Pelayanan Publik Di Era Desentralisasi
Pelayanan Publik Di Era Desentralisasi
Studi Tentang Variasi Cakupan dan Peranan Pemerintah Daerah dalam Pelayanan
Publik
Deputi Bidang Polhankam Bappenas
Abstrak
Banyaknya keluhan atas rendahnya kinerja pelayanan publik, mendorong
Bappenas mengadakan serial kajian pelayanan publik, yang dimulai dari kajian tentang
kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda). Kajian awal ini bertujuan untuk
menemukenali pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, variasinya di
beberapa daerah, dan berapa besar proporsi peranan Pemda dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Penelitian dilakukan secara proporsional di dua kabupaten dan dua kota di
Indonesia, dengan mempertimbangkan heterogenitas daerah, sosial budaya, fisik dan
geografis, potensi sumber daya, dan pemerintahan. Daerah contoh penelitian ini adalah
Kota Mataram, Kota Malang, Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Sleman.
Data kajian ini diperoleh melalui dua teknik pengumpulan data utama, yaitu
wawancara dan dokumentasi. Lalu dilakukan pula analisis kualitatif.
Kesimpulan yang didapat adalah terdapat perbedaan variasi peranan Pemda yang
disebabkan oleh letak geografis (kepulauan, daratan) dan kabupaten-kota. Kesiapan
aparatur dan masyarakat ternyata sangat mempengaruhi pelayanan publik. Di Kabupaten
Sleman, misalnya, semakin siap aparatur dan masyarakat, semakin baik pelayanan
publiknya.
Berdasarkan pada temuan yang ada, maka dihasilkan rekomendasi untuk
melakukan perubahan paradigma dasar dari paradigma dilayani. Kemudian peran sektor
lain, di luar Pemda dalam penyediaan pelayanan publik, harus terus ditumbuhkan, karena
Pemda memiliki keterbatasan memberi layanan kepada masyarakat.
Dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, model
birokrasi yang sesuai bagi di kota-kota dan wilayahnya bercorak perkotaan adalah
market-oriented enabling authority. Untuk kabupaten yang sebagian besar wilayahnya
bercorak pedesaan, model birokrasi yang tepat kiranya adalah community-oriented
enabling authority. Sebab, di wilayah tersebut kondisi sosial yang berkembang lebih
guyub, sehingga mekanisme altruisme masih berjalan untuk menyediakan banyak
kebutuhan masyarakat.
1. LATAR BELAKANG
Sejak Undang-ungdang Nomor 22 tahun 1999 (UU No.22/1999)diterapkan, telah
terjadi pergeseran model pemerintahan daerah: semula menganut model efisiensi
struktural, kini mengarah ke model demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung
arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut partisipasi dan
kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara
bangsa.
Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam
Mengacu pada pengertian dasar tersebut di atas, penelitian ini akan mengkaji
variasi cakupan pelayanan publik yang dilakukan beberapa Pemda di Indonesia. Variasi
pelayanan publik itu merupakan cerminan kemandirian masyarakat di daerah yang
bersangkutan, dalam upaya mendapatkan jasa pelayanan yang memuaskan untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Penelitian ini dipandang penting karena pelayanan publik yang berkualitas adalah
salah satu pilar untuk menunjukkan terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan
yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu, secara teknis belum banyak pakar yang secara khusus meneliti
fenomena ini secara komprehensif, dalam telaahan kritis tentang otonomi daerah sebagai
penjelmaan otonomi masyarakat.
Adapun penerapan model efisiensi struktural selama ini telah membawa dampak
tertentu, yakni berbagai pelayanan di sektor publik menjadi tidak berkualitas. Ada
kecenderungan pemerintah pusat enggan menyerahkan kewenangan lebih besar kepada
daerah otonom, sehingga pelayanan publik tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis.
Lebih dari itu, pelayanan publik cenderung tidak memiliki responsibilitas,
responsifitas, dan tidak representatif. Banyak contoh yang ditemukan bahwa pelayanan
pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan jasa yang
dikelola pemerintah tidak memuaskan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan
pelayanan pihak swasta. Gejala ini telah dikemukakan Norman Flyn (1990: 38) bahwa
pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over
bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.
Pergeseran peran Pemda menuju model demokrasi, tentu menuntut peningkatan
kualitas pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat lokal atas prakarsa sendiri menjadi
sangat strategis dan menentukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka
terima.
Yang perlu dipahami adalah kualitas pelayanan yang berbeda-beda, sesuai dengan
kondisi masyarakat, dapat dijalankan, mengingat masyarakat Indonesia bersifat majemuk,
baik secara vertikal maupun horisontal: apakah berdasarkan agama, ras, bahasa,
geografis, dan kultural. Sebagaimana dikemukakan Hoessein (2001 : 5)
Mengingat kondisi masyarakat lokal beraneka ragam, maka local government dan
local autonomy akan beraneka ragam pula. Dengan demikian fungsi desentralisasi
(devolusi) untuk mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal juga
Peran Pemda dalam pelayanan publik secara eksplisit mencakup seluruh bidang
pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (pasal 7 ayat 1 UU No 22
tahun 1999).
Dalam pasal 11 ayat 2 dikemukakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan kabupaten dan kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Terkait dengan pasal-pasal tersebut, dalam pasal 9 ayat 1, dikemukakan bahwa
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang tertentu
lainnya.
Luasnya cakupan pelayanan publik dalam bidang pemerintahan, sebagaimana
dikemukakan di atas, memungkinkan adanya variasi cakupan pelayanan. Lebih-lebih bila
dikaitkan dengan pendapat sebelumnya bahwa setiap daerah memiliki kemandirian dalam
menentukan pelayanan yang diinginkan.
tahun 2003 tentang beberapa kewenangan yang dijalankan daerah, Pemda tetap belum
menjalankan kewenangan tersebut hingga penelitian ini berlangsung. Sebab, Pemda raguragu menjalankan kewenangan itu, meski terdapat Perda yang menaungi urusan tersebut.
Tabel 1 berikut menggambarkan kewenangan wajib yang sudah dan belum
diselenggarakan oleh daerah.
Tabel 1.
Penyelenggaraan Kewenangan Wajib Daerah
KEWENANGAN WAJIB YANG
DIJALANKAN DAERAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Pekerjaan Umum
Kesehatan
Pendidikan
Kebudayaan
Pertanian
Perhubungan
Industri
Perdagangan
Lingkungan Hidup
Koperasi
Ketenagakerjaan
Pertanahan
Penanaman Modal
Tabel 2.
Variasi Penyelenggaraan Kewenangan Tambahan oleh Pemerintah Daerah
SUMENEP
SLEMAN
Kehutanan
Perkebunan
Usaha Kecil-Menengah
Transmigrasi
Pariwisata
Kelautan
Informasi Komunikasi
Kesejahteraan Sosial
Kependudukan
Ketertiban
Perpustakaan
Kehutanan
Perkebunan
MATARAM
MALANG
Usaha Kecil
Transmigrasi
Pariwisata
Penerangan
Sosial
Kependudukan
Ketertiban
Perpustakaan
Pertambangan-Energi
Kebersihan
Air Bersih
Kepariwisataan
Pariwisata
Penerangan
Sosial
Kependudukan
Informasi-Komunikasi
Kependudukan
Ketertiban
Perpustakaan
PertambanganEnergi
Olah raga
Penataan Ruang
Permukiman
Tata Kota
Permukiman
Kebersihan
Air Bersih
Pertamanan
Pemadam Kebakaran
Pengelolaan Pasar
DIMENSI POLITIK
Otonomi Seluas-luasnya
Cara Positif
Tinggi (Mengatur dan Mengurus)
Represif
Demokrasi Perwakilan
Lebih jelasnya dapat disimak tabel di atas yang berisi ringkasan mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi cara pemerintah menyediakan layanan publik kepada
masyarakat. Dengan mengacu pada kerangka model pemerintahan daerah yang disusun
Leach, Stewart & Walsh (1994), sebagaimana dijelaskan dalam tinjauan pustaka
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa model pemerintahan daerah yang dijalankan di
daerah contoh penelitian lebih menyerupai traditional authocratic bureaucracy.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam model sekarang, peran Pemda lebih mendominasi penyediaan layanan
publik, dibanding peran sektor lain di daerah. Sebenarnya sektor lain tersebut, baik
masyarakat maupun pasar (swasta), juga memiliki potensi yang sama besarnya. Sektor
lain ini seharusnya terus ditumbuhkan, tidak sebaliknya justru dihilangkan, karena
keterbatasan Pemda untuk memberi layanan publik kepada masyarakat.
Kebutuhan masyarakat terus berkembang, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan
tidak akan dapat dipenuhi sepenuhnya oleh Pemda. Oleh karena itu, seyogianya Pemda
memikirkan alternatif yang mendukung berkembangnya sektor lain di luar Pemda, dalam
memberi layanan publik.
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan agar lebih
terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan lebih cepat dalam
kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional dianggap
tidak lagi memadai. Diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan
tuntutan perubahan ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan
masyarakat, serta merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Alternatif model yang dapat dijalankan Pemda dalam waktu dekat adalah pilihan
antara community enabling authority atau market enabling authority. Model residual
enabling seperti banyak diusulkan negara-negara maju, tampaknya bukan pilihan layak,
jika mempertimbangkan kondisi sekarang. Model residual enabling ini menempatkan
Pemda sebagai penyelenggara layanan publik, yang sama sekali tidak dapat dilaksanakan
sektor lain di luar Pemda. Perubahan menuju alternatif terakhir itu terasa terlalu cepat dan
mendasar, sehingga akan menimbulkan gejolak dan ketersendatan pemerintahan di
daerah.
Pilihan terhadap model market-oriented enabling authority tampaknya lebih
sesuai bagi di kota-kota yang sebagian besar wilayahnya bercorak perkotaan. Di wilayah
perkotaan telah berkembang mekanisme pasar, maka lebih mungkin menyediakan
layanan yang didominasi oleh sektor swasta. Dengan demikian, peran Pemda dalam
penyediaan layanan publik, lebih dipermudah lantaran sektor swasta menguat.
The market-oriented enabling authority merupakan kombinasi dari penekanan
pada strong market, dengan peran Pemda yang kuat, disertai penekanan pada demokrasi
partisipatif. Seperti model residual authority, model ini mengutamakan pasar dalam
urusan pemerintah daerah, namun berbeda dalam starting-pointnya.
Pemda mempunyai peran kuat dan aktif dalam menentukan masa depan
perekenomian di wilayahnya. Ia dipandang sebagai badan koordinasi dan perencanaan
kunci bagi pembangunan ekonomi daerah, dengan menyediakan mekanisme dan insentif
sehingga perekonomian dapat berkembang.
Hubungan antara Pemda dengan agen-agen perekonomian daerah, dilihat sebagai
proses dua arah. Tanggung jawab sosial ditekankan, dan kesepakatan perencanaan antara
9
10