Anda di halaman 1dari 7

STATUS DOKTER DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

Dalam proses peradilan pidana, tugas yang paling utama dari penegak hukum
adalah menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Tugas yang demikian berat ini
tidaklah mudah untuk dilaksanakan sebab penyidik, penuntut umum ataupun hakim
tidak melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses
terjadinya serta siapa pelakunya. Lebih tidak mudah lagi jika korban pidana
meninggal dunia atau saksi yang seharusnya dapat membantu tidak ada sama
sekali. Jika korban masih hidup dan ada saksi namun keterangan mereka tidak
sebagaimana yang diharapkan dimana korban sering mendramatisir keterangannya
agar pelaku dihukum berat dan saksi juga sering berkata bohong demi tujuan
tertentu bahkan ada yang saling bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itulah
diperlukan bantuan para ahli sehingga bantuan ahli ini dimasukkan sebagai bagian
yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana. Dalam hal ini
barang bukti yang didapat bisa berupa mayat, orang hidup, bagian tubuh manusia
atau sesuatu yang bersal dari tubuh manusia, mka ahli yang tepat adalah dokter
karena dokter menguasai ilmu anatomi, fisiologi, biologi, biokimiawi, patologi,
psikiatri disamping dalam melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik.
Kendati tidak ada satupun pasal di KUHAP yang secara eksplisit menyatakan bahwa
dokter itu adalah ahli, namun kalau diperhatikan secara seksama bunyi dari pasal
pasal berikut :
Pasal 1 butir 28 KUHAP : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus yang dapat membuat terang perkara
pidana guna untuk kepentingan pemeriksaan.
Pasal 133 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
Pasal 179 ayat 1 KUHAP : Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
Maka setiap dokter (ahli kedokteran kehakiman, dokter umum, maupun dokter
spesialis) secara implicit dapat dikatagorikan sebagai ahli sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Ia memang diminta secara resmi oleh penegak hukum yang mempunyai
kewenangan untuk itu
2. Permintaan tersebut dalam kapasitasnya sebagai ahli
Perbedaan prinsipil antara saksi dan ahli :

1. Saksi hanya boleh menceritakan apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya
saja sedangkan ahli bolehjuga memberikan kesimpulan (interpretasi)
2. Saksi tertentu (antara lain dokter yang merawat pasien) tetap harus
menghormati kerahasiaan medic sedangkan ahli, tidak terkena kewajiban
merahasiakan fakta-fakta yang diperlukan
3. Disidang pengadilan saksi wajib bersumpah akan memberikan keterangan
yang sebenar-benarnya sebagaimana yang sebenarnya terjadi, sedangkan
ahli wajib bersumpah akan memberikan keterangan berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya
4. Saksi tidak dibolehkan memberikan keterangan tertulis dengan mengingat
sumpah waktu menerima jabatannya, sedangkan ahli boleh
BANTUAN DOKTER SEBAGAI AHLI
TINGKAT PENYELIDIKAN
Pada tingkat ini sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali apakah suatu
peristiwa (misalnya ditemukannya mayat dipantai atau disuatu gudang) merupakan
suatu pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyelidikan dan dalam
rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter, dalam kapasitasnya sebagai
ahli. Bantuan tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah di rumah sakit dan dapat
pula berupa pemeriksaan jenazah di tempat kejadian perkara (TKP).
TINGKAT PENYIDIKAN
Tindakan penyelidikan dilakukan menyusul selesainya tindakan penyelidikan yang
menghasilkan kesimpulan bahwa pemeriksaan yang diselidiki adalah peristiwa
pidana, dimana tujuannya untuk mengukuhkan bukti-bukti supaya perkaranya
menjadi jelas dan akhirnya pelaku ditangkap.
Pada hakikatnya bantuan tersebut berupa pemberian keterangan tentang :
-

Sesuatu objek yang diajukan kepadanya untuk diperiksa


Sesuatu masalah yang bersifat hipotetik

Masalah yang bersifat hipotetik (hypothetical question)


Dalam hal penyidik atau hakim yang menangani perkara pidana menghadapi
perkara pidana yang bersifat hipotesis maka ia dappat meminta dokter dalam
kapasitasnya sebagai ahli untuk menjelaskannya, sebab dokter memiliki ilmu
pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjawabnya.
Misalnya seorang bidan dituduh melakukan kelalaian yang menyebabkan
pasiennya mengalami keguguran. Dalam tingkat penyidikan atau persidangan,
bidan tersebut mengaku bahwa ia sebetulnya hanya memberikan obat x dan y yang
menurutnya tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap kelangsungan
kehamilannya karena diberikan dalam dosis yang wajar. Tuntutan jaksa memang

didasarkan atas hipotesis bahwa karena obat-obatan itulah maka pasien mengalami
keguguran. Kehadiran dokter disini perlu untuk menjelaskan apakah obat-obatan
yang diberikan itu, berdasarkan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya,
mempunyai efek samping terhadap kehamilan. Jika ya, pada dosis berapa obat itu
berefek menggugurkan.
Jadi dalam perkara seperti ini dokter tidak disodori sesuatu obyek barang
bukti untuk memeriksa tetapi hanya disodori pertanyaan-pertanyaan tentang halhal yang tidak diketahui oleh penegak hukum. Jawaban dari pertanyaan itu
diharapkan dapat digunakan oleh hakim untuk menguji kebenaran hipotesis yang
dikembangkan oleh penuntut umum ataupun pembela.
FUNGSI KETERANGAN DOKTER DI SIDANG PENGADILAN
Menjadi tugas penyidik ditingkat penyidikan serta penuntut umum ditingkat siding
pengadilan untuk meyodorkan alat bukti yang diperlukan atau menyodorkan bahanbahan yang dapat diolah menjadi alat bukti di siding pengadilan. Alat bukti tersebut
menurut pasal 184 KUHAP terdiri atas :
1.
2.
3.
4.
5.

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterangan dokter dalam kapasitasnya


sebagai ahli dalam kapasitasnya sebagai ahli dapat dikatagorikan sebagai ahli
dapat berlaku sebagai ahli? Jika dapat, lalu termasuk alat bukti kategori yang
manakah keterangan dokter tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dipahami lebih dahulu tentang
syarat-syarat syahnya alat bukti, yaitu syarat formal dan materill. Syarat formal
adalah syarat yang berkaitan dengan cara dokter memberikan keterangannya,
yakni sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak. Sedang syarat materiil
adalah syarat yang berkaitan dengan isi (substansi), yaitu :
1. Sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang diperiksa
2. Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya
Selama keterangan dokter dalam kasitasnya sebagai ahli telah memnuhi syarat
formal dan syarat materiil maka keterangan tersebut dapat berfungsi sebagai alat
bukti. Karena itu menjadi tugas hakim untuk menjadi kedua syarat tadi. Untuk
syarat materiilhakim dapat melakukannya dengan mencocokkan dengan alat bukti
lain atau meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Bahkan
karena jabatannya hakim dapat memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang
atas barang bukti yang telah diperiksa kepada instansi lain atau instansi yang sama
asalkan dokter yang memeriksanya berlainan. Sedangkan untuk syarat formal,

hakim dapat meneliti apakah sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan


yang berlaku.
Mengenai katagorinya, keterangan dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli
dapat berupa :
1. Alat bukti
a. Katagori keterangan ahli, yaitu apabila diberikan dalam bentuk lisan di sidang
pengadilan dengan mengucapkan sumpah/janji sebelum atau jika dianggap
perlu juga sesudah memberikan keterangan.
b. Katagori surat, yaitu apabila diberikan dlam bentuk tertulis dalam mengingat
sumpah waktu menerima jabatan sebagai dokter atau dengan lebih dahulu
mengucapkan sumpah/janji sebagai ahli ketika hendak melakukan
pemeriksaan.
2. keterangan yang disamakan nilainya dengan dengan alat bukti, yaitu apabila
keterangan dokter tersebut pernah diberikan dalam bentuk lisan dalam
sumpah/janji didepan penyidik dan kemudian dibacakan dihadapan siding
pengadilan karena dokter berhalangan hadir karena adanya lasan yang syah.
Yang dimaksud dengan alsan yang syah ialah meninggal dunia, jauh tempat
tinggalnya, atau sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Hal
ini sesuai dengan Pasal 162 KUHAP. Jika ketidakhadiran dokter tidak disebabkan
oleh adanya alasan yang syah maka pasal tersebut tidak dapat diterapkan.
3. Keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, yaitu apabila diberikan
secara lisan pengadilan sesudah dokter menjalani penyanderaan maksimal (14
hari) karena ia menolak mengucapkan sumpah/janji di siding pengadilan.
Sebagaimana bunyi Pasal 161 KUHAP, apabila ahli menolak bersumpah atau
berjanji tanpa alasan yang syah, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan,
tetapi ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapa disandera (bukan
ditahan) di rumah tahanan negara paling lama 14 hari. Jika tenggang waktu itu
telah usai dan dokter tetap menolak bersumpah atau berjanji maka keterangan
yang telah diberikan hanya dapat berlaku sebagai keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim.

TATALAKSANA BANTUAN DOKTER SEBAGAI AHLI


Cara dokter menyampaikan keterangan
Keterangan dokter sebagai ahli dapat diberikan kepada pemintanya melalui dua
cara, yaitu :
1. Secara tertulis
Keterangan tertulis hendaknya dibuat dengan mengingat sumpah atau janji
ketika menerima jabatan sebagi dokter agar supaya kelak dapat berfungsi
sebagai alat bukti yang syah tanpa harus mendatangkan dokter ke sidang
pengadilan.

2. Secara lisan
KEWAJIBAN DOKTER SEBAGAI AHLI
Membantu proses peradilan pada kasus-kasus pidana oleh dokter sebetulnya tidak
kalah pentingnya dengan tugas-tugas kemanusiaan lain. Tidak kalah penting sebab
di dalam tugas keforensikan yang melekat pada diri setiap dokter itu terkait nasib
banyak orang. Korban kejahatan harus memperoleh keadilan yang memadai,
pelakunya perlu diganjar dengan hukuman yang setimpal sedang orang yang tidak
bersalah harus dilindungi dari hukuman yang semestinya tidak ia terima. Tujuan
seperti itu hanya dapat diwujudkan jika tugas keforensikan dilaksanakan dengan
baik pada setiap kasus pidana yang menimpa sesorang. Oleh sebab itulah maka
pembuat undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merasa perlu menetapkan
berbagai macam kewajiban bagi setiap dokter yang diminta bantuannya sebagai
ahli. Kewajiban tersebut terdiri atas :
1. Kewajiban melakukan pemeriksaan yang diminta
2. Kewajiban memberikan keterangan yang diperlukan
3. Kewajiban melaksanakan prosedur hukum yang diperlukan
Kewajiban melakukan pemeriksaan serta kewajiban memberikan keterangan dapat
dilihat pada Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut :
1). Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
2). Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik
bahwa ia akan member keterangan menurut pengakuannya yang sebaik-baiknya
kecuali bila disebabkan harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan
yang diminta.
Selain itu dapat juga dilihat pada pasal 174 KUHAP yang bunyinya :
1). Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangannya.
Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang mengikat dokter, baik pada tingkat
penyidikan, penyidikan tambahan maupun tingkat pemeriksaan di siding
pengadilan, kecuali ada alasann yang syah menurut undang-undang bahwa yang
bersangkutan boleh mengundurkan diri untuk tidak melaksanakannya. Alas an yang
syah itu adalah alas an yang menyebabkan dokter tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri yaitu :
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.

2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara


ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan
dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat tiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.
Sebetulnya alas an yang disebutkan diatas itu diperuntukkan bagi saksi, namun
karena ada pasal dalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan untuk
saksi berlaku pula bagi ahli, maka alasan-alasan tersebut berlaku pula bagi dokter
untuk mengundurkan diri dari kewajiban memberikan keterangan. Pasal tersebut
adalah pasal 179 ayat 2 yang bunyinya adalah:
Semua ketentuan tersebut diiatasuntuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Kendati demikian berdasarkan pasal 169 KUHAP mereka diperbolehkanuntuk
tetap memberikan keterangan dibawah sumpah/ janji dengan syarat:
a. Mereka sendiri menghendakinya
b. Penuntut umum setuju
c. Terdakwa juga menyetujuinya
Tanpa persetujuan penuntut umum dan terdakwa, dokter hanya boleh
memberikan keterangan tanpa sumpah/ janji. Keterangan seperti ini tidak dapat
berfungsi sebagai alat bukti atau dengan kata lain, tidak dapat dijadikan unsur
pembentuk keyakinan hakim.
Kewajiban-kewajiban dokter seperti yang sudah diterangkan diatas tentunya
memiliki sanksi, sehingga dokter dapat dikenai sanksi tersebut apabila tidak dapat
melaksanakan hukum yang sah. Tujuan sanksi itu adalah untuk memberikan
tekanan terhdapat dokter guna menjamin terlaksananya pemberian bantuan oleh
dokter sebagai ahli mengingat keterangannya sangat diperlukan bukan saja untuk
membuat terang perkaranya tetapi juga untuk menjadikan keterangannya itu
memiliki daya bukti. Bagaimanapun bagusnya dan lengkapnya keterangan dokter
dilihat dari substansinya tetapi jika diberikan tanda mengindahkan persyaratan
formal, maka keterangan tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian apa-apa.
Untuk kewajiban melakukan pemeriksaan (misal otopsi, pemeriksaan korban
perkosaan atau penganiayaan) dan memberikan keterangan sanksinya adalah
dipidana berdasarkan pasal 224 KUHP, yang berbunyi lengkapnya:
Barang siapa yang dipanggil menjadi sanksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiabn berdasarkan undang-undang
yang harus dipenuhinya, diancam:
1) Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara lama Sembilan bulan
2) Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan

Untuk kewajiban mengucapkan sumpah atau janji sanksinya adalah disandera


dirumah tahanan Negara paling lama 14 hari. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 161
KUHAP, yaitu:
1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang syah menolak untuk bersumpah
atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat 3 dan ayat 4.
Maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat
penetapan hakim ketua siding dapat dikenakan sandera ditempat rumah
tahanan Negara paling lama empat belas hari
2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi
atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka
keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim
Meskipun yang bersangkutan dimaskukkan ke rumah tahanan negara, namun
tidak sama dengan ditahan. Tujuan penyanderaan adalah untuk memberikan
tekanan kepada yang bersangkutan agar mau mengikuti kemauan penyandera,
yaitu mengucapkan sumpah atau janji sebab hal ini sangat penting guna
menjadikan keterangan dokter memiliki nilai pembuktian. Meskipun di tingkat
penyidikan juga ada kewajiban mengucapkan sumpah atau janji tetapi penyidik
tidak diberi kewenangan untuk menetapkan sanksi penyanderaan.

Anda mungkin juga menyukai