Anda di halaman 1dari 7

SHOCK KARDIOGENIK

1. DEFINISI
Syok kardiogenik adalah gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh
ketidakmampuan jantung untuk memberikan asupan darah yang adekuat kepada
jaringan untuk memenuhi kebutuhan basal. Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi
hipotensi persisten dan hipoperfusi jaringan akibat kegagalan fungsi jantung dengan
volume intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang memadai. Dengan kata
lain pada syok kardiogenik terjadi penurunan curah jantung sistemik yang dapat
mengakibatkan hipoksemia jaringan dalam kondisi volume intravaskular yang cukup
(Califf & Bengston, 2010)
2. ETIOLOGI
Syok kardiogenik lebih banyak berkaitan dengan hilangnya fungsi dari >40%
miokard ventrikel kiri dan hanya sedikit akibat dari kerusakan miokard ventrikel kanan.
Kerusakan miokard harus segera diketahui karena bahkan jumlah infark miokard yang
sedikit sekalipun dapat menimbulkan syok kardiogenik. Disamping itu, pasien dengan
kecacatan jantung seperti kelainan katup maupun septum juga dapat menyebabkan
syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu:

Infark Miokard Akut


Merupakan penyebab tersering dari syok kardiogenik. Hal ini disebabkan oleh
hilangnya fungsi miokard akibat infark. Syok kardiogenik lebih sering terjadi pada
infark miokard ventrikel kiri daripada ventrikel kanan.

Komplikasi mekanis
Penyebab syok kardiogenik selain infark adalah komplikasi mekanik. Proses
mekanis yang dimaksud antara lain disfungsi atau ruptur muskulus papilaris yang
biasanya terjadi pada katup mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral akut,
ruptur septum ventrikular, ruptur dinding, ataupun aneurisma ventrikel kiri.

Kondisi lain seperti

- Kardiomiopati stadium akhir


- Kontusio miokard
- Miokarditis
- Obstruksi aliran keluar dai ventrikel kiri (stenosis aorta, cardiomiopati obstruktif
hipertrofik)
- Obtruksi aliran masuk ventrikel kiri (mitral stenosis, miksoma atrium kiri) (Cuculich
and Kates, 2010)
3. MANIFESTASI KLINIK
Hipotensi sistemik dengan nilai sistol <90mmHg sering dipakai menjadi dasar
diagnosis. Penurunan tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin
yang mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis yang dapat
ditemukan sebagai tanda hipoperfusi sistemik adalah hipotensi, tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan (oliguria, cyanosis, akral dingin, perubahan status mental), dan syok
yang tidak membaik setelah koreksi faktor nonkardiak seperti kondisi hipovolemik,
hipoksia, dan asidosis.
Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan dengan adanya tekanan darah sistolik
90mmHg selama 30 dimana:
-

Tidak responsif dengan pemberian cairan saja (fluid challenge),


Merupakan suatu komplikasi akibat disfungsi jantung, atau
Terdapat tanda-tanda hipoperfusi jaringan (oliguria, cyanosis, akral dingin, perubahan

status mental)
Peningkatan rasio oksigen arteri-vena >5,5 ml/dl, penurunan indeks kardiak
<2,2L/menit/m2 ,dan peningkatan tekanan kapiler pulmonum di atrium kiri (tekanan Baji
paru/ PCWP) >18 mmHg (Idrus A, 2011)

Selain itu dipertimbangkan pula definisi berikut:


-

Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90mmHg dalam 1 jam setelah

pemberian obat inotropik, dan


Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi tidak memenuhi kriteria syok
selain kardiogenik.
Penegakan diagnosis juga membutuhkan suatu kemampuan tenaga medis
untuk segera tanggap terhadap adanya gangguan hemodinamik pada pasien penyakit
jantung. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang harus harus
dilakukan dengan cepat dan tepat agar terapi dapat segera diberikan secara adekuat.

Anamnesis

Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Pasien dengan infak miokard akut datang dengan keluhan nyeri dada tipikal yang akut,
dan kemudian sudah memiliki riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya
terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut. Umumnya
pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan
adanya edema paru akut bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop, atau
merasakan akibat berkurangnya perfusi jaringan ke sistim saraf pusat (Cuculich and
Kates, 2010).
4. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium pada syok kardiogenik memperlihatkan adanya
hipoksia, peningkatan kreatinin dan asam laktat. Foto rontgen thorax dapat
memperlihatkan gambaran kongesti pulmonal. Pemeriksaan penunjang yang sering
dipergunakan dalam membantu diagnosis antara lain,
a. Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG dapat membantu untuk menentukan terjadinya syok kardiogenik.
Misalnya pada infark miokard akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut.
Demikian pula bila lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan maka akan terlihat
proses di sandapan jantung sebelah kanan (misalnya elevasi T di sandapan V4R).
Begitu pula bila gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok
kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut
(Cuculich and Kates, 2010).
b. Foto Rontgen Dada
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau
edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septum
ventrikel atau regurgutasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran
kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang
pertama kali. Gambaran kongesti paru jarang terlihat pada pada gagal ventrikel
kanan atau keadaan hipovolemik.
c. Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non invasif ini sangat banyak membantu dalam
mendiagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif
cepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di tempat tidur pasien. Informasi
yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri
(global maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi),

tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt/pirai (misalnya pada defek spetum
ventrikel dengan left to the right shunt), efusi perikardial atau tamponade.
d. Pemantauan Hemodinamik
penggunaan kateter Swan Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan
pulmonal capillary wedge pressure sangat berguna, khususnya untuk memastikan
diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang
diberikan. Pasien dengan syok kardiogenik akibat kegagalan ventrikel kiri yang berat,
akan terjadi peningkatan PCWP. Apabila PCWP mencapai >18mmHG pada pasien
dengan ingfark miokard akut, maka dapat ditentukan bahwa volume intravaskular
pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan atau
hipovolemia yang berat akan menunjukkan PCWP yang normal atau rendah.
Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterloas
(resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila
terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang
akan menghasilkan penurunan curah jantung (Cuculich and Kates, 2010).
e. Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat
pemasangan kateter Swanganz yang juga dapat mendeteksi adanya defek septum
ventrikel. Bila terdapat pirai yang kaya akan oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel
kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.
6. PENATALAKSANAAN
Dalam kondisi syok, resusitasi dan usaha suportif harus diberikan segera,
bersamaan

dengan

penegakan

diagnosis.

Volume

pengisian

ventrikel

kiri

harus

dioptimalkan, dan apabila tidak terdapat tanda-tanda kongesti paru, pemberian cairan
sekurang-kurangnya 250ml dapat dilakukan dalam 10 menit. Oksigenasi adekuat sangatlah
penting. Intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan gangguan difusi
oksigen. Hipotensi yang terus berlangsung akan memicu kegagalan otot pernapasan dan
hal ini dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis (Idrus A, 2011).
Prognosis pasien dengan syok kardiogenik tergolong buruk, karena secara definisi
tidak terlihat adanya kelainan metabolit, hemodinamik, humoral, ataupun masalah infeksi
yang dapat dikoreksi untuk memperbaiki fungsi sirkulasi.
Terapi farmakologis pasien dengan syok kardiogenik berperan penting dalam
manajemen klinis. Diuretik, agen inotropik, dan obat-obatan vasodilator memiliki tempat
tersendiri bagi pasien dengan curah jantung yang rendah dan syok kardiogenik akibat infark
miokard. Diuretik seperti furosemide dapat digunakan untuk meredakan gejala kongesti
pulmonal namun tidak efektif untuk mengatasi hipotensi maupun hipoperfusi organ.

Ditambah lagi apabila terdapat keadaan kegagalan ginjal, maka diuretik sama sekali tidak
efektif.
Agen inotropik yang palin efektif dan direkomendasikan adalah golongan amine
simpatomimetik, seperti dopamin dan dobutamin, yang memiliki efek pada beberapa
variabel penting syok kardiogenik, seperti kondisi intropik dan kronotropik positif, kebutuhan
oksigen miokard, tekanan pengisian ventrikel kiri, dan tonus vaskular perifer. Semua agen
inotropik memiliki kemungkinan memperberat iskemia miokard karena dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard dalam kondisi kurangnya suplai oksigen dari arteri. Agen
vasodilator (phentolamin, nitroprusid, dan nitrogliserin) digunakan pada kondisi akibat
komplikasi mekanis seperti regurgutasi mitral atau ruptur septum ventriel (Rude RE,1983).
Pada pasien dengan gangguan perfusi jaringan namun volume intravaskular
adekuat, obat-obatan inotropik dan vasopresor harus diberikan segera. Dobutamin
merupakan pilihan yang paling utama dibanding amine simpatomimetik meskipun terjadi
hipotensi. Obat ini menambah aliran darah diastol menuju pembuluh koroner dan pembuluh
darah

kolateral

pada

area

iskemik

sambil

meningkatkan

kontraktilitas

miokard,

meningkatkan curah jantung, serta menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri.


Ketika hipotensi memberat dan hipoperfusi jaringan terjadi, obat pilihan adalah
dopamin karena dibutuhkan vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan perfusi organorgan vital. Norepinefrin digunakan apabila terdapat hipotensi berat untuk meningkatkan
tekanan darah sementara usaha resusitasi lain dimulai (Idrus A, 2011).
Dengan mengasumsikan gagal jantung kiri sebagai penyebab syok kardiogenik
(sistol <90mmHg, cardiac index <2.2 L/minute/m2), maka penatalaksanaan yang dianjurkan
antara lain:
2.4.1 Tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ selama diakukan terapi definitif.
Mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) yang adekuat untuk mencegah kecacatan
neurologis dan gangguan ginjal.
1. Oksigenasi
Saturasi oksigen perlu dipertahankan hingga diatas 90% jika memungkinkan.
Intubasi dapat dilakukan, namun harus tetap waspada terhadap hipotensi akibat
sedasi dan penurunan pengisian jantung dengan ventilasi tekanan positif.
2. Cairan Intravena
Target tekanan baji paru atau pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
adalah 18mmHg. Pasien dengan PCWP rendah lebih baik diberikan hidrasi lambat.
Pasien dengan edema pulmonal atau peningkatan PCWP terbaik dilakukan diuresis
dengan menggunakan furosemid intravena dengan memonitor tanda-tanda hipotensi.
3. Inotropik dan vasopressor

Jika tekanan darah sistol <70mmHg, mulai pemberian norephineprin 0,013mcg/kgBB/menit hingga tercapat MAP 70mmHg. Jika tekanan darah sistole 70-90
mmHg, mulai pemberian dopamin 2-20 mcg/kgBB/menit dengan dosis maksimal
50mcg/kgBB/menit. Dopamin meningkatkan cardiac output dan aliran darah ginjal
(renal blood flow) melalui reseptor spesifik beta-dopamin. Pada dosis 520mcg/kgBB/menit, dopamin memberikan efek efek vasokonstriksi karena stimulasi
alfa adrenergik. Dengan tekanan darah sistol 70-90mmHg tanpa adanya tanda-tanda
syok, dobutamin adalah agen yang dipilih. Dobutamin dimulai dengan dosis 220mcg/kgBB/menit dengan dosis maksimal 40mcg/kgBB/menit
4. Menentukan Anatomi Koroner Secara Dini dan Revaskularisasi
Hal ini merupakan langkah penting dalam tata laksana syok kardiogenik yang
berasal dari kegagalan jantung yang predominan. Pasien di Rumah sakit perifer harus
segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi dengan
IABP. Syok berkaitan dengan gangguan pembuluh darah seperti penurunan fungsi ventrikel
kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan
anatomi koroner. Suatu lesi circumfleksa atau lesi koroner kanan jarang mempunyai
manifestasi syok pada kondisi tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri,
bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati (Menon and Hotchman, 2013).
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan modalitas
terapi secepatnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat revaskularisasi
(perkutan ataupun surgikal) atau terapi farmakologis pada pasien dengan syok kardiogenik.
Studi mengenai syok kardiogenik menunjukkan pasien yang mengalami syok kardiogenik
dalam 36 jam infark miokard dibandingkan dengan revaskularisasi sebagai tatalaksana
agresif. Walaupun tidak terdapat penurunan mortalitas dalam 30 hari, namun penurunan
mortalitas secara signifikan terlihat dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun. Pasien
muda (<75 tahun) memberikan respon yang baik terhadap revaskularisasi sedangkan
pasien lebih tua lebih berespon baik terhadap terapi farmakologis (Cuculich and Kates,
2010).
Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasikan pemasangan
IABP (Intra Aortic Balloon Pump) secara dini pada pasien syok kardiogenik sebagai
terapi agresif. Intra aortic balloon pump (IABP) menurunkan afterload dan meningkatkan
tekanan diastol untuk memperbaiki curah jantung dan perfusi koroner. Pada beberapa
penelitian,

IABP

menurunkan

angka

kematian

bila

digunakan

dalam

usaha

revaskularisasi (Cuculich and Kates, 2010).


Target utama dalam pencegahan syok adalah usaha untuk mengurangi proporsi pasien
dengan presentasi STEMI yang tidak menerima terapi reperfusi. Reperfusi awal yang

dikatakan berhasil adalah perfusi yang adekuat sepanjang vaskular yang menyempit
selama proses nekrosis dan menurunkan risiko terjadinya syok pada pasien yang
rentan. Dalam usaha menangani syok kardiogenik, perlu dilakukan pula upaya monitor
kondisi dan perbaikan pasien. Tanda klinis yang perlu diperhatikan antara lain status
mental, produksi urin, dan oksigenasi arteri atau vena. Selain itu juga perlu dimonitor
tekanan darah, detak jantung, nilai kateter PA, serum kreatinin, dan enzim-enzim hati
(Idrus A, 2011)

Anda mungkin juga menyukai