Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN 39

PERMASALAHAN DALAM
OTONOMI DAERAH
NAMA

: GILANG FIRMANSYAH

NIM

: 141910101047

NO. ABSEN

N0. HP

: 087805599721

UNIT PELAKSANA TEKNIK BIDANG STUDI


MATA KULIAH UMUM ( UPT BSMKU )
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam penulisan makalah ini penulis membahas tentang Permasalahan
Dalam Otonomi Daerah sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca
yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan
datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jember, Maret 2015


Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah .
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan .
1.6 Metodologi Penelitian .
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah ...
2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia
2.3 Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah
2.4 Korupsi di Daerah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan
tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan
mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah
dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini
merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua
UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut
memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata
dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing
daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber
pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan
dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan
pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau
harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya
mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak
permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal
dari otonomi daerah dapat tercapai.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penyusunan ini penulisan memberikan batasan-batasan masalah,
meliputi :
1. Eksploitasi Pendapatan Daerah
2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Potensi munculnya konflik antar daerah
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia
2. Meneliti penyelesaian dari permasalahan yang ada
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
tentang Permasalahan Dalam Otonomi Daerah
1.4 Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.

2. Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.


3. Sebagai literature untuk lebih memahami otonomi daerah di Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan
adalah :
BAB 1. PENDAHULUAN
Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB 2. PEMBAHASAN
Berisi tentang : Pembahasan mengenai permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
BAB 3. PENUTUP
Berisi tentang : kesimpulan dan saran.
1.6 Metodologi Penelitian
Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan
adalah :

Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan

dengan penulisan karya tulis ini


Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin
pencari yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi
akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan
untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan
umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi
sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan
pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumbersumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia
Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang
sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi
daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem

pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku


pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan
potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan.
Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses
pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah
yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit
kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan
yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk
memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa?
Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang
dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada
susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Beberapa permasalahan tersebut dibahas lebih lanjut sebagai berikut :
1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai
pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam
ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup
untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus
membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola
tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan
pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat
gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi
pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis
modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu
tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah
daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah
daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika
menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah.
Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta,
bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda
DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi
Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan
terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut

termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya
Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan,
dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi
sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang
meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul
kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya
pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah
melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut
berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian
kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi,
apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya
hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh
mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang
cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru
dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah.
Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar
seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus
dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau
retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua
terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam
menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan
lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujungujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau
pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada
saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?
2. Korupsi di Daerah

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan


berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi
dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti
bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghamburhamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding.
Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan
kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih
besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana
legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per
orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan.
Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa
anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus
disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku
pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah
tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses
pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga
sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara
bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas
yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga
kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari
dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah
mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat
publik itu?
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah :
1. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus :

a. Pemotongan dana bantuan sosial


b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

2. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah
ke pihak luar.
3. Penyelewengan dana proyek
Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
4. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
5. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran
Modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan.
6. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan
pensiun dan sebagainya
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
2.3 Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia

Pada intinya, masalah masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan


tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan
yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah
sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya
baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah
memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk
mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan
baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau kita.
Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya
bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung
membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1)
efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin
bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika
keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya
alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah
tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran
karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk
berubah dari perilaku boros menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang
memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi
hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan
paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika
dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa
menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah
daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah
kepada swasta melalui privatisasi.
Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam
pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya
hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif,
pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan

dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi
pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.
Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat
publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat
pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat
justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani
keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat
publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan
jabatan yang dipangkunya.
Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan
masalah baru di bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah
Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah
dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan
masyarakat segera terwujud.
1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi
Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan
membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan
mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban
mengibarkan bendera merah putih.
3.

Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian


korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi
membuat kepala daerah melakukan korupsi.

4.

Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan


peraturan diatasnya yang lebih tinggi.

5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan


daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.

6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih


mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi
birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan
efisiensi anggaran.
8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta
mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk
kesejahteraan masyarakat.
BAB 3. PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana
untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali untuk persoalanpersoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam
perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah
pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam
Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip
otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian
dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi
daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari
pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan
pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.
Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan
bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran,
munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya

kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih
berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi
berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus
dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
2.

Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan


dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling
dekat dengan masyarakat.

3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga


perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat
memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan
aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga
perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya
membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan
kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak
tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta
kewajibannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN Depdagri.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan Inventarisasi Penyerahan Urusan
Pemerintahan Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda Depdagri.
Marzuki, M. Laica, 2007. Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007, Jakarta : Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dari
http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomidaerah.html, dikutip pada 27 Maret 2012
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi
Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret 2012
Lubis, Rusdi. 2011.PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH. D http://www.harianhaluan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaanotonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83, dikutip pada 27 Maret 2012
Undang-Undang No. 22/1999
Undang-Undang No. 32/2004
Undang-Undang No. 33/2004

Anda mungkin juga menyukai