Definisi
Cedera kepala adalah proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Hematom epidural adalah suatu hematom yang cepat terakumulasi di antara tulang tengkorak
dan duramater, biasanya disebabbkan oleh pecahnya arteri meningea media.
Etiologi
Pukulan langsung: dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury)
atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan
mengenai dinding yang berlawanan (countercoup injury)
Rotasi/deselerasi: fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada ortak
yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap tulang sfenoid).
Rotsi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedara aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
Tabrakan
Peluru
Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Sekitar satu juta pasien setiap tahunnya datang ke
Departemen Kecelakaan dan Kegawatdaruratan di Inggris dengan cedera kepala dan sekitar
5000 pasien meninggal setiap tahunnya.
Diagnosis Kerja
Pemeriksaan pada penderita cedera kepala yang masih memiliki kesadaran yang bagus
meliputi pemeriksaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam
penanganan di unit gawat darurat, yaitu:
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Skala ini merupakan
gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsi korteks serebral berdasarkan
respons verbal, motorik, dan mata penderita. Sedangkan fungsional batang orak
(komponen kesadaran lainnya) dinilai dari respons pupil serta gerakan bola mata.
pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat
menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus
disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan
ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral.
4. Gerakan bola mata (refleks okulosefalik dan vestibuler)
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktivitas fungsional
batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh dan mempunyai
gerakan bola mata yang baik menandakan sistem motorik okuler di batang otaknya
intak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter
menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik
dan okulovestibuler.
Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
1. CT-Scan Kepala
Merupakan standar baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien
dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan. Sedangkan pasien
dengan GCS 15, CT scan dilakukan dengan indikasi:
- Nyeri kepala hebat
- Tanda fraktur basis kranii
- Riwayat cedera berat
- Muntah lebih dari satu kali
- Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia
- Kejang
- Riwayat gangguan vaskuler, menggunakan obat-obat antikoagulan
- Amnesia, gangguan orientasi, bicara, membaca, menulis
- Rasa baal pada tubuh
- Gangguan keseimbangan atau berjalan
2. MRI
Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan, namun dibutuhkan waktu pemeriksaan
lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak cocok untuk situasi gawat
darurat.
3. PET (Positron Emission Tomography) atau SPECT (Single Photon Emission
Tomography)
Dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis. Namun spesifisitas
penemuan abnormal masih dipertanyakan.
4. Angiografi serebral
Meskipun bersifat invasif namun pemeriksaan ini cenderung lebih bermanfaat untuk
memperkirakan diagnosis adanya suatu hematom/perdarahan intrakranial beserta
penanganannya, khususnya dimana masih belum tersedia sarana sken komputer
tomografi otak.
Patofisiologi
Kerusakan primer: efek langsung trauma pada fungsi otak
Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua
mekanisme dasar, yaitu:
1. Cedera kontak bentur
Umumnya merupakan akibat dari adanya suatu tenaga benturanyang mengenai
kepala, dakam peristiwa ini jejas yang terjadi hanya disebabkan oleh fenomena
kontak saja dan sama sekali tidak berkaitan dengan guncangan (akselerasi-deselerasi)
pada kepala. Namun jarang sekali dijumpai cedera yang hanya sebagai akibat kontak
bentur, seringkali cedera disertai akselerasi-deselerasi. Dapat mengakibatkan dua
macam jejas, yaitu jejas lokal yang terjadi di tempat atau dekat benturan, dan jejas di
tempat lain. Namun cedera kontak bentur tisak menyebabkan jejas otak difus.
- Lesi lokal
Bila kepala terbentur suatu objek, cenderung akan menimbulkan suatu efek lokal
berupa lekukan kedalam yang selanjutnya akan menyebabkan cedera kompresi
pada tabula eksterna dan cedera regangan pada tabula interna (tulang lebih lemah
terhadap regangan dibanding tekanan). Jika kekuatan efek lekukan kedalam cukup
besar maka dapat menimbulkan fraktur yang dimulai dari tabula interna, yang
kemudian akan berlanjut sepanjang daerah-daerah yang resistensinya paling kecil
di sekitar tempat benturan.
Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur linier dan depresi
tulang tengkorak, hematom epidural, kuntusi kup (coup contussion), inraserebral
hematom sebagai perkembangan kuntusio kup, subdural hematom yang
merupakan tumpahan intraserebral hematom ke dalam rongga subdural dan
-
kompresi.
2. Cedera akselerasi deselerasi
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Jika kepala
bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, seperti pada kecelakaan mobil,
kerusakan tidak hanya disebabkan oleh cedera setempat pada jaringan saja, tetapi
juga oleh akselerasi dan deselerasi. Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan
isi dalam tengkorak yang keras bergerak, dengan demikian memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak ke arah dampak dan ke arah yang berlawanan dengan
benturan. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio coup, sedang lesi di
seberang dampak disebut lesi contrecoup. Akibat dari akselerasi ini, batang otak
teregang dan menimbulkan blokade reversible pada difuse ascending reticular
system, sehingga otak tidak mendapat input aferen, yang berarti kesadaran menurun
sampai derajat terendah (pingsan) yang akan disusul dengan pulihnya kesadaran.
Kerusakan sekunder: efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat, disebabkan
oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Hal ini dapat disebabkan oleh edema serebri, perdarahan
subarachnoid, hipoksia, iskemia atau infeksi. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti. Sebagai akibat
cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah yang
beredar, sehingga menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
Tatalaksana
Penanganan kasus cedera kepala di UGD didasarkan atas patokan pemantauan dan
penanganan penderita secara umum, yaitu prioritas 6B:
-
terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan penderita.
Blood
Mencakup pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium (Hb, leukosit).
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intrakranial sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin
cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respons-respons mata, fungsi
motorik, dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respons ini merupakan implikasi adanya
perbaikan/perburukan cedera kepala, dan bila pada pemantauan menunjukan adanya
perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran,
bentuk, reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (refleks okulosefalik,
-
Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal diatas, cedera kepala ditangani sesuai
dengan tingkat-tingkat gradasi klasifikasi klinisnya:
Pembagian derajat cedera kepala dibedakan sebaagai berikut, ditentukan berdasarkan tingkat
kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca trauma:
-
: GCS 14-15
: GCS 9-13
: GCS 8
tekanan intrakranial
Pemeriksaan fisik: ditekankan untuk menyingkirkan gangguan sistemik lainnya dan
Penderita yang tidak memiliki indikasi rawat inap, setelah beberapa saat menjalani
pemantauan di rumah sakit diperkenankan untuk pulang berobat jalan dengan catatan
bila ada gejala-gejala sebagai berikut maka harus segera kembali ke rumah sakit:
Komplikasi
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, George, dkk. 2009. Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC
IKAPI. 2010. Ilmu bedah saraf satyanegara, edisi IV. Jakarta: Gramedia
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a glance ilmu bedah, edisi ketiga. Jakarta:
Erlangga