Pemungutan suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 sudah
berlangsung 9 Juli 2014. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasilnya pada
tanggal 22 Juli 2014 malam. Menurut KPU, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JokowiJK) memperoleh 70.997.833 suara (53.15%), sedangkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa
(Prabowo-Hatta) memperoleh 62.576.444 suara (46,85%) dari total pemilih sebanyak
133.574.277. Jadi, selisih perolehan suara di antara keduanya mencapai 8.421.389. Data yang
disahkan oleh KPU mempunyai kecenderungan sama dengan hasil quick count yang
dilakukan oleh delapan lembaga survei.
Meskipun demikian, proses hukum belum selesai. Pasangan Prabowo-Hatta
memutuskan untuk mengajukan sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena
menurut mereka, telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Putusan MK
diumumkan tanggal 21 Agustus 2014. Di samping itu muncul pernyataan dari pihak Prabowo,
bahwa selain ke MK, pihaknya juga akan menempuh jalur politik untuk menuntut keadilan.
Dalam pandangan kubu Prabowo, KPU telah bertindak tidak adil karena mengabaikan
sejumlah rekomendasi yang disampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena
berbagai permasalahan tersebut, sampai detik akhir dicetaknya majalah ini, belum diketahui
siapa yang bakal dilantik menjadi Presiden ke-7 pada bulan Oktober 2014.
Selain hasil pemungutan suara menimbulkan permasalahan baru, pelaksanaan Pilpres
2014 juga meninggalkan luka di antara anak bangsa akibat maraknya kampanye hitam
(smear campign) melalui berbagai media. Dua jenis media yang banyak digunakan untuk
kampanye hitam, yaitu media sosial dan media cetak. Berbeda dengan kampanye negatif
yang berbasis fakta, kampanye hitam sebenarnya tidak lebih dari fitnah dan rumor karena
informasi yang disampaikan tidak benar dan hanya ilusi dari si pembuat. Jokowi adalah pihak
yang paling banyak mendapatkan serangan melalui kampanye hitam. Menurut PoliticaWave
yang memantau 24 ribu percakapan di media sosial, tingkat persentase kampanye hitam yang
ditujukan ke Jokowi mencapai 94%.
Namun, kampanye hitam yang paling fenomena dalam Pilpres 2014 adalah melalui
terbitan tabloid Obor Rakyat yang dikomandani oleh Setyardi Budiono. Tabloid tersebut
menurut Dewan Pers, tidak termasuk dalam kategori media massa arus utama atau produk
jurnalistik. Seperti dikatakan oleh anggota Dewan Pers Stantly Adi Prasetyo, sebuah
penerbitan dapat dikatakan sebagai produk jurnalistik jika memenuhi tiga kriteria, yaitu:
berbadan hukum tetap, mempunyai alamat redaksi yang jelas, dan berita-berita atau tulisan
yang dimuat memenuhi standar jurnalistik. Kenyataannya, tabloid Obor Rakyat yang
dikomandani oleh staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah di bawah kepemimpinan
Velix Wanggai menggunakan alamat palsu, yaitu Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta
Timur. Nomor telepon yang dicantumkan dalam tabloid ternyata belum tersambung. Begitu
pula nomor faks yang dipasang adalah milik sebuah toko granit di wilayah Panglima Polim,
Jakarta (Tempo, 4317/23-29 Juni 2014).
Tabloid Obor Rakyat diterbitkan dalam beberapa kali selama periode April s.d. Juni
2014 dengan tiras 100.000 examplar/edisi. Setiap terbit, pihak pengelola merogoh koceknya
sebanyak 100 juta rupiah karena sumber dana konon berasal dari pribadi pengelola dan
sumbangan teman-temannya. Sasaran utama distribusi tabloid Obor Rakyat adalah pondokpondok pesantren di seluruh Jawa dan daerah lainnya yang diperkirakan menjadi kantong
suara Jokowi. Distribusinya dilakukan melalui jasa pengiriman PT Pos dan ada pula yang
menggunakan jasa antaran. Sejumlah pimpinan Pondok Pesantren yang menerima dropdropan Obor Rakyat mengaku bahwa alamat yang dipakai untuk tujuan pengiriman tabloid
sama persis dengan yang mereka cantumkan pada waktu pengurusan akta di Departemen
Agama. Artinya, pihak pengelola Obor Rakyat memang mempunyai akses untuk
mendapatkan alamat tersebut melalui jalur-jalur yang tidak biasa.
Tim Sukses Jokowi menilai bahwa peredaran tablod Obor Rakyat merupakan
tindakan yang terencana, terstruktur, masif, dan terorganisasi. Isinya dinilai meresahkan,
mengadu domba, dan berpotensi memecah belah masyarakat. Beberapa isu yang diberitakan
dalam tabloid, antara lain Capres Joko Widodo beragama Kristen padahal faktanya adalah
muslim sejak kecil; Jokowi dikabarkan keturunan China padahal sejatinya Jawa tulen; dan
PDIP sebagai Partai Salib. Hasil survei tim internal Jokowi Jusuf Kalla menunjukkan
bahwa kampanye hitam mampu menggerus dukungan kepadanya sampai 8%. Oleh karena itu
kemudian dilakukan serangan balik melalui penerbitan tabloid Pelayan Rakyat oleh Tim
Sukses Jokowi, dan tabloid Obor Rahmatan Lil'alamin yang diprakarsai oleh relawan
pendukung Jokowi.
Terdapat sejumlah fakta yang memerlukan permenungan tersendiri terkait dengan
munculnya tabloid Obor Rakyat.
Pertama, penerbitan itu dikomandani oleh Staf Khusus kepresidenan. Meskipun pada
waktu terbitnya tabloid tersebut posisi Setyardi Budiono mengambil cuti, tetapi proses
perencanaannnya tentu berlangsung lama, sejak yang bersangkutan masih aktif menjalankan
tugas sebagai staf khusus Presiden. Artinya, patut diduga bahwa ada pelanggaran etik yang
telah dilakukan oleh Setyardi karena menyalahgunakan posisi sebagai Staf Khusus untuk
sesuatu yang beresiko mencabik-cabik persatuan bangsa.
Kedua, setelah mendapatkan pelimpahan kasus dari Bawaslu dan pengaduan dari Tim
Sukses Jokowi, kepolisian kemudian bergerak untuk menindak Setyardi Budiono sang
pemimpin redaksi dan teman kerjanya Darmawan Sepriyossa. Polisi menjerat keduanya
dengan UU No. 40/1999 tentang Pers. Padahal, Dewan Pers sudah tegas mengatakan bahwa
tabloid Obor Rakyat tidak masuk kategori sebagai karya jurnalistik sehingga tidak tepat kalau
mereka dijerat dengan UU Pers. Namun, mengapa polisi kekueh menggunakan UU Pers,
mengapa tidak menggunakan KUHP?
Ketiga, diakui sendiri oleh Setyardi bahwa biaya penerbitan berasal dari uang pribadi
dan sumbangan teman-temannya. Kalau setiap edisi memerlukan biaya cetak sebanyak 100
juta, dan biaya peliputan, honor penulis, distribusi, dan untuk operasional lainnnya misalkan
memakan biaya 25 juta, berarti kalau terbit sebanyak 4 kali membutuhkan dana sekitar 500
juta. Perlu ada transparansi, dan polisi wajib mengungkap secara detail, siapa saja temanteman Setyardi yang menjadi donatur tersebut guna mengetahui motifnya. Di samping itu,
layak dipertanyakan, sumber keuangan pribadi Setyardi yang mencapai ratusan juta itu dari
mana saja mengingat posisinya digaji oleh dana APBN.
Keempat, pengelola Obor Rakyat memiliki akses kuat untuk masuk ke institusi
negara. Indikasinya mereka memiliki alamat-alamat Pondok Pesantren yang menurut
sejumlah pimpinan pondok, alamat tersebut sama dengan yang mereka cantumkan sewaktu
mengajukan permohonan izin ke Departemen Agama. Polisi perlu membuka tabir mengenai
hal ini dengan menjelaskan, bagaimana pihak pengelola Obor Rakyat mendapatkan alamatalamat tersebut dari instansi terkait, apakah menggunakan mekanisme informasi publik
ataukah cara lainnya.
Kelima, mengapa pihak istana tidak bertindak tegas terhadap Setyardi dengan
memecatnya dari posisi sebagai Staf Khusus Presiden hanya dengan alasan ketika menangani
penerbitan Obor Rakyat, posisi yang bersangkutan sedang cuti. Agar tidak menimbulkan
spekulasi dan membentuk opini publik yang negatif di masyarakat, seharusnya istana
bertindak tegas. Kalau yang dilakukan Setyardi seratus persen di luar pengetahuan pihak
istana, alias tidak ada gedheg anthuk (kongkalingkong), seharusnya Setyardi tidak
Obor Rakyat-nya harus masuk dalam ketentuan pidana dan hendaknya dihukum berat.
Dengan begitu, niscaya orang akan menjadi semakin berhati-hati.///