ELEKTROKARDIOGRAFI DASAR
OLEH
Hana Permata Sari
H1A011027
Buana Maheswara H S
H1A011014
PENDAHULUAN
lain
berhubungan dengan aktifitas ion-ion intraseluler terutama Ca2+. Pergerakan ion ini dipicu
oleh potensial aksi jantung dan sinyal ion diteruskan melalui gap junction. Pergerakan ion
ini terjadi baik di sel konduksi maupun di kontraksi.3
Seperti telah disebutkan di atas bahwa siklus jantung dimulai dengan depolarisasi SA
node, menyebabkan kontraksi atrium (gelombang P pada EKG). Perlambatan impuls terjadi
di nodus AV (interval PR). Pada blok AV, interval PR akan lebih panjang daripada nilai
normal. Ketika ventrikel telah terisi, peran Bundle His menyebabkan ventikel dapat
berkontraksi (kompleks QRS). Setelah kontraksi ventrikel usai, jantunng mengalami
repolarisasi dan kemudian refrakter (gelombang T). pada masa repolarisasi jantung tidak
boleh distimulasi dan pada masa refrakter jantung tidak dapat distimulasi. Stimulasi pada
fase repolarisasi akan menyebabkan aritmia ventrikuler.3
2.2 Elektrokardiogram (EKG)
Alat ini merekam aktivitas listrik sel di atrium dan ventrikel serta membentuk
gelombang dan kompleks yang spesifik. Aktivitas listrik tersebut didapat dengan
menggunakan elektroda di kulit yang dihubungkan dengan kabel ke mesin EKG. Jadi EKG
merupakan volmeter yang merekan aktivitas listrik akibat depolarisasi sel otot jantung.4
Kertas EKG adalah kertas grafik yang terdiri dari kotak-kotak kecil dan besar yang
diukur dalam milimeter. Garis horisontal merupakan waktu (1 kotak kecil = 1mm = 0,04
Defleksi positif pada sadapan lateral (LII, aVL, V5, V6) dan sadapan inferior (aVF)
Defleksi negatif pada sadapan aVR
Bervariasi pada sadapan (L III, V2-V4)
Tingginya kurang dari 2.5 mm ( 2.5 kotak kecil )
Lebarnya kurang dari 2.5 mm ( 2.5 kotak kecil )
2. Interval PR
Interval PR menggambarkan waktu dari saat mulainya depolarisasi atrium sampai
permulaan depolarisasi ventrikel. Interval ini juga menggambarkan perlambatan penjalaran
yang terjadi di nodus AV. Interval PR ini normalnya antara 0.12 0.2 detik ( 3 5 kotak
kecil ).
Diukur dari permukaan gelombang P hingga awal kompleks QRS. Dalam interval
ini tercakup juga penghantaran impuls melalui antrium dan hambatan impuls pada nodus AV.
Perpanjangan interval PR yang abnormal menandai adanya gangguan hantaran impuls, yang
disebut blok jantung tingkat pertama.
3. Kompleks QRS
Kompleks ini memiliki arti klinis yang terpenting dari seluruh gambaran EKG karena
kompleks ini mewakili depolarisasi ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel.
Ada tiga komponen yang membentuk kompleks ini:
a. Gelombang Q yaitu bagian defleksi negatif sebelum suatu defleksi positif
b. Gelombang R yaitu defleksi positif yang pertama muncul, disertai atau tanpa
gelombang Q
c. Gelombang S yaitu defleksi negatif setelah gelombang R
Pada keadaan normal gelombang R berdefleksi positif pada semua sadapan
ekstremitas kecuali pada aVR. Pada sadapan prekordial dikenal istilah R-wave progression
yaitu defleksi positif gelombang R yang semakin membesar dari sadapan V1-V6. Interval
QRS normalnya kurang dari 3 kotak kecil atau 0.12 detik.
Irama jantung abnormal dari ventrikel seperti takikardia ventrikel juga akan
memperlebar dan mengubah bentuk kompleks QRS oleh sebab jalur khusus yang
mempercepat penyebaran impuls melaui ventrikel di pintas. Hipertropi ventrikel akan
meningkatkan amplitudo kompleks QRS karena penambahan massa otot jantung.
Repolarisasi atrium terjadi selama ventrikel. Tetapi besarnya kompleks QRS tersebut akan
menutupi gambaran pemulihan atrium yang tercatatdi elektrokardiografi.
4. Segmen ST
Segmen ST normalnya pada seluruh sadapan berbentuk horizontal dan isoelektrik
atau sedikit menanjak landai. Segmen ini menggambarkan waktu antara akhir depolarisasi
ventrikel sampai pada permulaan repolarisasi ventrikel. Penurunan abnormal segmen ST
dikaitkan dengan iskemia miokardium sedangkan penigkatan segmen ST dikaitkan dengan
infark. Penggunaan digitalis akan menurungkan segmen ST.
5. Gelombang T
Gelombang T merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel. Gelombang ini
muncul sesaat sesudah berakhirnya segmen ST. Ada dua hal yang harus diperhatikan pada
gelombang T yaitu arah defleksi dan bentuk gelombang T. Pada keadaan normal
gelombang T ditemukan positif pada sadapan I, II dan sadapan prekordial yang terletak di
atas ventrikel kiri ( V3 V6), negatif pada sadapan aVR, sedangkan arahnya bervariasi
pada sadapan lain.
Tinggi gelombang T minimum adalah 1 mm, dan bila kurang dari 1 mm dianggap
gelombang T tidak ada (Flat T). Gelombang T pada sadapan prekordial tidak boleh
melebihi 10 mm (1 mV), sedangkan pada ekstremitas tidak boleh melebihi 5 mm (0.5 mV).
Bentuk gelombang T yang berbentuk sedikit asimetris, di mana defleksi positif terjadi
secara perlahan sampai mencapai titik puncak dan kemudian menurun secara curam.
Interval QT memanjang pada pemberian obat-obat anti disritmia seperti kunidin,
prokainamid, setalol (betapace), dan amidaron (cordarone).
6. Gelombang U
Gelombang U masih kontroversi, salah satu teori menyebut gelombang U terjadi
karena repolarisasi serabut purkinje. Bentuk normal bulat, kecil dan amplitudo kurang dari
1,5 mm.4
irama sinus dapat berupa suatu aritmia yang mungkin fibrilasi, blok AV derajat dua atau
tiga, irama jungsional, takikardia ventrikular, dan lain-lain.
2. Laju QRS (QRS Rate)
Pada irama sinus laju QRS normal berkisar antara 60 100 kali/menit, kurang
dari 60 kali disebut sinus bradikardi, sedangkan lebih dari 100 kali disebut sinus
takikardi.
Ada 3 metode yaitu :4
1. Tiga ratus (300) dibagi jumlah kotak besar antara R-R.
2. Seribu lima ratus (1500) dibagi jumlah kotak kecil antara R-R
3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10, atau dalam
12 detik dikalikan dengan 5.
3. Aksis
Aksis normal selalu terdapat antara -30 sampai +110. Lebih dari -30 disebut
deviasi aksis kiri, lebih dari +110 disebut deviasi aksis kanan, dan bila lebih dari +180
disebut aksis superior.(1,11) Kadang aksis tidak dapat ditentukan, maka ditulis
underterminable, misalnya pada EKG di mana defleksi porsitif dan negatif pada
kompleks QRS di semua sadapan sama besarnya.
Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi
positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu X dan sadapan
aVF sebagai sumbu Y. Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis
jantung adalah :4
a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF positif, maka sumbu jantung
(aksis) berada pada posisi normal
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II
positif: aksis normal, tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri
(LAD=Left axis deviation), berada pada sudut -30o sampai -90o.
c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis ke
kanan (RAD=right axis deviation) berada pada sudut +110o sampai +180o.
d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis kanan
atas, berada pada sudut -90o sampai +180o.
Interval QRS yang lebih dari 0.1 detik harus dicari apakah adalah right branch
Kelainan gelombang P
Kelainan penampilan (amplitudo, lamanya, bentuknya) gelombang P pada irama
dan kecepatan yang normal. Misalnya P mitrale yang ditandai dengan gelombang P yang
tinggi, lebar dan not ched pada sandapan I dan II : gelombang P lebar dan bifasik pada
VI dan V2. adanya hipertrofi atrium kiri terutama pada stenosis mitralis. Sedangkan P
pulmonale ditandai dengan adanya gelombang P yang tinggi, runcing pada sandapan II dan
III, dan mungkin disertai gelombang P tinggi dan bifasik pada sandapan VI dan V2.
Ditemukan pada korpulmonale dan penyakit jantung kogenital.
Kelainan penampilan, irama dan kecepatan gelombang P yang dapat berupa
kelainan tunggal gelombang P misalnya atrial premature beat yang bisa ditemukan pada
penyakit jantung koroner (PJK), intoksikasi digitalis. Selain itu dapat ditemukan kelainan
pada semua gelombang P disertai kelainan bentuk dan iramanya misalnya fibrilasi atrium
yang dapat disebabkan oleh penyakit jantung rematik (PJR), pada infark miokard. Kelainan
gelombang P lainnya berupa tidak adanya suatu gelombang P, kompleks QRS-T timbul
lebih cepat dari pada biasanya. Misalnya AV nodal premature beat pada PJK, intoksikasi
digitalis, dimanabentuk kompleks QRS normal, dan terdapat masa istirahat kompensatoir.
Kelainan lain berupa ekstrasistole ventrikel pada PJK, intoksikasi digitalis.
Seluruh gelombang P tidak nampak, tetapi bentuk dan lamanya kompleks QRS
adalah normal. Misalnya irama nodal AV, takikardi nodal AV, atrial takikardi yang timbul
akibat intoksikasi digitalis, infark miokard, penyakit jantung hipertensi (PJH). Gelombang
P seluruhnya tidak tampak dengan kelainan bentuk dan lamanya kompleks QRS. Misalnya
ventrikel takikardi, fibrilasi atrium yang dapat timbul pada PJR. Penyakit jantung
hipertensi (PJH).
a) Hipertrofi Atrium Kanan (RAH)
Kelainan gel P akibat depolarisasi atrium kanan yang lebih besar dari normal. P yang
lancip dan tinggi, paling jelas terlihat di lead I dan II biasanya disebut P- Pulmonal
Terdapat pada : Penyakit pada katup Trikuspid, hipertensi pulmonal yang disertai
hipertrofi atrium kanan.
Gel P tinggi dan lancip di II, III dan aVF : tinggi > atau sama dengan 2,5 mm dan
interval > atau sama dengan 0,11 detik
P pulmonal
3.
Kelainan gelombang Q
Gelombang Q patologis yang lebar > 1 mm atau > 0,4 detik dan dalamnya >2 mm
(lebih 1/3 dari amplitudo QRS pada sandapan yang sama) menunjukkan adanya miokard
yang nekrosis. Adanya gelombang Q di sandapan III dan aVR merupakan gambaran yang
normal.
4.
5.
6.
7.
Kelainan gelombang T
Adanya kelainan gelombang T menunjukkan adanya kelainan pada ventrikel. Untuk
itu dikemukakan beberapa patokan yaitu :
menyolok.
Gelombang T terbalik dimana gelombang R menyolok.
Lebih tinggi daripada perekaman sebelumnya atau lebih tinggi 8 mm pada sandapan
I,II, III.
Oleh karena begitu banyak penyebab kelainan gelombang T, maka dalam
Kelainan gelombang U
Adanya gelombang U defleksi keatas lebih tinggi dari gelombang T pada
sandapan yang sama terutama V1-V4 menunjukkan adanya hipokalemi.(7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Pakpahan HA. Elektrokardiografi ilustratif. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia; 2012; 1-2
2. Surya D. Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010; 35 12-16 19-25
3. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Fisiologi kardiovaskular. Jakarta : FKUI,
2012. hal. 77 78.
4. Dharma S. Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG. Jakarta : EGC, 2009. hal. 4 14,
31 44.
5. Silbernalg S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Elektrokardiogram (EKG) &
Gangguan Irama Jantung. Jakarta : EGC, 2006. hal.184 193.
6. Thaler MS. Satu-satunya buku EKG yang anda perlukan. Jakarta : Hipokrates; 2000 ; 8-15
33-38