Anda di halaman 1dari 22

Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum

tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai
pengganti UUDS 1950. Pada tanggal
persidangannya

dengan

pidato

20 November 1956 Dewan Konstituante memulai

pembukaan

dari

Presiden

Soekarno.

Sidang

yang

akan

dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan
Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak
pemah

berhasil

merumuskan

undang-undang

dasar

baru.

Keadaan seperti itu semakin mengguncangkan situasi Indonesia. Bahkan masing-masing partai
politik selalu berusaha untuk mengehalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Sementara sejak tahun 1956 situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Hal ini
disebabkan

karena

daerah-daerah

mulai

bengolak,

serta

memperlihatkan

gejala-gejala

separatisme. Seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan
Garuda. Dewan Lambung- Mangkurat dan lain sebagainya. Daerah-daerah yang bergeolak tidak
mengakui pemerintah pusat, bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.
Seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatra dan Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat
membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin
bertambah panas sementara itu, rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah
mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante.
Namun Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara


Indonesia dilanda kekalutaan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum
pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada
bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi.
Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet berkaki empat (yang terdiri dari empat
partai terbesar seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan
fungsional yang berfungsi sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat oleh presiden
sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan perdebatan.
Berbagai argumen antara pro dan kontra muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan,
perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.

Sebaliknya yang menerima konsepsi itu beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika
konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante Presiden
Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara
Republik Indonesia. Menanggapi pemyataan itu, pada tanggal 30 Mei 1959, Konstituante
mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa
mayoritas anggota Konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undangundang dasar Republik Indonesia.
Namun jumlah anggota yang hadir tidak mencapai dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante,
seperti yang dipersyaratkan pada Pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang sampai dua
kali. Pemungutan suara yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga
mengalami kegagalan dan tidak dapat memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang dibutuhkan.
Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat). Untuk
menghindari terjadinya bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik maka
pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk
melakukan segala bentuk kegiatan politik.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada
Presiden

Soekarno

agar

mendekritkan

berlakunya

kembali

UUD

1945

dan

pembubaran

Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik


untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut.

Pembubaran Konstituante.

Beriakunya Kembali UUD 1945.

Tidak berlakunya UUDS 1950.

Pembentukan MPRS dan DPAS.

Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indone-sia, sedangkan Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mengeluarkan perintah harian kepada seluruh
anggota TNI-AD untuk mengamankan Dekrit Presiden.

Gayanya energik dan tetap lincah meski usianya tak lagi muda. Jika berbicara
masalah kesehatan masyarakat terutama HIV AIDS, semangatnya masih menggebugebu. Dialah Nafsiah Mboi yang baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menjadi Menteri Kesehatan.
Posisi menteri kesehatan saya percayakan kepada dr. Nafsiah Mboi, DSpA, MPH.
Saya melihat kemampuan, pengalaman dan pengabdian beliau di waktu lalu yang
berkomitmen kerja nyata untuk memajukan kesehatan masyarakat, kata Presiden
SBY dalam pengumumannya di Istana Bogor, Rabu (13/6/2012) seperti dilansir
detik.com.
Alasan Presiden SBY memilih Nafsiyah Mboi karena pengalamannya sebagai aktivis
HAM, aktivis AIDS, dan juga aktif dalam perlindungan anak dan perempuan.
Saya melihat kemampuan, pengalaman, dan pengabdian beliau di masa lalu
dan sekarang, termasuk komitmen kerja nyata, jelas Presiden SBY.
Kepedulian Nafsiah pada kesehatan masyarakat sudah dilakukannya sejak lama,
mulai dari lulus Fakultas Kedokteran UI kemudian menjadi dokter sukarelawan
dwikora sampai kini menjadi sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Nasional.
Perempuan 3 anak ini juga namanya sangat erat di hati masyarakat Nusa Tenggara
Timur. Ini karena suaminya Benedictus Mboi yang akrab disapa Ben Mboi, pernah
menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur selama 1 dekade pada 1978-1988.
Nafsiah diangkat menjadi Menteri Kesehatan setelah menteri sebelumnya Endang
Rahayu Sedyaningish meninggal pada 2 Mei 2012 karena sakit kanker paru.
Dengan ditunjuknya Nafsiah sebagai Menkes baru, kementerian ini berturut-turut
diisi terus oleh menteri perempuan yaitu Siti Fadilah Supari dan Endang Rahayu

Sedyaningsih. Ketiga perempuan ini semuanya berprofesi dokter, Siti adalah dokter
spesialis jantung, Endang dokter di spesialisasi kesehatan masyarakat dan Nafsiah di
spesialisasi anak.
Nafsiah sendiri memang sudah berkali-kali menjadi kandidat Menteri Kesehatan,
namun baru kali ini saat usianya sudah senja kesempatan itu datang.
Kemampuan dokter anak ini sudah tidak diragukan lagi. Ilmu dan prestasinya sangat
mumpuni untuk menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Apalagi ia sangat concern
dengan target Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai pemerintah
Indonesia pada 2015.
Profil Pribadi
Terlahir dari 6 bersaudara, Nafsiah Mboi merupakan putri sulung dari pasangan Andi
Walinono dan Rahmatiah Sonda Daeng Badji. Ayah Nafsiah adalah hakim yang
pernah bertugas di Ujungpandang, Surabaya, Jayapura, dan Jakarta serta
merupakan tokoh masyarakat dan intelektual di Sulawesi Selatan.
Nafsiah memiliki saudara kandung bernama Prof Dr Andi Hasan Walinono, direktur
jenderal dan sekjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada era 1980-an, dan
Dr Erna Witoelar, aktivis lingkungan yang juga mantan menteri era Presiden
Abdurrahman Wahid.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006, Nafsiah Mboi dipercaya
untuk menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional. Posisi ini menggantikan pejabat sebelumnya, Sukawati Abubakar.
Dalam profil yang dikeluarkan KPA, Nafsiah pernah menjadi PNS karier di Kemenkes
selama 35 tahun sebelum akhirnya menjadi anggota MPR RI periode 1982-1987.
Pendidikan dan Karir
Nafsiah menyelesaikan pendidikannya tahun 1958-1964 studi di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Suaminya, Ben Mboi sempat menjabat sebagai Gubernur
Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1978-1988. Keduanya bertemu di kampus FK
UI. Ben adalah kakak kelas Nafsiah.
Ben sendiri lulus pada 1961 dan sempat terjun bersama Benny Moerdani saat
operasi Trikora di belantara Papua Barat pada 1962. Persis setelah Nafsiah lulus
pada 1964, mereka menikah. Keduanya kemudian bergabung sebagai dokter
sukarelawan Dwikora.
Selama sepuluh tahun mendampingi suaminya sebagai gubernur di NTT, Nafsiah
memberi perhatian besar pada masalah perempuan dan kesehatan anak. Kiprahnya
itu membuat suaminya memperoleh penghargaan bergengsi dari Pemerintah Filipina
yakni Ramon Magsaysay.

Jabatan terakhir yang disandang Ben Mboi adalah Anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dibawah kepemimpinan mendiang Sudomo.
Nafsiah mendalami ilmu kesehatan anak di Amsterdam, Belanda pada tahun 19711972. Ia kemudian mendalami ilmu kesehatan masyarakat di Royal Tropical
Institute, Antwerpen, Belgia dan meraih gelar master of public health (MPH) pada
tahun 1990-1991.
Pada 1997-1999, Nafsiah dipercaya sebagai ketua Komite Hak Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan merupakan satu-satunya orang Asia yang pernah
mendapat posisi itu.
Selepas berkarier di Komite Anak PBB, Nafsiah dipercaya lagi menjadi direktur
bidang gender dan kesehatan perempuan World Health Organisation (WHO) di
Jenewa, 1997-2002. Setelah itu, Nafsiah kembali ke Indonesia dan menjabat
sebagai wakil ketua Komnas Perempuan.
Nafsiah kemudian meneruskan pendidikannya di Harvard University, Amerika
Serikat, untuk mendalami HIV/AIDS. Ia melihat HIV/AIDS bakal menjadi ancaman
global karena bisa menyebar dengan cepat.
Di sana, ia bertemu Jonathan Mann, mantan Direktur Global Program on AIDS dari
WHO yang menjadi pengajar di Harvard School of Public Health. Jonathan Mann ini
adalah orang yang gencar menyuarakan bahaya AIDS. Nafsiah banyak mengikuti
kelas Mann dan dilanjutkan aktif dalam kegiatan pencegahan AIDS di jalur hotline
dan support group.
Pada 2005-2006 Nafsiah dipercaya sebagai konsultan Family Health
International alias Aksi Stop AIDS. Pada Agustus 2006 Nafsiah akhirnya menjabat
sebagai Sekretaris KPA Nasional. Sejak itulah dia berkeliling Indonesia untuk
mengingatkan masyarakat akan bahaya HIV/AIDS.

Siti Fadilah Supari tokoh indonesia


pendobrak konspirasi jahat AS dan WHO
Meninggalkan komentar
Menguak Konspirasi Jahat AS Terhadap Mantan Menteri Kesehatan Indonesia,

Tentang Virus Flu Burung (H5N1) Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan


peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik
buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist London
menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam
menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat
gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam
mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari
negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di
negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan
Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga
meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul Its Time for
the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa
dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu
burung. Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung
dengan menjual vaksin ke negara kita, ujar Fadilah kepada Persda Network di
Jakarta. Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan,
Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari

penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi
WHO. Kegerahan itu saya tidak tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan.
Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara
maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada,
kita sudah kaya, ujarnya. Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak
masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. Saat ini banyak yang meminta, jadi dalam
waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan
pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini saya sedang mencari dan
membicarakan dengan penerbitan besar, katanya. Selain mencetak ulang bukunya,
perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku
jilid kedua. Saya sedang menulis jilid kedua.
Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya.
Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah
berubah dalam bentuk kelontongan, ujarnya. Virus yang saya kirimkan dari
Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush, ujar menteri kesehatan pertama
Indonesia dari kalangan perempuan ini. Siti enggan berkomentar tentang permintaan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari
peredaran. Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar
500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa
Inggris dijual, katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari
peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata
berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah
membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal
flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang
sudah dipakai selama 50 tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia
pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh
pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu
burung. Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih
berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus
flu burung, yaitu transparansi, tulis The Economist. The Economist, seperti ditulis

Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga
saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat
tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya
yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung,
dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO
CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium
litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO
meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada suatu yang aneh.
Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah
meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment,
diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari
sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan
besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka
mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia
tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak,
dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global
Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110
negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu
menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin! Di saat
keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak
dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Data itu,
uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari
15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.
Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang
bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus
H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha
keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia
yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya!
Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.
Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus
asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga
penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang
hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus

melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO,
selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan
dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap
menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan
Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya
menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN
dihapuskan. Jejak Chemtrail di langit Jakarta Jejak-jejak kimia berupa asap tak
alamiah dari kondensasi pesawat berupa awan memanjang (chemical
trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang juga berisi aerosol
bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan. Chemtrails sering disemprotkan
di atas langit Jakarta untuk mempersiapkan warga Jakarta dan sekitarnya
menerima virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi.
Bagaimana kelanjutannya? Silahkan baca: Depopulasi Dunia: Pesawat Semprot Zat
Kimia Berupa Chemtrails di Angkasa (The Economist/icc.wp.com) Video 1: (Avian
Flu Exposed )http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=eAjC2IGeeQ andhttp://www.youtube.com/watch?
feature=player_embedded&v=9GW1aSqCRNA Video 2: (How Flu Viruses Attack
National Geographic ) http://www.youtube.com/watch?
feature=player_embedded&v=TVLo2CtB3GA Video 3: (Flu Attack! How A Virus
Invades Your Body ) http://www.youtube.com/watch?
feature=player_embedded&v=Rpj0emEGShQ Eksternal
Link: http://fluburung.org [IndoCropCircles] Admind 02
Semoga bermanfaat
Ayah Jadi Nama Rumah Sakit, Anak Jadi Menteri Kesehatan dan Dosen
Nila Djuwita Anfasa Moeloek nyaris menjadi menteri kesehatan pada Kabinet Indonesia
Bersatu II. Munculnya Nila mengingatkan orang pada nama menteri kesehatan sepuluh tahun
lalu, Farid Anfasa Moeloek, dan tokoh kedokteran Abdul Moeloek. Ada hubungan
ketiganya?

Farid Anfasa Moeloek


Nama Abdul Moeloek dan dunia kesehatan Indonesia tak bisa dipisahkan. Itu karena
sebagian besar anggota keluarga trah Moeloek mendedikasikan hidupnya di bidang tersebut.
Rumah Sakit dr H Abdul Moeloek di Bandar Lampung adalah salah satu buktinya.
Nama RS tersebut diambil dari nama dr H Abdul Moeloek, yang tak lain ayahanda dr Farid
Anfasa Moeloek atau mertua Nila Djuwita Anfasa Moeloek. Dr h Abdul Moeloek, lahir di
Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1909.
Farid sendiri pernah mencurahkan hidup sebagai menteri kesehatan RI pada 1998-1999.
Sedangkan sang adik, Prof Dr Nukman Moeloek SpAnd, hingga kini masih tercatat sebagai
guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bukan hanya mereka.
Paman saya, Sutan Assin, adalah ahli bedah. Juga ipar, sepupu, dan mertua laki-laki saya,
terang Farid, November 2009.
Jodoh Farid juga tak jauh-jauh dari profesi keluarganya. Istrinya, Nila Djuwita Anfasa Moeloek,
juga seorang dokter. Bahkan Nila nyaris menduduki kursi Menkes. Sayang, di pengujung
penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II, Nila kandas dan digantikan Endang Rahayu
Sedyaningsih.
Farid menuturkan, sejarah panjang keluarganya sebagai trah dokter memang dimulai dari
ayahnya, dr Abdul Moeloek. Ayahnya lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada
1909. Pada usia 12 tahun, Moeloek merantau ke Batavia (Jakarta). Sempat kuliah di Fakultas
Kedokteran Hewan Bogor, setahun kemudian Moeloek memutuskan pindah ke Stovia, sekolah

kedokteran yang didirikan Belanda. Gedung Stovia sekarang menjadi gedung Perintis
Kemerdekaan di Jalan Abdur Rahman Saleh.
Kiprah Abdul Moelek di dunia kedokteran dimulai saat lulus kuliah pada masa pendudukan
Jepang. Ketika itu tentara Jepang memiliki misi membunuh para intelektual Indonesia.
Beberapa dokter menjadi korban. Moeloek pun tak ingin mati sia-sia. Dia lantas memutuskan
hijrah ke Semarang. Di kota itu dia menjadi seorang tenaga medis di RS Dokter Karyadi.
Moeloek hanya beberapa tahun menetap di Semarang. Setelah itu, dia memutuskan
mengasingkan diri di Desa Winong, Kota Liwa, Lampung Barat.
Di kota kecil itulah Farid lahir pada 1944. Selama bersembunyi di kota itu, Moeloek
mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil. Sedangkan istrinya menjadi guru dan
mengajari masyarakat sekitar. Tak urung, keluarga Moeloek amat disegani dan dituakan di
kota tersebut.
Ayah saya memiliki banyak anak angkat. Lama tinggal di Lampung, sampai sekarang saya
pun merasa sebagai orang Lampung, ungkap Farid.
Ketika Indonesia merdeka, keluarga Moeloek memutuskan hijrah lagi ke Tanjung Karang,
Lampung. Di kota itu Moeloek mengambil alih pengelolaan RS Tanjung Karang dari tentara
Jepang. Kemudian Moeloek ditunjuk sebagai kepala rumah sakit itu. Setelah wafat pada
1973, DPRD Lampung sepakat menamai RS Tanjung Karang dengan nama RS dr H
Abdul Moeloek. Hal itu dilakukan untuk menghormati dedikasi dan jasa Moeloek
bagi masyarakat Lampung.
Dedikasi dan ajaran Moeloek kini masih mengalir di dalam darah anak-anaknya. Farid adalah
salah satunya. Setelah lulus SMA di Tanjung Karang, Farid masuk Fakultas Teknik Sipil, ITB.
Namun studi itu ditempuhnya hanya beberapa saat, sebab hati kecilnya seolah memanggil
untuk mengambil jurusan kedokteran, mengikuti jejak ayahnya. Farid pun banting setir. Dia
ikut ujian di FK UI dan lulus. Setelah lulus sebagai dokter umum, Moeloek mengambil spesialis
obgyn dan gynecology (kandungan dan kebidanan).
Setelah itu, Farid memutuskan mengambil gelar doktor (PhD) di Johns Hopkins University
(AS). Kebetulan, kata dia, ketika itu ada kerja sama antara UI dan universitas di negeri Paman
Sam tersebut. Farid berhasil lulus cum laude. Sebuah prestasi yang membanggakan bagi
dirinya.
Kariernya di bidang kedokteran berawal saat dia menjadi staf pengajar di FK UI. Dia
mengajarkan ilmu kebidanan dan ilmu lingkungan. Hingga kini dia masih mengajar di sana.
Farid juga sempat dipercaya menjadi direktur Pascasarjana UI pada 1991-1998. Dalam kurun

waktu itu, dia juga aktif di sejumlah organisasi. Salah satunya memimpin asosiasi
internasional kesehatan reproductive and health. Dia juga sebagai anggota MPR.
Karena itu, pada 1998, saat Soeharto terpilih kembali menjadi presiden RI, Farid dipercaya
menduduki jabatan Menkes. Sayang, puncak kariernya tak berlangsung lama. Ketika
Soeharto lengser, kabinetnya juga turut bubar. Namun saat Soeharto digantikan BJ Habibie,
Moeloek kembali mendapat kepercayaan menduduki kursi tersebut. Dia pun resmi
menjadi Menkes periode 1998-1999.
Kini, setelah tak menjadi pejabat, Farid kembali ke habitat aslinya: praktik sebagai dokter. Dia
tidak ingin pengabdiannya terhadap negeri berhenti sampai di situ. Apalagi, dalam frame
otaknya, masih tersimpan konsep tentang penanganan kesehatan masyarakatyang dia
amat yakin konsep itu bisa memutus rantai kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.
Menurut dia, dua akar persoalan tersebut yang membuat bangsa ini terseok-seok. Kedokteran
dan kesehatan, lanjutnya, bagai dua sisi mata uang. Kedokteran hanya arti kata sempit,
sedangkan kesehatan merujuk pada persoalan yang lebih luas.
Moeloek menjelaskan, konotasi kesehatan saat ini seolah-seolah hanya fokus terhadap
pelayanan dasar, seperti puskesmas dan rumah sakit. Padahal, katanya, di dalam konsep
kesehatan, sejatinya ada problem kesehatan keluarga, air bersih, rumah sehat, lingkungan
sehat, gizi, maupun olahraga. Ada korelasi yang erat antara kesehatan dan individu,
keluarga, masyarakat, dan perilaku bangsa, tuturnya.
Dia mengilustrasikan, merokok dinilai amat merugikan bangsa ini. Betapa tidak, separo
pendapatan masyarakat kerap dihabiskan untuk mengisap zat adiktif yang beracun tersebut.
Dampaknya, kata dia, tak hanya terhadap kesehatan, tapi juga problem sosial. Bisa
mengurangi jatah untuk anak-anaknya, merusak IQ anak, dan ujung-ujungnya terhadap
kemiskinan. Jadi, kalau hukum merokok itu makruh, bagi saya itu haram, ujarnya.
Hal itu, kata dia, menjadi tanggung jawab dokter. Menurut dia, seorang dokter sejati adalah
mereka yang bisa menjadi agent of change (agen perubahan). Bukan hanya menunggu
orang sakit di poliklinik, tapi bagaimana bisa menyehatkan masyarakat. Kalau hanya
menunggu orang sakit, berarti belum menjalankan fungsi dokter, jelasnya.
Indonesia, kata dia, membutuhkan konsep sehat yang holistik. Konsep tersebut pernah dia
implementasikan saat menjabat Menkes. Sayang, impian dan angan-angannya untuk
menyehatkan masyarakat Indonesia belum tuntas. Dalam mimpinya, Farid amat berharap
agar setiap orang memiliki dokter pribadi. Tak peduli dia abang becak, tukang parkir, guru,

atau kuli bangunan. Mereka layak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, ujarnya. Hal
itu, kata dia, bukanlah sebuah keniscayaan.
Dia menggambarkan, satu dokter bisa mengontrol kesehatan 2.500 penduduk. Nah, jika
penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, dibutuhkan sekitar 80 ribu dokter untuk
memantau kesehatan masyarakat secara berkala. Dokter tersebut, kata dia, harus memiliki
database rekam medis setiap pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya. Untuk itu,
pemerintah bisa menggelontorkan sejumlah dana terhadap dokter tersebut. Anggaran itu
untuk biaya asuransi, misalnya dokter diberi Rp 40 juta untuk menangani sekian pasien.
Tugas dokter itu adalah menyehatkan mereka. Jika masyarakat sehat, saya yakin biaya
kesehatan dapat ditekan, ungkapnya.
Saat ini konsep Indonesia sehat mungkin masih di awang-awang. Alih-alih konsep itu ada
yang meneruskan, yang terjadi justru para dokter berlomba agar pasiennya terus bertambah.
Mindset inilah yang harus diubah. Dokter itu harus berperan sebagai agent of change.
Bagaimana semua orang bisa memiliki dokter pribadi jika dokter sekarang hanya berorientasi
materi, cetusnya dengan mata berkaca-kaca. Karena itu, Farid bertekad terus mengabdikan
diri untuk masyarakat. Selama bisa, saya dan istri akan terus berupaya untuk masyarakat,
ucapnya.
Sang istri sendiri, setelah batal menjadi menteri, juga kembali ke dunianya sebagai dokter di
RS Mata Aini Jakarta. Farid dan Nila kebetulan sama-sama berprofesi sebagai dokter. Dan, itu
bukan pilih-pilih. Bu Nila dulu adik kelas saya di UI. Hubungan kami ya berawal dari situ,
kata Farid.
Selain praktik di RS Mata Aini, Nila aktif sebagai ketua umum Dharma Wanita Persatuan Pusat
untuk masa bakti 2004-2009. Dia aktif di situ sudah sepuluh tahun, terang Farid. Tak hanya
itu, Nila juga konsens di Perhimpunan Dokter Mata Indonesia. Memang istri saya masih suka
aktif di luar, ucapnya.
Farid-Nila boleh dibilang pasangan yang amat serasi. Tak hanya sebagai pasangan, tapi juga
minat dan ketertarikan mereka terhadap bidang kesehatan. Hal itu mereka sadari betul saat
pertama berkenalan.
Sayang, dinasti dokter di keluarga Moeleok akan terputus. Anak-anak pasangan Farid-Nila tak
satu pun yang tertarik melanjutkannya. Anak pertama mereka, Muh Reiza, sekarang tinggal di
Inggris. Adiknya, Puti Alifah, juga memutuskan menjadi arsitek dan seniman di Prancis.
Sedangkan anak bungsunya, Puti Annisa, lebih memilih bekerja di swasta. Kami memberikan
kebebasan kepada anak-anak mau jadi apa saja, asal bermanfaat buat diri sendiri dan orang
lain, ucapnya.

Soal kegagalan Nila menjadi Menkes, Farid sudah tak mau membahas. Meskipun seandainya
Nila berhasil jadi Menkes, dia yakin konsep yang pernah dia terapkan itu bisa dilanjutkan
istrinya. Tapi kami sudah tutup buku tentang masalah itu, ucap Farid. ***
http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?
option=com_content&view=article&id=5093:keluarga-moeloek-salah-satu-dinastidokter-sukses-di-indonesia&catid=25:nasional&Itemid=29
http://id.wikipedia.org/wiki/Farid_Anfasa_Moeloek

Nila Djuwita Farid


Moeloek

Menteri kesehatan Nila F Moeloek (Foto:Arief/Okezone)

Renny Sundayani

Jurnalis

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google

AA

Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Farid Moeloek, SpM (K) yang akrab dipanggil
Nila, adalah seorang guru besar (pakar) dan aktivis kesehatan. Guru
Besar dan Ketua Medical Research Unit Fakultas Kedokteran UI, ini
pernah gagal menjabat Menteri Kesehatan era pemerintahan SBY
untuk menggantikan Siti Fadilah Supari.

Namun ia malah ditunjuk oleh mantan presiden Susilo Bambang


Yudhoyono menjadi Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia,
untuk Millennium Development Goals. Tugasnya ialah menurunkan
kasus HIV-AIDS dan angka kematian ibu dan anak.
Perjuangan Nila untuk menyehatkan bangsa Indonesia tiada yang
sia-sia, akhirnya Presiden Joko Widodo kemudian merangkul Nila,
untuk menempatkan posisi sebagai Menteri Kesehatan
menggantikan Nafsiah Mboi.
Nila Djuwita Moeloek, dokter ahli bedah mata asal Sumatra Selatan
berdarah Minang itu, mengikuti jejak suaminya di kursi Menteri
Kesehatan. Suaminya Prof Dr dr H Farid Anfasa Moeloek, Sp.OG,
adalah mantan Menteri Kesehatan Presiden Republik Indonesia
Kedua (1966-1988) Kabinet Pembangunan VII (Presiden Republik
Indonesia Kedua (1966-1988), (Presiden Soeharto) dan Kabinet
Reformasi Pembangunan (Presiden Republik Indonesia Ketiga (19981999) BJ Habibie.
Sebagai seorang dokter, Nila menorehkan sejumlah prestasi di
bidangnya dengan nilai cumlaude. Putri pasangan perantau
Minangkabau ini, menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan spesialis mata, serta mengikuti program sub-spesialis di
International Fellowship di Orbita Centre, University of Amsterdam,
Belanda dan di Kobe University, Jepang. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikan konsultan Onkologi Mata dan Program Doktor PascaSarjana di FKUI.
Selain menjadi dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kirana,
ia juga menjadi ketua umum Dharma Wanita Persatuan Pusat (20042009), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami), dan
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) periode 2011-2016.
Nila bersama Faried Anfasa Moeloek, dikaruniai tiga orang anak,
yakni Muhammad Reiza Moeloek, Puti Alifa Moeloek, dan Puti Annisa
Moeloek.
PROFIL
Nama Lengkap: Nila Djuwita Farid Moeloek
Nama Panggilan: Nila
TTL: Jakarta, 11 April 1949
Prestasi:
Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan (DWP)

Ketua Umum Asosiasi Dokter Spesialis Mata Indonesia


Ketua Bank Mata
Best Writer of Indonesian Medical Journal (1984)
Activist Doctor of Sekar Melati Organization (1987)
APHA Special Award 8th International Cataract Implant
Micosurgerical and Refractive Keroplasty (1995)
Indonesian Citra Kartini Award (2003)
ASEAN Moeslim Award (2004)
Sudjono Djuned Pusponegoro Award for Best Research (2005)
Indonesian Ophthalmologists Association Award (2006)
Satyalancana Karya Satya Award 30 years (2006)
Charter Planting Ten Million Trees Award (2007).
Karier:
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di
bidang Kesehatan Mata dan aktivis kesehatan.
Utusan mantan presiden SBY untuk Millennium Development Goal
Ketua Medical Research Unit FKUI sejak 2007 2011
(ren)

Farid Anfasa Moeloek (1944-...): Pionir Indonesia Sehat 2010

PERHATIANNYA pada dunia kesehatan begitu tinggi. Meski tidak lagi menjabat menteri
kesehatan, ia terus berusaha mewujudkan tercapainya Indonesia Sehat 2010. Untuk
mewujudkan program yang dirintisnya itu, Prof. Dr. dr. H. Farid Anfasa Moeloek,
Sp.O.GMDNM. ketika menjabat menteri kesehatan (1999) membentuk Yayasan Koalisi
Indonesia
Sehat
2010.
Farid menjabat menteri kesehatan era pemerintahan Presiden Soeharto (Kabinet Pembangunan
VII). Saat era reformasi bergulir, ia tetap dipertahankan Presiden B.J. Habibie untuk menjabat
menteri kesehatan dalam Kabinet Reformasi (23 Mei 1998--23 Oktober 1999).
Bagi dia, jabatan bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 karena
pada dasarnya setiap warga negara Indonesia wajib meningkatkan derajat kesehatan, baik
individu
maupun
lingkungan.
Pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 28 Juni 1944 ini dibesarkan keluarga dokter yang kukuh
memperjuangkan nasib masyarakat kecil. Farid adalah putra dokter Abdoel Moeloek yang
namanya diabadikan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Abdul Moeloek, Bandar Lampung.
Sejak kecil Farid Anfasa Moeloek tidak pernah bercita-cita menjadi menteri atau pejabat negara.
Tapi, pengetahuannya tentang kesehatan dan integritasnya mendukungnya dipercaya menduduki
posisi
nomor
satu
di
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Pendidikan dokter diraih Farid tahun 1970 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
dan memperoleh spesialis obstetri dan ginekologi dari FKUI tahun 1983. Tahun 1995 ia
dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hampir seluruh

hidupnya diabdikan pada kampus yang telah mencetaknya menjadi seorang dokter, terutama
untuk
pembinaan
sumber
daya
manusia.
Berbagai jabatan struktural di kampus Universitas Indonesia pernah ia sandang, di antaranya
direktur proyek Course in Reproductive Health for Paramedics dan Course in Fertility
Management for Hospitals in Indonesia, kepala Klinik Raden Saleh, Bagian Obgin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, dan terakhir direktur program pascasarjana Universitas
Indonesia.
Pengalaman dan perhatiannya begitu besar terhadap pembinaan sumber daya manusia (SDM)
dan pola hidup sehat untuk mencapai Indonesia Sehat 2010. Itu sebabnya, Himpunan Pandu
dan Pramuka Wreda (Hipprada) meminta Farid sebagai penasihat dalam bidang penanganan
masalah musibah, pelembagaan pola hidup sehat, serta pengembangan generasi muda.
Mendidik

Anak

Kisah cinta Farid dan Nila bersemi di kampus Universitas Indonesia, almamater yang mencetak
mereka menjadi dokter. Nila saat itu mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, sedangkan Farid
terlibat di panitia pelonco. Cinta pun terjalin antara senior dan junior. "Sampai akhirnya pada
tahun
1972
Farid
mempersunting
saya
menjadi
istrinya,"
kenang
Nila.
Dalam membina rumah tangga, keduanya memegang prinsip bahwa suami adalah sumber
keuangan dan istri menjadi menteri keuangan. "Segala sesuatu yang menyangkut keuangan di
rumah tangga, mulai bayar rekening listrik, biaya sekolah anak-anak, sampai segala keperluan
adalah bapak. Keluar-masuknya keuangan melalui istri. Tapi, kalau urusan pendidikan anak
menjadi
tanggung
jawab
berdua,"
kata
Farid.
Farid Anfasa Moeloek sejak awal berumah tangga dengan Nila Juwita telah bersepakat mendidik
anak-anak mereka secara demokratis. Segala persoalan dibicarakan dan dipecahkan bersamasama
dalam
keluarga.
"Untuk hal-hal tertentu anak saya lebih senang bicara dengan ibunya karena ibunya selalu
menempatkan diri sebagai seorang teman, terutama ketika mereka pada usia remaja. Di usia ini
seorang ibu menganggap seorang anak sangat rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan
sehingga segala persoalan yang dihadapi anak-anak di luar bisa mereka bicarakan dengan saya
tanpa
sungkan-sungkan,"
kata
dia.
Dalam pendidikan, anak-anak diberi kebebasan menentukan pendidikan yang diinginkan setelah
tamat SMA. Bisa dimaklumi jika kemudian tiga anak Farid-Nila tidak ada yang mengikuti jejak
mereka
sebagai
dokter.
Ketiga anak-anak Farid lebih memilih bidang eksakta lain, yakni teknik. Tidak heran jika rumah
yang mereka tempati adalah buah karya ketiga anak-anaknya: Mulai desain, isi rumah, dan
barang-barang
di
dalamnya.
"Kami
hanya
bisa
mendorong,"
ucap
Farid.
Alasan ketiga anaknya tidak memilih profesi dokter cukup sederhana: Tidak mau terlalu sibuk.
Profesi dokter memang tidak mengenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang hendak
dirawat,
harus
segera
ditolong.

"Mengingat kesibukan kami berdua, maka kami memanfaatkan waktu yang hanya sedikit itu
untuk memperhatikan anak-anak. Kami katakan pada anak-anak bahwa kualitas pertemuan
dengan
orang
tua
lebih
bermakna
daripada
kuantitasnya."
Kepada anak-anaknya sejak kecil telah ditanamkan nilai-nilai agama, terutama menghadapi
pengaruh negatif era globalisasi terhadap pola kehidupan anak-anak. Uniknya anak-anak Farid,
dari kecil hingga dewasa, banyak aktivitas keluarga dilakukan di kamar tidur. "Kami, baik
belajar, nonton televisi, maupun kegiatan lain, termasuk segala diskusi, juga dilakukan di kamar
tidur
untuk
dicarikan
pemecahan
masalahnya,"
kata
Farid.
Entah kenapa anak-anaknya betah berlama-lama di kamar tidur orang tuanya. "Hal ini
sebenarnya cukup positif, karena selain menambah kedekatan kami dengan anak-anak, juga
kegiatan mereka dapat kita pantau dengan baik. Mereka pun tidak sungkan-sungkan bercerita
bila
menghadapi
suatu
persoalan
di
luar
rumah."
Setelah Farid Anfasa Moeloek tidak lagi menjabat menteri kesehatan dan ia berniat mendirikan
Yayasan Koalisi Indonesia Sehat 2010, istri dan anak-anaknya terlibat dalam kegiatan yayasan.
Keterampilan yang dimiliki anak-anaknya terserap dalam yayasan ini. Seperti Puti Alifa Moeloek
yang piawai mendesain poster, leaflet, dan sebagainya. Begitu pun kedua saudaranya, Puti
Annisa
dan
Muhammad
Reiza.
n

BIODATA

Nama: Prof.
Lahir:
Agama:
Istri:
Anak
1.
2.
3.

Dr.
Liwa,

dr.
H.
Lampung
Dr.

Ir

Farid
Barat,

Anfasa
28

Hj.

Puti
Puti

Muhamad

Moeloek,
Juni

Nila

Alifa
Annisa

Reiza

Sp.O.G.
1944
Islam
Djuwita
:
Moeloek
Moeloek
Moeloek

Pendidikan:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia
Spesialis
Obsgyn
FKUI
Doktor
(Cum
Laude)
dari
Universitas
Indonesia
Guru
Besar
FKUI

(1970)
(1976)
(1983)
(1995)

Karier:
Direktur
Staf
Menteri

(1996)
FKUI.
1999)

Program
Pengajar
Kesehatan

Organisasi:
Yayasan

Pascasarjana
Universitas
Indonesia
dan
Penguji
Mahasiswa
(16
Maret
1998--23
Oktober

Koalisi

Indonesia

Sehat

2010

- Penasihat Bidang Penanganan Masalah Musibah, Pelembagaan Pola Hidup Sehat, dan
Pengembangan Generasi Muda Hipprada (Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda)

Anda mungkin juga menyukai