Oleh:
Fadila Afrianita
4151131409
Gian Ruzbihan A.
4151131416
Azka Nadiya J.
4151131421
1.1 Epilepsi
1.1.1 Definisi dan Klasifikasi
Epilepsi adalah suatu sindrom klinis atau kumpulan gejala klinis ang ditandai oleh
adanya bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik ang abnormal,
berlebihan dan berkala di sebagai/seluruh bagian otak yang didasari oleh berbagai
faktor etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa berlangsung
secara mendadak dan sementara dengan perubahan kesadaran atau tanpa perubahan
kesadaran disebabkan oleh reaktivitas listrik sekelompok saaf di otak bukan
disebabkan oleh suatu penakit otak akut.
Sindroma epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda gejala klinis epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset),
jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.
Berdasarkan klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe serangan kejang/bangkitan
epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005) dibagi sebagai berikut:
Serangan parsial
Motorik
Sensorik
Otonom
Psikis
Serangan umum
-
Absans (lena)
Mioklonik
Klonik
Tonik
Atonik.
Tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003) dibagi
sebagai berikut:
Idiopatik (primer)
-
Simptomatik (sekunder)
-
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kriptogenik
Umum
Idiopatik (primer)
-
Simptomatik
-
Sindrom Ohtahara
Malformasi serebral.
Gangguan Metabolisme.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
Serangan neonatal
Sindroma Taissinare
Kejang demam
Eklampsi.
1.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2004 Angka kejadian epilepsi cukup tinggi dimana
diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4 %. Angka kejadian tahunan di
negara berkembang berkisar anatara 50-70 kasus per 100.000 penduduk dengan
angka kesakitan di negara berkembang dan dinegara maju bersisar 1%. Angka
kejadian ditemukan lebih tinggi dinegara berkembang disebabkan oleh karena
pertolongan persalinan yg kurang memadai dan tinggi angka infeksi otak dan cedera
kepala (Brodie, 2004).
Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka pasien epilepsi mencapai
1,1-8,8 juta orang. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan
pola bimodal.
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa
muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut. Menurut
kelompok usia, epilepsi lebih sering terjadi pada kelompok usia anak dibawah 2 tahun
dan orang tua lebih dari 65 tahun.
Sekitar 5% penderita epilepsi dewasa mengalami status sepanjang hidupnya
sedangkan pada anak-anak lebih tinggi mencapai 10-25%. Sebagian besar status
epileptikus terjadi pada bukan penderita epilepsi tetapi pada keadaan gangguan
serebral akut. Pada anak-anak penyebab utama adalah infeksi yang disertai febris
sedangkan pada dewasa penyebab tersering adalah gangguan serebrovaskular,
hipoksia, gangguan metabolik dan penggunaan alkohol.
1.1.3 Etiologi
Penyebab epilepsi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:4
1) Idiopatik yaitu epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui, umumnya
mempunyai predisposisi genetik
2) Kriptogenik yaitu epilepsi yang dianggap simtomatik namun penyebabnya
belum diketahui, termasuk di dalamnya adalah sindrom West, sindrom LennoxGestaut dan epilepsi mioklonik
3) Simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan oleh adanya kelainan/lesi pada
susunan saraf pusat. Misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan obat),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.
Penderita yang telah mempunyai latar belakang epilepsi sebelumnya. Hal ini
biasanya dipresipitasi oleh kondisi-kondisi tertentu, antara lain:
o Ketaatan yang buruk terhadap pengobatan
o Perubahan terapi
o Penghentian obat golongan barbiturat atau benzodiazepine
o Penyalahgunaan obat atau alkohol
1.1.5 Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
a) Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
b) Langkah kedua: apabila benar terdapat bangitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana
c) Langkah ketiga: tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar:
1.
e) Faktor pencetus
f) Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h) Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan, dan perkembangan
i) Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
k) Faktor sosial/ lingkungan
2.
c)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darahnya meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,
apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula
darah, fungsi hati (SGOT, SGPT, gama GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin,
dan lain-lain atas indikasi. Cairan serebrospinal bisa dilakukan pemeriksaan, bila
dicurigai terdapat infeksi SSP. Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas
indikasi misalnya ada kelainan metabolik.
Dagnosis pasti ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan
berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.
Berikut ini adalah beberapa bentuk bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan Umum Lena (Absence)
2.
Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti
gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama
30-60 detik, disertai mulut berbusa
3.
Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
Bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral /fokal) kemudian
dapat menyebar unilateral (jacksonian march)
4.
5.
1. Sindrom West
Sindrom West terdiri dari trias kombinasi bangkitan epilepsi (spasmus infantilis)
yang berlangsung beberapa detik, terhentinya perkembangan psikomotor, dan pola
EEG yang khas yaitu hipsaritmia. Sindrom West biasanya terjadi pada usia di bawah 1
tahun.
2. Sindrom Lennox-Gastaut
Biasanya muncul pada usia 3-5 tahun, lebih banyak pada perempuan.
1.1.6 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal
muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda
(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan
terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan
berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja
sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang
rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada. Ketiga
hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok
besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA)
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi
jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan.
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada
neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan
neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi
anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik
dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan
epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
1.1.7 Penatalaksanaan
1. Tujuan terapi
Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa/
dengan efek samping minimal.
2. Prinsip terapi
Prinsip terapi dari epilepsi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan
dalam setahun dan mulai diberikan bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan dan
setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan serta
kemungkinan adanya efek samping yang ditimbulkan.
Pemilihan jenis obat untuk terapi epilepsi dimulai dari dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Pada prinsipnya terapi dimulai
dengan obat antiepilepsi lini pertama namun jika diperlukan penggantian obat, maka
dosis obat kedua dinaikkan secara bertahap kemudian dosis obat pertama diturunkan
secara bertahap.
Bila didapatkan kegagalan dalam pemberian monoterapi maka dapat
dipertimbangkan untuk digunakan kombinasi obat anti epilepsi (OAE). Bila kejang
belum teratasi walaupun dosis OAE sudah maksimal, dapat dilakukan pemantauan
kadar obat sesuai indikasi bila memungkinkan.
Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai pemberian
terapi bila diantaranya:
1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, pada pemeriksaan CT scan atau
MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan.
2. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak.
3. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung, kecuali kejang demam
sederhana.
4. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan
kesadaran.
Carbamazepine, valproate
dan phenytoin
Levetiracetam, Acetazolamide,
clobazam, clonazepam,
gabapentin, lamotrigine, ,
oxcarbazepine, phenobarbital,
topiramate, vigabatrin
Generalized absence
seizures
Valproate, ethosuximde
Acetazolamide, clobazam,
clonazepam , lamotrigine,
phenobarbital
Atypical absence,
tonic and clonic
seizures
Valproate
Acetazolamide,
carbamazepine, clobazam,
clonazepam, lamotrigine,
oxcarbazepine, phenobarbital,
phenytoin, topiramate
Myoclonic seizures
Valproate
Clobazam, clonazepam,
lamotrigine, phenobarbital,
piracetam
Tabel 2 dibawah ini menjelaskan dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang
dewasa.
Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa
Dosis
Jumlah
Dosis
harian
Dosis
Obat
Indikasi
dosis per
awal
umum
rumatan
hari
(mg)
Carbamazepine Parsial &
400
600
600-1200
2-3*
KUTK
Phenytoin
Parsial &
300
300
300-500
1
Waktu
paruh
plasma
(jam)
16-36
24-40
Valproic acid
Phenobarbital
Primidone
Ethosuximide
Clonazepam
KUTK atau
status
epilepticus
Parsial &
500KUTK
1000
Parsial &
60-90
KUTK,
kejang
neonatal, atau
status
epilepticus
Parsial &
100-125
KUTK
Kejang absans
500
umum
Epilepsi
1
mioklonik,
sindroma L-G,
spasme infantil,
atau status
epilepsticus
1000
1000-3000
8-16
120
90-120
72-120
48
500
250-1500
1000
1000-2000
2-8
1 or 2
: dewasa
: anak-anak
Dibawah ini merupakan pedoman dosis obat anti-epileptik yang baru yang
dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3. Pedoman dosis obat anti-epileptik baru
Obat
Indikasi
Levetiracetam
Parsial &
KUTKS
Gabapentin
Parsial &
KUTKS
(dewasa)
Dosis awal
2 X 1000 mg/hari
1000 mg/hari q 2
wk
300 mg/hari ;
300mg/hari q13d
Waktu paruh
Dosis rumatan dalam plasma
(jam)
1000-3000
not established
mg/hari
900-3600
mg/hari
Lamotrigine
Parsial &
KUTKS
(dewasa)
25-50mg/d;
50mg q1-2 wk;
or 25mg q2d;
with VPA
Sampai 700
mg/hari (100150 mg/hari
dengan VPA)
Felbamate
Parsial &
KUTKS
(dewasa)
2-3 X 400
mg/hari (
concomitant PHT,
CBZ,VPA tiap
20-33%) dengan
dosis tiap 400600 mg/d q2wk
1800-4800
mg/d
Sindroma L-G
Clobazam
Oxcarbazepine
Tiagabine**
Topiramate
Vigabatrine**
Zonisamide*
Parsial &
KUTKS
Parsial &
KUTKS
Parsial &
KUTKS
Parsial &
KUTKS
Parsial &
KUTKS
Dimungkinkan
untuk spasme
infantile
Parsial &
KUTKS
3-4 x 15 mg/kg/d;
( concomitant
PHT, CBZ,VPA
tiap 20-33%),
dengan dosis 15
mg/kg/d q1-2 wk
10mg qb atau
2 X10 mg/hari
2 X 300mg/d
Tidak Tersedia
100 mg/hari ;
25 -50 mg/hari
tiap minggu
2 X 500 mg/hari
100-200 mg/hari
100 mg/hari q1-2
wk
25 (12-14
dengan obatobat induksi
enzim ; 60
dengan VPA)
20-23
sampai 45
mg/kg/d
20-30mg/hari
sampai 60mg/d
12002400mg/hari
32-56mg/hari
30-46
4001000mg/hari
20-24
Sampai 3 g/hari
4-8 (efek
berlangsung
sampai 3 hari)
400-600
mg/hari
50-68 (27-38
dengan obatobat induksi
enzim)
8-24
6-8
Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine,
lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.
Obat anti-epilepsi memiliki beberapa efek samping yang dapat dilihat pada
tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Efek samping obat anti-epilepsi klasik
Drug
Carbamazepin
Side effect
Terkait dosis
Diplopia, dizziness, nyeri
kepala, mual, mengantuk,
neutropenia, hiponatremia
Phenytoin
Valproic acid
Phenobarbital
Pirimidone
Ethosuximide
Idiosinkretik
Ruam morbiliform,
agranulositosis, anemia
aplastik, efek hepatotoksik,
Sindroma Stevens-Johnson,
teratogenicity
Jerawat, coarse facies,
hirsutism, cariasis, lupuslike syndrome, ruam,
Sindroma Stevens-Johnson,
Dupuytrens contracture,
efek hepatotoksik,
teratogenicity
Pankreatitis akut, efek
hepatotoksik,
trombositopenia,
ensefalopati , udem perifer
Ruam makulopapular,
exfoliation, nekrosis
epidermal toksik, efek
hepatotoksik, arthritic
changes, Dupuytrens
contracture, teratogenicity
Ruam, agranulositosis,
trombositopenia, lupus-like
syndrome, teratogenicity
Ruam, eritema multiformis,
Sindroma Steven-Johnson,
kepala, lethargy
Clonazepam
Kelelahan, sedasi,
mengantuk, dizziness,
agresi (pada anak)
hiperkinesia (pada anak)
lupus-like syndrome,
agranulositosis, anemia
aplastik
Ruam, trombositopenia
Gabapentin
Lamotrigine
Clobazam
Vigabatrin
Oxcarbazepine
Zonisamide
Tiagabine
Topiramate
depresi, disinhibition
Perubahan perilaku, depresi,
Psikosis
sedasi, kelelahan, berat badan
bertambah, gangguan saluran
cerna
Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri
kepala, kelemahan, ruam,
hiponatremia
Somnolen, nyeri kepala, dizziness,
ataksia, renal calculi
Confusion, dizziness, gangguan
saluran cerna, anoreksia, kelelahan
Gangguan kognitif, tremor,
dizziness, ataksia, nyeri kepala,
kelelahan, gangguan saluran cerna,
renal calculi
3. Penghentian OAE
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien maupun keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan. Jika selama 2 tahun terakhir bebas
bangkitan, maka penghentian OAE dikakukan bertahap dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama. Pada umumnya penghentian OAE dimulai dari 25% dari
dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan selain itu juga adanya
gambaran EEG normal / membaik merupakan salah satu pertimbangan untuk
dilakukan penghentian OAE.
Pada saat dilakukan penghentian OAE, pertimbangkan kemungkinan
kekambuhan bangkitan lebih besar pada diantaranya:
a. riwayat KUTK primer atau sekunder.
b. penggunaan lebih dari satu OAE.
c. bangkitan mioklonik.
d. masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
e. mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
f. riwayat bangkitan neonatal
g. gambaran EEG masih abnormal
h. Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan tiga
sampai lima tahun, atau lebih dari lima tahun
i. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.
1.1.8 Dampak
Penyandang epilepsi memiliki risiko besar untuk menderita cedera
akibat bangkitan epilepsi diantaranya ecchymosis, hematom, abrasi lidah,
laserasi tungkai, dan dislokasi bahu. Luka bakar bisa juga terjadi, dan biasanya
merupakan cedera yang cukup serius pada serangan epilepsi.
1.1.9 Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada faktor penyebab epilepsi, jenis
epilepsi, dan ketaatan pengobatan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obatan.
2. Epilepsi non-epileptik
Suatu epilepsi terjadi pada penderita yang tidak mempunyai latar belakang
epilepsi sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang penyakit lainnya
seperti stroke, meningoensefalitis, trauma kepala akut, tumor otak, penyakit
demielinisasi, gangguan metabolik, overdosis obat, inflamasi arteritis, dan
intoksikasi.
SE merupakan suatu kondisi emergensi sehingga membutuhkan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
1. Penatalaksanaan umum
a. Perbaiki fungsi vital
1. Amankan jalan napas dan lakukan resusitasi jika diperlukan dan
pastikan respirasi adekuat. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan
tekanan darah dan irama jantung, melakukan pemasangan jalur
intravena, pemasangan pipa nasogastric dan kateter dower.
2. Melakukan pemeriksaan segera diantaranya yaitu tes darah untuk
evaluasi metabolik, level obat anti-epilepsi serta zat toksik juga
pemasangan EKG.
3. Melakukan monitoring tanda vital
b. Terapi medikamentosa
Terapi ini diberikan dengan tujuan untuk menghentikan kejang dan
mengoreksi komplikasi.
1. Tahap premonitoring dengan memberikan diazepam 10 mg IV/ per
rektal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher S., Boas WE., Blume W., Erger C, Genton P., Lee P, et al. 2005.
Epileptic Seazures and Epilepsi; definition proposed by International
League Against Epilepsi (ILAE) and International Bureau for Epilepsi
(IBE). Epilepsia; 46 (4): 470-2.
2. Basuki A, Dian S. Kegawatdaruratan Neurologi. Edisi kedua. Bandung:
Bagian Neurologi FK UNPAD; 2009. hal. 163-9.
3. Improving the Lives of People with One of Nations Most Common
Neurological Conditions. At Glance. (Available on-line with updates at
http://www.cdc.gov/chronicdisease/resources/publications/aag/epilepsy.ht
m) [diunduh 16 Januari 2014].
4. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. PERDOSSI. (Available on-line with
updates
at
http://www.scribd.com/doc/145743200/Guideline-Epilepsi-