Nabi Muhammad SAW bersabda, Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, muliakan-lah tamunya. (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, terdapat tambahan kata, Penyambutan terbaik diberikan sehari
semalam, sedangkan waktu penyambutan (penjamuan) adalah tiga hari.
Penyambutan di luar itu adalah sedekah. (HR Bukhari dari Abi Syuraih).
Suatu kali, seorang Yahudi yang sedang bertamu, dikarenakan sakit ia ngompol dan
mengotori tempat tidurnya dan mungkin karena malunya ia langsung meninggalkan
tempat itu. Yang Mulia Rasulullah s.a.w. membersihkan sendiri bekas tempat
tidurnya itu. Orang Yahudi itu ketinggalan sesuatu sehingga harus kembali lagi.
Ketika orang tersebut melihatnya bahwa Nabi s.a.w. sendiri yang sedang
membersihkan bekas tempat tidurnya yang ia basahi dan kotori itu, maka ia merasa
sangat malu. Ia mengatakan, ia ingin masuk Islam.
KISAH 3
Suatu kali, sebuah delegasi utusan dari Kaisar Najasyi datang berkunjung. Yang
Mulia Rasulullah s.a.w. membawakan hidangan bagi tamu ini yang dikerjakannya
sendiri. Para Sahabat beliau bertanya mengapa Nabi s.a.w. sendiri yang harus
melakukan hal itu padahal di sana ada Sahabat-sahabat beliau yang siap untuk
mengerjakannya. Nabi s.a.w. menjawab bahwa orang-orang Najasyi itu telah
menghormati orang-orang Muslimin, maka oleh karena itu beliau s.a.w. ingin
membawakan sendiri hidangan bagi mereka itu sebagai balasan atas kebaikan
mereka.
D. ADAB BERTAMU DAN MEMULIAKAN TAMU
A. Adab Bagi Tuan Rumah
1) Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang
bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa),
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
,
Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah
memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa! (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
2) Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa
mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam,
Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan
menyesal. (HR. Bukhari)
5) Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan
semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk
menyediakan makanan yang terbaik. Allah taala telah berfirman yang
mengisahkan Nabi Ibrahim alaihis salam bersama tamu-tamunya:
.
Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi
gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamutamu Ibrahim-ed) sambil berkata: Tidakkah kalian makan? (Qs. AdzDzariyat: 26-27)
6) Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan
berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim alaihis
salam. Beliau diberi gelar Abu Dhifan (Bapak para tamu) karena betapa
mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7) Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan
kegembiraan kepada sesama muslim.
8) Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini
dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9) Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda,
sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam:
Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta
tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami. (HR
Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk
menghormati orang yang lebih tua.
10)Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai
menikmatinya.
11) Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka
berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur
sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis
ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12)Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan
tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim alaihis
salam,
:
Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan
tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia
menyakitinya. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah, bagaimana
menyakitinya? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Sang tamu
tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu
tamunya.
16)Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
B. Adab Bagi Tamu
1) Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya
kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau
agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam,
Barangsiapa yang diundang maka datangilah! (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari)Untuk menghadiri undangan
maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
Orang yang mengundang adalah muslim.
Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang
diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri
undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang
yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan
tersebut.
Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia
mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya,
Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian,
ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
berkata, Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami.
Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.
Kemudian, Abu Suaib berkata, Aku telah mengizinkannya. (HR. Bukhari)
11) Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan
kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
,
,
Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik
telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.
(HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani) , Ya Allah
berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan
berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman. (HR. Muslim)
Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah
mereka serta berkahilah rezeki mereka. (HR. Muslim)
12)Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang
dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala
kekurangan tuan rumah.
E. HUKUM MENJAMU TAMU
Terdapat beberapa pendapat di antara para ulama :
Hukumnya adalah sunnah bukan wajib.
Ini merupakan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan
Asy Syafii. Tetapi perlu diingat sunnah menurut mereka adalah sangat pantas
untuk dikerjakan dan makruh itu sangat ditekankan untuk ditinggalkan. Bukan
seperti anggapan sebagian orang bahwa sunnah untuk ditinggalkan dan makruh itu
untuk dikerjakan.
Hukumnya adalah wajib.
Ini merupakan pendapat Al Imam Ahmad dan ulama lainnya. Mereka berdalil dengan
hadits Abu Syuraih Al Adawi, Rasulullah bersabda:
: : .
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan
tamunya yaitu jaizah-nya. Para shahabat bartanya apa yang dimaksud dengan
jaizah itu? Rasulullah menjawab: jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam
(dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya). Sedangkan
penjamuan itu adalah tiga hari adapun selebihnya adalah sahadaqah. (Al Bukhari
no. 6135 dan Muslim no. 1726, lihat Fathul Bari hadits no. 6135).Pendapat kedua ini
terbagi menjadi dua pendapat; pertama adalah wajib satu hari saja adapun
selebihnya shadaqah, sedangkan pendapat kedua adalah wajib selama tiga hari
adapun selebihnya shadaqah.
Al Imam Ibnu Rajab memilih pendapat pertengahan antara kedua pendapat tersebut.
Yaitu; hukum menjamu tamu adalah tidaklah wajib kecuali bagi orang yang mampu
memberikan jamuan kepada tamu. Beliau berhujjah (berdalil) dengan hadits
Sulaiman , beliau berkata:
Rasulullah melarang kami memberat-beratkan diri dalam menjamu tamu dari
sesuatu yang diluar kemampuan. (HR. Al Bukhari, Ahmad dan lainnya)