PERMASALAHAN DALAM
OTONOMI DAERAH
NAMA
: GILANG FIRMANSYAH
NIM
: 141910101047
NO. ABSEN
N0. HP
: 087805599721
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam penulisan makalah ini penulis membahas tentang Permasalahan
Dalam Otonomi Daerah sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca
yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan
datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah .
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan .
1.6 Metodologi Penelitian .
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah ...
2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia
2.3 Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah
2.4 Korupsi di Daerah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB 1. PENDAHULUAN
Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan
BAB 2. PEMBAHASAN
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai
pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam
ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup
untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus
membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola
tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan
pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat
gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi
pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis
modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu
tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah
daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah
daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika
menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah.
Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta,
bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda
DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi
Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan
terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut
termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya
Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan,
dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi
sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang
meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul
kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya
pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah
melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut
berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian
kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi,
apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya
hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh
mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang
cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru
dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah.
Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar
seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus
dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau
retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua
terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam
menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan
lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujungujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau
pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada
saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?
2. Korupsi di Daerah
2. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah
ke pihak luar.
3. Penyelewengan dana proyek
Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
4. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
5. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran
Modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan.
6. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan
pensiun dan sebagainya
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
2.3 Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia
dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi
pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.
Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat
publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat
pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat
justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani
keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat
publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan
jabatan yang dipangkunya.
Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan
masalah baru di bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah
Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah
dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan
masyarakat segera terwujud.
1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi
Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan
membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan
mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban
mengibarkan bendera merah putih.
3.
4.
3.1 Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana
untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali untuk persoalanpersoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam
perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah
pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam
Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip
otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian
dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi
daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari
pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan
pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.
Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan
bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran,
munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya
kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih
berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi
berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus
dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN Depdagri.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan Inventarisasi Penyerahan Urusan
Pemerintahan Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda Depdagri.
Marzuki, M. Laica, 2007. Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007, Jakarta : Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dari
http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomidaerah.html, dikutip pada 27 Maret 2012
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi
Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret 2012
Lubis, Rusdi. 2011.PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH. D http://www.harianhaluan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaanotonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83, dikutip pada 27 Maret 2012
Undang-Undang No. 22/1999
Undang-Undang No. 32/2004
Undang-Undang No. 33/2004