas
Distalisasi gigi molar aas bertujuan untuk memperoleh ruangan guna
memperbaiki susunan gigi geligi atau memperbaiki hubungan gigi molar.
Pergerakan yang diinginkan adalah pergerakan bodili semaksimal mungkin
dengan minimalnya resiko resorpsi akar dan loss of anchorage gigi anterior
ke labial. Indikasi distalisasi molar atas adalah pada kasus maloklusi klas II
ringan hingga sedang, terutama pada kasus yang disebabkan oleh prematur
loss, pada kasus gigi berjejal ringan hingga sedang, baik untuk tipe wajah
mesofacial atau brachifacial, profil wajah lurus atau flat dan masih
mempunyai potensi pertumbuhan. Alat untuk distalisasi gigi molar dapat
intraoral atau ekstraoral. Headgear merupakan alat distalisasi molar ekstra
oral yang paling sering digunakan. Kelebihan headgear selain menghasilkan
efek ortodonti juga efek ortopedik pada usia pertumbuhan, tidak
menyebabkan hilangnya penjangkaran pada gigi anterior, dapat digunakan
pada kasus asimetri, dan memiliki kontrol vertikal. Headgear mendistalisasi
gigi molar sebesar 3 mm dalam 3 bulan. Banyak macam alat distalisasi

19

molar intra oral. Hilgers pendulum adalah salah satu alat intra oral yang
sering dipakai. Alat ini terdiri atas plat palatal akrilik berdiameter 25 mm
dengan kawat distalisasi dari beta-titanium berdiameter 0,032 yang tertanam
didalamnya, kemudian ujung kawat distalisasi lainnya disolder atau
dimasukkan kelingual palatal sheath dari cincin gigi molar. 3
2. Tindakan Ekstraksi
Pencabutan gigi permanen perlu dilakukan apabila diskrepansi total menunjukan
kekurangan tempat lebih dari 8 mm. Diskrepansi total terdiri atas diskrepansi
model, diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva spee dan perkiraan banyaknya
keholangan penjangkaran. Untuk mendatarkan kurva spee yang kedalamannya
kurang dari 3 mm diperlukan tempat 1 mm, bila lebih besar daripada 5
mmdiperlukan tempat 2 mm. Sebelum dilakukan pencabutan gigi permaen pada
masa geligi pergantian perlu diperhatikan bahwa gigi permanen yang lain ada
meskipun saat itu masih belum erupsi. Pemilihan gigi yang akan dicabut
membutuhkan pertimbangan yang kompleks yang menyangkut semua aspek
perawatan ortodontik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mencabut
gigi permanen antara lain sebagai berikut :
Prognosis gigi, misalnya adanya karies yang besar disertai kelainan
patologis pada apikal yang seandainya dirawat prognosis gigi tersebut

dalam jangka lama masih diragukan.


Letak gigi yang kadang-kadang sangat menyimpang dari letak yang
normal

20

Banyaknya tempat yang dibutuhkan dan dimana letak kekurangan tempat

tersebut.
Relasi insisivus
Kebutuhan penjangkaran

maksimum atau tidak


Profil pasien apakah pencabutan yang dilakukan dapat menyebabkan

apakah

perlu

digunakan

penjangkaran

perubahan profil pasien, misalnya pasien dengan profil yang lurus dengan

adanya pencabutan dapat menyebabkan profil menjadi cekung.


Tujuan preawatan apakah perawatan komprehensif ataukah perawatan
kompromo atau bahkan hanya penunjang.1

2.6 Faktor-faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Mencabut Beberapa


Komponen Individual Dari Gigi Geligi
2.6.1 Insisivus atas

21

Insisivus sentral atas jarang dicabut untuk menghilangkan susunan yang berjejal,
kecuali kondisinya merupakan faktor pengindikasi, seperti misalnya jika gigi ini fraktur
parah. Pada kasus semacam itu, insisivus lateral bisa digeser dan diberi mahkota
selubung agar mirip dengan insisivus sentral yang dicabut pada situasi yang
menguntungkan. Alasan mencabut insisivus lateral atas adalah : 1)malposisi gigi yang
parah, khususnya jika apeksnya terlalu dipalatal 2) malformasi gigi, yang paling sering
adalah mahkotanya berbentuk konus. Kadang-kadang gigi ini juga dicabut untuk gigi
kaninus, jika gigi kaninus ini berjejal ke bukal, keluar dari lengkung rahang.4
2.6.2 Insisivus bawah
Seringkali gigi insisivus bawah tampaknya seolah-olah gigi yang perlu dicabut
untuk menghilangkan susunan yang berjejal, khususnya jika keadaan berjejal ini terbatas
pada segmen anterior dari lengkung gigi. Meskipun demikian, secara umum hasil
pencabutan insisivus bawah mengecewakan, kecuali pada situasi-situasi khusus yang
tertentu. Ada kecenderungan bahwa sesudah insisivus bawah dicabut, gigi-gigi anterior
yang tersisa akan bergeser, dan meskipun susunan yang berjejal bisa diperbaiki dalam
waktu yang singkat, pergerakan ke depan dari gigi-gigi bukal akan menghasilkan kontak
dan posisi insisivus yang tidak ideal. Ada dua keadaan dimana pencabutan gigi insisvus
bawah merupakan indikasi, diluar pemikiran mengenai kondisi gigi-gigi, yaitu : 1) jika
insisivus sama sekali terletak diluar lengkung rahang 2) jika gigi kaninus bawah

22

mempunyai inklinasi distal yang besar. Pada kasus kedua ini, pencabutan gigi disebelah
mesial gigi kaninus akan memungkinkan gigi ini diperbaiki letaknya, karena
menggerakkan mahkota lebih mudah daripada menggerakkan bagian apika. Bahkan
pada situasi ini, pencabutan gigi premolar dan memperbaiki susunan gigi-gigi anterior
dengan terapi pesawat sering kali merupakan pilihan yang lebih sesuai.
2.6.3 Kaninus
Kaninus atas normalnya haya dicabut jika letaknya sangat malposisi. Keadaan ini
bisa merupakan malposisi perkembangan, atau malposisi akibat susunan gigi yang
berjejal. Posisi apeks merupakan faktor pertimbangan utama. Kaninus adalah gigi yang
besar dan pencabutan gigi ini akan meninggalkan ruangan yang lebih besar daripada
pencabutan inisisivus lateral maupun gigi premolar. Dari segi penampilan, kaninus bisa
digantikan dengan baik oleh gigi premolar pertama, asalkan gigi ini berada pada posisi
yang baik dan tidak terotasi. Pencabutan gigi kaninus bawah hanya bisa
dipertimbangkan jika gigi ini diperkirakan sangat sulit diperbaiki susunannya. Ini
biasanya terjadi jika gigi terletak sama sekali diluar lengkung gigidan apeksnya sangat
malposisi. Insisivus lateral bawah-kontak premolar pertama seringkali buruk, dan
sumber peradanagan gingiva serta penyakit periodontal.
2.6.4 Premolar pertama

23

Seperti sudah disebutkan terdahulu, premolar pertama adalah gigi yang paling
sering dicabut untuk memperbaiki susunan yang berjejal 9. Gigi ini terletak didekat
bagian tengah setiap kuadran lengkung gigi, dan karena itu, normalnya terletak didekat
daerah yang berjejal. Faktor lain yang penting adalah gigi ini bis digantikan dengan
premolar kedua, yang mempunyai bentuk sama, dan membentuk hubungan kontak yang
sama dengan kaninus. Jadi, tanggalnya gigi premolar pertama tidak akan mempengaruhi
kualitas hidup antar gigi.
2.6.5 Premolar kedua
Pencabutan gigi premolar kedua untuk menghilangkan susunan yang berjejal
biasanya dilakukan jika gigi itu sendiri malposisi selain juga berjejal. Karena gigi
premolar kedua bererupsi sesudah premolar pertama dan molar pertama permanen, gigi
ini bisa saja terletak sama sekali diluar lengkung gigi. Jika dicabut, gigi ini bisa
digantikan denga baik oleh gigi premolar pertama kecuali jika gigi molar pertama tetap
miring atau rotasi kedepan, dimana pada kasusus ini kontak antara kedua gigi akan
menjadi tidak benar.
2.6.6 Molar pertama permanen
Molar pertama permanen merupakan subyek perdebatan dan perbedaan pendapat
menyangkut kegunaan gigi ini didalam lengkung gigi, khususnya karena sejak dahulu
gigi ini merupakan gigi permanen yang paling rentan terhadap karies dimasa kanak-

24

kanak. Gigi molar pertama permanen juga dianggap sebagai kunci dari lengkung gigi,
dan tidak boleh dicabut atau dikatakan bahwa molar pertama permanen bisa dicabut
sebagai tindakan rutin, yang bermanfaat bagi lengkung gigi pada beberapa kasus. Kedua
pendapat yang berbeda tersebut tentu saja tidak bisa benar dua-duanya, dan kelihatan
karena adanya variasi kondisi oklusal yang luas, maka tidak ada satu aturan tunggal
mengenai molar pertama yang bisa diterpkan pada semua individu. Seperti halnya
dengan gigi-gigi yang lain, situasi yang ada harus dilihat secara individual. Cara yang
rasional untuk melakukannya adalah dengan memeriksa hasil yang bisa diperoleh dari
pencabutan molar pertama permanen. Meskipun demikian, gigi molar pertama sering
juga dicabut jika kondisinya buruk. Pada kasus semacam ini, ada dua aturan umum
untuk menentukan waktu pencabutan yang paling cocok, yaitu : 1) jika tidak ada
susunan yang berjejal, atau bila keadaan ini terbatas pada segmen premolar, dan tidak
dibutuhkan ruangan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Pada kondisi ini,
adalah merupakan kebiasaan untuk mencabut molar pertama sebelum molar kedua
erupsi, sehingga gigi molar kedua akan bisa bergeser kedepan selama erupsinya dan
menempati posisi molar pertama, asalkan gigi premolar yang berjejal sudah diperbaiki
terlebih dahulu. Pada praktiknya, molar pertama bawah biasanya perlu dicabut lebih
cepat daripada molar pertama atas, karena molar kedua berjalan kedepan dengan lebih
cepat pada rahang bawah. 2) jika dibutuhkan ruangan untuk mengatur susunan gigi-gigi
anterior. Pada kondisi ini, ruang yang diperoleh dengan mencabut gigi molar pertama

25

dibutuhkan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Oleh karena itu perlu
menunggu sampai molar kedua erupsi sebelum mencabut molar pertama, sehingga
penutupan ruang karena pergeseran kedepan dari molar kedua, bisa dicegah. Pada
susunan gigi geligi yang berjejal, jika gigi molar pertama kondisinya buruk, kadangkadang gigi ini perlu dicabut lebih dini, untuk memungkinkan terjadinya penutupan
ruangan, dan kemudian gigi premolar digerakkan masing-masing kuadran untuk
memperbaiki susunan gigi yag berjejal.
2.6.7 Molar kedua permanen
Gigi molar kedua permanen tidak sering dicabut untuk memperbaiki susunan
yang berjejal. Posisinya yang berada diakhir lengkung gigi pada masa kanak-kanak
membuat gigi ini biasanya terletak jauh dari daerah berjejal, dan tidakbenar-benar
malposisi meskipun ada susunan gigi yang berjejal. Meskipun demikian, Richardsno
(1983) melaporkan hasil suatu studi klinis dimana pencabutan molar kedua bawah
mengurangi berjejal-jejalnya susunan gigi-gigi anterior bawah. Gigi molar kedua bawah
kadang-kadang dicabut jika molar pertama tetap sudah bergeser kedepan, meninggalkan
ruang yang tidak memadai untuk erupsi premolar kedua. Pencabutan gigi molar kedua
memang dianjurkan untuk mencegah terjadinya impaksi molar ketiga bawah, namun
cara perawatan ini tidak bisa diterapkan untuk semua kasus. Satu-satunya kondisi
dimana pencabutan molar kedua bawah bisa menghasilkan posisi molar ketiga bawah

26

yang baik adalah : 1) jika molar ketiga letaknya lurus, tidak miring ke mesial lebih dari
30 derajat 2) jika pencabutan dilakukan hanya jika mahkota gigi molar ketiga sudah
terkalsifikasi. Pencabutan molar kedua juga menjadi alternatif perawatan pada pasien
dengan gigitan terbuka yang hanya berkontak pada gigi molar kedua dengan pembukaan
bidang oklusal yang besar.(prinsip perawatan dan pemilihan mekanik)
2.6.8 Molar ketiga permanen
Dahulu gigi ini dicabut untuk menghindari gigi berdesakan diregio anterior

tetapi sekarang banyak yang berpendapat bahwa pencabutan molar ketiga hanya untuk
mencegah gigi berdesakan diregio anterior tidak dianjurkan .
2.7 Penutupan Ruang Sesudah Pencabutan
Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai penutupan spontan dari ruangan
sesudah pencabutan gigi. Seipel ( 1946 ) menemukan bahwa pada gigi geligi susu,
penutupan ruang terjadi lebih sedikit pada regio insisivus daripada diregio molar, dan
lebih banyak dirahang atas atas daripada dirahang bawah. Ia juga menemukan bahwa
pada gigi geligi susu, penutupan ruang sesudah pencabutan berjalan progresif sampai 28
bulan sesudah pencabutan, tetapi pada gigi geligi tetap, penutupan ruang terjadi paling
cepat selama 3 bulan pertama, agak melambat sampai 9 bulan, dan kemudian makin
melambat, dan hanya sedikit penutupan sesudah bulan ke 9. Secara umum disepakati
bahwa penutupan ruang sesudah pencabutan pada lengkung gigi yang berjejal atau

27

berpotensi berjejal terjadi dari kedua sisi ruang pencabutan, yaitu baikberupa pergerakan
mesial dari gigi yang terletak dibelakangnya maupun pergerakan ke distal dari gigi-gigi
yang terletak di depan ruang tersebut ( northway dkk, 1984 ). Pergerakan ke mesial
biasanya

berlangsung

lebih

besar

daripada

pergerakan

ke

distal,

bahkan

perbandingannya bias 2:1. 4

BAB III
KERANGKA KONSEP

USIA

Maloklusi Kelas 1

28

-ekstraksi

gigi/
non ekstraksi

ETIOLOGI
MALOKLUS
I

PERGERAKAN
GIGI

PENERAPAN
MEKANIKA
PERAWATAN
ORTODONTIK

RESPON
PASIEN

Lama
perawatan

TINGKAT
KEPARAHAN
MALOKLUSI

Keterangan:
Variabel bebas

Variabel tidak terkendali

Variabel terikat

Variabel antara

Variabel terkendali

Hub.antar variabel

Hubungan variabel terkendali / tidak terkendali


BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian

29

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik
4.2 Rancangan Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional
4.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dibagian RSGM Kandea
4.4 Waktu Penelitian
Maret 2012 April 2012
4.5 Populasi Penelitian
a) Populasi : pasien yang telah selesai menjalani perawatan ortodontik dengan alat
ortodontik lepasan dibagian ortodontik RSGMP Kandea.
b) Sampel : sampel penelitian ini adalah model gigi dan kartu status dari pasien
yang telah selesai menjalani perawatan ortodonti

4.6 Kriteria Sampel


a)
b)
c)
d)
e)

Perawatan ortodonti dengan alat ortodonti lepasan.


Model gigi sebelum dan sesudah perawatan ortodonti dalam keadaan baik.
Fase gigi permanen
Maloklusi kelas 1
Kartu status pasien

30

4.7 Variabel
a.
b.
c.
d.

Variabel bebas : Ekstraksi gigi


Variabel terikat : Lama waktu perawatan
Variabel terkendali : Usia dan maloklusi kelas 1
Variabel tidak terkendali :
a) Etiologi maloklusi
b) Tingkat keparahan maloklusi
c) Penerapan mekanika perawatan ortodontik
d) Respon pasien terhadap perawatan ortodontik
e. Variabel antara : Pergerakan gigi
4.8 Devinisi Operasional
a) Ekstraksi gigi adalah tindakan pencabutan gigi yang dilakukan untuk
mendapatkan ruang pada perawatan ortodonti.
b) Waktu yang diperlukan selama perawatan : waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan kasus maloklusi.
4.9 Alat dan Bahan
a) Model gigi rahang atas dan bawah sebelum dan sesudah perawatan.
b) Kartus status pasien.
c) Alat tulis
4.10 Kriteria Penilaian
a) Melihat keadaan model yang non ekstraksi dan kartu status pasien.
b) Melihat keadaan model yang di lakukan ekstraksi dan kartu status pasien.
c) Melakukan analisis terhadap kedua waktu perawatan ortodontik baik non
ekstraksi maupun ekstraksi.

31

4.11 Analisis Data


a) Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
b) Pengolahan data :
Dilakukan secara manual dan menggunakan SPSS.
c) Penyajian data :
Tabulasi ( distribusi tabel ) dan hasil olahan SPSS.

32

4.12 Alur Penelitian


Lokasi di
RSGMP Kandea

Pengambilan
sampel sesuai
kriteria penilaian

Maloklusi kelas 1

Sampel (model &


kartu status
pasien) sebelum
perawatan

Ekstraksi /non
ekstraksi

Sampel (model
& kartu status
pasien) sesudah
perawatan

Analisis data

33

Kesimpulan

BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara ekstraksi gigi dengan
waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodontik. Lama perawatan ortodontik dalam
penelitian ini dinilai dengan menggunakan satuan bulan. Penelitian ini dilakukan pada
bulan maret 2012 di Bagian Ilmu Orthodontik Rumah Sakit Gigi Mulut Hj. Halimah
Daeng Sikati, Kandea (RSGMP Kandea). Penelitian ini mengambil 60 model studi dan
kartu status pasien yang telah berhasil menjalani perawatan ortodontik sebagai sampel
penelitian. Sampel penelitian harus memenuhi kriteria seleksi sampel yang ditetapkan
sebelumnya untuk dijadikan sebagai sampel.
Pengambilan data dilakukan melalui pemeriksaan kartu status dan model studi
pasien yang telah berhasil dalam perawatan ortodontik. Kartu status dan model studi
pasien diperiksa sebelum dan setelah menjalani perawatan. Data yang diambil berupa
status sosio-demografi pasien, seperti usia dan jenis kelamin, kelas maloklusi pasien,
tanggal awal perawatan, dan tanggal selesai perawatan. Melalui data tanggal awal dan
tanggal selesai perawatan, akan diperoleh lama perawatan ortodontik. Kelas maloklusi
dalam penelitian ini dibatasi hanya pada kelas 1 maloklusi Angle. Selanjutnya, hasil

34

penelitian akan dikumpulkan, diolah, dan dianalisis menggunakan program SPSS (versi
16), serta ditampilkan melalui tabel distribusi sebagai berikut.

35

Tabel 1. Distribusi karakteristik subjek (N=60)


Karakteristik sampel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Usia
Kelas Maloklusi
Kelas 1 tipe 1
Kelas 1 tipe 2
Kelas 1 tipe 3
Kelas 1 tipe 6
Kelompok pencabutan
Ekstraksi
Non-ekstraksi
Lama Perawatan (bulan)

Frekuensi (n)

Persen (%)

18
42

30,0
70,0

Mean SD

20,78 3,71
26
7
1
26

43,3
11,7
1,7
43,3

30
30

50,0
50,0
11,41 7,37

Tabel 1 memperlihatkan distribusi karakteristik sampel penelitian dengan


jumlah sebanyak 60 model studi dan kartu status pasien. Terlihat pada tabel 1
bahwa model studi yang dijadikan sampel terdiri dari 42 perempuan dan 18 lakilaki, dengan rata-rata usia yang dijadikan sampel adalah 20 tahun. Kelas
maloklusi yang dijadikan sebagai sampel dibatasi pada kelas 1, tanpa batasan tipe.
Namun, pada penelitian ini tidak ada model studi yang dijadikan sampel dengan
tipe 4 dan tipe 5. Pada tabel 1 terlihat, jumlah kelas maloklusi yang paling banyak
adalah kelas 1 tipe 1 dan kelas 1 tipe 6, masing-masing dari tipe ini berjumlah 26
model studi. Adapun, model studi yang dijadikan sampel dibagi dalam dua
kelompok yang sama banyak (30 model studi), yaitu kelompok ekstraksi dan non
ekstraksi. Rata-rata lama perawatan ortodontik dihitung dalam satuan bulan. Lama
perawatan ortodontik diperoleh melalui pengurangan tanggal selesai perawatan

36

dengan tanggal awal perawatan. Tabel 1 memperlihatkan rata-rata lama perawatan


adalah 11 bulan.

Tabel 2. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin


Karakteristik sampel
Kelompok pencabutan
Ekstraksi
Non-ekstraksi
Kelas Maloklusi
Kelas 1 tipe 1
Kelas 1 tipe 2
Kelas 1 tipe 3
Kelas 1 tipe 6
Lama Perawatan

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

Total

9 (50%)
9 (50%)

21 (50%)
21 (50%)

30 (100%)
30 (100%)

8 (44,4%)
2 (11,1%)
0 (0)
8 (44,4%)

18 (42,9%)
5 (11,9%)
1 (2,4%)
18 (42,9%)

26 (100%)
7 (100%)
1 (100%
26 (100%)

37

1-10 bulan
11-20 bulan
>20 bulan
Total

10 (55,6%)
5 (27,8%)
3 (16,7%)
18 (100%)

23 (54,8%)
12 (28,6%)
7 (16,7%)
42 (100%)

33 (100%)
17 (100%)
10 (100%)
60 (100%)

Tabel 3. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan kelompok pencabutan


Karakteristik sampel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelas Maloklusi
Kelas 1 tipe 1
Kelas 1 tipe 2
Kelas 1 tipe 3
Kelas 1 tipe 6
Lama Perawatan
1-10 bulan
11-20 bulan
>20 bulan
Total

Kelompok Pencabutan
Ekstraksi
Non-ekstraksi

Total

9 (30%)
21 (70%)

9 (30%)
21 (70%)

18 (100%)
42 (100%)

24 (80%)
6 (20%)
0 (0)
0 (0)

2 (6,7%)
1 (3,3%)
1 (3,3%)
26 (86,7%)

25 (100%)
24 (100%)
1 (100%
26 (100%)

6 (20%)
15 (50%)
9 (30%)
30 (100%)

27 (90%)
2 (6,7%)
1 (3,3%)
30 (100%)

33 (100%)
17 (100%)
10 (100%)
60 (100%)

Tabel 2 dan tabel 3 memperlihatkan hal yang hampir sama. Pada tabel 2
terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin, sedangkan pada
tabel 3 terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan kelompok pencabutan.
Melalui tabel 2, dapat terlihat bahwa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-

38

laki baik pada kelompok ekstraksi maupun non-ekstraksi, yang terdiri dari 9 lakilaki maupun 21 perempuan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada tabel 3.
Adapun, kelas maloklusi tertinggi, baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah
kelas 1 tipe 1 dan tipe 6. Tabel 2 memperlihatkan kelas 1 tipe 3 tidak terdapat
sama sekali pada laki-laki, sedangkan pada perempuan hanya satu orang. Lama
perawatan tertinggi, baik pada laki-laki maupun perempuan adalah 1-10 bulan,
dengan jumlah 10 untuk laki-laki dan 23 untuk perempuan. Pada tabel 3 terlihat
bahwa kelas maloklusi tertinggi untuk kelompok ekstraksi adalah kelas 1 tipe 1
(24 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah kelas 1 tipe 6 (26 orang).
Tabel 3 juga menunjukkan lama perawatan tertinggi pada kelompok ekstraksi
adalah 11-20 bulan (15 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah 1-10
bulan (27 orang).

39

Tabel 4. Distribusi rata-rata usia dan lama perawatan ortodontik


Frekuensi
Karakteristik sampel
(n)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelas Maloklusi
Kelas 1 tipe 1
Kelas 1 tipe 2
Kelas 1 tipe 3
Kelas 1 tipe 6
Lama Perawatan
1-10 bulan
11-20 bulan
>20 bulan
Kelompok pencabutan
Ekstraksi
Non-ekstraksi
Total

Usia
Mean SD

Lama Perawatan (bulan)


Mean SD

18
42

20,174,12
21,053,54

11,087,67
11,557,33

26
7
1
26

21,003,74
20,002,16
220
20,734,13

15,455,83
16,717,87
4,90
6,194,96

33
17
10

21,274,523
19,352,29
21,601,65

5,492,40
16,052,51
23,042,35

30
30
60

20,502,37
21,074,71
20,783,71

16,705,57
6,124,65
11,417,37

Tabel 4 memperlihatkan distribusi rata-rata usia dan lama perawatan


ortodontik. Rata-rata usia laki-laki adalah 20 tahun dan untuk perempuan adalah
21 tahun. Adapun, berdasarkan kelas maloklusi, kelas 1 tipe 3 memiliki rata-rata
usia paling tinggi, yaitu 22 tahun. Pada kategori lama perawatan, kelompok >20
bulan memiliki rata-rata usia tertinggi dengan 21 tahun dan berdasarkan kelompok
pencabutan, non-ekstraksi gigi memiliki rata-rata usia lebih tinggi dari ekstraksi
gigi dengan 21 tahun juga. Selain usia, tabel 4 juga memperlihatkan rata-rata lama
perawatan ortodontik. Baik laki-laki, maupun perempuan memiliki rata-rata lama

40

perawatan yang sama, yakni 11 bulan. Berdasarkan kelas maloklusi, kelas 1 tipe 2
memburuhkan waktu yang paling lama, yaitu 16 bulan, dan kelas 1 tipe 3 yang
paling sedikit, yaitu 5 bulan. Dari segi kelompok pencabutan, ekstraksi gigi
memerlukan waktu yang lebih lama dari non-ekstraksi.
Tabel 5. Hubungan antara ekstraksi gigi dengan lama perawatan ortodontik
Lama Perawatan
1-10 bulan 11-20 bulan
Ekstraksi
6 (18,2%)
15 (88,2%)
Non-ekstraksi
27 (81,8%)
2 (11,8%)
Total
33 (100%)
17 (100%)
*Chi-square test: p<0,001; very high significant
Kelompok Pencabutan

>20 bulan
9 (90%)
1 (10%)
10 (100%)

Total
30 (100%)
30 (100%)
60 (100%)

p value
0,000*

Tabel 5 memperlihatkan hubungan antara ekstraksi gigi dengan lama


perawatan ortodontik. Melalui tabel 5 terlihat bahwa perawatan ortodontik dengan
pencabutan membutuhkan waktu yang lebih banyak dibandingkan tanpa
pencabutan. Terlihat pada kelompok ekstraksi, lama perawatan tertinggi terletak
pada 11-20 bulan, sedangkan pada kelompok non-ekstraksi, lama perawatan
tertinggi terletak pada 1-10 bulan. Berdasarkan uji chi-square, terlihat p<0,001,
yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ekstraksi gigi dengan
waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodontik. Nilai p value yang sangat
kecil menunjukkan hubungan yang sangat signfikan. Jadi, melalui hasil penelitian
ini dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pencabutan gigi dengan lama
perawatan ortodontik.

41

BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan ekstraksi gigi
dengan lama perawatan orthodonti di RSGM kandea. Seperti yang sudah di bahas
sebelumnya, jelas bahwa jika susunan gigi yang berjejal terletak disalah satu
lengkung gigi, susunan ini akan bisa diperbaiki dengan lebih mudah jika
dilakukan pencabutan pada bagian lengkung tersebut, daripada dibagian lain yang

42

jauh letaknya dari tempat gigi yang berjejal. Meskipun demikian, prinsip ini
bukanlah sesuatu yang absolut. Susunan insisvus yang berjejal biasanya diperbaiki
dengan mencabut gigi premolar, sehingga bisa diperoleh penampilan akhir yang
lebih memuaskan dan keseimbangan oklusal daripada jika gigi insisivus yang
dicabut. Selanjutnya, posisi akhir dari gigi dan khususnya, rincian kontak
interdental, harus juga dipertimbangkan. Premolar pertama, pada kenyataannya,
adalah gigi yang paling sering dicabut untuk memperbaiki susunan berjejal.
Karena letaknya ditengah pada setiap kuadran rahang, gigi premolar pertama
biasanya terletak cukup dekat dengan daerah berjejal, baik di segmen anterior
maupun bukal. Faktor pertimbangan yang lain adalah posisi gigi itu sendiri. Gigigigi yang sangat malposisi dan sulit diperbaiki susunannya adalah gigi yang
paling sering dipilih dicabut. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada
gigi-gigi perorangan yaitu :
a. Insisivus atas dan kaninus : biasanya dicabut hanya jika kondisi gigi-gigi
ini sudah rusak atau malposisi parah.
b. Insisivus bawah dan kaninus :pencabutan biasanya dihindarkan, kecuali
jika posisi gig-gigi ini sama sekali keluar dari lengkung atau gigi kaninus
mempunyai inklinasi distal yang sangat besar.
c. Premolar pertama : gigi yang paling sering dicabut. Dapat digantikan
dengan mudah oleh premolar kedua, dan karena merupakan pusat dari tiap
kuadran, gigi ini biasanya terletak dekat dengan daerah yang berjejal.

43

d. Premolar kedua : biasanya dicabut hanya jika malposisi. Bisa digantikan


dengan baik oleh premolar pertama, kecuali jika molar pertama miring
atau berotasi.
e. Molar pertama : biasanya bukan gigi yang dipilih untuk dicabut. Jika
pencabutan perlu dilakukan akibat karies, ada situasi umum yang
menentukan saat pencabutan :

Jika tidak dibutuhkan ruang untuk memperbaiki susunan segmen


anterior, cabut gigi ini sebelum molar kedua erupsi.

Jika ruang dibutuhkan untuk memperbaiki susunan segmen


anterior, cabut gigi ini sesudah molar kedua erupsi.

f. Molar kedua : pencabutan tidak memungkin terjadinya perbaikan spontan


dari kondisi berjejal, tetapi bisa menghilangkan impaksi molar ketigajika :

Molar ketiga tidak terlalu miring ke distal

Perkembangan molar ketiga belum melampaui tahap kalsifikasi


mahkota pada saat pencabutan.

g. Molar ketiga : kadang-kadang dicabut dini, meskipun ada keraguan apakah


pencabutan ini bisa ikut membantu menghilagkan atau mencegah kondisi
berjejal anterior.4
Pencabutan gigi-gigi biasanya dilakukan untuk dua alasan utama yaitu untuk
menghilangkan susunan gigi yag berjejal dan mendapatkan ruangan demi
memperbaiki penyimpangan lengkung antero-posterior. Dari hasil penelitian yang
dilakukan bahwa terlihat pada kelompok ekstraksi, lama perawatan tertinggi

44

terletak pada 11-20 bulan, sedangkan pada kelompok non-ekstraksi, lama


perawatan tertinggi terletak pada 1-10 bulan. Berdasarkan uji chi-square, terlihat
p<0,001, yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ekstraksi
gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodontik. Nilai p value
yang sangat kecil menunjukkan hubungan yang sangat signfikan. Jadi, melalui
hasil penelitian ini dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pencabutan gigi
dengan lama perawatan ortodontik.

BAB VII
PENUTUP

6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tanggal 8
maret 2012-9 maret 2012, maka dapat disimpulkan bahwa:

45

a. Perbedaan lama perawatan jelas ketika pasien ekstraksi dan non ekstraksi
dibandingkan.
b.

Lama perawatan juga berhubungan dengan jumlah gigi yang diesktraksi

c. Gigi premolar pertama merupakan gigi yang paling banyak diekstraksi


karena merupakan pusat dari tiap kuadran
d. Pencabutan gigi-gigi biasanya dilakukan untuk dua alasan utama yaitu
untuk menghilangkan susunan gigi yag berjejal dan mendapatkan ruangan
demi memperbaiki penyimpangan lengkung antero-posterior.

6.2 SARAN
a. Dalam mengambil keputusan tindakan ekstraksi maupun tindakan non
ekstraksi, seorang dokter gigi harus melakukannya dengan teliti agar tidak
terjadi kesalahan dalam melakukan perawatan.
b. Pasien yang kooperatif juga dapat membantu dlam menentukan lama
perawatan ortodonti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Susilowati, Sulastry. Korelasi antara lebar mesiodistal gigi dengan


kecembungan profil jaringan lunak wajah orang bugis-makassar.
Dentofacial 2007 Okt; 2(6): 73
46

2. Mavreas dimitrious, Athanasiou Arhanasiouus E. Factor affecting the


duration of orthodontic treatment: a systemic review. University of
theddoloniki 2008 Des; (30): 387, 393
3. Erliera, Anggani Haru setyo. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan indikasi ekstraksi atau non ekstraksi pada perawatan
orthodonti. Dentika dental journal 2006; 2(11): 198-201
4. Foster, T.D. Buku ajar ortodonsi edisi III. Jakarta: EGC; 1997, p. 134-156
5. Rahardjo, P. Ortodonti Dasar. Surabaya: AUP; 2009, p. 112-131
6. Rahmadhan Ardyan Gilang. Kesehatan gigi dan mulut . Kawah media.
Jakarta. 2010 hal 155
7. Yohana, Winny. Perawatan ortodonti pada geligi campuran. Fakultas
kedokteran gigi universitas padjajaran. Bandung. Hal : 1
8. Margo A, Krisnawati, dkk. Evaluasi lebar antar kaninus dan antarmolar
pada perawatan kasus maloklusi dengan pencabutan premolar pertama.
M.I. Kedokteran gigi 2006 Des; 4(21): 133-132, 135
9. Sakinah, sutardjo iwa, dkk. Perawatan maloklusi angle kelas II divisi 1
dengan pre ortodontik trainer individual hidrophilic vinye polysiloxine.
M.I. Kedokteran gigi 2008 Mar; 1(23) : 22

47

10. Budianto Erly, Purbiati maria. Prinsip perawatan dan pilihan mekanik
kasus gigitan terbuka anterior. M.I. Kedokteran gigi 2007 Sept; 3 (22) :
104-108
11. Metalita murtia, pencabutan gigi molar ketiga untuk mencegah terjadinya
gigi berdesakan anterior rahang bawah. M.I. Kedokteran gigi 2007 Mar 2
(23) : 1

48

Anda mungkin juga menyukai